Makalah
Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah Studi
Naskah Fikih Hukum Keluarga I (Perkawinan)
Program Pascasarjana Program Studi Hukum Keluarga Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone
Dosen Pengampu:
Oleh:
Kelompok IV
PROGRAM PASCASARJANA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan berbagai
nikmat sampai saat ini. Salawat dan salam tetap tertuju kepada manusia pilihan Allah
swt.,Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun manusia, khususnya umat Islam ke
kekurangan, karena kurangnya kemampuan penulis. Kepada semua pihak yang telah
yang sebesar-besarnya.
Harapan besar penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan
juga bagi para mahaasiswa ataupun mereka yang berkecimpung dalam bidang
akademik, sehingga dapat lebih giat untuk menciptakan karya-karya yang bermanfaat
bagi masyarakat.
Penulis sangat berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
guna lebih sempurnanya makalah ini, sehingga dapat menuai manfaat maksimal
kepada masyarakat.
Penulis,
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan Peminangan.......................................................................................... 13
A. Simpulan .......................................................................................................... 15
B. Implikasi........................................................................................................... 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam perkawinan memiliki kedudukan yang sangat signifikan baik
secara sosial dan keagamaan maupun dari sudut pandangan hukum. Atas dasar ini
sangat mudah dipahami jika agama Islam ajaran hukumnya mengatur soal
perkawinan secara bertahap, sistemik, dan abadi. Bertahap, karena sebelum
melangsungkan akad nikah, sepasang calon pengantin diperintahkan untuk
melakukan kegiatan yang dinamakan dengan serangkaian pendahuluan nikah
(muqaddimah nikah atau muqaddimah az-zawaj). Mengingat langkah-langkah yang
harus dilakukan dalam pernikahan bersifat kumulatif antara yang satu dengan yang
lain. semua langkah-langkah itu disyariatkan tampak mengacu pada tujuan utama dan
pertama dari syariat pernikahan itu sendiri, yakni mewujudkan keluarga sakinah
(bahagia) yang abadi.
Salah satu prinsip kehidupan dalam sosial kemasyarakatan adalah pernikahan
yang merupakan sunnatullah bagi alam semesta, semua tumbuhan dan hewan (kawin).
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi bimbingan agama untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, oleh karenanya
pernikahan adalah dorongan bagi setiap Muslim yang mampu dan yang tidak ingin
jatuh dalam dosa (QS. al-Nisa>/4). Sebelum upacara pernikahan, seorang pria
biasanya meminang atau berkhitbah kepada wanita yang akan menjadi istri. Khitbah
berarti mengekspresikan permintaan untuk menikahi pria dengan wanita atau
sebaliknya atau hanya melalui perantara yang tepercaya.
Jika kedua belah pihak sepakat untuk menikah, maka peminangan dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung (tersirat), dan dapat dipahami bahwa
hukum peminangan bersifat tidak wajib (QS. al-Baqarah/2: 235). Praktik masyarakat
saat ini menunjukkan bahwa peminangan adalah tahap awal yang hampir pasti akan
dilakukan dari berbagai tahapan pernikahan, dengan proses sesuai dengan kebiasaan
1
2
masing-masing daerah karena ada pesan moral dan etiket untuk memulai rencana
membangun sebuah rumah tangga. Peminangan memiliki kandungan atau status
(akibat) hukum, dalam arti masih ada batasan yang harus dijaga agar pasangan yang
bertunangan tidak bisa bersama sampai upacara pernikahan.1 Sebagaimana sabda Nabi
saw. "tidak ada pria dengan satu wanita kecuali ketiganya adalah setan."
Memilih calon istri atau calon suami merupakan langkah awal untuk memulai
kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, memilih calon istri atau calon suami
bukanlah hal yang mudah, membutuhkan waktu yang tidak singkat, karena harus
melihat syarat-syarat calon istri atau calon suami sesuai anjuran agama. Orang yang
hendak menikah hendaklah memilih pendamping hidup dengan cermat.
Agama Islam telah menetapkan bagaimana aturan dalam peminangan
sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi Muhammad Saw yang bersabda bahwasanya
pinangan itu adalah dari pihak laki-laki, boleh laki-laki itu sendiri yang datang
kepada pihak perempuan untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus
perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada
dalam status orang yang menerima pinangan.
Peminangan merupakan langkah pendahuluan menuju ke arah perkawinan
antara seorang laki-laki dan perempuan. Tujuannya adalah agar masing-masing
mempelai dapat saling kenal mengenal dan mengetahui kepribadian masing-masing
supaya mereka dapat memahami kelebihan dan kekerungan masing-masing dan
menerimanya dengan ikhlas. Perlu diketahui bahwa tidak ada manusia yang
sempurna di dunia ini, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Untuk itu,
suami dan istri harus dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh pasangannya
dan menerima kekurangannya serta berusaha untuk memperbaikinya.
1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet. VI; Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
h. 11.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan
beberapa rumusan masalah yang dijadikan sebagai sub bahasan. Adapun rumusan
masalahnya yaitu:
1. Apa pengertian peminangan ?
2. Apa syarat-syarat peminangan ?
3. Apa tujuan peminangan ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis merumuskan beberapa
tujuan penulisan makalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian peminangan
2. Untuk mengetahui syarat-syarat peminangan
3. Untuk mengetahui tujuan peminangan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peminangan
Al-Khitbah berasal dari lafadz Khathiba, yakhthibu, khithbatun.
Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-Khithbah ialah permintaan seorang
laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri menurut cara-cara yang
berlaku di kalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khithbah (lamaran) biasanya
masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya. Khithbah
merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri
dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.2
Peminangan mengakar pada kata pinang-meminang yang artinya melamar,
meminta, mempersunting, dan menanyakan.3
Kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba yang diartikan
sebagai meminang atau melamar.4 Kata khitbah dalam istilah bahasa Arab merupakan
akar dari kata al- khitbah dan al- khatbu. Al- khitab berarti pembicaraan. Jika al-
khitab (pembicaraan) ada kaitannya dengan perempuan, maka makna eksplisit yang
bisa kita tangkap adalah pembicaraan yang menyinggung ihwal pernikahan.
Sehingga, makna meminang bila ditinjau dari akar katanya adalah pembicaraan
yang berhubungan dengan lamaran atau permohonan untuk menikah.5
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan
2
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al- Ikhlas,
2008), h. 15
3
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 477.
4
Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP al-Munawir, 1984), h. 376.
5
Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h.
15-16.
4
5
6
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, h. 6492
7
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, (Beirut: Darul Fikri, 1998), h. 462
8
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002 ),h. 31
9
al- Athar, Saat Anda Meminang, h. 15-16.
6
seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki- laki itu secara
langsung atau lewat perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan
agama.10 Tentu hal itu dilakukan berdasar pada kaidah-kaidah umum yang telah
berlaku di masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal untuk menuju
ke jenjang serius pernikahan. Allah SWT menggariskan agar masing-masing
pasangan yang hendak menikah lebih awal saling mengenal sebelum dilakukan akad
nikahnya sehingga pelaksanaan perkawinan benar-benar berdasarkan pada pandangan
danpenilaian yang jelas.11
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1, Bab 1 huruf a, memberi
pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita yang dapat dilakukan oleh
orang yang berkehendak mencari pasangan, tetapi dapat pula dilakukan oleh
perantara yang dapat dipercaya. Namun dalam praktiknya, peminangan dapat
dilakukan secara terang-terangan terhadap wanita yang masih sendiri. Bila
peminangan terhadap wanita yang masih dalam masa „iddah wafat ataupun „iddah
talak ba‟in dilakukan dengan kinayah (sindiran) untuk menghormati perasaan wanita
tersebut.12
Dalam hal ini, peminangan menjadi langkah-langkah persiapan untuk
menuju perkawinan yang disyariatkan Allah SWT. Sebelum terlaksananya akad
nikah, guna lebih menambah pengetahuan dan pengenalan masing-masing, calon
suami dan isteri itu mengetahui tentang watak mereka masing-masing, perilaku, dan
kecenderungan satu sama lain dengan harapan dapat memasuki kehidupan
perkawinan kelak dengan hati dan perasaan yang lebih mantap. Dengan demikian,
10
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995), h. 59.
11
Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995), h. 60.
12
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos, 1999), h. 139.
7
peminangan dapat dikatakan sebagai permintaan atau pernyataan dari seorang laki-
laki kepada perempuan secara baik-baik sesuai dengan kebiasaan (adat) yang berlaku
di daerah tersebut baik secara sharih (terang-terangan) ataupun secara kinayah
(sindiran) yang dapat dilakukan sendiri ataupun melalui perantara.13
Apabila prosesi peminangan sudah konkret dan pinangan itu diterima oleh
pihak-pihak yang dipinang (perempuan), berarti bahwa secara tidak langsung kedua
belah pihak disertai dengan kerelaan hati telah mengadakan perjanjian untuk
melaksanakan akad nikah. Dengan adanya perjanjian yang langsung atau tidak
langsung itu berarti calon mempelai telah terikat dengan pertunangan. Masa antara
menerima pinangan dengan pelaksanaan aqad nikah (jika tidak ada pembatalan)
disebut pertunangan.14
Telaah di atas mengandung pemahaman bahwa, peminangan menjadi
landasan awal untuk menuju ke jenjang perkawinan. Memang, peminangan bukan
merupakan sesuatu yang wajib, Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum
Islam, baik dalam al- Qur’an maupun al- Hadiś. Dalam al- Qur’an surat al- Baqarah
ayat 235 menjadi dasar dari peminangan, yang berbunyi:
Terjemahan : Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu] dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
13
M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), h. 42.
14
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995), h. 34.
8
Firman Allah swt “dengan sindiran”. Firman Allah ini ditujukan
kepada seluruh manusia. Namun dimaksudkan untuk hukum ini adalah seorang laki-
laki yang berniat menikahi perempuan yang masih dalam iddah. Maksud ayat: Tidak
ada dosa atas kalian dalam meminang perempuan yang masih dalam iddah wafat
secara sindiran.15
Tidak boleh meminang istri yang ditalak dengan talak raj’i secara sindiran,
sebab dia masih dalam status istri yang sah. Sedangkan istri yang dalam iddah talak
ba’in (talak tiga) maka pendapat yang benar adalah boleh meminangnya dengan
sindiran.16
mereka) dalam hatimu”. Maknanya kalian tutupi dan kalian sembunyikan keinginan
menikah dengannya sampai berakhir masa iddahnya. 17
Allah swt membolehkan ungkapan keinginan orang yang ingin menikahi
perempuan yang masih dalam iddah secara sindiran dan ditutup-tutupi. Namun Dia
melarang dari menjanjikan akan menikahinya. Allah swt membolehkan secara
15
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 399.
16
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭub, h. 401.
17
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭub, h. 404.
9
sindiran karena Dia tahu keinginan jiwa dan ketamakannya, juga kelemahan manusia
dalam menguasai keinginan tersebut.18
Berkenaan dengan prosesi khiţbah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu
sebagai berikut:
18
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭubi, h. 404
19
Al- Asqolani, Ibn Hajr, Bulugh al-Maram, (Semarang: Karya Toha Putrah, 1378 H),
h.209.
10
Artinya: Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat lain:
“dan ciumlah gigi depannya”. (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan
Baihaqi).20
B. Syarat-Syarat Peminangan
Secara syariat, wanita yang boleh dikhitbah memiliki beberapa persyaratan,
diantaranya:
a. Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran
kepada pihak laki-laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti
dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat dari
mustahsinah itu sendiri sebagai berikut:
1. Perempuan yang akan dipinang sebaiknya “setara” dengan pria yang
meminang, baik fisik maupun non-fisik seperti akhlak dan pengetahuan
agama. Harapan dengan adanya “keserasian” dari kedua belah pihak, dapat
menciptakan keharmonisan suami-istri yang dapat mendukung untuk
mencapai tujuan pernikahan12, sebagaimana sabda Nabi saw.:
ِ تُْن َكح الْمرأَةُِ ألَرب ٍع لِم ِاِلا و ِِلسبِها و ِِلم ِاِلا ولِ ِدينِها فَاظْ َفر بِ َذ
ِّ ات
ْ َالديْ ِن تَ ِرب
ت يَ َد َاك ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َْ ْ َ ُ
رواه البخاري و مسلم عن أىب ىريرة
Artinya : Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw. beliau bersabda: "Wanita itu
dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya,
niscaya kamu akan beruntung. "(HR. al-Bukhari)
20
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, h. 37.
21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, (Beirut: Darul
Fikri, 2005), h. 3.
11
....َِخيو
ِأ وم َعلَى َس ْوِم ِِ ِ ِ
ُ الر ُج ُل َعلَى خطْبَة أَخيو َوََل يَ ُس
َّ بُ ََُل ََيْط
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda: "Janganlah meminang
wanita yang telah dipinang saudaranya…
2. Perempuan yang akan dipinang bukan pada masa iddah, dan jika pada iddah
raj’i maka yang berhak mengawininya adalah mantan suaminya, disamping
itu ada empat hal yang terkait, diantaranya:
a. Kebolehan meminang seorang wanita cerai yang belum disetubuhi,
disebabkan tidak masuk pada masa iddah dalam kesepakatan para
ulama, sesuai QS. Al-Ahzab/33: 49.
b. Tidak bolehnya melamar wanita yang telah ditalak raj’i, baik terang-
terangan ataupun tidak, hal ini disebabkan karena masih sebagai wanita
yang diperistri.
c. Kebolehan meminang seorang wanita dengan isyarat (tertutup) dan tidak
terbuka atau terang-terangan bagi wanita dalam masa iddah disebabkan
wafatnya suami.24
d. Ketidakbolehan meminang seorang wanita yang sedang dalam ikatan
22
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 35.
23
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 33
24
Bus\ainan al-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002), h. 54-55.
12
C. Tujuan Peminangan
Pada dasarnya tujuan dari peminangan dengan perkawinan tidaklah jauh
berbeda. Secara eksplisit, tujuan dari peminangan memang tidak disebutkan seperti
halnya dalam perkawinan, namun secara implisit, tujuan daripada peminangan dapat
dilihat dari syarat-syarat yang ada dalam peminangan. Peminangan itu sendiri
mempunyai tujuan, tidak lain yaitu untuk menghindar dari kesalahpahaman antara
kedua belah pihak, dan juga, agar perkawinan itu sendiri berjalan atas pemikiran
yang mendalam dan mendapat hidayah. Lebih jauh lagi, suasana kekeluargaaan
nantinya akan berjalan erat antara suami istri, dan anggota keluarga lainnya.25
Selain itu, Soerojo Wignjodipoero menyatakan, yang menjadi landasan orang
melakukan peminangan tidak sama di semua daerah, lazimnya adalah:
a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu sudah dapat
dilangsungkan dalam waktu dekat.
b. Khususnya di daerah-daerah yang pergaulannya sangat bebas antara pergaulan
muda-mudi maka dibatasi dengan pertunangan.
c. Suatu pemberian kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mengenal lebih jauh
25
Abdullah Nashih „Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq,
1993 ), h. 29.
14
2626
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Gunung
Agung, 1995), h. 125.
27
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al- Syakhsiyyah (Beirut: Daral-Fikr), h. 29.
28
al-Athar, Saat Anda Yang Meminang, h. 170.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
menjadi istri. Khitbah juga sebagai langkah saling mengenal antara satu sama lain.
Syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki-laki yang
akan meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu wanita yang akan
jalannya masa perkenalan dari kedua belah pihak, bisa mempercepat tumbuhnya rasa
cinta dan kasih, dan menimbulkan rasa ketentraman jiwa dan kemantapan hati bgi
B. Implikasi
Makalah ini diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan referensi dan
peminangan.
Adapun saran yang bisa kami sampaikan yaitu agar kiranya para pembaca
15
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. VI; Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
al- Athar, Abd. Nashir Taufik. Saat Anda Meminang. Jakarta: Pustaka Azam, 2001.
Al- Asqolani, Ibn Hajr. Bulugh al-Maram. Semarang: Karya Toha Putrah, 1378 H.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Logos, 1999.
Idhamy, Dahlan. Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: Al-
Ikhlas, 2008.
Nashih, Abdullah dan Ulwan. Tata Cara Meminang dalam Islam. Solo: Pustaka
Mantiq, 1993.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II. Beirut: Darul Fikri, 2005.
16
17