Anda di halaman 1dari 14

NIKAH

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pengembangan Materi PAI 1
Dosen Pengampu : M. Sayyidul Abrori, M.Pd.

Disuusn Oleh :
Agil Muazis 221210005
Hijriatun Hikmah K. 221210063

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS MA’ARIF LAMPUNG


2023/2024
KATA PENGANTAR

‫ِبْس ِم ِهللا الَّرْح َمِن الَّرِح ْيِم‬


Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi nikmat, rahmat serta
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“?..........” dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata
kuliah
………….. di progam studi ………..Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UMALA
pada semester ...
Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Yuning Eka Rahma Wati, M.Pd
selaku dosen pembimbing Mata kuliah …………..dan kepada segenap pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Akhirnya kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada
banyak kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum. Wr.Wb.

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................II
DAFTAR ISI............................................................................................................................................III
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar belakang............................................................................................................................1
B. Rumusan masalah......................................................................................................................1
C. Tujuan penulisan........................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................................2
A. Pengertian nikah....................................................................................................................2
B. Pandangan islam tentang perkawinan...................................................................................2
C. Hukum nikah..........................................................................................................................2
D. Meminang..............................................................................................................................3
E. Hak dan kewajiban suami istri................................................................................................5
BAB III..................................................................................................................................................10
PENUTUP.............................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................11

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah hubungan
intim dan mengumpuli , seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling membuahi dan
kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara majaz nikah adalah
akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya. Kedua, secara hakiki nikah
adalah akad dan secara majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian
secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti
yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadist. Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh),
dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang Dengan berdasarkan pada perubahan
illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan perkawinan, maka
perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian nikah?
2. Bagaimana pandangan islam tentang perkawinan?
3. Apa hukum nikah?
4. Apa yang dimaksud meminang?
5. Apa hak dan kewajiban suami istri

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui devinisi nikah
2. Untuk mengetahui pandangan islam tentang perkawinan
3. Untuk mengetahui hukum nikah
4. Untuk mengetahui meminang
5. Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami istri

IV
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian nikah
Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zawj
yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya dengan pernikahan seseorang dapat
memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.
Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikat diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu
hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga
yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Zayn Al-din al-Malibari, mengenai pengertian nikah
menurut istilah adalah:
“Menurut syara’ nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan berhubungan intim
dengan lafad nikah atau tazwij.”1
B. Pandangan islam tentang perkawinan
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara orang laki-laki dan orang perempuan,
dalam hal ini perkawinan merupakan ikatan yang sakral untuk membentuk keluarga yang
kekal dan bahagia, bahkan dalam pandangan masyarakat perkawinan itu bertujuan
membangun, membin dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Perkawinan bagi manusia bukan sekedar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda,
sebagai makhluk yang disempurnakan Allah, maka perkawinan mempunyai tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan atau pernikahan adalah ibadah
terlama yang tidak dibatasi oleh tenggang waktu menurut islam. Maka tidak setiap orang
dapat melakukan pernikahan, hanya bagi orang yang mampu memenuhi syarat dan rukun
pernikahan saja yang boleh melakukannya, karena suatu ibadah yang tidak terpenuhi syarat
rukunnya dianggap tidak sah apalagi diterima disisi Allah SWT, bisa bayangkan saja Ketika
suatu pernikahan tidak sah maka yang terjadi setelahnya pastilah zina. Dengan demikian
agama Islam memandang bahwa, perkawinan merupakan basis yang baik dilakukan bagi
masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang sah menurut ajaran Islam.
C. Hukum nikah
Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga
tidak dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam Alquran surat an-Nur ayat 32 :

‫َو َاْنِك ُحوا اَاْلَياٰم ى ِم ْنُك ْم َو الّٰص ِلِح ْيَن ِم ْن ِعَباِد ُك ْم َو ِاَم ۤا ِٕىُك ْۗم ِاْن َّيُك ْو ُنْو ا ُفَقَر ۤا َء ُيْغ ِنِهُم ُهّٰللا ِم ْن َفْض ِلٖۗه َو ُهّٰللا َو اِس ٌع َع ِلْيٌم‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.2

1
Zayn Al-din, Fathul Mu’in, hal. 298
2
QS. An-nur ayat 32

V
Dengan berdasarkan pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing orang yang
hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib,
makruh, dan haram.
Perkawinan hukumnya menjadi sunnah apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya
sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai sekedar biaya
hidup, maka bagi orang demikian itu sunnah baginya untuk kawin.
Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa niat itu sunnah bagi orang yang
melakukannya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.
Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi biaya hidup sudah
mencukupi dan dari segi jasmaninya sudah mendesak untuk kawin, sehingga kalau tidak
kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan, maka bagi orang yang demikian itu
wajiblah baginya untuk kawin.3
Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila seseorang yang dipandang dari segi
jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum sangat mendesak sedang biaya untuk
kawin belum ada, sehingga kalau kawin hanya akan menyengsarakan hidup isteri dan anak-
anaknya, maka bagi orang yang demikian itu makruh baginya untuk kawin.
Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu menyadari bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban batin seperti
mencampuri isteri. Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar dirinya tidak mampu memenuhi
hak-hak suami, atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan
batinnya, karena sakit jiwa atau kusta atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia tidak
boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu kepada laki-lakinya.
Ibaratnya seperti seorang pedagang yang wajib menerangkan keadaan barang-barangnya
bilamana ada aibnya.
D. Meminang
Meminang bisa disebut juga dengan khitbah, Khitbah dan al-khatab berasal dari bahasa
Arab dan dari kata yang sama yang berarti “pembicaraan” dan jika terkait ihwal perempuan,
maka makna yang pertama kali ditangkap adalah percakapan yang terkait dengan masalah
pernikahannya4, hematnya, khitbah berarti percakapan yang berkaitan dengan lamaran untuk
menikah. Sedangkan kosa kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”-“meminang”, yang
berarti meminta seorang perempuan (untuk dijadikan istri) dan bersinonim dengan kata
“melamar”, serta dalam bahasa Arab disebut “khitbah” (‫)الخطبة‬, yang maksudnya meminta
seorang perempuan untuk dijadikan istri 5 atau upaya untuk terlibat dalam hubungan
perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita dengan ccara-cara yang baik (ma’ruf) dan
umumnya berlaku di suatu masyarakat6 Peminangan merupakan awal sebelum menikah,
sehingga kedua belah pihak saling mengenal hingga pernikahan berdasar pandangan yang
jelas.
Peminangan biasanya dilakukan oleh pria kepada wanita, akan tetapi tidak ada larangan
bagi wanita untuk melamar pria7, diizinkan pula bagi wali wanita untuk menawarkan
3
Tausyaih ‘ala ibni qosyim hal 195
4
Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku Meminangmu (Solo: Era Intermedia, 2004), hal 52
5
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2013), hal 82
6
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Cet. V; Jakarta: Kencana, 2003), hal 73-74
7
Abu Al-Ghifari, Pacaran Yang Islami Adakah?(Bandung: Mujahid Press, 2003), hal 494

VI
pernikahan mereka kepada seorang pria. Seorang wanita dapat mengekspresikan
keinginannya sendiri untuk menikahi pria dan meminta untuk menikah tetapi harus tetap
berpegang pada nilai/adat yang berlaku di tengah masyarakat Muslim dan keikhlasan
menjaga kesucian dan martabat.8
Secara syariat, wanita yang boleh dikhitbah memiliki beberapa persyaratan, diantaranya :
1. Bukan wanita yang haram dinikahi, terbagi dalam dua kategori, yaitu :
a. Wanita yang diharamkan untuk selamanya, ini terbagi menjadi tiga 9 yaitu adanya
hubungan nasab10 (keturunan), sesusuan11 dan musoharoh.12
b. Wanita yang diharamkan dalam batasan waktu, diantaranya: dua bersaudara haram
dinikahi oleh seorang laki-laki dalam waktu yang bersamaan, maksudnya mereka
haram dimadu dalam waktu yang sama (al-Nisa>/4: 23); wanita yang masih dalam
iddah; wanita yang ditalak tiga hingga dia menikah dengan pria lain; wanita yang
sedang ihrom; haram bagi pria kafir sampai menjadi muslim; wanita kafir hingga
memeluk Islam; istri pria lain; wanita pezina/pelacur diharamkan hingga dia bertaubat
serta selesai dari masa iddahnya.13
2. Bukan wanita yang menjalani masa ‘iddah.14
a. Masa iddah yang disebabkan meninggalnya suami.
b. Masa iddah yang disebabkan talak ba’in, para ulama sepakat bahwa tidak bolehnya
meminang wanita pada masa iddah talak ba’in qubra (talak 3 kali), talak ba’in qubra
ini membuat pasangan suami istri memutuskan hubungan, tidak ada harapan untuk
kembali sebelum dinikahi oleh pria lain, hal ini berbeda dengan talak ba’in sugrah,
dimana wanita yang ditalak (2 kali) masih halal bagi suami untuk rujuk dengan akad
nikah dan mahar yang baru.
c. Masa iddah yang disebabkan talak raj’i (suami boleh kembali ke istri karena talaknya
belum 3 kali) dimana istri yang ditalak masih berstatus istri, suami boleh kembali
ruju’ tanpa adanya akad serta mahar.
d. Masa iddah yang disebabkan khulu atau fasakh, wanita yang iddah disebabkan
khulu15, atau karena fasakh16 disebabkan suami tidak memberikan nafkah atau
menghilang/tidak pernah pulang.
3. Bukan perempuan yang (menyetujui) sudah dikhitbah oleh pria lain.

8
Abu Al-Ghifari, Pacaran Yang Islami Adakah?, hal 124
9
Soemiyati, Hukum perkawinan Islam dan UU perkawinan (Liberty : Yogyakarta, 2007), hal 33
10
Terdiri dari ibu kandung, nenek (pihak ayah dan ibu), anak perempuan, saudara perempuan (seayah seibu,
atau seibu, seayah), saudara-saudara perempuan ayah (kandung, seayah seibu, seayah, seibu, seterusnya
keatas), saudara-saudara ibu yang perempuan, anak perempuan saudara, anak perempuan istri (anak tiri) (al-
Nisa>/4: 23)
11
lima kali susuan atau lebih ketika masih bayi dibawah umur dua tahun
12
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak tiri, menantu, ibu tiri
13
Muhammad Saleh Al-Usmani, Pernikahan Islami: Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga (Risalah Gusti, 1991),
hal 11
14
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), hal 80
15
talak karena permohonan istri dengan hadiah
16
adasesuatu yang merusak keabsahan nikah.

VII
E. Hak dan kewajiban suami istri
Pada dasarnya antara kewajiban dan hak suami istri merupakan suatu
yang timbal balik, yakni apa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak bagi
istri, dan apa yang menjadi kewajiban istri merupakan hak bagi suami.Oleh karena itu pada
sub bab ini hanya akan dijelaskan kewajiban-kewajiban suami, karena penjelasan
kewajiban suami sudah meng-coverhak-hakistri.
Baik suami maupun istri, keduanya dituntut untuk melaksanakan
kewajiban masing-masing dengan baik. Di samping ada kewajiban masing-masing
pihak, di sisi lain juga ada kewajiban yang menjadi tanggung jawab bersama suami
dan istri. Dan kewajiban masing-masing pihak ini hendaknya jangan dianggap
sebagai beban, namun dianggap sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan.Secara
garis besar, kewajiban suami terhadap istri ada dua macam yaitu :
kewajiban yang bersifat meteriil dan kewajiban imateriil. Kewajiban yang bersifat
materiil yaitu mahar dan nafkah.
1. Mahar
Mahar yaitu harta yang menjadi hak istri yang harus dipenuhi oleh suami
karena adanya akad atau dukhul.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”17

Ayat ini turun sebagai teguran terhadap kebiasaan seorang lelaki pada masa Nabi
yang menikahi wanita hamba sahaya tanpa memberikan mahar. Malah
sebaliknya yang terjadi, pihak wanitalah yang dimintai mahar, maka turunlah ayat
di atas.

Maskawin atau mahar dilukiskan dengan sesuatu yang diwajibkan bagi


suami.Maskawin harus diberikan sesuai dengan ukuran masyarakat setempat serta
tidak memberikan suami dan tidak juga merugikan istri. Memberikan mahar
hendaknya dengan cara yang baik,selain itu mahar harus berupa barang yang
patut20dan berharga.

2. Nafkah
Dasar kewajiban membayar nafkah kepada istri antara lain :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
18
kesanggupannya.”

Tema sentral ayat di atas adalah masalah penyususan anak. Adapaun kaitannya
dengan kewajiban suami terhadap istri yang berupa nafkah adalah dalam
menyusui anak tentunya seorang ibu membutuhkan biaya. Biaya inilah yang

17
QS al-Nisa’ ayat 4
18
QS. Al-Baqarah ayat 233

VIII
menjadi kewajiban suami. Suami berkewajiban memberikan makan dan pakaian
kepada para ibu.

Secara singkat ayat di atas juga mengisyaratkan kewajiban memberikan biaya


penyusuan. Biaya penyusan ini menjadi kewaibannya karena anak membawa
nama bapaknya, seakan-akan anak lahir untuknya, karena nama ayah akan
disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya.

Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknya dilaksanakan dengan


cara yang ma’ruf, yakni dengan dijelaskan maknanya dengan penggalan ayat
berikutnya ”seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya”yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang
ibu dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian, karena mengandalkan
kasih sayang seoarng ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah jangan
sampai menderita karena ibu anak-anaknya menuntut sesuatu di atas
kemampuan sang ayah, dengan dalih kebutuhan anak yang disusukannya.
Adapun hak yang bukan benda yang harus ditunaikan seorang suami terhadap istri
disimpulkan dari surat al-Nisa’ ayat 19 :
”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.”
Melalui ayat di atas memerintahkan kepada suami untuk memperlakukan dan
bergaul dengan istri dengan cara yang baik. Ada sebagian ulama yang memahaminya
dalam arti perintah untuk berbuat baik kepada istri yang dicintai maupun tidak.Kata
‫معروف‬mereka pahami mencakup tidak mengganggu tidak memaksa, dan juga lebih dari
itu, yakni berbuat ihsan dan berbaik-baik kepadanya. Al-Sya’rawi, sebagaimana dikutip
Quraish Shihab mempunyai pandangan lain. Dia menjadikan perintah di atas tertuju kepada
para suami yang tidak lagi mencintai istrinya.
Ayat lain yang berbicara tentang kewajiban suami terhadap istri yang bukan
kebendaan (imaterii) adalah surat al-Baqarah ayat 228 :
”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.
dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

IX
Ayat di atas menuntut suami agar menggauli istri dengan ma’ruf dan bersabar
terhadap hal-hal yang tidak disenangi yang terdapat pada istri.Menurut Quraish Shihab
ayat 228 surat al-Baqarah merupakan pengumuman al-Quran terhadap hak-hak istri.
Mendahulukan penyebutan hak mereka atas kewajiban mereka dinilai sebagai
penegasan tentang hal tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu
diperhatikan. Menurut Azar Basyir, menggauli istri dengan baik ini mencakup :
1. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik serta
meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan
yang diperlukan
2. Melindungi dan menjaga nama baik istri. Hal ini tidak berarti suami harus menutup-
nutupi kesalahan istri. Namun menjadi kewajiban untuk tidak membeberkan
kesalahan atau keburukan istri kepada orang lain.
3. Memenuhi kebutuhan biologis yang merupakan kodrat pembawa hidup.
Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri, dalam hal ini
ketenteraman dan keserasian perkawinan antara lain ditentukan oleh hajat biologis
ini.19
Adapun yang menjadi hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri hanya merupakan
hak-hak bukan kebendaan, sebab menurut hukum Islam istri tidak dibebani hak
kebendaan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Hak-hak suami
pada pokoknya hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan
dan hak memberi pelajaran kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan
kedudukan suami istri.
1. Hak ditaati
Hak ditaati mencakup ditaati dalam istimata’dan tidak keluar dari rumah kecuali
mendapatkan izin dari sang suami meskipun untuk kepentingan ibadah seperti haji.Dalam
surat al-Nisa’ ayat 34 disebutkan:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab
itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar”.
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban suami untuk memimpin istri
tidak akan terselenggara dengan baik apabila istri tidak taat kepada kepemimpinan
suami. Isi dari pengertian ini adalah,pertama,istri supaya bertempat tinggal bersama
suami di rumah yang telah disediakan. Istri berkewajiban memenuhi hak suami untuk
bertempat tinggal di rumahyang telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :

19
Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,Jogjakarta: UII Press,1999, hal.58-60

X
a) Suami telah memenuhi kewajiban mahar untuk istri
b) Rumah yang dijadikan tempat tinggal dilengkapi dengan perabot untuk
kepentingan rumah tangga secara wajar, sederhana dan tidak berlebihan
c) Rumah yang disediakan cukup untuk menjamin keamanan jiwa dan harta bendanya
d) Suami dapat menjamin keselamatan istri di tempat yang telah disediakan.
Kedua,taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan
Allah. Istri memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Perintah suami termasuk dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan rumah
tangga
b) Perintah suami tidak bertentangan dengan syariat
c) Suami memberikan kewajiban yang menjadi hak istri, baik yang bersifat kebendaan
maupun bukan.
Ketiga, berdiam di rumah tidak keluar kecuali dengan izin suami. Hal ini apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar kepada istri
b) Larangan keluar rumah tidak mengakibatkan memutuskan hubungan keluarga.

Keempat, tidak menerima masuknya orang lain tanpa izin suami.hak suami istri agar
istri tidak menerima masuknya seorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar ketenteraman
hidup dalam rumah tangga tetap terpelihara.

2.Hak memberi pelajaran

Bagian kedua dari ayat 34 surat al-Nisa’ di atas adalah mengajarkan apabila
terjadi kekhawatiran suami bahwa istrinya bersikap membangkang hendaklah dinasihati
dengan baik. Apabila dengan nasihat, pihak istri belum mau taat, hendaklah suami
pisah tidur dengan istri. Apabila masih juga belum kembali taat, suami dibenarkan
memberi pelajaran dengan cara memukul.

Jadi dari ayat di atas dapat dipahami bahwa laki-laki menjadi pemimpin dalam rumah
tangga dan wajib ditaati dengan dua pertimbangan, pertama,karena Allah melebihkan
sebagian mereka atas sebagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan-
keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki suami lebih menunjang tugas
kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain,
keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa
damai dan tenang kepada suami serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik anak.

kedua, disebabkan karena telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentuk kata
kerja dalam ayat ini menggunakan kata kerja lampau(fi'il madhi)yang menunjukkan
bahwa memberi nafkah istri merupakan suatu kelaziman bagi suami, serta
kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia semenjak dahulu hingga
sekarang.

Selain hak dan kewajiban suami istri di atas, ada hak-hak bersama antara
suami dan istri. Hak-hak bersama antara suami istri ini antara lain :

XI
1. Halal bergaul antara suami istri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu
sama lain.
2. Terjadi hubungan mahram semenda, istri menjadi mahram ayah suami, kakeknya,
dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu istri, neneknya,
dan seterusnya ke atas.
3. Terjadi hubungan waris mewaris sejak terjadinya akad nikah
4. Anak yang lahir dari istri bernasab pada suaminya
5. Bergaul dengan baik antara suami dan istri sehingga tercipta kehidupan rumah
tangga yang harmonis dan damai.

XII
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah hubungan
intim dan mengumpuli , seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling membuahi dan
kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara majaz nikah adalah
akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya. Kedua, secara hakiki nikah
adalah akad dan secara majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian
secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti
yang dijelaskan dalam al-Quran dan Hadist. Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh),
dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak dilarang Dengan berdasarkan pada perubahan
illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan perkawinan, maka
perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.

XIII
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Cet. V; Jakarta: Kencana, 2003)


Abu Al-Ghifari, Pacaran Yang Islami Adakah?(Bandung: Mujahid Press, 2003)
Al-Qur’anul karim
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2013)
Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,Jogjakarta: UII Press,1999
Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku Meminangmu (Solo: Era Intermedia, 2004)
Kitab fathul mu’in
Kitab Tausyaih ‘ala ibni qosyim quutul habibill ghoriib imarotullah Surabaya
Muhammad Saleh Al-Usmani, Pernikahan Islami: Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga
(Risalah Gusti, 1991
Soemiyati, Hukum perkawinan Islam dan UU perkawinan (Liberty : Yogyakarta, 2007)

XIV

Anda mungkin juga menyukai