Anda di halaman 1dari 28

INDANYA MEMBANGUN MAHLIGAI RUMAH TANGGA

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Pendidikan Agama
Dosen Pengampu : Adam Sugiarto S.Pd.I.M.Pd.I

Disusun Oleh :

Nurul Fadilla 221011201921

Rahma Aura Selyta 221011201898

Resti Amanda 221011201918

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Indahnya Membangun Mahligai
Rumah Tanggga dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Pendidikan Agama
di Universitas Pamulang. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang hukum pernikahan dalam Islam .

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Adam


Sugiarto selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama. Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang ini. Juga diucapkan
terima kasih pada teman satu kelompok yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Tangerang Selatan, 17 September 2022

Kelompok 9
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR ...................................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 4

1.1. Latar belakang ....................................................................................... 5


1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 6
1.3. Tujuan Penyusunan Makalah ................................................................ 7

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 8

2.1. Pengertian, Rukun, Syarat Sah, Hukum serta Tujuan pernikahan dalam
Islam ...................................................................................................... 9
2.2. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Kehidupan Berumah Tangga... 10
2.3. Hukum Perceraian, Rujuk, dan Poligami dalam Islam ......................... 11

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 12

3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 13


3.2. Saran ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 15


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan
sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan pernikahan, sebagaimana
difirmankan Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya
bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah
yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah dalam pengertian
mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya
manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan
bahagia didunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah
SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali
dijelaskan di dalam al-Qur’an: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka".
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang timbul
sebagai berikut :
a. Bagaimana pengertian, rukun, dan syarat sah, hukum, dan tujuan
pernikahan dalam Islam?
b. Bagaimana kewajiban dan hak suami dan istri dalaM pernikahan?
c. Bagaimana hukum perceraian, rujuk dan poligami dalam islam?
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penyusunan makalah
adalah sebagai berikut :
a. Dapat mengetahui pengertian, rukun, syarat sah, dan hukum serta tujuan
pernikahan dalam Islam
b. Mengetahui kewajiban dan hak suami istri dalam kehidupan berumah
tangga
c. Mengetahui bagaimana hukum perceraian, rujuk dan poligami dalam
sebuah rumah tangga
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian, Rukun, Syarat Sah,Hukum serta Tujuan pernikahan dalam Islam

1. Pengertian Pernikahan dalam Islam

Dalam Al-qur'an dan hadist Nabi Muhammad Saw juga dalam kehidupan
sehari-hari orang arab sering memakai kata nikah dan zawaj yang artinya adalah
pernikahan atau perkawinan menurut literatur fiqh berbahasa arab. Menurut Islam
perkawinan adalah perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk membentuk
keluarga yang kekal, saling menyantuni, saling mengasihi, aman tenteram,
bahagia dan kekal antara seorang laki-laki dan perempuan yang disaksikan oleh
dua orang saksi laki-laki. Selain itu, perkawinan juga diatur dalam hukum Islam
harus dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara kedua belah pihak.
Pernikahan atau perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan, apabila
sesuatu sudah diikatkan antara yang satu dengan yang lain maka akan saling
ada keterikatan dari kedua belah pihak. (QS. Ad-Dhukhan: 54). Yang
artinya: “Demikianlah dan kami kawinkan mereka dengan bidadari.”.

Perkawinan sejatinya adalah sebuah perjanjian atau pengikatan suci antara


seorang laki-laki dan perempuan. Sebuah perkawinan antara laki-laki dan
perempuan dilandasi rasa saling mencintai satu sama lain, saling suka dan rela
antara kedua belah pihak. Sehingga tidak ada keterpaksaan satu dengan yang
lainnya. Perjanjian suci dalam sebuah perkawinan dinyatakan dalam sebuah ijab
dan qobul yang harus dilakukan antara calon laki-laki dan perempuan yang kedua-
duanya berhak atas diri mereka. Apabila dalam keadaan tidak waras atau masih
berada di bawah umur, untuk mereka dapat bertindak wali-wali mereka yang sah.
Menurut Abu Zahrah perkawinan dapat menghalalkan hubungan biologis antara
laki-laki dan perempuan, dengan adanya perkawinan ini maka laki-laki dan
perempuan mempunyai kewajiban dan haknya yang harus saling dipenuhi satu
sama lainnya sesuai syariat Islam. Perkawinan berasal dari kata dasar “kawin”
yang mempunyai makna bertemunya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin
wanita yang keduanya sudah memiliki aturan hukum yang sah dan halal sehingga
dapat memperbanyak keturunan. Seperti yang dituliskan dalam Firman Allah
SWT : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya,dan dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum ayat 21). Pernikahan adalah suatu akad yang
sangat kuat atau mitsaqaan ghalidzan untuk menaati perintah Allah untuk
melaksanakannya sebagai ibadah dan untuk menjalankan Sunnah Rosul sesuai
dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa perkawinan tersebut adalah perjanjian suci yang sangat kuat antara laki-
laki dan perempuan atas dasar kerelaan dan saling suka yang dilakukan oleh pihak
wali sesuai sifat,sehingga dapat menghalalkan kebutuhan biologis antara
keduanya dan dapat untuk meneruskan garis keturunan.

2. Rukun Pernikahan dalam Islam

Rukun merupakan hal pokok yang tidak boleh ditinggalkan atau


masuk di dalam substansi, berbeda dengan syarat yang tidak masuk ke dalam
substansi dan hakikat sesuatu. Rukun dalam pernikahan harus memperhatikan hal-
hal pokoknya yang tidak boleh ditinggalkan, sebagai berikut :

a. Wali

Dalam sebuah pernikahan bahwa wali merupakan salah satu rukun yang harus
ada. Wali berasal dari pihak perempuan yang akan dinikahkan kepada
pengantin laki-laki. Karena kemutlakan adanya wali dalam sebuah akad
nikah adalah menghalalkan kemaluan wanita yang wanita tersebut tidak mungkin
akan menghalalkan kemaluannya sendiri tanpa adanya wali. Salah satu rukun
nikah yaitu wali juga terdapat dalam HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu
Majah bahwa “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka
nikahnya batal, batal, batal.” Adanya wali merupakan suatu yang harus ada,
apabila wanita tersebut tidak mampu menyediakan wali dari pihaknya atau
seorang yang dapat menjadi hakim maka ada tiga cara, yaitu :

- wanita tersebut tetap tidak dapat menikah tanpa ada wali.


- wanita tersebut dapat menikahkan dirinya sendiri karena keadaan
darurat.
- wanita menyuruh kepada seseorang untuk menjadi wali atau mengangkat
wali (hakim) untuk dirinya ketika akan menikah menurut Imam Nawawi
seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi.

Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan (dalam


perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia
memperwalikan seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka yang demikian
itu diperbolehkan. Hal ini dapat disamakan dengan memperwalikan seseorang
hakim (penguasa Negara atau pejabat yang mewakilinya) dikala tidak terdapat
seorang wali nikah yang sah".

b. Dua Orang Saksi

Rasulullah sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Tidak ada nikah kecuali


dengan wali dan dua saksi yang adil. ”(HR Al-Baihaqidan Ad-. Asy-Syaukani
dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist dikuatkan dengan hadits-hadits lain)”
Perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi, menurut golongan syafi’i
pernikahan yang dilakukan oleh saksi apabila belum diketahui adil atau tidaknya
maka akan tetap sah. Karena pernikahan tidak semua tempat ada, di
kampung, daerah terpencil ataupun kota sehingga tidak dapat disama ratakan.
Pada saat itu adil dapat dilihat dari segi lahiriahnya wali tidak terlihat fasik, jika
terlihat fasik maka akad nikah yang telah terjadi tidak akan terpengaruh. Dalam
pernikahan hadirnya seorang saksi adalah rukun yang harus dipenuhi, karena
apabila pernikahan tanpa adanya saksi maka pernikahan tersebut tidak sah.
Meskipun dalam pernikahan tersebut diumumkan kepada kalayak ramai maka
pernikahan tersebut tetap tidak sah. Berbeda dengan sebaliknya, apabila
pernikahan tanpa diumumkan di kalayak ramai tetapi terdapat saksi dalam
pernikahan tersebut maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini karena saksi
sangat penting untuk ke depannya apabila nanti ada sengketa antara suami dan
istri, maka saksi yang akan diminta keterangannya. Seperti dalam hadis Nabi
yang artinya : “Telah menceritakan Yusuf bin Hammad al-Mughl al-Bashri, telah
menceritakan Abd al-‘Ala dari Said dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibn
Abbas, sesungguhya Rasulullah telah bersabda “Pelacur adalah perempuan-
perempuan yang mengawinkan tanpa saksi”. Saksi nikah pun diatur juga di dalam
Kompilasi Hukum Islam di beberapa pasal, sebagai berikut: Pasal 24, ayat (1)
menyatakan saksi dalam perkawinan adalah rukun dalam akad nikah. Ayat (2)
pernikahan harus di saksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25, yang ditunjuk
menjadi saksi adalah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu
ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26, bahwa saksi harus hadir
dan menyaksikan langsung pernikahan tersebut dan ikut menandatangani akta
nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.

c. Ijab dan Qabul

Ijab qobul merupakan salah satu rukun nikah yang harus


dilaksanakan, ijab mempunyai makna penyerahan dari pihak pertama, sedangkan
qobul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali perempuan
mengucapkan,misalnya : “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A
kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.” Qabul adalah
penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya
anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.”Ijab dan qabul juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam
Pasal 27 dan 29,sebagai berikut: Pasal 27 yang berbunyi, Ijab dan kabul antara
wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Pasal 29 yang berbunyi, ayat (1) yang mengucapkan qobul adalah calon
mempelai laki-laki sendiri. (2) qobul dalam hal tertentu dapat diwakilkan kepada
pihak lain dengan syarat mempelai laki-laki memberikan kuasa secara tegas dan
tertulis untuk mewakilkannya. (3) apabila calon mempelai wanita atau walinya
keberatan jika dikuasakan maka pernikahan tidak dapat berlangsung.
d. Calon Suami

Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki, seorang laki-laki


telah memenuhi persyaratan yang disebutkan oleh Imam Zakaria al-Anshari
dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal.
42: “Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri yakni Islam dan
bukan mahram, tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri
baginya.” Dan dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk
dinikahi seperti pertalian nasab, pertalian kerabat semenda, pertalian sesusuan
dan wanita tersebut masih terikat dengan pernikahannya, seorang wanita
dalam masa iddah dan seorang wanita yang tidak beragama islam dan seorang
pria diilarang menikah dengan wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) orang istri dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
dan dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili`an. Dan itu semua sudah
diatur juga di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dalam Pasal 39-43.

e. Calon Istri

Calon istri adalah rukun yang harus dipenuhi, wanita yang masih terdapat
pertalian darah, hubungan sepersusuan atau kemertuaan haram untuk dinikahi.
Diatur pasal 44, bahwa wanita Islam dilarang menikah dengan pria yang tidak
beragama Islam.

3. Syarat Pernikahan dalam Islam

Syarat merupakan dasar yang harus dipenuhi untuk menentukan sah


atau tidaknya. Seperti halnya syarat dalam perkawinan juga harus dipenuhi
karena akan menimbulkan kewajiban dan hak suami istri untuk menjalin
kehidupan rumah tangga kedepannya. Syarat ini harus dipatuhi oleh kedua
mempelai dan keluarga mempelai. Apabila ada syarat yang tidak ada maka akad
akan rusak. Syarat nikah ada tiga yaitu : adanya persaksian, bukan mahrom dan
adanya akad nikah. Akad nikah merupakan hal pokok yang mengharuskan adanya
saksi yang hukumnya sah menurut syariat. Saksi dalam pernikahan bertujuan
untuk mengingat agar tidak lupa di kemudian hari. Selanjutnya, Syarat keharusan
nikah maksudnya syarat-syarat yang menimbulkan keberlangsungan dan
kontinuitas pernikahan dan tidak ada pilihan bagi salah satunya untuk
menghindarinya. Jika salah satu dari syarat tersebut cacat, rusaklah akad. Para
Fuqaha’ mempersyaratkan keharusan akad nikah dengan beberapa syarat. Adapun
syarat dalam akad nikah harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

a. Orang yang menjadi wali adalah orang yang tidak ada atau kurang keahlian
salah satu dari pihak orang tua atau anak.

b. Wanita baligh dan berakal, menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali,
adapun hak wali dalam akad ada dua syarat, yaitu suami harus sekufu atau
tidak lebih rendah kondisinya dari wanita, dan mahar akad sebesar mahar mitsil
atau kurtang dari mahar mitsil apabila wali ridho.

c. Tidak adanya penipuan dari masing-masing pihak.

d. Tidak ada cacat sehingga dari pihak suami yang memperbolehkan faskh
seperti penyakit kritis berbahaya.

4. Hukum Pernikahan dalam Islam

Hukum pernikahan memilki dua makna yaitu sifat syara’pada sesuatu


(seperti wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah), dan akibat yang ditimbulkan
sesuatu menurut syara’. Dalam hukum pernikahan ini, suami mempunyai
kewajiban terhadap mahar dan nafkah terhadap istri, sedangkan istri mempunyai
kewajiban untuk taat pada suami dan menjaga pergaulan dengan baik. Hukum
taklifi atau pembebanan adalah hukum yang ditetapkan syara’ apakah dituntut
mengerjakan atau tidak. Pernikahan itu lebih dari sekedar urusan kepentingan
pribadi, tetapi juga untuk beribadah, melindungi wanita, memperbanyak
keturunan dan umat serta menjalankan sunah Rosul. Sedangkan secara rinci
hukum pernikahan yaitu:

1. Wajib
Wajib apabila sesorang telah mampu baik fisik maupun finansial, apabila tidak
segera menikah dikhawatirkan berbuat zina.

2. Sunnah

Apabila nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan menikah tetapi


masih dapat menahan diri.

3. Makruh

Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi istrinya.

4. Mubah

Orang yang hendak menikah tetapi masih mampu menahan nafsunya dari zina dan
dia belum berniat untuk segera menikah dan mempunyai anak.

5. Haram

Haram hukumnya apabila menikah akan merugikan istrinya dan tidak mampu
menafkahi baik lahir maupun batin.

Di samping hukum dalam pernikahan, terdapat pula anjuran dalam pernikahan


yakni :

Peratama, sunnah Para Nabi dan Rasul "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri
dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat
melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).

Dan hadis Nabi:

Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan
sunnah para rasul : Hinna, berparfum, siwak dan menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
Kedua, Nikah merupakan bagian dari tanda kekuasan Allah "Dan di antara tanda-
tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. "Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Al Ruum/29 : 21)

Ketiga, salah satu jalan untuk menjadi kaya "Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
luas lagi Maha Mengetahui.(QS.Al Nur/24 : 32)

Keempat, nikah merupakan ibadah dan setengah dari agama. Dari Anas ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri
shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia
tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR.Thabarani dan Al-Hakim 2/161).

Kelima, tidak ada pembujangan dalam Islam. Islam berpendirian tidak ada
pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan.
Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada
perbuatan zina. Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang
bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin
dan melarang hidup membujang dan kebiri. Seorang muslim tidak halal
menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi
berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya
dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan
hubungan dengan duniawinya. Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat
Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan
perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang.
Maka Rasulullah SAW dengan nada marah lantas ia berkata: 'Sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat
terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu
akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu
menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka
Allah pun akan meluruskan kepadamu. Kemudian turunlah ayat: Hai orang-orang
yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang
dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas,karena
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS. Al
Maidah/5: 87)

Keenam, menikah itu ciri khas makhluk hidup Selain itu secara filosofis, menikah
atau berpasangan itu adalah merupakan ciri dari makhluk hidup. Allah SWT telah
menegaskan bahwa makhluk-makhluk ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk
berpasangan satu sama lain. Sebagaimana dalam firman Allah yang artinya : “Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.”(QS. Az-Zariyat : 49)

5. Tujuan Pernikahan dalam Islam

Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan


syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini.
Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini :

Pertama, Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam


sabdanya: “Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu
untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
Kedua, Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi
subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah
kalian di hadapan umat-umat yang lain.”

Ketiga, Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan


pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah
Subhanahuwa Ta'ala memerintahkan: “Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-
laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata
mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-
Nur: 30-31)

2.2 Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Kehidupan Berumah Tangga

1. Hak dan kewajiban Istri atas Suami


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa perkawinan merupakan sarana agama
untuk menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan sehingga
tidak terjerumus dalam perzinaan. Dalam proses pelegalan hubungan badaniyah
(perkawinan yang sah) inilah kemudian muncul hak dan kewajiban bagi seorang
perempuan (istri) yang dirumuskan dalam bagan sederhana sebagaimana berikut,
yaitu

Hak Kewajiban

Hak mendapatkan mahar Taat dan patuh kepada suami

Hak mendapatkan perlakuan yang Mengatur rumah dengan sebaik-


ma’ruf dari suami baiknya

Dijaga nama baik oleh si suami Menghormati suami

Hak mendapatkan nafkah Menghormati keluarga suami dan lain-


lain

2. Hak dan Kewajiban Suami atas Istri

Adapun hak suami yaitu :

1. Ditaati perintahnya
Hak suami terhadap istri yang pertama ialah ditaati perintahnya, namun
dalam hal kebaikan. Saking pentingnya, ketaatan seorang istri pada suami
bahkan termasuk salah satu hal yang dapat menyebabkannya masuk surga
2. Melayani kebutuhan suami
Salah satu kewajiban yang harus dipatuhi istri ialah melayani kebutuhan
suami, terutama melakukan hubungan intim. Seorang istri tidak boleh
menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim, kecuali
dalam kondisi uzur syar'i seperti haid, puasa Ramadan, sakit, dan
sebagainya. Serta pelayanan lainnya seperti Hak suami terhadap istri
dalam ajaran Islam selanjutnya ialah soal penampilan. Seorang istri harus
menjaga penampilannya agar tetap cantik, wangi, dan berpenampilan
menarik di hadapan suaminya agar bisa menyenangkan hati suami.

Adapun yang menjadi hak istri atau bisa juga dikatakan kewajiban suami terhadap
isteri adalah sebagai berikut:

1. Memberi mahar
Menurut Mutafa Diibul Bigha, Mahar adalah harta benda yang harus
diberikan oleh seorang laki-laki (calon suami) kepada perempuan (calon
isteri) karena pernikahan.
2. Memberi nafkah
Nafkah berasal dari bahasa arab (an-nafaqah) yang artinya pengeluaran.
Yakni Pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk
sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya.
3. Menggauli istri secara baik.
Menggauli istri dengan baik dan adil merupakan salah satu kewajiban
suami terhadap istrinya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran surat
an-Nisa ayat 19 yang berbunyi:

َ‫ْض َم^ ۤ^ا ٰاتَ ْیتُ ُم^^وْ ه َُّن اِاَّل ۤ اَ ْن یَّاْتِ ْین‬ ُ ‫ٰۤیاَیُّهَا الَّ ِذ ْینَ ٰا َمنُوْ ا اَل یَ ِحلُّ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسآ َء كَرْ هًاؕ َواَل تَ ْع‬
ِ ‫ضلُوْ ه َُّن لِت َْذهَبُوْ ا بِبَع‬
‫فَا ِ ْن َك ِر ْهتُ ُموْ ه َُّن فَ َع ٰۤسى اَ ْن تَ ْك َرهُوْ ا َشیْــٴًـا َّویَجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْی ِه َخ ْیرًا َكثِ ْیرًا‬-‫ف‬
ِ ۚ ْ‫بِفَا ِح َش ٍة ُّمبَیِّنَ ٍ^ة َوعَا ِشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.”
4. Memberikan cinta dan kasih sayang kepada istri.
Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Ar Rum ayat 21 di atas
pada kalimat

ًؕ‫َو َج َعلَبَ ْینَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمة‬

dapat juga dimaknai bahwa seorang suami wajib memberikan cinta dan
kasih sayang kepada istrinya yang terwujud dalam perlakuan dan
perkataan yang mampu membuat rasa tenang dan nyaman bagi istri dalam
menjalankan fungsinya sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga. Adapun
bentuk perlakuan tersebut bisa berupa perhatian, ketulusan, keromantisan,
kemesraan, rayuan, senda gurau, dan seterusnya.

3. Hak Bersama

Hak bersama suami istri adalah hak yang melekat pada kedua belah pihak
yang harus dilakukan dengan penuh kesadaran, tanpa adanya paksaan dan
intervensi dari pihak manapun. Menurut Sayyid Sabiq, hak bersama antara suami
dan istri meliputi hal-hal sebagaimana berikut, yaitu:

a. Menikmati hubungan seksual. Hubungan seksual yang terjadi antara suami istri
adalah merupakan hubungan timbal balik yang harus dilakukan bersama-sama
dengan penuh perasaan dan kerelaan atas dasar kasih sayang yang tulus. Salah
satu pihak tidak bisa memaksanakan kehendaknya atas yang lain karena hubungan
seksual tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh salah satu pihak saja.
b. Antara suami dan istri sama-sama dilarang melakukan pernikahan dalam jalur
keturunan. Artinya, seorang istri haram dinikahi oleh ayah dari suaminya,
kakeknya, anak-anaknya dan cucu-cunya. Demikian juga suami tidak bisa
menikahi ibu dari istrinya, anak perempuannya dan cucu-cucunya.

c. Menasabkan anak (keturunan) pada suami yang sah. Baik dalam kondisi masih
dalam hubungan suami istri atau setelah perceraian, nasab anak akibat hubungan
perkawinan yang sah tetap melekat pada suami (sebagai ayah yang sah).

d. Baik suami ataupun istri wajib memperlakukan pasangannya dengan baik


sehingga memunculkan kemesraan antara keduanya.

e. Hak mendapatkan warisan, yaitu bahwa suami ataupun istri berhak


mendapatkan warisan jika salah satu dari keduanya meninggal dunia. Baik suami
atau istri akan mendapatan hak warisan tanpa penghalang.

2.3 Hukum Perceraian, Rujuk, dan Poligami dalam Islam

1. Perceraian

a) Pengertian Perceraian
Kata "cerai" dalam KBBI berarti : Pisah, Putus hubungan sebgai suami
istri ; talak. Kemudian, kata "perceraian" mengandung arti : Perpisahan,
Perihal bercerai (antara suami istri) ; perpecahan. Adapun kata "bercerai"
berati : Tidak bercampur (berhubungan,bersatu, dsb) lagi, Berhenti
berlaki-bini(suamu-istri).
Perceraian dalam Islam dikenal dengan istilah talak (țalaq), Kata Țalaq
diambil dari kata ițlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan,
semakna dengan kata talak, adalah al-irsȃl atau tarku, yang berarti
melepaskan dan menanggalkan,yaitu melepaskan tali perkawinan
mengakhiri hubungan suami isteri; atau secara harfiah berarti
membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk
menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan.
Meskipun Islam memperkenankan perceraian, jika terdapat alasan-alasan
yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam
keadaan yang mendesak. Talak bukanlah sebuah larangan, namun sebagai
pintu terakhir dari rumah tangga, ketika tidak ada jalan keluar lagi.
Sebagaimana HR. Abu Daud dari Ibnu Umar:

‫عن ابن عمر قال قال رسول هلال ) صلى هلال عليه وسلم ( إن‬

18 ‫(أبغضاحاللالىلهلالعزوجاللطالقـ )رواهأبوداود‬

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: Țalaq, adalah merupakan


perkara halal yang paling dibenci oleh Allah". (HR Abu Daud, dan
dinyatakan şaheh oleh al-Hakim).
b) Rukun talak
Menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:
1. Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang
menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya)
ataupun wali, jika ia masih kecil.
2. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak
itu sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal sharih
atau lafal kinayah yang jelas.
3. Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu mesti
terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu pernikahan yang sah.
4. Adanya lafal, baik bersifat şarih (gamblang/ terang) ataupun termasuk
kategori lafal kinayah.

c) Macam-macam Talak
Talak dibagi kepada dua macam, sebagai berikut:
1. Talak Raj’i adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk
merujuk isteri tanpa kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada
isteri yang telah digauli. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri
sebagai talak satu atau dua, yang di ikrarkan di depan sidang
pengadilan, dan suami diperbolehkan merujuk’nya bila masih dalam
masa iddah, tanpa diharuskan nikah baru. Hal ini sesuai dengan firman
Allah, QS. Al- Baqarah (2):229 “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikannya dengan cara yang baik”
2. Talak Ba’in secara etimologi, ba’in adalah nyata, jelas, pisah atau
jatuh, yaitu talak yang terjadi karena isteri belum digauli oleh suami,
atau karena adanya bilangan talak tertentu (tiga kali), dan atau karena
adanya penerimaan talak tebus (khulu’), meskipun ini masih
diperselisihkan fuqaha, apakah khulu’ ini talak atau fasakh. Talak
ba’in dibagi menjadi dua macam, yaitu ba’in şugra dan ba’in kubra.
- Ba’in şugra adalah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari
bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru (tajdid an-
nikah) kepada bekas isterinya. Yang dimaksud menghilangkan hak-hak
rujuk, seperti suami tidak diperkenankan rujuk kepada isterinya yang
ditalak, hingga masa iddahnya habis. Suami diperbolehkan kembali
kepada isterinya namun diharuskan nikah baru (tajdid an nikah) dan
juga mahar baru (tajdid al mahr).
- Ba’in kubra adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk nikah
kembali kepada isterinya, kecuali kalau bekas isterinya telah kawin
dengan laki-laki lain dan telah berkumpul sebagaimana suami isteri
secara nyata dan sah, dan juga isteri tersebut telah menjalani masa
iddahnya serta iddahnya telah habis pula. Allah berfirman QS. Al-
Baqarah (2): 230 “maka apabila suami mentalaknya, sesudah talak
yang kedua, maka perempuan itu tidak halal baginya sampai dia kawin
dengan suami yang lain”.

2. Rujuk

a) Pengertian Rujuk dalam Hukum Islam


Rujuk berasal dari bahasa arab yaitu raja'a - yarji'u - ruju'an yang
berarti kembali atau mengembalikan. Rujuk menurut istilah adalah
mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi
thalak raj‟i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya
dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Pada dasarnya para ulama madzhab sepakat, walaupun dengan redaksi
yang berbeda bahwa rujuk adalah kembalinya suami kepada istri yang
dijatuhi talak satu dan atau dua, dalam masa iddah dengan tanpa akad
nikah yang baru, tanpa melihat apakah istri mengetahui rujuk
suaminya atau tidak, apakah ia senang atau tidak, dengan alasan bahwa
istri selama masa iddah tetapi menjadi milik suami yang telah
menjatuhkan talak tersebut kepadanya.
b) Dasar Hukum Rujuk dalam Islam
Adapun dasar hukum rujuk terdapat dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah,
yaitu :
1). Al-Qur‟an
a. Q.S. Al-Baqoroh ayat 228: Yang Artinya: “Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟ tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
b. Q. S. Al-Baqoroh ayat 231: Yang Artinya :“Apabila kamu mentalak
istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma‟ruf , atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang ma‟ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat
zalim terhadap dirinya janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah
permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As
Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah
bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”
2). Rujuk Bersadarkan As-Sunnah
a. Sabda Nabi Saw. Dalam kisah umar, hadits riwayat Bukhari dan
muslim. Yang Artinya: “Diriwayatkan dari ibnu umar r.a berkata.
“sesungguhnya dia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid.
Khusus itu terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Kemudian masalah itu
ditanyakan oleh Umar bin Al-khathab kepada Rasulullah Saw, Ia Lalu
beliau bersabda, “perintahkan supaya dia rujuk (kembali) kepada
istrinya, kemudian menahannya sampai istrinya suci, kemudian haid
slagi, kemudian suci lagi kemudian apabila mau, dia dapat
menahannya ataupun menceraikannya, asalkan dia belum
mencampurinya, itulah tempo iddah yang diperintahkan oleh Allah
yang maha mulia lagi maha agung bagi yang diceraikan.
c) Rukun dan Syarat Rujuk dalam Islam
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk
terlaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut.Di antara rukun dan
syarat-syarat rujuk tersebut adalah sebagai berikut :
1). Istri, keadaan istri disyaratkan sebagai berikut:
a. Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak,
terus putus pertalian antara keduanya,jika istri dicerai belum pernah
dicampuri, maka tidak sah rujuk, tetapi harus dengan perkawinan baru
lagi.
b. Istri yang tertentu. Kalau suami menalak beberapa istrinya,
kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak
ditentukan siapa yang dirujukkan, rujuknya itu tidak sah.
c. Talaknya adalah talak raj’i. jika ia ditalak dengan talak tebus atau
talak tiga, ia talak dapat dirujuk lagi. Kalau bercerainya dari istri secara
fasakh atau khulu atau cerai dengan istri yang ketiga kalinya, atau istri
belum pernah dicampuri, maka rujuknya tidak sah.
d. Rujuk itu terjadi sewaktu istri masih dalam iddah talaq raj’i. laki-
laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya
secara thalaq raj’i, selama masih berada dalam iddah. Sehabis iddah itu
putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi
boleh dirujuknya.
2). Suami
Rujuk itu dilakukan oleh suami atas kehendak sendiri, artinya bukan
atau laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk
yang dia miliki dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan
laki-laki yang merujuk mestilah seseorang yang mampu melaksanakan
pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya
dan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih
belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak ada rujuk yang dilakukan.
Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak
sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja
minum yang memabukan, ulama beda pendapat sebagaimana beda
pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang
mabuk.
3). Saksi
Dalam hal ini Para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu
wajib menjadi rukun atau sunah. Sebagian mengatakan wajib,
sedangkan yang lain mengatakan tidak wajib, melainkan hanya sunah.
4). Ada ucapan rujuk yang diucapkan oleh laki-laki yang merujuk
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami.
Tindakan sepihak itu didasarkan kepada pandangan ulama fiqh bahwa
rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak khusus itu
dipahami dari firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228. Oleh
karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan penerimaan dari
pihak perempuan yang dirujuk, atau walinya. Dengan begitu rujuk
tidak dilakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk
hanya diperlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang
merujuk.

3. Poligami
a) Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dari kata poly yang
berarti banyak dan gamien yang berarti kawin, jika digabungkan
akan berarti suatu perkawinan yang banyak (Bibit suprapto, 1990:
61). Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’adud al-zawajah.
Poligami diartikan dengan perkawinan yang dilakukan dengan
beberapa pasangan pada waktu bersamaan.
a. Dasar Hukum Poligami
Al-Qur’an surah al-Nisa ayat 3: yang artinya “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adi, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Q.S. al-Nisa
[4]: 3). Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan tidak
mungkin dapat dicapai jika berkaitan dengan perasaan atau
hati dan emosi cinta. Keadilan yang harus dicapai adalah keadilan
materi semata-mata, sehingga seorang suami yang poligami
harus menjamin kesejahteraan istri-istrinya dan mengatur waktu
gilir secara adil.
b) Dasar untuk Berpoligami
Sejak masa Rasulullah Saw, Sahabat, Tabi’in, periode ijtihad dan
setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua ayat
akhkam yaitu surat an-Nisâ’ayat 3 dan 129 itu sebagai berikut :
1.Perintah Allah SWT, “maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi”, difahami fi’il amar (kata perintah) fankihû
sebagai perintah ibâhah(boleh), bukan wajib. Pilihan boleh ini
menunjukkan memiliki hak untuk lebih dari satu tapi
dianjurkan tetap satu jika tidak mampu. Ahli bahasa dan tafsir juga
sepakat bahwa ayat tersebut sifatnya memiliki batas
diperbolehkan.
2. Poligami berlaku seperti halnya pernikahan yang memiliki
jangka dan waktu dalam akad dan bersifat darurat bukan
karena nafsu atau keinginan memperkaya diri.
3.Asas keadilan bukan hanya dilihat dari kesiapan dan mampu
dari segi ekonomi saja (nafkah), melainkan mampu memenuhi
dan menyenangkan istri-istrinya dan tidak berperilaku zhalim.
Jika hal tersebut terjadi, maka lebih baik satu istri saja.
Sebagaimana firman Allah, “Kemudian jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki”.
4.Mafhum mukhâlafah dari syarat adil tersebut adalah jika muncul
kekhawatiran tidak bisa berlaku adil dalam memenuhi hak-hak istri
yang kawin lebih dari satu, makaasas monogami wajib. Bila
tetap memaksakan diri, maka ia berdosa meskipun perkawinannya
tetap sah.
c) Dasar Sosial Kebolehan Poligami
Secara umum,al-Qur’an dan hadits memperbolehkan praktik
poligami ini. Dari pendekatan sosial ada beberapa keadaan secara
sosial masyarakat yang merupakan pemecahan terbaik bagi
diperbolehkannya poligami.
1)Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya seperti
lumpuh, ayan atau penyakit menular. Dalam keadaan ini,maka
akan lebih baik bila ada istri yang lain untuk memenuhi dan
melayani berbagai keperluan si suami dan anak-anaknya.
Kehadirannya pun akan turut membantu istri yang sakit itu.
2). Bila si istri terbukti mandul dan setelah melalui pemeriksaan
medis, para ahli berpendapat bahwa dia tak dapat hamil, maka
sebaiknya suami menikah lagi untuk mendapatkan istri kedua
sehingga dia mungkin akan memperoleh keturunan, karena
anak merupakan permata kehidupan.
3). Bila istri sakit ingatan. Dalam hal ini tentu suami dan anak-anak
sangat menderita.
4). Bila istri telah lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga
tak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri,
memelihara rumah tangga dan melayani suaminya.
5). Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memiliki sifat yang
buruk dan tak dapat diperbaiki, maka secepatnya dia menikahi istri
yang lain.
6). Bila dia minggat dari rumah suaminya dan membangkang
sedangkan si suami merasa sakit untuk memperbaikinya.
7). Pada masa perang dimana kaum lelaki terbunuh meninggalkan
wanita yang sangat banyak jumlahnya, maka poligami dapat
berfungsi sebagai jalan pemecahan terbaik.
8). Bila lelaki itu merasa bahwa dia tak dapat bekerja tanpa
adanya istri kedua untuk memenuhi hajat syahwatnya yang
sangat kuat serta dia memiliki harta yang cukup untuk
membiayai, maka sebaiknya dia mengambil istri yang lain.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan


seorang perempuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, tenteram,
dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang, dengan menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan itu sah apabila telah memenuhi
rukun dan syaratnya. Hukum dalam melakukan perkawinan itu ada 5 yaitu wajib,
sunnah, makruh, mubah, haram, hukum perkawinan tersebut tergantung pada
manusia atau seseorang dalam kemampuan fisik, finansial maupun menahan
nafsunya

Dalam kehidupan saja manusia memiliki hak dan kewajibannya, begitu


pula dalam menjalankan hubungan berumah tangga tentunya baik suami maupun
istri memliki hak dan kewajiban terhadap pasangannya

Akan ada saja masalah yang muncul ketika sesorang membangun mahligai
rumah tangga seperti perceraian, berpoligami, dan hasrat ingin kembali kepada
pasangan (rujuk). Semua hal itu telah diatur dalam Islam,mulai dari hukum,
syarat, maupun rukunnya.

3.2 Saran

Dalam pandangan Al-Quran disyari’atkan pernikahan adalah bertujuan


untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang bersifat
langgeng.

Untuk mempertahankan kelanggengan kehidupan rumah seperti tersebut di


atas juga tercermin baik dalam kitab fiqh maupun dalam perundang-undangan
negara-negara muslim dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA

Musyafah, A. A. (2020).Perkawinan Dalam Prespekif Filosofis Hukum Islam.


_Credipo,2_(2). 111-112.

Nurani, S. M. (2021). Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam). Al-Syakhsiyyah: Journal of Law
& Family Studies, 3(1), 98-116.

Muhammad Syaifuddin, S. H., Sri Turatmiyah, S. H., & Annalisa Yahanan, S. H.


(2022). Hukum perceraian. Sinar Grafika.

Abror, H. K., & MH, K. (2020). Hukum perkawinan dan Perceraian.

HUSNAH, M. A. (2018). MEKANISME RUJUK DALAM PERSPEKTIF


HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (STUDI KOMPARATIF) (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri" Sultan Maulana Hasanuddin" Banten).

Ichsan, M. (2018). Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam (Kajian Tafsir


Muqaranah). JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 17(2), 151-159.

Hafidzi, A. (2017). Prasyarat Poligami Dalam Kitab Fiqih Islam Dan Kompilasi
Hukum Islam Perspektif Maslahah Mursalah. Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan
Perundangan Islam, 7(2), 366-392.

Nurhayati, A. (2011). Pernikahan dalam perspektif Alquran. Asas, 3(1).

https://www.academia.edu/37153260/PERNIKAHAN_DALAM_ISLAM_Wahyu

https://www.popbela.com/relationship/married/windari-subangkit/hak-suami-
terhadap-istri-dalam-ajaran-islam/1

https://pa-palangkaraya.go.id/hak-dan-kewajiban-suami-isteri-dalam-perspektif-
al-quran/ "HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR’AN (Oleh : H. Muammar, S.H.I)"

Anda mungkin juga menyukai