Dosen pengampu:
Disusun oleh :
TAHUN 2023
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kepada kita rahmat, hidayah, serta
inayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan apapun.
Salawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad Saw.
Yang kita nanti-natikan syafa’atnya di Yaumul Qiyamah nanti. Ucapan terimakasih yang
mendalam kita haturkan kepada Bapak Drs. Badwan, M.Ag. yang telah memberikan kesempatan
untuk kita menyusun makalah ini.
Makalah ini kami susun dengan tema Khitbah, yaitu salah satu hal yang kita kenal dalam
pernikahan. Makalah ini akan membahas tentang khitbah secara rinci dari berberapa referensi
yang kami peroleh. Makalah ini juga kami susun dengan bahasa yang sederhana agar mudah
dipahami oleh pembaca.
Penyusun
PENDAHULUAN
Pranikah berasal dari 2 kata yaitu “pra” dan “ nikah”, “pra” berarti awalan yang
bermakna sebelum. Arti kata “nikah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di
persamakan artinya dengan “kawin”. Masa sebelum adanya perjanjian antara laki-laki
dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi menurut undang-undang perkawinan
agama maupun pemerintah.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yakni akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.4 Menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang dimaksud dengan
perkawinan yakni ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
berbagai pertimbangan yang berkaitan dengan kebutuhan manusia.
Islam mengajarkan bahwa perkawinan itu tidaklah hanya sebagai ikatan biasa seperti
perjanjian jual beli atau sewa- menyewa dan lain-lain, melainkan merupakan suatu
perjanjian suci mitsaqon gholidhon, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi suami
istri atau menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah SWT.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu pernikahan menurut islam?
2. Apa yang dimaksud dengan meminang?
3. Apa definisi mahar dalam pernikahan?
4. Cara menentukan atau memillih calon pasangan.
C. Tujuan penulisan
Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat, tetapi juga
untuk memberikan informasi mengenai Khitbah secara lebih merinci.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Kata Nikah (حð )نatau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia,
sebagai padanan kata perkawinan ()زواج. Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan
pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya hingga
menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya, dengan menggunakan
lafadz inkah atau tazwij atau terjemahannya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin yang
dilaksanakan menurut syariat Islam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, untuk
hidup bersama dalam satu rumah tangga guna mendapatkan keturunan.
Adapun secara garis besar, pernikahan yang dilaksanakan menurut agama Islam dianggap
sah secara agama dan negara, di antaranya jika:
1. calon suami;
2. calon istri;
3. wali nikah;
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa: 3)
Rasulullah bersabda :
Artinya:“Dari Anas bin Malik ra. bahwasanya Nabi SAW memunji Allah dan
menyanjungnya, beliau bersabda : “Akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku
makan, dan aku mengawini perampuan, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka
bukanlah dia dari golonganku (HR. al-Bukhari Muslim)
1. Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak
terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
2. Sunnah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu
secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya
tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan
jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan).
Sabda Rasulullah :
“Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah, Sebab
kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa tidak kuasa
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya (HR. Al- Bukhari dan
muslim)
3. Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani,
memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam
pebuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak diwujudkan.
4. Makruh
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal untuk menafkahi
keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk menyongsong kehidupan
berumah tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang
waktu yang paling tepat untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh
untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Kala
dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera
menikah.
5. Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya,
mempermainkannya serta memeras hartanya.
Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan
untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah berlaku di masyarakat. Terkait
dengan permasalahan khitbah Allah Swt. berfirman:
“ dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun”
Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau
ditinggal mati suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan
kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah
terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235
Artinya: “Janganlah salah seorang diantara kamu meminang atas pinangan saudaranya,
kecuali peminang sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan ijin
kepadanya” (HR.Bukhari dan Muslim)
Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan atau sindiran.
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria (calon suami) kepada calon mempelai
wanita (calon istri), baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.[2]
Adapun menurut Sirman Dahwal dalam Perbandingan Hukum Perkawinan (hal. 31) arti
mahar dalam Islam adalah hak istri yang diterima dari suaminya sebagai pernyataan kasih
sayang dan kewajiban suami terhadap istrinya sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an Q.S.
An-Nisa ayat 4 yang artinya:
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (orang yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya
Aturan mahar lebih lanjut diatur dalam KHI, yang mana ketentuannya menerangkan
bahwa mahar pernikahan wajib dibayarkan oleh calon suami kepada calon istri, yang
diberikan secara langsung dengan tunai, dan sejak diberikan maka mahar tersebut menjadi
hak pribadi calon istri.
Namun, penyerahan mahar tersebut boleh ditangguhkan, baik untuk seluruhnya atau
sebagian, jika calon istri menyetujui. Penyerahan mahar yang belum ditunaikan tersebut
menjadi utang calon suami.
Namun, meski mahar pernikahan dalam Islam adalah wajib, menyerahkan mahar
pernikahan bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan
jumlah mahar pada waktu akad nikah pun tidak menyebabkan perkawinan menjadi batal.
Penyerahan mahar yang masih terutang pun juga tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pada dasarnya, penentuan mengenai jumlah, bentuk dan jenis mahar tidak diatur oleh
hukum, sehingga tidak ada batasan jumlah mahar yang diberikan oleh calon suami dan
bentuk serta jenis mahar tersebut didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak.
Terkait hal ini, Sirman Dahwal mengutip pendapat Ahmad Azhar Basyir (hal. 31),
bahwa mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istri yang tidak ada batas
jumlah minimal dan maksimalnya, karena hanya merupakan simbol kesanggupan suami
untuk memikul kewajibannya sebagai suami dalam perkawinan, agar mendatangkan
kemantapan dan ketenteraman hati istri.
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa mahar pernikahan dalam
Islam tidak mengenal adanya batasan nilai, baik minimal maupun maksimal. Sebab
besarnya suatu mahar diserahkan kepada kesepakatan calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita. Asalkan mereka sepakat, tentunya mahar tersebut pun sah-sah saja
berapapun nilainya.
Hal yang paling penting dari suatu mahar pernikahan dalam Islam adalah jangan sampai
mahar tersebut dijadikan sebagai hal yang jadi mempersulit perkawinan atau pernikahan.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 31 KHI yang menerangkan bahwa penentuan
mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan dalam ajaran
Islam.
Kemudahan dan kesederhanaan ini dapat kita temukan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasulullah saw. (HR
Bukhari No.1587):
..Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar
berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.
Dari hadis ini, dapat diketahui bahwa mahar pernikahan dalam Islam tidak harus berupa
uang kertas, tetapi contoh mahar dapat pula berupa cincin, atau surat al-Qur’an yang
dihafal calon suami, sesuai kesanggupan calon suami dan kesepakatan kedua belah pihak.
Demikian jawaban kami terkait besaran nominal mahar pernikahan dalam Islam, semoga
bermanfaat.
Melihat perempuan yang akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon
istri merupakan pendahuluan pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal
untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya terwujud
keluarga yang bahagia.
Beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang perempuan yang akan
dipinang yaitu:
1. Jumhur ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena
dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuhnya
2. Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan telapak tangan
Terdapat sebuah riwayat bahwa Mughirah bin Syu’ban telah meminang seorang
perempuan, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, apakah engkau telah melihatnya?
Mughirah berkata “Belum” Rasulullah bersabda:
Artinya: “Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan lebih membawa kepada
kedamaian dan kemesrasaan kamu berdua” (H.R. Turmużi).
G. Cara Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam
Mengutip buku Hukum dan Etika Perkawinan dalam Islam oleh Ali Manshur, setiap orang
baik laki-laki atau perempuan dalam memilih calon pasangannya, pasti memiliki beberapa
pertimbangan yang dijadikan dasar. Berikut ini adalah beberapa cara menentukan pasangan
hidup yang sesuai dengan syariat Islam dalam buku tersebut:
Dalam hal ini, baik laki-laki ataupun perempuan, diperintahkan untuk memilih calon yang
seiman juga berdasarkan pada nilai-nilai agama yang dipegang serta ketakwaannya.
Dengan memiliki nilai agama yang baik, maka diharapkan hubungan suami-istri dan
anggota keluarganya yang lain juga menjadi baik. Sehingga rumah tangganya penuh
dengan rasa tenang, cinta kasih,dan keberkahan (sakinah, mawaddah, warahmah).
Hal ini juga dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda: "biasanya
wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya, maka pilihlah yang memiliki agama, tentu kamu akan beruntung." (HR.
Bukhari)
Hal ini dapat membuat hati masing-masing senang ketika berada di rumah, sehingga rumah
tangga bisa bertambah harmonis dan penuh kasih sayang. Walau demikian, tetap
dianjurkan untuk mencari pasangan hidup yang dengan prioritas mereka yang memiliki
sikap dan perilaku baik.
KESIMPULAN
1. Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki terhadap keluarga wanita untuk meminangnya,
dilakukan oleh orang yang mencari pasangan atau lewat orang perantara dengan
kententuan agama dan adat setempat.
2. Tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.
3. Hukum meminang adalah boleh (mubah).
4. Perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat, yaitu tidak terdapat halangan-
halangan syarak untuk dikawini seketika oleh laki-laki yang meminang karena tidak ada
hubungan mahram, tidak dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau tidak
sedang menjalani ialah talak raj’I dan tidak sedang dalam peminangan laki-laki lain.
5. Syarat sah khitbah ada 2, yaitu seorang wanita yang baik diakad nikahi dan wanita yang
belum terpinang.
6. Perempuan yang dapat dipinang dalam Masa Iddah yaitu wanita Ber-iddah Talak Raj’I,
Ber-iddah Talak Ba’in, Ber-iddah Talak Ba’in Shughra, Ber-iddah karena Khulu’ atau
Fasakh, dan Ber-iddah karena Kematian Suami.
7. Mahar adalah pemberian yang wajib diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan sebagai penghormatan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah
pihak. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dengan ikhlas dan sejak
itu milik pribadinya.
8. Syarat Sah Mahar, yaitu mahar tidak berupa uang haram, tidak ada kesamaran, mahar
dimiliki dengan pemilikan sempurna, mahar mampu diserahkan.
9. Mahar tidak memiliki ukuran batas. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami.
10. Benda yang layak dijadikan mahar adalah harta yang berharga dan maklum patut dijadikan
mahar.
11. Mahar sendiri terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: mahar musamma adalah mahar yang
jumlah atau bentuknya telah ditetapkan pada saat akad, dan mahar
mitsil adalah mahar yang jumlah atau bentuknya ditetapkan sebelum ataupun ketika
terjadinya perkawinan yang ditentukan oleh keluarga pihak perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
http://rahmatsyariah.blogspot.com/2013/05/tata-cara-khitbah-dan-hukumnya.html