Anda di halaman 1dari 21

PANDANGAN ULAMA TENTANG HUKUM PERKAWINAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keluarga Di Negara-


Negara Islam

Dosen Pengampu : Siti Masitoh, M.H.

Oleh :

Kelompok 11

Muhammad Darjat 2021508050

Nabila Ramadhani 2021508064

As’sadyah Tul Janna 2021508083

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
‫الر ِحيْم‬
‫الرحْ َم ِن ﱠ‬
‫س ِم ﱠ ِ ﱠ‬
ْ ‫ِب‬

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur atas kehadiran Allah SWT yang
telah senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayahnya,
sehingga makalah dengan judul Pandangan Ulama Tentang Hukum
Perkawinan dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada junjungan seluruh alam nabiyullah Muhammad SAW. Yang telah
mengantarkan kita dari alam kegalapan menuju cahaya terang benderang,
yang telah mengeluarkan kita dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan.
Semoga kelak kita mendapat syafaat beliau diyaumil akhir. Aamiin.

Adapun penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Keluarga Di Negara-Negara Indonesia. Dalam makalah ini kami
membahas mengenai pengertian hukum keluarga, pengertian peminangan,
mahar, saksi nikah dan hak nafkah serta pandangan ulama tentang
peminangan, mahar, saksi nikah dan hak nafkah.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada dosen


pengampu mata kuliah Hukum Keluarga Di Negara-Negara Indonesia, Ibu
Siti Masitoh, M.H. yang telah memberikan bimbingan kepada kami, serta
semua teman-teman yang telah berpartisipasi.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dalam penulisan, pelafalan, penyampaian materi, maupun
penjelasan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari ibu dosen dan juga teman-
teman semua sangat kami nantikan agar terciptanya makalah yang baik dan
benar.

Samarinda, 15 September 2022

Kelompok 11

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I ............................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2

C. Tujuan Pembahasan ............................................................................ 2

BAB II ........................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ........................................................................................... 3

A. Pengertian Hukum Perkawinan .......................................................... 3

B. Pengertian Peminangan, Mahar, Saksi Nikah dan Hak Nafkah ......... 4

C. Pandangan Ulama Tentang Peminangan, Mahar, Saksi Nikah dan Hak


Nafkah ........................................................................................................ 8

BAB III ........................................................................................................ 16

PENUTUP ................................................................................................... 16

A. Kesimpulan....................................................................................... 16

B. Saran ................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 17

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | ii


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu bentuk ketaatan manusia kepada Allah SWT adalah,
bahwa dalam rangka penyaluran hasrat seksual antara laki-laki dan
perempuan haruslah didasarkan pada ikatan yang telah ditentukan-Nya,
yaitu melalui lembaga perkawinan sebagai lembaga yang suci, sakral
bagi umat Islam. Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan
berlaku pada setiap makhluk ciptaan Allah SWT, baik itu pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Hal ini merupakan salah satu cara
yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya. Perkawinan akan berperan
setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan dan perkawinan itu sendiri. 1
Tujuan ideal perkawinan menurut hukum perkawinan adalah
membantuk sebuah keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan: “Ikatan lahir dan
batin antara seoarang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga bahagai dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.2 Selain membentuk keluarga bahagia, suami isteri juga
saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadian membantu dan mencapai kesejahteraan
spritual dan materil.3
Dalam Islam, perkawinan menjadi suatu ikatan yang suci, tak heran
bila syariat mengatur dengan begitu jelas terkait ihwal perkawinan, mulai
dari hal-hal yang bersifat teknis hingga yang bersifat praktis. Salah
satunya adalah dengan disyariatkannya peminangan sebelum akad nikah

1
Aminuddin Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Jakarta:PT Insan Citra, 1994), h.9.
2
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Jakarta: PT Prenhallindo, 2011),
h.9.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 1


dilaksanakan. Tidak hanya itu adapun hal yang harus dipersiapkan pihak
calon suami sebagai ungkapan keinginan seoarang laki-laki terhadap
perempuan, sebagai salah satu tanda pembuktian kasih sayang dan
keseriusan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya, hal ini disebut
juga dengan Mahar. Adapun dalam proses perkawinan berlangsung perlu
adanya saksi nikah yang melihat, mendengar dan menyaksikan peristiwa
dan kejadian akad nikah tersebut. Dalam hal ini yang harus menjadi saksi
nikah adalah seoarang laki-laki. Adapun setelah perkawinan itu sah
seorang suami wajib memberikan nafkah berupa pemberian belanja
terkait dengan kebutuhan pokok.
Selain pembahasan terkait apa itu peminangan, mahar, saksi nikah
dan nafkah. Makalah ini juga akan membahas terkait pandangan ulama
yang menjadi rujukan dan juga teladan sebab amalannya. Dengan
dibuatnya makalah ini, penulis akan membahas terkait pengertian dan
pandangan ulama terhadap hukum perkawinan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum perkawinan?
2. Apa pengertian peminangan, mahar, saksi nikah dan hak nafkah?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang peminangan, mahar, saksi nikah
dan hak nafkah?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum perkawinan.
2. Untuk mengetahui pengertian peminangan, mahar, saksi nikah dan
hak nafkah.
3. Untuk mengetahui pandangan ulama tentang peminangan, mahar,
saksi nikah dan hak nafkah.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 2


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perkawinan


Perkawinan diambil dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu
Zawwaja dan Nakaha. Kemudian kata inilah yang dipakai dalam Al-
Qur’an dalam menyebutkan perkawinan muslim. Nakaha artinya
menghimpun dan Zawwaja artinya pasangan. Singkatnya dari segi
bahasa perkawinan diartikan sebagai menghimpun dua orang menjadi
satu. Melalui persatuan dua insan manusia yang awalnya hidup sendiri,
dengan adanya perkawinan dua insan manusia yang dipertemukan oleh
Allah SWT untuk berjodoh menjadi satu, sebagai pasangan suami isteri
yang saling melengkapi kekurangan masing-masing. Yang biasa disebut
pasangan (Zauj dan Zaujah).4Perkawinan menurut islam ialah suatu
perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
anatara soarang laki-laki dengan seoarang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram,
bahagia dan kekal.5
Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan merupakan
bagian dari Hukum Islam yang memuat ketentuan tentang ihwal
perkawinan. Yakni dijelaskan bagaimana proses dan prosedur menuju
terbentuknya ikatan perkawinan, bagaimana cara menyelenggarakannya
akad perkawinan menurut hukum, bagaimana cara memelihara ikatan
lahir batin yang telah di ikrarkan. Dalam akad perkawinan sebagai akibat
yuridis dari adanya akad itu, cara mengatasi krisis rumah tangga yang
mengancam ikatan lahir dan batin suami istri, bagaimana proses dan
prosedur berakhirnya ikatan perkawinan, serta akibat yuridis dari
berakhirnya perkawinan, baik yang menyangkut hubungan hukum antara
bekas suami istri, anak-anak mereka dan harta mereka. Perkawinan

4
Tinuk Dwi Cahyani, S.H., S.HI., M. Hum, Hukum Perkawinan, (Malang: UMM
Press, 2020), h.1.
5
Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M. Hum dan Nanda Amalia, SH, M. Hum, “Buku
Ajar Hukum Perkawinan, (Sulawesi: Unimal Press, 2016), h.18.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 3


menurut fiqih yaitu akad antara calon suami dengan wali nikah yang
menjadi halalnya bersenggama antara istri dan suaminya dengan kalimat
nikah.

B. Pengertian Peminangan, Mahar, Saksi Nikah dan Hak Nafkah


1. Pengertian Peminangan
Kata peminangan berasal dari kata dasar pinang, di mana
meminang yang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa
Arab disebut "khitbah". Menurut etimologi, meminang atau
melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri. Menurut
terminologi, peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita,
atau seorang laki laki meminta kepada seorang perempuan untuk
dijadikan isteri dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-
tengah masyarakat.
Peminangan merupakan pendahuluan dalam perkawinan,
dimana sebelum terjadi ikatan suami isteri disyari’atkan untuk
melakukan perkenalan (ta’aruf), hal ini bertujuan agar waktu
memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak. Pada dasarnya,
suatu perkawinan dapat terjadi apabila antar keduanya (calon suami
dan isteri) saling mencintai, suka sama suka, tanpa adanya paksaan
dari pihak manapun. Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai
permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon
isteri atau melalui wanita itu. Peminangan (Lamaran) sebagai
langkah awal dan sebelumnya tidak pernah kenal secara dekat, atau
hanya kenal melalui teman atau sanak keluarga, sehingga
keterbukaan dan kejujuran sangat diperlukan dalam perkenalan itu.6
Khitbah (peminangan) merupakan pernyataan yang jelas atas
keinginan menikah, ia merupakan langkah-langkah menuju
pernikahan, Islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk

6
Dr. H. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H., Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,
(Bandar Lampung: Arjasa Pratama, 2021), h.2.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 4


mengetahuin sifat-sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki
menjadi tenang terhadapnya, dengan orang yang diinginkanya
sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan penikahan. Ia
seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara
indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan
mengeruhkan kehidupanya.
2. Pengertian Mahar
Kata mahar berasal dari bahasa Arab yaitu al-Mahr,
jamaknya muhur dan muhurah. Sedangkan menurut bahasa, kata al-
mahr bermakna al-Sadaq yang dalam bahasa Indonesia diartikan
dengan “maskawin”, yaitu pemberian segala sesuatu kepada
seseorang perempuan yang akan dijadikan isteri.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Astqalani menjelaskan bahwa kata
mahar itu menurut bahasa mempunyai delapan variasi bahasa Arab
dengan istilah yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari syi’ir
atau nazaman dalam kitab Bulug al-Maram sebagai berikut: “Mahar
mempunyai delapan nama yang dinadzamkan dalam perkataannya:
“shadaq, mahar, nihlah, faridhah, hiba’, ujur, kemudian ‘uqr,
‘alaiq”. Dari beberapa kata tersebut mengandung pengertian bahwa
mahar merupakan suatu pemberian wajib dalam ikatan perkawinan
dari seorang suami kepada seorang istri.
Sedangkan pengertian mahar menurut istilah, para ulama
berbeda dalam memberikan pengertian, antara lain :
a. Pertama, mahar diartikan sebagai nama suatu benda yang wajib
diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut
dalam akad nikah sebagai perujudan hubungan antara pria dan
wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri.
b. Kedua, mahar adalah pemberian yang wajib diberikan dan
dinyatakan oleh calon suami atas calon istrinya di dalam sighat
akad nikah yang merupakan tanda persetujuan, kerelaan dari
mereka untuk hidup sebagai suami istri.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 5


c. Ketiga, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria pada
calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang, maupun
jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dari ke-tiga pengertian mahar menurut istilah tersebut, mahar
menurut istilah dapat disimpulkan sebagai sebuah pemberian wajib
dari seorang pria kepada seorang wanita, baik berbentuk barang,
uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan agama Islam di
waktu akad nikah. Mahar hanyalah sebutan atau nama untuk suatu
harta yang wajib diberikan kepada wanita sebagai calon mempelai
di dalam akad nikah.
Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa pengertian
mahar adalah pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada calon
mempelai perempuan, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian posisi
mahar dalam perkawinan adalah sebagai salah satu hak dari seorang
istri yang diwajibkan kepada seorang suami yang diberikan pada
waktu akad nikah. 7
3. Pengertian Saksi Nikah
Secara etimologi, saksi adalah orang yang melihat atau
mengetahui sendiri sesuatu peristiwa/kejadian. Kata saksi dalam
bahasa arab adalah syahid. Menurut istilah (terminologi), saksi adalah
orang yang mempertanggung jawabkan kesaksianmnya dan
mengemukakannya dimana ia menyaksikan sesuatu/peristiwa yang
orang lain tidak menyaksikannya. Saksi dalam akad nikah merupakan
seseoarang yang ditunjuk untuk menjadi saksi dalam pelaksanaan
akad nikah. Saksi dalam akad nikah merupakan bagian dari rukun
akad nikah, sehingga hal ini diwajibkan hadir pada saat prosesi akad
nikah dilangsungkan.
Sedangkan pengertian kesaksian terdapat beberapa pendapat
diantaranya:

7
Rinda Setiyowati, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Imam Syafi’I Dalam
Kompilasi Hukum Islam”, Dalam Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 7 No. 1 Januari - Juni 2020.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 6


a. Menurut Salam Madkur, bahwa kesaksian adalah istilah
pemberitahuan seseorang secara benar didepan pengadilan
dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain.
b. Menurut Ibnu Hamman, bahwa kesaksian adalah pemberitahuan
yang benar untuk mentepkan suatu hak dengan ucapan
kesaksian didepan sidang pengadilan.
c. Menurut Muhyidin al-Ajuz, bahwa kesaksian adalah
menetapkan segala apa yang diketahui.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, kiranya dapat
dipahami bahwa kesaksian itu dapat diterima apabila telah memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya suatu perkara/peristiwa sebagai objek.
b. Dalam objek tersebut tampak hak yang harus ditegakkan.
c. Adanya orang yang memberitahukan objek tersebut secara apa
adanya tanpa komentar.
d. Orang yang memberitahukan itu memang melihat atau
mengetahui benar terhadap objek.
e. Pemberitahuan tersebut diberikan kepada orang yang berhak
untuk menyatakan adanya hak bagi orang tersebut.8
4. Pengertian Hak Nafkah

Secara etimologi, nafkah berasal dari suku kata Anfaqaa-


yunfiqu-infaqaan (‫النفق‬-‫ينفق‬-‫)انفاقا‬, yang diartikan hak menafkahkan
dan atau membelanjakan.”9 Dalam kamus besar bahasa Indonesis
kata nafkah berarti belanja untuk hidup atau bekal sehari-hari.10
Secara istilah nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang
dikeluarkan oleh seorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya.

8
Dr. H. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H., Hukum …, h. 93-94.
9
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h.
463.
10
Hairul Hudaya, “Hak Nafkah Isteri (Perspektif Hadits dan Kompilasi Hukum
Islam)”, Dalam Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 1 No.1, Januari-Juni 2013, h.26.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 7


Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam
bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berintonasi materi.
Sedangkan kewajiban dalam bentuk nonmateri, seperti kebutuhan
biologis istri tidak termasuk dalam arti nafkah, meskipun dilakukan
suami kepada istrinya. Kata yang selama ini digunakan tidak tepat
untuk maksud ini adalah nafkah lahir batin sedangkan dalam bentuk
materi disebut nafkah lahir. Dalam bahasa yang tepat nafkah itu
tidak ada lahir atau batin, yang ada adalah nafkah yang maksudnya
adalah hal-hal yyang bersifat lahiriah atau materi.

Pengertian nafqah menurut yang di sepakati para ulama adalah


belanja untuk keperluan makan yang mencakup Sembilan bahan
pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari hari disebut:
sandang, pangan, dan papan. Hukum membayar nafaqah untuk isteri,
baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban
itu bukan disebabkan oleh karna isteri membutuhkan bagi kehidupan
rumah tangga, tetapi kewajiban tersebut timbul karena ada akad yang
sah dalam sebuah perkawinan.

Ulama fiqih sepakat bahwa nafkah minimal yang harus


dikeluarkan adalah yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, yakni
makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Untuk kebutuhan yang
terakhir ini, menurut ulama fiqh tidak harus milik sendiri, melainkan
boleh dalam bentuk kontrakan, apabila tidak mampu untuk memiliki
sendiri.

C. Pandangan Ulama Tentang Peminangan, Mahar, Saksi Nikah dan


Hak Nafkah
1. Pandangan Ulama tentang Peminangan

Menurut ulama fikih, sebagai pendahuluan dari nikah, melakukan


pertunangan hukumnya adalah mubah (boleh), selama tidak ada
larangan syarak untuk menunang wanita tersebut. Alasan penetapan
hukum mubah terhadap pertunangan adalah firman Allah SWT dalam
surah al-Baqarah (2) ayat 235:

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 8


ۤ
ْٓ ِ ‫ﺿﺘُ ْﻢ ﺑِﻪ ٖ◌ ِﻣ ْﻦ ِﺧﻄْﺒَ ِﺔ اﻟﻨِّ َﺴﺎ ِء اَْو اَ ْﻛﻨَـْﻨـﺘُ ْﻢ‬
‫ﰲ اَﻧْـ ُﻔ ِﺴ ُﻜ ْﻢ ۗ َﻋﻠِ َﻢ ا ُّٰ اَﻧﱠ ُﻜ ْﻢ‬ ْ ‫ﺎح َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِْﻴ َﻤﺎ َﻋﱠﺮ‬
َ َ‫َوَﻻ ُﺟﻨ‬
ِ ‫َسﺘَ ْذ ُﻛ ُﺮْوَُ ﱠﻦ َوٰﻟ ِﻜ ْﻦ ﱠﻻ ﺗـُ َﻮ ِاﻋ ُﺪ ْوُﻫ ﱠﻦ ِسﺮا اِﱠﻻٓ اَ ْن ﺗَـ ُﻘ ْﻮﻟُْﻮا ﻗَـ ْﻮًﻻ ﱠﻣ ْﻌ ُﺮْوﻓًﺎ ەۗ َوَﻻ ﺗَـ ْﻌ ِﺰُﻣ ْﻮا ُﻋ ْﻘ َﺪ َة اﻟﻨِّ َﻜ‬
‫ﺎح َﺣ ّٰﱴ‬

‫ﺎﺣ َذ ُرْوﻩُ َۚو ْاﻋﻠَ ُﻤْٓﻮا اَ ﱠن ا َّٰ َﻏ ُﻔ ْﻮٌر َﺣﻠِﻴْ ٌﻢ‬ ِ ٓ ِ ‫ࣖ ﻳـﺒـﻠُ َﻎ اﻟْ ِﻜﺘٰﺐ اَﺟﻠَﻪ ٗ◌ ۗواﻋﻠَﻤٓﻮا اَ ﱠن ا ٰ ﻳـﻌﻠَﻢ ﻣﺎ‬
ْ َ‫ﰲ اَﻧْـ ُﻔﺴ ُﻜ ْﻢ ﻓ‬
ْ َ ُ ْ َ َّ ُْ ْ َ َ ُ َْ

Terjemahan: Dan tidak ada dosa bagimu meminang


perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu
sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi
janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan
mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata
yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah,
sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-
Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha
Penyantun.
Menurut para ahli fikih, sekalipun ayat ini terkait dengan masalah
pertunangan wanita yang berstatus dalam idah, namun keumuman
ayat ini menunjukkan bahwa melakukan penunangan itu hukumnya
adalah mubah (boleh). Namun Ibnu Rusyid dalam Bidayat al-
Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiry yang
mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan
pendapatnya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam
pertunangan.

Dalam hadis Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu
Daud dengan sanad yang dipercaya, Rasulullah SAW bersabda:

ِ ‫إذَا ﺧﻄَﺐ أَﺣ ُﺪ ُﻛﻢ اﻟْﻤﺮأَةَ ﻓَِﺈ ْن اسﺘَﻄَﺎع أَ ْن ﻳـﻨْﻈُﺮ ِﻣْﻨـﻬﺎ َإﱃ ﻣﺎ ﻳ ْﺪﻋﻮﻩ َإﱃ ﻧِ َﻜ‬
‫ﺎﺣ َﻬﺎ ﻓَـﻠَْﻴـ ْﻔ َﻌ ْﻞ‬ ُُ َ َ َ َ َ َ ْ َْ ْ َ َ َ

Artinya: “Bila salah seorang di antara kamu meminang seorang


perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong
untuk menikahinya, maka lakukanlah”. (HR. Abu Daud dan
dihasankan oleh al Baani)11

11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Edisi Pertama, Cetakan Ke-3 (Jakarta:
Kencana, 2011), h.55.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 9


Adapun Para ahli fikih berbeda pendapat tentang apa saja yang di
perbolehkan untuk dilihat oleh peminang dalam beberapa pendapat:

Jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyyah mereka


berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan kedua telapak
tangan, Hanafiyah menambahkan juga kedua telapak kaki. Sedangkan
ulama Hanabilah berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah apa-
apa yang biasanya nampak, seperti: wajah, kedua telapak tangan,
kepala, leher dan kedua kaki.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Hanabilah, karena


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat mengizinkan
seorang sahabatnya untuk melihat pinangannya tanpa
sepengetahuannya, diketahui bahwa beliau mengizinkannya untuk
melihat yang biasa nampak, karena tidak mungkin hanya melihat
wajahnya saja padahal selain wajah juga tampak di hadapan. dan yang
sering nampak itu adalah wajah dan yang serupa”. Tunangan itu
disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaanya
diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.

2. Pandangan Ulama tentang Mahar

Suami berkewajiban memberikan mahar kepada calon istrinya.


Mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberikan nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya. Selama
mahar itu bersifat simbolis atau sekedar formalitas, maka jumlahnya
sedikit pun tidak ada masalah. Hal ini sejalan dengan penjelasan
Rasulullah, “sebaik-baik maskawin adalah seringan-ringannya.”
Maksud dari hadits tersebut adalah, jangan sampai karena masalah
mahar menjadi faktor yang memberatkan bagi laki-laki, maka tidak
ada larangan bagi laki-laki yang mampu untuk memberikan sebanyak
mungkin mahar kepada calon istrinya. Namun, pernikahan pada
dasarnya bukanlah akad jual beli, dan mahar bukanlah menjadi harga
seorang wanita.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 10


Pada hakikatnya mahar ini bukan merupakan tujuan. Janganlah
berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita,
sesungguhnya yang mempunyai kemuliaan di dunia, atau mempunyai
ketakwaan di sisi Allah SWT adalah lebih utama dari kalian yaitu
Nabi Muhammad SAW dan apa yang aku ketahui dari Rasulullah
SAW ketika menikah dengan istri-istrinya, dan menikahkan putri-
putrinya tidak lebih dari 12 dirham.12

‫اَ ْﻋ ِﻄ َﻬﺎ‬: ‫ﺎل ﻟَﻪُ َر ُس ْﻮ ُل ﷲِ ص‬ ِ َ‫ﻟَ ﱠﻤﺎ ﺗَـﺰﱠوج ﻋﻠِﻲ ﻓ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫ﺎﻃ َﻤﺔَ ﻗ‬ ‫َ َ َ ﱞ‬ ٍ ‫َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒﱠ‬
َ َ‫ﺎس رض ﻗ‬

‫ﻚ اْﳊُﻄَ ِﻤﻴﱠﺔُ؟ اﺑﻮ داود و اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ‬ ِ َ َ‫ﻗ‬. ٌ‫ﻣﺎ ِﻋْﻨ ِﺪى َﺷ ْﻲء‬:
َ ُ‫اَﻳْ َﻦ د ْرﻋ‬: ‫ﺎل‬ َ ‫ﺎل‬
َ َ‫ﻗ‬. ‫َﺷْﻴـﺌًﺎ‬

Artinya: “Dari Ibnu Abbas berkata: “ketika Ali hendak menikahi


Fatimah Rasulullah Saw bersabda: berikanlah ia sesuatu
(sebagai maharnya). ia menjawab, aku tidak memiliki apa-apa.
Rasulullah bersabda: mana baju besimu. (H.R Abu Daud)”
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwasanya mahar
tidak harus berupa uang dan emas tetapi bisa juga dengan benda-benda
yang lain seperti cincin besi, sepasang sendal jepit dan lain-lain.
Mahar juga bisa berupa pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula


jumlah maksimum dari mahar, hal ini disebabkan oleh perbedaan
tingkatan kemampuan manusia dalam memberikanya orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberikan maskawin yang lebih
besar jumlahnya kepada calon istrinya sebaliknya, orang yang miskin
ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh karena itu,
pemberian mahar diberikan menurut kemampuan yang bersangkutan
disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan
menikahi untuk menetapkan jumlahnya.

Mukhtar kamal menyebutkan janganlah hendaknya ketidak


sanggupan membayar mahar karena besar jumlahnya menjadi
penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan. Pernyataan di

12
Muhammad Shuhufi, “Mahar dan Problematiknya (Sebuah Telaah Menuurt
Syari’at Islam)”, dalam Jurnal Hukum Diktum Volume 13, Nomor 2, Tahun 2015., h.126.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 11


atas dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya mahar tergantung pada
kebiasaan masyarakat setempat. Adapun jika ketika calon mempelai
laki-laki tidak sanggup memenuhi permintaan mahar dari pihak
perempuan maka mahar bisa di tentukan seusai dengan kesepakatan
bersama. Para fuqoha ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan
rukun dalam akad nikah namun ada juga yang berpendapat bahwa
mahar hanya merupakan Syarat sah nikah dan bukan rukun antara lain
yaitu:

a. Menurut Imam Syafi’iyah mahar merupakan kewajiban seorang


suami sebagai Syarat untuk memperoleh manfaat dari istri, baik
secara ekonomis maupun biologis.
b. Menurut Imam Malikiyah yang berpendapat bahwa mahar
adalah rukun dari akad nikah yang tidak adanya mengekibatkan
pernikahan tidak sah, akan tetapi sah pernikahanya walupun
tidak disebutkan mahar dalam akad nikah.
c. Menurut Imam Hanafiyah memaknai mahar sebagai suatu yang
tidak harus disebutkan pada akad nikah.
d. Menurut Asy- Syaukani mahar hanya kebiasaan lazim bukan
syarat ataupun rukun dari nikah, sedangkan hal yang bisa
dijadikan mahar adalah harta atau sesuatu yang secara hukum
dapat diambil manfaatnya.
3. Pandangan Ulama tentang Saksi Nikah

Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya,


karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama
menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada
kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu.
Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya)
dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah
(persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.13

13
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
h. 146.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 12


Syafi‟i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak
sah tanpa adanya saksi. “Imam Syafi‟i berkata: Tidak boleh bagi
bapak menikahkan anaknya yang perawan, dan tidak boleh bagi wali
selain bapak menikahkan perawan maupun janda yang sehat akalnya
hingga terdapat empat unsur, yaitu; pertama, keridhaan dari wanita
yang akan dinikahkan dan saat itu ia telah baligh. Adapun batasan
baligh adalah telah mengalami haid (menstruasi) atau usianya telah
cukup 15 tahun. Kedua, keridhaan laki-laki yang akan menikah dan
saat itu ia telah baligh pula. Ketiga, wanita itu harus dinikahkan wali
atau sultan (penguasa). Keempat, pernikahan ini disaksikan oleh dua
orang saksi yang adil. Apabila pernikahan tidak memenuhi salah satu
dari keempat unsur ini, maka pernikahan dianggap rusak (tidak sah)”.

Tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang


laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa
disyaratkan harus adil. Namun mereka berpendapat bahwa kesaksian
kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah.

Menurut Imam Malik dan para sahabatnya bahwa saksi dalam


akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. 14 “Imam Malik
dan para pengikutnya berpendapat bahwa kesaksian bukanlah sesuatu
yang diwajibkan dalam pernikahan”. Menurut mereka pernikahan
cukup dengan disebarkan dan diumumkan. Mereka mendasarkan
pendapat mereka dari jual beli, kesaksian tidak termasuk kewajiban
yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan praktik tersebut.

Adapun kesaksian di dalam pernikahan yang tidak pernah


disinggung langsung dalam quran akan lebih leluasa untuk tidak
dijadikan sebagai salah satu hal pokok yang harus dipenuhi, karena
inti dari kesaksian adalah pemberitahuan dan pemberitaan sehingga
hal itu dapat menyelamatkan keturunan dari ketidakjelasan nasab.

14
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, (Jakarta: Pena Pundi Akasara, 2010), h. 272.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 13


Mereka beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebut soal
mempersaksikan ketika langsungnya jual beli. Sebagaimana tersebut
di dalam Alquran bukan merupakan bagian dari syarat-syarat yang
wajib dipenuhi, Allah tidak menyebutkan di dalam Alquran tentang
adanya syarat mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu,
tentu lebih baik jika masalah mempersaksikan tidak termasuk salah
satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna
memperjelas keturunan.15

4. Pandangan Ulama tentang Hak Nafkah

Para ulama mengatakan suami wajib memberikan nafkah kepada


isterinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa
ayat: 34 sebagai berikut:

ِ ٰ َ‫ﺾ ﱠوِﲟﺎٓ اَﻧْـ َﻔ ُﻘﻮا ِﻣﻦ اَﻣﻮاﳍِِﻢ ۗ ﻓ‬ ِ ِۤ ِ


‫ﺖ‬ ّ ْ َ ْ ْ ْ َ ٍ ‫ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋ ٰﻠﻰ ﺑَـ ْﻌ‬
ُ ‫ﺎﻟﺼﻠ ٰﺤ‬ َ ‫ﱠﻞ ا ُّٰ ﺑَـ ْﻌ‬ ُ ‫اَ ِّﻟﺮ َﺟ‬
َ ‫ﺎل ﻗَـ ﱠﻮ ُاﻣ ْﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟﻨّ َﺴﺎء ﲟَﺎ ﻓَﻀ‬
ِ ‫ﻆ ا ٰ ۗوا ٰﻟِّﱵ َﲣﺎﻓُـﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْﻤﻀ‬
‫ﺎﺟ ِﻊ‬ ِ ِ ِ ‫ٰﻗﻨِﺘٰﺖ ٰﺣ ِﻔﻈٰﺖ ﻟِّﻠْﻐَﻴ‬
َ َ ُ ُْ ُ ْ َ ُ ْ ُ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ُّ َ ‫ﺐ ﲟَﺎ َﺣﻔ‬ ْ ٌ ٌ
‫اﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ۚ ﻓَﺎِ ْن اَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َسﺒِْﻴ ًﻼ ۗاِ ﱠن ا َّٰ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴﺎ َﻛﺒِ ْ ًﲑا‬
ْ ‫َو‬

Terjemahan: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum


wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”16
Adapun ketentuan nafkah yang di berikan suami terhadap istri
para ahli fiqh berbeda pendapat yaitu:

15
Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
h. 99.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 14


a. Imam Hambali dan Maliki mengatakan, bahwa apabila keadaan
suami istri berbeda yang satu kaya dan satunya miskin maka
besar nafkah adalah tengah tengah dari antar dua hal itu.
b. Imam Syafi’I berpendapat bahwa nafkah diukur berdasarkan
keadaan suami tanpa melihat keadaan istri.
c. Dikalangan Hanafi terdapat dua pendapat. Pertama,
diperhitungkan berdasarkan kondisi Suami-istri, dan kedua
berdasarkan suami saja.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 15


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum Perkawinan merupakan bagian dari Hukum Islam yang
memuat ketentuan tentang ihwal perkawinan. Yakni dijelaskan
bagaimana proses dan prosedur menuju terbentuknya ikatan perkawinan,
bagaimana cara menyelenggarakannya akad perkawinan menurut
hukum, bagaimana cara memelihara ikatan lahir batin yang telah di
ikrarkan.

Peminangan merupakan pendahuluan dalam perkawinan, dimana


sebelum terjadi ikatan suami istri disyari’atkan untuk melakukan
perkenalan (ta’aruf). Mahar adalah pemberian dari calon mempelai laki-
laki kepada calon mempelai perempuan, baik berbentuk barang, uang
atau jasa. Saksi adalah orang yang mempertanggung jawabkan
kesaksiannya dan mengemukakannya dimana ia menyaksikan peristiwa
yang orang lain tidak menyaksikannya. Nafkah merupakan kewajiban
suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, karena kata nafkah itu
sendiri berintonasi materi.

Menurut pandangan ulama peminangan adalah pendahuluan dari


nikah, dan peminangan hukumnya adalah mubah (boleh). Mahar
menurut pendangan imam syafi’iyah mahar adalah kewajiban. Saksi
menurut pandangan imam syafi’i di kutip dari perkataan beliau:
“pernikahan ini disaksikan oleh dua orang saksi yang adil”. Nafkah
menurut Imam syafi’i diukur berdasarkan keadaan suami tanpa melihat
keadaan istri.

B. Saran
Demikian persembahan makalah kami yang sangat amat penuh
dengan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari ibu
dosen dan juga teman-teman sangat kami harapkan demi perbaikan
makalah-makalah kami selanjutnya.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 16


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin, Slamet. Aminudin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia,


1999.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Edisi Pertama, Cetakan
Ke-3 (Jakarta: Kencana, 2011.
Dr. H. Kumedi Ja’far, S.Ag., M.H., Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,
Bandar Lampung: Arjasa Pratama, 2021.
Dwi, Tinuk Cahyani, S.H., S.HI., M. Hum, Hukum Perkawinan, Malang:
UMM Press, 2020.
Hasan, Mustofa. Pengantar Hukum Keluarga, Jakarta: PT Prenhallindo,
2011.
Hasan. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta: Raja GrafindoPersada,
2000.
Prof. Dr. Jamaluddin, S.H., M. Hum dan Nanda Amalia, SH, M. Hum, “Buku
Ajar Hukum Perkawinan, Sulawesi: Unimal Press, 2016.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah 3, Jakarta: Pena Pundi Akasara, 2010.


Slamet, Aminuddin Abidin. Fiqih Munakahat, Jakarta:PT Insan Citra, 1994.
Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung,
1989.

Jurnal

Hudaya, Hairul. “Hak Nafkah Isteri (Perspektif Hadits dan Kompilasi Hukum
Islam)”, Dalam Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 1 No.1, Januari-
Juni 2013.
Setiyowati, Rinda. “Konsep Mahar Dalam Perspektif Imam Syafi’I Dalam
Kompilasi Hukum Islam”, Dalam Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 7
No. 1 Januari - Juni 2020.

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 17


Shuhufi, Muhammad. “Mahar dan Problematiknya (Sebuah Telaah Menuurt
Syari’at Islam)”, dalam Jurnal Hukum Diktum Volume 13, Nomor 2,
Tahun 2015.

Pasal-Pasal

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Hukum Keluarga Di Negara-Negara Islam | 18

Anda mungkin juga menyukai