Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PERNIKAHAN DAN HARTA PENINGGALAN


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah agama islam
Dosen pengampu : Gilang Maulana Jamaludin M.P,d

Disusun Oleh :
Kelompok 6 PGSD 1F
Ikhsanul Mutakin (2322101150)
Dita Puspa Frasandy (2322101114)

UNIVERSITAS MAJALENGKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat kebaikan-Nya
kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.Tidak lupa, tim
penyusun atau kelompok enam ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak selaku dosen
Agama yang sudah membantu kami dalam proses penggarapannya

Makalah yang berjudul “Pernikahan Dan Harta Peninggalan” disusun oleh kami selaku kelompok
enam untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama melewati proses panjang, kami pun yang
beranggotakan Dua orang Sedikitnya Bisa Mengetahui Tentang Pernikahan Dan Harta
peninggalan.

Semoga hal-hal yang sudah kami dapatkan bisa diwujudkan dan berdampak banyak bagi kita
semua.

Kami pun mengetahui jika makalah yang sudah digarap masih jauh dari kata sempurna. Masih
banyak kekurangan sehingga kami sangat berharap saran dan kritiknya kepada kami agar di
kemudian hari kami bisa membuat satu makalah yang lebih berkualitas.

Terakhir, semoga makalah berikut bisa mempunyai dampak dan manfaat bagi kita semua.

Majalengka 08 Desember 2023.

Penyusun kelompok enam


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ I
DAFTAR ISI ......................................................................................................II
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG..............................................................................III
B. RUMUSAN MASALAH ......................................................................... IV
BAB 2 PEMBAHASAN
A. PERNIKAHAN ........................................................................................V
a. Pengertian pernikahan ....................................................................V
b. Rukun nikah ...................................................................................VII
c. Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam ...................................XI
d. Hukum Pernikahan Atau Perkawinan Dalam Islam ......................XII
B. HARTA PENINGGALAN ......................................................................XIII
a. Harta Bawaan ................................................................................XV
b. Harta Bersama ................................................................................XVI
c. Harta Warisan ...............................................................................XVIII
BAB 3 PENUTUP
A. KESIMPULAN .......................................................................................XXI
B. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. XXI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu
pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat
sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai
masalah pernikahan dimaksud ( al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718).

Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk


menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk
menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di
atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan
merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Ini
juga berhubungan dengan harta peninggalan.

Tarikah (tirkah) adalah bahasa Arab yang artinya harta peninggalan. Harta
peninggalan (tirkah) dapat menimbulkan permasalahan hukum sebab harta kekayaan
yaitu sesuatu yang karena didalamnya menimbulkan hak dan kewajiban bagi ahli
waris dan wajib di bagi pada yang berhak atas harta peninggalan tersebut yang
setelah dilakukan pemotongan yang wajib dilakukan ahli waris karena telah diatur
baik dalam Hukum Islam yaitu Al-qur’an, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat
dan Hukum Perdata yang merupakan peraturan yang berlaku di Indonesia. Di
Indonesia tidak ada kesatuan hukum sebab tidak mungkin dilakukan karena di
dalamnya adalah suatu yang wajib dilaksanakan secara hukum Islam bagi yang
beragama Islam yang telah ada di tegaskan tentang pembagian dan juga hakhak
serta kewajiban ahli waris yang dalam kitab suci al-qur’an dan porsinya diatur tegas
dalam Kitab Suci Al-qur’an yaitu QS. Annisa ayat (11, 12 dan 176), begitu juga
undang-undang lain yang akan terlihat perbedaan dan persamaannya di dalam
penulisan ini.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan pernikahan?


2. Apa rukun pernikahan?
3. Apa syarat pernikahan?
4. Apa yang dimaksud dengan harta peninggalan?
5. Ada berapa dan apa saja harta peninggalan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. PERNIKAHAN

a. Pengertian pernikahan

Dalam Al-qur’an dan Hadis Nabi Muhammad juga dalam kehidupan


sehari-hari orang Arab, sering memakai kata nikah dan zawaj yang
artinya adalah pernikahan atau perkawinan menurut literatur fiqh
berbahasa arab. Menurut Islam perkawinan adalah perjanjian suci yang
kuat dan kokoh untuk membentuk keluarga yang kekal, saling
menyantuni, saling mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal
antara seorang laki-laki dan perempuan yang disaksikan oleh dua orang
saksi laki-laki. Selain itu, perkawinan juga diatur dalam hukum Islam
harus dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara kedua belah
pihak.

Pernikahan atau perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan,


apabila sesuatu sudah diikatkan antara yang satu dengan yang lain
maka akan saling ada keterikatan dari kedua belah pihak. (QS.
AdDhukhan: 54). Yang artinya: “Demikianlah dan kami kawinkan
mereka dengan bidadari.”

Perkawinan sejatinya adalah sebuah perjanjian atau pengikatan suci


antara seorang lakilaki dan perempuan. Sebuah perkawinan antara laki-
laki dan perempuan dilandasi rasa saling mencintai satu sama lain,
saling suka dan rela antara kedua belah pihak. Sehingga tidak ada
keterpaksaan satu dengan yang lainnya. Perjanjian suci dalam sebuah
perkawinan dinyatakan dalam sebuah ijab dan qobul yang harus
dilakukan antara calon laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya
berhak atas diri mereka. Apabila dalam keadaan tidak waras atau masih
berada di bawah umur, untuk mereka dapat bertindak wali-wali mereka
yang sah.

Menurut Abu Zahrah perkawinan dapat menghalalkan hubungan


biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan adanya perkawinan ini
maka laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban dan haknya yang
harus saling dipenuhi satu sama lainnya sesuai syariat Islam.

Perkawinan berasal dari kata dasar “kawin” yang mempunyai makna


bertemunya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin wanita yang
keduanya sudah memiliki aturan hukum yang sah dan halal sehingga
dapat memperbanyak keturunan. Seperti yang dituliskan dituliskan
dalam Firman Allah SWT :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya,dan dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum ayat 21)

Pernikahan adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqaan


ghalidzan untuk menaati perintah Allah untuk melaksanakannya
sebagai ibadah dan untuk menjalankan Sunnah Rosul sesuai dengan
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa perkawinan tersebut adalah perjanjian suci yang sangat kuat
antara laki-laki dan perempuan atas dasar kerelaan dan saling suka
yang dilakukan oleh pihak wali sesuai sifat dan syaratnya.

Sehingga dapat menghalalkan kebutuhan biologis antara keduanya dan


dapat untuk meneruskan garis keturunan

b. Rukun Nikah

Rukun merupakan hal pokok yang tidak boleh ditinggalkan atau masuk di
dalam substansi, berbeda dengan syarat yang tidak masuk ke dalam
substansi dan hakikat sesuatu. Rukun dalam pernikahan harus
memperhatikan hal-hal pokoknya yang tidak boleh ditinggalkan, sebagai
berikut :

1.wali

Dalam sebuah pernikahan bahwa wali merupakan salah satu rukun yang
harus ada. Wali berasal dari pihak perempuan yang akan dinikahkan
kepada pengantin laki-laki. Karena kemutlakan adanya wali dalam sebuah
akad nikah adalah menghalalkan kemaluan wanita yang wanita tersebut
tidak mungkin akan menghalalkan kemaluannya sendiri tanpa adanya
wali.1
Salah satu rukun nikah yaitu wali juga terdapat dalam HR Abu Daud, At-
Tirmidzy dan Ibnu Majah bahwa “Wanita mana saja yang menikah tanpa
izin walinya maka nikahnya batal, batal, batal.”

Adanya wali merupakan suatu yang harus ada, apabila wanita tersebut
tidak mampu menyediakan wali dari pihaknya atau seorang yang dapat
menjadi hakim maka ada tiga cara, yaitu : 1) wanita tersebut tetap tidak
dapat menikah tanpa ada wali. 2) wanita tersebut dapat menikahkan
dirinya sendiri karena keadaan darurat. 3) wanita menyuruh kepada
seseorang untuk menjadi wali atau mengangkat wali (hakim) untuk dirinya
ketika akan menikah menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil
oleh imam Mawardi. 2
Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan
(dalam perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya,
lalu ia memperwalikan seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka
yang demikian itu diperbolehkan. Hal ini dapat disamakan dengan
memperwalikan seseorang hakim (penguasa Negara atau pejabat yang
mewakilinya) dikala tidak terdapat seorang wali nikah yang sah.”

Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral sehingga untuk


melakukannya harus dilakukan yang terbaik agar dapat terlaksana.

Wali nikah pun diatur di Kompilasi Hukum Islam dalam beberapa pasal,
sebagai berikut :

Beberapa pasal tentang wali nikah salah satunya Pasal 19 yang berbunyi
“wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Pasal 20

1
2
berbunyi “ayat (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-
laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
Ayat (2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; b. Wali hakim”. Dan pasal
21 yang berbunyi, ayat (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam
urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang
lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita.

Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas yaitu ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kelompok kedua adalah kerabat
saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan dari
mereka. Kelompok ketiga adalah kerabat paman yaitu saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah dan keturunan dari mereka. Kelompok
keempat adalah saudara laki-laki kandung kakek, suadara laki-laki seayah
dan keturunan laki-laki mereka.

Ayat (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang
yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi
wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita. Ayat (3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan
maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari
kerabat yang seayah. Ayat (4) Apabila dalam satu kelompok, derajat
kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama
dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22 yang berbunyi, “apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya
tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu
menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi
wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya”.
Pasal 23 yang berbunyi, ayat (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai
wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau
adlal atau enggan. Ayat (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

2. Dua Orang Saksi

Rasulullah sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Tidak ada nikah kecuali


dengan wali dan dua saksi yang adil. ”(HR Al-Baihaqidan Ad-. Asy-
Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist dikuatkan dengan hadits-
hadits lain)”

Perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi, menurut golongan


syafi’i pernikahan yang dilakukan oleh saksi apabila belum diketahui adil
atau tidaknya maka akan tetap sah. Karena pernikahan tidak semua tempat
ada, di kampung, daerah terpencil ataupun kota sehingga tidak dapat
disama ratakan. Pada saat itu adil dapat dilihat dari segi lahiriahnya wali
tidak terlihat fasik, jika terlihat fasik maka akad nikah yang telah terjadi
tidak akan terpengaruh.3
Dalam pernikahan hadirnya seorang saksi adalah rukun yang harus
dipenuhi, karena apabila pernikahan tanpa adanya saksi maka pernikahan
tersebut tidak sah. Meskipun dalam pernikahan tersebut diumumkan
kepada kalayak ramai maka pernikahan tersebut tetap tidak sah. Berbeda
dengan sebaliknya, apabila pernikahan tanpa diumumkan di kalayak ramai
tetapi terdapat saksi dalam pernikahan tersebut maka pernikahan tersebut
tetap sah. Hal ini karena saksi sangat penting untuk ke depannya apabila
nanti ada sengketa antara suami dan istri, maka saksi yang akan diminta
3
keterangannya. Seperti dalam hadis Nabi yang artinya : “Telah
menceritakan Yusuf bin Hammad al-Mughl al-Bashri, telah menceritakan
Abd al-‘Ala dari Said dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibn Abbas,
sesungguhya Rasulullah telah bersabda “Pelacur adalah perempuan-
perempuan yang mengawinkan tanpa saksi””.

Saksi nikah pun diatur juga di dalam Kompilasi Hukum Islam di


beberapa pasal, sebagai berikut:

Pasal 24, ayat (1) menyatakan saksi dalam perkawinan adalah rukun dalam
akad nikah. Ayat (2) pernikahan harus di saksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25, yang ditunjuk menjadi saksi adalah seorang laki-laki muslim,
adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26, bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan langsung pernikahan
tersebut dan ikut menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad
nikah dilangsungkan.

3. Ijab dan Qabul

Ijab qobul merupakan salah satu rukun nikah yang harus dilaksanakan,
ijab mempunyai makna penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qobul
adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali perempuan
mengucapkan : “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.” Qabul adalah penerimaan
dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya
anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus

Shalihin.”4

Ijab dan qabul juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal
27 dan 29,sebagai berikut:

4
Pasal 27 yang berbunyi, Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai
pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 29 yang
berbunyi, ayat (1) yang mengucapkan qobul adalah calon mempelai laki-
laki sendiri. (2) qobul dalam hal tertentu dapat diwakilkan kepada pihak
lain dengan syarat mempelai laki-laki memberikan kuasa secara tegas dan
tertulis untuk mewakilkannya. (3) apabila calon mempelai wanita atau
walinya keberatan jika dikuasakan maka pernikahan tidak dapat
berlangsung.

4. Calon suami

Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki, seorang laki-laki telah
memenuhi persyaratan yang disebutkan oleh Imam Zakaria al-Anshari
dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz
II, hal. 42: “Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri yakni Islam
dan bukan mahram, tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya
calon istri baginya.”

Dan dilarang untuk memperistri perempuan yang haram untuk dinikahi


seperti pertalian nasab, pertalian kerabat semenda, pertalian sesusuan dan
wanita tersebut masih terikat dengan pernikahannya, seorang wanita dalam
masa iddah dan seorang wanita yang tidak beragama islam dan seorang
pria diilarang menikah dengan wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai 4 (empat) orang istri dengan seorang wanita bekas istrinya
yang ditalak tiga kali dan dengan seorang wanita bekas istrinya yang
dili`an. Dan itu semua sudah diatur juga di dalam Kompilasi Hukum Islam
juga dalam Pasal 39-43.

5. Calon istri

Calon istri adalah rukun yang harus dipenuhi, wanita yang masih terdapat
pertalian darah, hubungan sepersusuan atau kemertuaan haram untuk
dinikahi. Diatur pasal 44 Kompilasi Hukum Islam, bahwa wanita Islam
dilarang menikah dengan pria yang tidak beragama Islam.

c. Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam

Syarat merupakan dasar yang harus dipenuhi untuk menentukan sah


atau tidaknya. Seperti halnya syarat dalam perkawinan juga harus
dipenuhi karena akan menimbulkan kewajiban dan hak suami istri
untuk menjalin kehidupan rumah tangga kedepannya. Syarat ini harus
dipatuhi oleh kedua mempelai dan keluarga mempelai. Apabila ada
syarat yang tidak ada maka akad akan rusak. Syarat nikah ada tiga yaitu
: adanya persaksian, bukan mahrom dan adanya akad nikah.

Akad nikah merupakan hal pokok yang mengharuskan adanya saksi


yang hukumnya sah menurut syariat. Saksi dalam pernikahan bertujuan
untuk mengingat agar tidak lupa di kemudian hari.

Selanjutnya, Syarat keharusan nikah maksudnya syarat-syarat yang


menimbulkan keberlangsungan dan kontinuitas pernikahan dan tidak
ada pilihan bagi salah satunya untuk menghindarinya. Jika salah satu
dari syarat tersebut cacat, rusaklah akad. Para Fuqaha’
mempersyaratkan keharusan akad nikah dengan beberapa syarat.

Adapun syarat dalam akad nikah harus memenuhi beberapa syarat,


yaitu :

1. Orang yang menjadi wali adalah orang yang tidak ada atau kurang
keahlian salah satu dari pihak orang tua atau anak.
2. Wanita baligh dan berakal, menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya
wali, adapun hak wali dalam akad ada dua syarat, yaitu suami harus
sekufu atau tidak lebih rendah kondisinya dari wanita, dan mahar akad
sebesar mahar mitsil atau kurtang dari mahar mitsil apabila wali ridho.

3. Tidak adanya penipuan dari masing-masing pihak.

4. Tidak ada cacat sehingga dari pihak suami yang memperbolehkan


faskh seperti penyakit kritis berbahaya .

d.Hukum Pernikahan atau Perkawinan dalam Islam

Hukum pernikahan memilki dua makna yaitu sifat syara’ pada sesuatu
(seperti wajib, haram makruh, sunnah dan mubah), dan akibat yang
ditimbulkan sesuatu menurut syara’. Dalam hukum pernikahan ini,
suami mempunyai kewajiban terhadap mahar dan nafkah terhadap istri,
sedangkan istri mempunyai kewajiban untuk taat pada suami dan
menjaga pergaulan dengan baik.

Hukum taklifi atau pembebanan adalah hukum yang ditetapkan syara’


apakah dituntut mengerjakan atau tidak. Pernikahan itu lebih dari
sekedar urusan kepentingan pribadi, tetpi juga untuk beribadah,
melindungi wanita, memperbanyak keturunan dan umat serta
menjalankan sunah Rosul.
Sedangkan secara rinci hukum pernikahan yaitu:

1. Wajib
Wajib apabila sesorang telah mampu baik fisik maupun finansial,
apabila tidak segera menikah dikhawatirkan berbuat zina.
2. Sunnah
Apabila nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan
menikah tetapi masih dapat menahan diri. 3. 3.
3. Makruh
Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi
istrinya.
4. Mubah
Orang yang hendak menikah tetapi masih mampu menahan
nafsuya dari zina dan dia belum berniat untuk segera menikah
dan mempunyai anak.
5. Haram
Haram hukumnya apabila menikah akan merugikan istrinya dan
tidak mampu menafkahi baik lahir maupun batin.

B. HARTA PENINGGALAN

Harta peninggalan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang


meninggal dunia apakah harta tersebut menjadi miliknya maupun milik
orang lain. Harta peninggalan yang menjadi miliknya adalah harta yang
termasuk haknya dan penguasaannya dan berhak untuk diwariskan
kepada ahli warisnya yang berhak. Sedangkan harta milik orang lain
adalah harta milik orang lain yang berada di dalam pengawasannya dan
tidak menjadi hak miliknya untuk diwariskan kepada ahli warisnya.
Setelah seseorang meninggal dunia, maka harta peninggalan yang
menjadi miliknya dan harta orang lain, harus dilakukan ringkasan,
mana harta peninggalan yang menjadi miliknya atau haknya, dan mana
harta peninggalan yang menjadi hak orang lain. Pemisahan harta
peninggalan dalam hal ini, termasuk harta yang diperoleh setelah
terjadinya perkawinan dengan istri yang dikenal dengan istilah harta
bersama. Kemudian bagian dari perpecahan tersebut adalah menjadi
hak-hak masing-masing suami-istri, kemudian ditambahkan dengan
harta bawaan itulah yang menjadi harta peninggalan sebagai hak untuk
diwariskan kepada seluruh ahli waris yang berhak, setelah dikeluarkan
hak-hak yang bersangkut paut dengan harta peninggalan tersebut
sebagai hak orang yang meninggal dunia. Setelah melakukan
perceraian harta orang yang meninggal dunia dengan harta orang lain,
apakah itu harta bersama dengan istri atau harta perolehan bersama
dengan orang lain dalam bentuk perserikatan, dan setelah dikeluarkan
hak-hak yang bersangkut paut dengan harta peninggalan maka tetap
itulah yang menjadi harta warisan untuk diwariskan kepada ahli waris
berhak.
Melihat bentuk perolehan harta peninggalan tersebut dengan
memperhatikan penjelasan pasal 171 hurf e Kompilasi Hukum Islam
(KHI), maka bentuk perolehan harta peninggalan ada dua macam,
yaitu:

a. Harta Bawaan

Harta bawaan atau disebut juga dengan harta milik masing-masing dari
suami dan istri atau harta milik suami atau istri” adalah harta yang
diperoleh suami atau istri sebelum terjadinya perkawinan yang berasal
dari warisan dari Kedua ibu-bapak dan kerabat, hibah, hadiah dan harta
yang diperoleh dari usaha sendiri. Untuk harta bawaan yang diperoleh
dari warisan, hibah, hadia serta sodogoh dari ibu-bapak dan kerabat
mereka masing-masing setelah menikah dan bukan karena usahanya
sendiri, tetapi adalah diusahakan setelah mereka bersama- sama sebagai
suami-istri termasuk harta bawaan. “Harta bawaan ini menjadi milik
mutlak dari masing-masing suami atau istri dan dikuasai sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hokum atas harta tersebut. Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 87 ayat (1) dan (2) dijelaskan:

1. Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang


diperoleh Masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan Masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam Perjanjian perkawinan.

2. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan


perbuatan Hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau Lainnya.

Dalam pengelolaan harta bawaan ini tidak dibenarkan adanya


percampuran Antara harta suami dan harta isteri walaupun telah terjadi
perkawinan. Hal ini Dijelaskan dalam Kompilasi pasal 86 ayat (1)
“Pada dasarnya tidak ada Percampuran antara harta suami dan harta
isteri karena perkawinan.
Oleh karena itu, harta peninggalan yang berbentuk harta bawaan ini
tidak ada sangkut paut dengan milik dan hak-hak orang lain kecuali
yang bersangkut paut dengan hak pewaris sewaktu hidup dan sebelum
dikuburkan.

b. Harta Bersama
Dalam kenyataan hidup berkeluarga, antara pewaris dan ahli waris
tidak menutup kemungkinan terdapat harta peninggalan menjadi milik
bersama apakah itu wujudnya harta benda atau hak-hak. Keberadaan
harta bersama dalam satu keluarga susah untuk menghindarinya karena
hampir semua keluarga yang ada memiliki harta bersama. Suami isteri
misalnya, sama-sama berusaha untuk menghidupi keluarganya, istri
melayani segala keperluan dan kebutuhan suami untuk dapat
memperoleh harta dalam kehidupan rumah tangganya.

Untuk jelasnya pengertian secara luas harta bersama sebagai berikut:

1.Harta yang dibeli selama perkawinan

Sebagai ukuran untuk menentukan apakah sesuatu barang itu termasuk


objek harta bersama atau tidak, adalah saat pembeliannya. Setiap
barang yang dibeli selama berlangsung ikatan perkawinan, termasuk
objek harta bersama, tanpa mempersoalkan siapa diantara suami-isteri
itu membelinya, terdaftar atas nama siapa, dan terletak dimana.

2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian tetapi dibiayai


dari harta bersama

Sebagai ukuran yang kedua adalah apa saja yang dibeli, jika uang
pembelinya itu berasal dari harta bersama, maka barang tersebut tetap
termasuk dalam pengertian harta bersama, meskipun barang tersebut
dibeli atau dibangun sesudah terjadinya perceraian Sebagai contoh,
suami-isteri selama ikatan perkawinan berlangsung mempunyai royalty
terhadap sebuah karangan buku. Setelah perceraian terjadi, royalty itu
mendatangkan sejumlah uang. Lantas, dari uang ini suami membeli
tanah dan membangun sebuah rumah di atasnya. Dalam hal ini, tanah
dan rumah tersebut adalah termasuk dalam objek harta bersama,
walaupun perolehannya setelah terjadi perceraian. Penerapan seperti ini
harus dipegang teguh, guna menghindari manipulasi dan itikad buruk
suami atau isteri. Sebab, dengan penerapan seperti ini, hukum akan
tetap menjangkau harta bersama sekalipun harta itu telah berubah
menjadi barang lain.

3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan

Dalam sengketa harta bersama, jarang sekali yang berjalan secara


mulus, apalagi kalau hal itu terjadi jauh setelah berlangsungnya
perceraian. Biasanya, dalam menanggapi dalil gugatan penggugat,
tergugat selalu membantah bahwa harta yang sedang dipersengketakan
itu bukan sebagai harta bersama, tetapi sebagai harta pribadinya Dalam
hal ini, menjadi patokan untuk menentukan bahwa barang itu termasuk
tidaknya sebagai objek harta bersama, ditentukan oleh keberhasilan
penggugat untuk membuktikan harta yang sedang dipersengketakan itu
diperoleh selama berlangsungnya perkawinan dan perolehannya itu
bukan melalui warisan atau hadiah.

4. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang berasal dari harta bersama, secara otomatis menjadi


harta bersama, karena ia berasal dari harta bersama. Akan tetapi tidak
demikian halnya pada harta pribadi, karena penghasilan yang berasal
dari harta pribadi suami atau isteri, tidak menentukannya secara lain
dalam perjanjian perkawinan.
5.Segala penghasilan pribadi suami atau isteri

Penghasilan suami atau istri, dengan sendirinya menjadi harta bersama,


karena memang demikianlah ketentuan yang telah digariskan oleh pasal
35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa
“harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda
bersama24 dan pasal 1 huruf f Kompilasi dijelaskan juga bahwa harta
kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan
perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, Tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Dua pasal ini berlaku
Sepanjang antara suami istri tidak dibuat perjanjian perkawinan.

c.Harta warisan

hukum waris Islam adalah aturan mengenai peralihan harta dari


seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris dan bagian-bagian
yang diperoleh.
Dalam Jurnal Ilmiah Al Syir’ah disebutkan bahwa ahli waris adalah
orang-orang yang akan menerima hak pemilikan harta peninggalan
pewaris.
Ahli waris merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan
pewaris. Sementara muwaris merupakan orang yang meninggal dunia
dan harta benda peninggalannya diwariskan.
Warisan yang dibagikan dapat berupa harta bergerak seperti logam
mulia serta kendaraan dan harta tidak bergerak seperti tanah serta
rumah.
Harta tersebut dapat dibagikan kepada ahli waris setelah dikurangi
untuk biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan
wasiat.

Pembagian waris dalam Islam yakni:


Ayah mendapatkan 1/3 bagian apabila pewaris tidak meninggalkan
anak. Jika pewaris memiliki anak, ayah mendapatkan 1/6 bagian.
Ibu mendapatkan 1/6 bagian apabila pewaris memiliki anak atau dua
saudara atau lebih. Jika tidak, maka ibu mendapatkan 1/3 bagian.
Duda mendapatkan ¼ bagian jika pewaris meninggalkan anak. Namun,
duda mendapatkan1/2 bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak.

Janda mendapatkan ¼ bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak.


Jika pewaris meninggalkan anak, janda mendapatkan 1/8 bagian.
Anak perempuan dan anak laki-laki. Kalau hanya memiliki satu orang
anak perempuan, maka ia mendapatkan ½ bagian. Apabila ada dua atau
lebih tetapi tidak ada anak laki-laki, mereka mendapatkan 2/3 bagian.
Namun, jika ada anak perempuan dan anak laki-laki, bagian untuk anak
Laki-laki adalah 2:1 dengan anak perempuan.
Saudara perempuan dan saudara laki-laki seibu. Jika pewaris wafat
tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka tiap saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian. Jika saudaranya ada
dua orang atau lebih, mereka mendapatkan 1/3 bagian.
Saudara perempuan dan saudara laki-laki seayah. Jika pewaris wafat
tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapatkan ½ bagian. Jika
ada dua orang atau lebih saudara perempuan kandung atau seayah,
mereka mendapatkan 2/3 bagian. Selanjutnya, jika ada saudara
perempuan dan saudara laki-laki kandung atau seayah, bagian saudara
laki-laki adalah 2:1 dengan saudara perempuan.

BAB III PENUTUP

A.KESIMPULAN

Perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan


seorang perempuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah,
tenteram, dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang, dengan menaati
perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan itu
sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Dan perkawinan yang
baik itu sebaiknya dicatatkan yang disertai pembuktikaannya dengan
akta nikah sehingga akan mendatangkan maslahat (kebaikan dan
manfaat) untuk pihak istri dan keturunannya. Apabila perkawinan itu
tidak dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membawa
kemudaratan kepada pihak-pihak yang melakukannya dan juga kepada
keturunannya. Sedangkan Harta peninggalan adalah segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, apakah harta itu
menjadi miliknya maupun milik orang lain di bawa pengawasannya.
Setelah orang meninggal dunia, maka harta peninggalan dilakukan
pemisahan dengan harta milik orang lain termasuk dilakukan
pemisahan terhadap harta yang diperoleh setelah terjadinya perkawinan
dengan istri.

B.DAFTAR PUSTAKA

https://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241949175

https://media.neliti.com/media/publications/240209-memahami-harta-peninggalan-
sebagai-waris-8f1279f5.pdf

https://www.orami.co.id/magazine/hukum-waris-islam

https://ejournal.45mataram.ac.id/index.php/seikat/article/view/97

https://jurnal.umpar.ac.id/index.php/istiqra/article/view/487

https://babel.kemenkumham.go.id/berita-utama/peran-balai-harta-peninggalan-
sangat-penting-dalam-memberikan-kepastian-dan-perlindungan-hukum-terhadap-
harta-kekayaan-dalam-perwalian-dan-pengampuan

Anda mungkin juga menyukai