Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“PERNIKAHAN DALAM ISLAM”
Dosen mata kuliah :

Nama kelompok 6 :
1. NADHIFA KHAIRUNNISA (19210144013)
2. DIAN ANJAR NUGROHO (19210144014)
3. AYU NOVANDA DWI P (19210144018)
4. DINDA ISNAINI NUR H (19210144019)
5. ARMAND RIZKY PUTRA G (19210144020)

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini secara tepat waktu, dengan
mengangkat materi tentang “Pernikahan dalam Islam”. Makalah ini kami susun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Tak lupa kami ucapkan terimakasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi diri sendiri khususnya dan para pembaca pada
umumnya.

Akhir kata, penulis memahami jika makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Dengan segala bentuk kerendahan hati, saran dan kritik para pembaca sangat membangun
untuk peningkatan kualitas makalah ini.

Atas perhatiannya, kami mengucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Yogyakarta, 8April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................... 4
A. KONSEP PERNIKAHAN DALAM ISLAM..................................................... 4-7
 Pengertian..........................................................................................................4
 Tujuan dan Fungsi............................................................................................5
 Dasar Hukum.................................................................................................... 5
 Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam....................................................... 5
 Syarat dan Rukun Pernikahan dalam Islam..................................................6
 Faktor Penghalang dalam Islam..................................................................... 7
B. PERNIKAHAN SESUDAH DAN SEBELUM ISLAM.....................................8-9
 Konsep Wali dan Mahar Sebelum dan Sesudah Islam......... ........................8
 Praktik Pernikahan Sebelum dan Sesudah Islam...................................... 8-9
C. KONTROVERSI PRAKTIK PERNIKAHAN...............................................10-11

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................12
PEMBAHASAN

PERNIKAHAN DALAM
ISLAM

A. KONSEP PERNIKAHAN DALAM ISLAM


1. PENGERTIAN
Perkataan nikah berasal dari bahasa arab ‫نكاحا‬
ً – ‫ نكح – ينكح‬yang berarti berkumpul
atau bersetubuh. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering disebut juga dengan
perkataan kawin atau perkawinan. Kata kawin adalah terjemahan kata nikah dalam
bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini dan menikahkan sama dengan
kata mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian
istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan kata perkawinan.

Pernikahan atau Munahakat artinya dalam bahasa adalah terkumpul dan menyatu.
Menurut istilah lain juga dapat berarti akad nikah (Ijab Qobul) yang menghalalkan
pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya yang diucapkan oleh kata-kata,
sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan dalam Al-
Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan
sebagai pernikahan, Allah S.W.T. menjadikan manusia itu saling berpasangan,
menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.

Menurut beberapa orang :

 Prof. Dr. Mahmud Yunus memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah akad
antara calon laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang
diatur oleh syari’at agama.

 Hasby Ash-Shiddiqie memberikan pengertian, bahwa perkawinan adalah melakukan


akad antara laki-laki dengan perempuan atas kerelaan dan kesukaan kedua belah
pihak oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang ditetapkan syara’
untuk menghalalkan cara percampuran antara keduanya dan untuk menjadikan yang
seorang condong kepada seorang lagi dan menjadikan masing-masing daripadanya
sekutu (teman hidup) bagi yang lain.

 Menurut Idris Ramulya, perkawinan menurut islam adalah suatu perjanjian suci yang
kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih
mengasihi, aman, tentram, bahagia dan kekal.

 Prof. Subekti, SH. Memberikan pengertian perkawinan sebagai pertalian yang sah
antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
2. Tujuan Dan Fungsi
 Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
 Untuk Membentengi Akhlak yang Luhur
 Untuk Menegakkan Rumah Tangga yang Islami
 Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah
 Untuk Mencari Keturunan yang Shalih

3. Dasar Hukum
 Wajib
Perkawinan berhukum wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan
zina seandainya tidak kawin.
 Sunnat
Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat jumhur ulama yaitu bagi
orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan
berbuat zina.
 Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga, sehingga apabila dalam melangsungkan perkawinan
akan terlantarlah diri dan istrinya.
 Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga
cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.
 Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri.

4. Prinsip-Prinsip Pernikahan Dalam Islam


 Prinsip Mitsaqan Ghaliza (Komitmen suci)
 Prinsip Mawaddah wa rahmah (Cinta dan kasih yang tak bertepi)
 Prinsip Mu’asyarah bil ma’ruf (Perilaku santun dan beradab)
 Prinsip Musawah (Kesetaraan dan keadilan gender)
 Prinsip Musyawarah (Komunikasi yang hangat dan intens)
5. Syarat Dan Rukun Pernikahan Dalam Islam
Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat. Rukun
ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum. Sedangkan syarat ialah
unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
3) Adanya dua orang saksi
4) Adanya sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang di ucapkan oleh wali
atau wakilnya dari pihak perempuan dan dijawab oleh calon pengantin
laki-laki.

Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dari perkawinan antara lain yaitu :

a. Calon suami dengan syarat-syarat


- Beragama Islam
- Laki-laki
- Jelas orangnya (bukan khuntha mushkil)
- Dapat memberikan persetujuan
- Tidak terdapat halangan melakukan perkawinan
b. Calon istri dengan syarat-syarat
- Beragama, meskipun yahudi atau nashrani
- Perempuan (bukan khuntha muskhil)
- Jelas orangnya
- Dapat dimintai persetujuannya
- Tidak terdapat halangan melakukan perkawinan
c. Wali nikah dengan syarat-syarat
- Laki-laki
- Dewasa
- Mempunyai hak perwalian
d. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat
Minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qabul, dapat mengerti maksud
akad, beragama islam, bersikap adil, dewasa.
e. Ijab qobul dengan syarat-syarat
Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak (pelaku
akad dan penerima aqad dan saksi). Singkat hendaknya menggunakan ucapan
yang menunjukkan waktu lampau atau salah seorang menggunakan
kalimat yang menunjukkan waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat
yang mennjukkan waktu yang akan datang.
6. Faktor Penghalang Pernikahan Dalam Islam
I. Larangan Perkawinan selama-lamanya
 Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan.
 Disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan (musaharah)
 Disebabkan oleh hubungan persusuan
II. Larangan Perkawinan Dalam Waktu Tertentu
Dua perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang laki-laki dalam
waktu bersamaan, wanita yang terikat dengan laki-laki lain, wanita yang
sedang dalam iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati, wanita
yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya kecuali sudah
kawin lagi dengan orang lain, wanita yang sedang melakukan ihram, baik
ihram umrah maupun ihram haji, wanita musyrik, yang dimaksud wanita
musyrik adalah yang menyembah selain Allah.
B. PERNIKAHAN SESUDAH DAN SEBELUM ISLAM
1. Konsep Wali dan Mahar Sebelum dan Sesudah Islam
Salah satu praktek menyimpang itu adalah menjadikan mahar istri sebagai milik orang
tua. Pada zaman jahiliyah, orang tua gadis menganggap mahar adalah hak mereka
sebagai kompensasi atas jasa mereka dalam membesarkan dan merawat anak
perempuan mereka. Dalam tafsir Kasyaf karya Zamakhsyari dan tafsir lainnya
disebutkan, ketika seorang ayah mendapat karunia seorang anak perempuan di zaman
itu maka orang lain akan mengucapkan selamat padanya dengan berkata, “Hanian
laka an-nafijah”. “Selamat, semoga dia menjadi sumber kekayaan bagimu. Secara
leksikal, an-nafijah berarti sekantong jebat atau wewangian dari rusa jantan yang
sangat mahal harganya. Jadi, anak perempuan disebut sebagai sumber kekayaan
karena sang ayah kelak akan menikahkan anak gadisnya dan mengambil maharnya.

Praktek menyimpang lain di zaman jahiliyah adalah hak perwalian ayah atau saudara
laki-laki (jika ayah sudah meninggal dunia) atas anak perempuan. Ayah atau saudara
laki-laki berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya; bukan sesuai
pilihan anak perempuan. Begitu juga, mahar anak perempuan akan menjadi milik
ayah atau saudara laki-laki; bukan milik dan hak sang anak perempuan.

Di zaman itu juga, anak perempuan bisa ditukar begitu saja pada pria lain. Seorang
laki-laki bisa mengatakan pada laki-laki lain, “Aku akan menikahkan anak
perempuanku (atau saudariku) denganmu jika kau memberikan anak perempuanmu
(atau saudarimu) untuk menjadi istriku.” Jika laki-laki kedua menyetujuinya maka
masing-masing perempuan yang ditukar itu telah menjadi mahar bagi kedua laki-laki
itu. Pernikahan seperti ini disebut  pernikahan syighar yang kemudian dihapus oleh
syariat Islam.

2. Praktik Pernikahan Sebelum dan Sesudah Islam


Penjelasan Hadits Tentang Jenis Pernikahan Jahiliyah:

 Nikahul-badl, yaitu seorang lelaki merelakan istrinya untuk lelaki lain, agar orang lain
tersebut merelakan istrinya kepadanya. Tujuan pernikahan semacam ini adalah
memuaskan nafsu seksual kaum laki-laki.

 Nikahur rahth, yaitu sejumlah laki-laki kurang dari sepuluh orang menggauli seorang
perempuan, mereka mencampurinya secara bergantian dalam selang waktu yang tidak
begitu lama; setelah itu si perempuan menolak hubungan seks dengan mereka, apabila
ia hamil, lalu melahirkan, maka ia memanggil semua lelaki yang telah
mencampurinya itu kemudian ia menentukan ayah bayi yang baru lahir tersebut dari
salah satu di antara mereka yang ia suka, lalu lelaki itu pun menerimanya dan nasab
bayi itupun dengan sendirinya disahkan kepada mereka berdua.

 Nikah Syigar (silang), Nikah syighar ialah apabilah seorang laki-laki menikahkan
seorang perempuan dibawah kekuasaanya dengan laki-laki lain, dengan syarat bahwa
lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar. Nikah syighar adalah nikah
pertukaran. Ilustrasinya adalah bahwa seorang laki-laki memiliki seorang anak
perempuan, lalu ada seorang laki-laki yang ingin menikahi anaknya itu, karena ia
tidak memiliki uang untuk membayar mahar, ia pun menikahkan anaknya tanpa harus
membayar mahar. Oleh karena itu, nikah syighar seperti tukar guling, seorang wali
memberikan anak perempuanya kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, sedangkan
seorang laki-laki yang dimaksudkan membebaskan mahar bagi wali yang telah
memberikan anaknya. Hukum nikah syighat menurut kesepakatan para ulama adalah
haram.

 Nikahul istibdha’, contohnya adalah seorang suami mengatakan kepada istrinya


sesudah ia bersih dari haidh, “Datanglah kepada lelaki yang terkenal dengan
keberanian dan kedermawanannya itu, lalu mintalah bersenggama dengannya”.
Tujuannya adalah agar ia memperoleh seseorang yang mempunyai sifat seperti sifat
orang yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu. Selagi si istri
belum hamil dari hubungannya dengan laki-laki yang dimaksud, maka sang suami
tidak akan mendekatinya

 Nikahul Khadan wash-shadaqah (kawin selingkuh). Adalah merupakan kebiasaan


orang-orang di masa Jahiliyah mengatakan (kepada laki-laki): “Sembunyi-
sembunyilah (dalam berzina) dan itu tidak apa-apa, yang tercela adalah kalau
dilakukan secara terang-terangan”. Maka Islam datang mengharamkan dua bentuk
hubungan seks ini, seraya Allah berfirman,artinya, “Dan janganlah kamu mendekati
perbuatan keji (zina), baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”

 Nikahul katsrah, yaitu datang sejumlah laki-laki kepada seorang perempuan yang
biasa melakukan pelacuran, lalu mereka melakukan hubungan sek dengannya, hingga
apabila si perempuan itu hamil dan melahirkan, maka mereka pun menghadiri si
perempuan jalang itu, lalu orang yang ahli dalam masalah kemiripan menentukan
ayah bayi itu di antara salah seorang mereka yang paling mirip dengannya, maka bayi
itu ditentukan sebagai anaknya.

 Nikah Mut’ah. Bentuk pernikahan ini tidak bertujuan kecuali kenikmatan seksual
belaka, dan itu merupakan nikah dalam jangka waktu tertentu. Adakalanya jangka
waktunya itu telah sama-sama diketahui, seperti si wali mengatakan kepada laki-laki
(yang akan menikah), “Saya nikahkan kamu dengan putriku”, atau “saudara
perempuanku dalam jangka waktu satu hari saja”, atau “satu bulan saja”, atau “satu
tahun”. Dan ada kalanya tidak diketahui jangka waktunya, seperti seseorang
mengatakan, “Aku nikahkan kamu dengan putriku”, atau “dengan saudariku hingga si
anu datang dari kepergiannya”. Maka apabila sehari atau sebulan berlalu,
sebagaimana kesepakatan, atau si anu tadi datang dari perjalanan jauhnya, maka
kedua pasangan sudah harus berpisah. 
C. KONTROVERSI PRAKTIK PERNIKAHAN

1. Poligami

Poligami merupakan tindakan seorang laki-laki untuk memperistri wanita lebih dari satu.
Dalam agama Islam berpoligami memang tidak dilarang bahkan Islam sangat
menganjurkan, namun dengan dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

 Bahwa istri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim.

 Harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim.

Sesungguhnya perintah berpoligami berdasarkan ayat tersebut, akan data menguraikan


berbagai kesulitan sosial yang dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat, antara
lain:

o Adanya seorang laki-laki disisi seorang janda akan mampu menjadi dan
memeliharanya agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang keji.
o Pelipatgandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim dimana
mereka tumbuh dan dididik didalamnya.
o Keberadaan sang ibu di sisi anak-anak mereka yang yatim senantiasa tetap bisa
mendidik dan menjaga mereka agar tidak menjadi gelandangan dan terhindar dari
kenakalan remaja.

2. Pernikahan Siri

Istilah nikah siri berawal dari ucapan Umar bin Khatatb, pada saat beliau diberitahu,
bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi. Singkat cerita beliau
mengharamkannya. Imam Abu Hanifah dan Syafi’I berpendapat bahwa  nikah sirri tidak
boleh dan jika terjadi harus di fasakh (dibatalkan) oleh pengadilan agama. Dilihat
sepintas, pernikahan itu dipandang sah, bila memenuhi syarat dan rukunnya. Namun
pernikahan juga harus tercatat pada kantor urusan agama. Apabila terjadi perselisihan,
maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Dari sudut pandang fiqih, pernikahan itu
dipandang sah, tetapi apabila terjadi perselisihan, tidak dapat diselesaikan melalui
pengadilan agama. Dengan  demikian  madharatnya lebih besar dari pada manfaatnya.

3. Pernikahan Mut’ah

Nikah Mut’ah adalah nikah yang dilakukan antara laki-laki dan wanita dalam jangka
waktu tertentu (Ensiklopedi hukum Islam).

 Jumhur ulama : Akad alam jangka waktu tertentu.


 Al-jazir : Nikah yang dikaitkan dengan pembatasan waktu
tertentu.
 Madzab Maliki, Syafi.i : Nikah yang dikaitkan dengan waktu tertentu dan
pembatasannya waktu itu diucapkan pada saat nikah berlangsung.
 Ulama Fiqh lain : Akad seorang laki-laki kepada wanita tertentu untuk
hidup bersama dalam waktu tertentu pula.

Menurut Madzab Syafi’i, Hambali dan maliki nikah Mut’ah disebut juga nikah Muaqqaf
(nikah yang dibatasi waktunya) istilah lain dari nikah Muqat’i (nikah yang terputus)

4. Pernikahan Sejenis

Pernikahan sejenis adalah pernikahan yang terjadi antara dua orang yang memiliki jenis
kelamin sama. Pernikahan sejenis misalnya seperti seorang laki-laki menikah dengan
laki-laki dan seorang perempuan menikah dengan perempuan. Secara normalnya
pernikahan terjadi antara dua orang yang mempunyai jenis kelami yang berbeda yaitu
laki-laki dan perempuan, tetapi pernikahan sejenis keluar atau menyimpang dari keadaan
normal yaitu menikah dengan jenis kelamin yang sama.

Pernikahan sejenis menurut UU pemerintah Indonesia dengan tegas dilarang atau tidak
dilegalkan. Dalam agama Islam pernikahan sejenis secara tegas juga dilarang. Dasar dari
adanya pelarangan pernikahan sejenis dalam Islam yaitu diantaranya:

1. Al-A’raaf (7): 80-84


2. Al Hujurat ayat 13
3. An-Nisa ayat 1
DAFTAR PUSTAKA

 Online
https://www.rangkumanmakalah.com/pernikahan-dalam-islam/
https://sijai.com/tujuan-pernikahan-dalam-islam/
https://aldy-firdani.blogspot.com/2014/01/makalah-pernikahan-dalam-agama
islam.html
https://musdah-mulia.blogspot.com/2017/09/lima-prinsip-dasar-pernikahan-
islam.html
https://akademi-pendidikan.blogspot.com/2012/02/poligami-nikah-siri-dan-
muthah.html

 Offline

Konsep Pernikahan Dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Amini 2011)

Hukum Perkawinan dalam Islam (Yogyakarta: BPFE, 1998)

Abdurrahman Ghazali, fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana 2003) 114

Pernikahan dalam Islam by Wahyu Wibisana (2016)

Pernikahan dalam Perspektif Al-Quran Oleh Agustina Nurhayati (2011)

Anda mungkin juga menyukai