Anda di halaman 1dari 20

PEMINANGAN

Makalah
Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah Studi
Naskah Fikih Hukum Keluarga I (Perkawinan)
Program Pascasarjana Program Studi Hukum Keluarga Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone

Dosen Pengampu:

Dr. H. Fathurahman, M. Ag.

Oleh:
Kelompok IV

Warda Sakinah NIM: 741302022023

Eka Astuti NIM: 741302022006

Muh. Adri NIM: 741302022010

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan berbagai

nikmat sampai saat ini. Salawat dan salam tetap tertuju kepada manusia pilihan Allah

swt.,Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun manusia, khususnya umat Islam ke

jalan yang diridai oleh Allah.

Penulis telah berhasil menyelesaikan makalah ini, walaupun terdapat banyak

kekurangan, karena kurangnya kemampuan penulis. Kepada semua pihak yang telah

membantu terseleseikannya makalah ini, penulis mengucapkan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya.

Harapan besar penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan

juga bagi para mahaasiswa ataupun mereka yang berkecimpung dalam bidang

akademik, sehingga dapat lebih giat untuk menciptakan karya-karya yang bermanfaat

bagi masyarakat.

Penulis sangat berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak

guna lebih sempurnanya makalah ini, sehingga dapat menuai manfaat maksimal

kepada masyarakat.

Penulis,

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 3

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 4

A. Pengertian Peminangan ...................................................................................... 4

B. Syarat-Syarat Peminangan ............................................................................... 10

C. Tujuan Peminangan.......................................................................................... 13

BAB III PENUTUP..................................................................................................... 15

A. Simpulan .......................................................................................................... 15

B. Implikasi........................................................................................................... 15

DAFTAR RUJUKAN ................................................................................................. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Islam perkawinan memiliki kedudukan yang sangat signifikan baik
secara sosial dan keagamaan maupun dari sudut pandangan hukum. Atas dasar ini
sangat mudah dipahami jika agama Islam ajaran hukumnya mengatur soal
perkawinan secara bertahap, sistemik, dan abadi. Bertahap, karena sebelum
melangsungkan akad nikah, sepasang calon pengantin diperintahkan untuk
melakukan kegiatan yang dinamakan dengan serangkaian pendahuluan nikah
(muqaddimah nikah atau muqaddimah az-zawaj). Mengingat langkah-langkah yang
harus dilakukan dalam pernikahan bersifat kumulatif antara yang satu dengan yang
lain. semua langkah-langkah itu disyariatkan tampak mengacu pada tujuan utama dan
pertama dari syariat pernikahan itu sendiri, yakni mewujudkan keluarga sakinah
(bahagia) yang abadi.
Salah satu prinsip kehidupan dalam sosial kemasyarakatan adalah pernikahan
yang merupakan sunnatullah bagi alam semesta, semua tumbuhan dan hewan (kawin).
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi bimbingan agama untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, oleh karenanya
pernikahan adalah dorongan bagi setiap Muslim yang mampu dan yang tidak ingin
jatuh dalam dosa (QS. al-Nisa>/4). Sebelum upacara pernikahan, seorang pria
biasanya meminang atau berkhitbah kepada wanita yang akan menjadi istri. Khitbah
berarti mengekspresikan permintaan untuk menikahi pria dengan wanita atau
sebaliknya atau hanya melalui perantara yang tepercaya.
Jika kedua belah pihak sepakat untuk menikah, maka peminangan dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung (tersirat), dan dapat dipahami bahwa
hukum peminangan bersifat tidak wajib (QS. al-Baqarah/2: 235). Praktik masyarakat
saat ini menunjukkan bahwa peminangan adalah tahap awal yang hampir pasti akan
dilakukan dari berbagai tahapan pernikahan, dengan proses sesuai dengan kebiasaan

1
2

masing-masing daerah karena ada pesan moral dan etiket untuk memulai rencana
membangun sebuah rumah tangga. Peminangan memiliki kandungan atau status
(akibat) hukum, dalam arti masih ada batasan yang harus dijaga agar pasangan yang
bertunangan tidak bisa bersama sampai upacara pernikahan.1 Sebagaimana sabda Nabi
saw. "tidak ada pria dengan satu wanita kecuali ketiganya adalah setan."
Memilih calon istri atau calon suami merupakan langkah awal untuk memulai
kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, memilih calon istri atau calon suami
bukanlah hal yang mudah, membutuhkan waktu yang tidak singkat, karena harus
melihat syarat-syarat calon istri atau calon suami sesuai anjuran agama. Orang yang
hendak menikah hendaklah memilih pendamping hidup dengan cermat.
Agama Islam telah menetapkan bagaimana aturan dalam peminangan
sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi Muhammad Saw yang bersabda bahwasanya
pinangan itu adalah dari pihak laki-laki, boleh laki-laki itu sendiri yang datang
kepada pihak perempuan untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus
perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada
dalam status orang yang menerima pinangan.
Peminangan merupakan langkah pendahuluan menuju ke arah perkawinan
antara seorang laki-laki dan perempuan. Tujuannya adalah agar masing-masing
mempelai dapat saling kenal mengenal dan mengetahui kepribadian masing-masing
supaya mereka dapat memahami kelebihan dan kekerungan masing-masing dan
menerimanya dengan ikhlas. Perlu diketahui bahwa tidak ada manusia yang
sempurna di dunia ini, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Untuk itu,
suami dan istri harus dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh pasangannya
dan menerima kekurangannya serta berusaha untuk memperbaikinya.

1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet. VI; Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
h. 11.
3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan
beberapa rumusan masalah yang dijadikan sebagai sub bahasan. Adapun rumusan
masalahnya yaitu:
1. Apa pengertian peminangan ?
2. Apa syarat-syarat peminangan ?
3. Apa tujuan peminangan ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis merumuskan beberapa
tujuan penulisan makalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian peminangan
2. Untuk mengetahui syarat-syarat peminangan
3. Untuk mengetahui tujuan peminangan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peminangan
Al-Khitbah berasal dari lafadz Khathiba, yakhthibu, khithbatun.
Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-Khithbah ialah permintaan seorang
laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri menurut cara-cara yang
berlaku di kalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khithbah (lamaran) biasanya
masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya. Khithbah
merupakan pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri
dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.2
Peminangan mengakar pada kata pinang-meminang yang artinya melamar,
meminta, mempersunting, dan menanyakan.3
Kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba yang diartikan
sebagai meminang atau melamar.4 Kata khitbah dalam istilah bahasa Arab merupakan
akar dari kata al- khitbah dan al- khatbu. Al- khitab berarti pembicaraan. Jika al-
khitab (pembicaraan) ada kaitannya dengan perempuan, maka makna eksplisit yang
bisa kita tangkap adalah pembicaraan yang menyinggung ihwal pernikahan.
Sehingga, makna meminang bila ditinjau dari akar katanya adalah pembicaraan
yang berhubungan dengan lamaran atau permohonan untuk menikah.5
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan

2
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al- Ikhlas,
2008), h. 15
3
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 477.
4
Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP al-Munawir, 1984), h. 376.
5
Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h.
15-16.

4
5

seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik


langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud
ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.6
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah)
sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan
perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus
dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling
mengetahui.7
Al-Hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-
laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di
bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.8
Sedangkan makna al- khatbu adalah persoalan, kepentingan dan keadaan.
Sehingga makna peminangan dalam hal ini adalah permohonan oleh seorang kepada
perempuan tentang suatu persoalan atau kepentingan yang berada di tangan pihak
wanita. Al-hasil, asosiasi makna yang kali pertama dapat ditangkap dan dipahami
oleh wanita itu adalah persoalan atau kepentingan yang berhubungan dengan
pernikahan.9
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah)
adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang
dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan
perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan
dilangsungkan.
Sedangkan menurut ilmu fiqh, peminangan artinya “permintaan”. Secara
terminologi adalah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak

6
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, h. 6492
7
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, (Beirut: Darul Fikri, 1998), h. 462
8
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002 ),h. 31
9
al- Athar, Saat Anda Meminang, h. 15-16.
6

seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki- laki itu secara
langsung atau lewat perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan
agama.10 Tentu hal itu dilakukan berdasar pada kaidah-kaidah umum yang telah
berlaku di masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal untuk menuju
ke jenjang serius pernikahan. Allah SWT menggariskan agar masing-masing
pasangan yang hendak menikah lebih awal saling mengenal sebelum dilakukan akad
nikahnya sehingga pelaksanaan perkawinan benar-benar berdasarkan pada pandangan
danpenilaian yang jelas.11
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1, Bab 1 huruf a, memberi
pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita yang dapat dilakukan oleh
orang yang berkehendak mencari pasangan, tetapi dapat pula dilakukan oleh
perantara yang dapat dipercaya. Namun dalam praktiknya, peminangan dapat
dilakukan secara terang-terangan terhadap wanita yang masih sendiri. Bila
peminangan terhadap wanita yang masih dalam masa „iddah wafat ataupun „iddah
talak ba‟in dilakukan dengan kinayah (sindiran) untuk menghormati perasaan wanita
tersebut.12
Dalam hal ini, peminangan menjadi langkah-langkah persiapan untuk
menuju perkawinan yang disyariatkan Allah SWT. Sebelum terlaksananya akad
nikah, guna lebih menambah pengetahuan dan pengenalan masing-masing, calon
suami dan isteri itu mengetahui tentang watak mereka masing-masing, perilaku, dan
kecenderungan satu sama lain dengan harapan dapat memasuki kehidupan
perkawinan kelak dengan hati dan perasaan yang lebih mantap. Dengan demikian,

10
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995), h. 59.
11
Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995), h. 60.
12
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos, 1999), h. 139.
7

peminangan dapat dikatakan sebagai permintaan atau pernyataan dari seorang laki-
laki kepada perempuan secara baik-baik sesuai dengan kebiasaan (adat) yang berlaku
di daerah tersebut baik secara sharih (terang-terangan) ataupun secara kinayah
(sindiran) yang dapat dilakukan sendiri ataupun melalui perantara.13
Apabila prosesi peminangan sudah konkret dan pinangan itu diterima oleh
pihak-pihak yang dipinang (perempuan), berarti bahwa secara tidak langsung kedua
belah pihak disertai dengan kerelaan hati telah mengadakan perjanjian untuk
melaksanakan akad nikah. Dengan adanya perjanjian yang langsung atau tidak
langsung itu berarti calon mempelai telah terikat dengan pertunangan. Masa antara
menerima pinangan dengan pelaksanaan aqad nikah (jika tidak ada pembatalan)
disebut pertunangan.14
Telaah di atas mengandung pemahaman bahwa, peminangan menjadi
landasan awal untuk menuju ke jenjang perkawinan. Memang, peminangan bukan
merupakan sesuatu yang wajib, Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum
Islam, baik dalam al- Qur’an maupun al- Hadiś. Dalam al- Qur’an surat al- Baqarah
ayat 235 menjadi dasar dari peminangan, yang berbunyi:

             
             
              
        
Terjemahan : Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu] dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada

13
M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), h. 42.
14
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995), h. 34.
8

mereka) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam


(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu;
Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS. al-Baqarah 2:235)

Firman Allah swt  “dengan sindiran”. Firman Allah ini ditujukan

kepada seluruh manusia. Namun dimaksudkan untuk hukum ini adalah seorang laki-
laki yang berniat menikahi perempuan yang masih dalam iddah. Maksud ayat: Tidak
ada dosa atas kalian dalam meminang perempuan yang masih dalam iddah wafat
secara sindiran.15
Tidak boleh meminang istri yang ditalak dengan talak raj’i secara sindiran,
sebab dia masih dalam status istri yang sah. Sedangkan istri yang dalam iddah talak
ba’in (talak tiga) maka pendapat yang benar adalah boleh meminangnya dengan
sindiran.16

     “atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini

mereka) dalam hatimu”. Maknanya kalian tutupi dan kalian sembunyikan keinginan
menikah dengannya sampai berakhir masa iddahnya. 17
Allah swt membolehkan ungkapan keinginan orang yang ingin menikahi
perempuan yang masih dalam iddah secara sindiran dan ditutup-tutupi. Namun Dia
melarang dari menjanjikan akan menikahinya. Allah swt membolehkan secara

15
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 399.
16
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭub, h. 401.
17
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭub, h. 404.
9

sindiran karena Dia tahu keinginan jiwa dan ketamakannya, juga kelemahan manusia
dalam menguasai keinginan tersebut.18
Berkenaan dengan prosesi khiţbah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu
sebagai berikut:

‫ فإن استطاع‬،‫خطب أح ُدكم املرأة‬


َ ‫ "إذا‬:-‫ ملسو هيلع هللا ىلص‬- ‫ قال رسول هللا‬:‫ قال‬،‫عن جابر بن عبد هللا‬
‫"أن ينظر إىل ما يدعوه إىل نِكاحها فَلْيَ ْف َع ْل‬

Artinya : “Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda:


“Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa
memandang bagian yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.”
(Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim).19

Mayoritas fuqahā berpendapat bahwa orang yang meminang boleh


memandang pinangannya. imam malik, imam syafi‟i dan imam ahmad memberikan
batasan pada telapak tangan dan wajah saja20. Karena wajah cukup untuk bukti
kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan dan kehalusan kulit
badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka hendaknya
orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk
mengetahuinya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta keindahan
rambutnya. Sebagaimana Nabi SAW pernah mengutus seseorang untuk mendatangi
perempuan dengan sabdanya:

‫انظري إِ َىل عرقوبيها ومشي معاطفها‬

18
al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi Syaikh
Imam al-Qurṭubi, h. 404
19
Al- Asqolani, Ibn Hajr, Bulugh al-Maram, (Semarang: Karya Toha Putrah, 1378 H),
h.209.
10

Artinya: Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat lain:
“dan ciumlah gigi depannya”. (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan
Baihaqi).20

Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan


bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada
hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan
perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalampeminangan itu.21

B. Syarat-Syarat Peminangan
Secara syariat, wanita yang boleh dikhitbah memiliki beberapa persyaratan,
diantaranya:
a. Mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran
kepada pihak laki-laki yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti
dahulu wanita yang akan dipinangnya tersebut. Adapun syarat-syarat dari
mustahsinah itu sendiri sebagai berikut:
1. Perempuan yang akan dipinang sebaiknya “setara” dengan pria yang
meminang, baik fisik maupun non-fisik seperti akhlak dan pengetahuan
agama. Harapan dengan adanya “keserasian” dari kedua belah pihak, dapat
menciptakan keharmonisan suami-istri yang dapat mendukung untuk
mencapai tujuan pernikahan12, sebagaimana sabda Nabi saw.:
ِ ‫تُْن َكح الْمرأَةُِ ألَرب ٍع لِم ِاِلا و ِِلسبِها و ِِلم ِاِلا ولِ ِدينِها فَاظْ َفر بِ َذ‬
ِّ ‫ات‬
ْ َ‫الديْ ِن تَ ِرب‬
‫ت يَ َد َاك‬ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َْ ْ َ ُ
‫رواه البخاري و مسلم عن أىب ىريرة‬
Artinya : Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw. beliau bersabda: "Wanita itu
dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya,
niscaya kamu akan beruntung. "(HR. al-Bukhari)

20
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, h. 37.
21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, (Beirut: Darul
Fikri, 2005), h. 3.
11

2. Perempuan yang akan dipinang mempunyai sifat penyayang dan dapat


melahirkan keturunan (sehat jasmani), dan sebaliknya, perempuan yang
dipinang sebaiknya mengetahui pula kondisi pria yang meminangnya.22

b. Persyaratan lazimah, merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum khitbah


dilakukan.23 Oleh karena itu, sahnya sebuah pinangan tergantung kepada
persyaratan lazimah, diantaranya:
1. Perempuan yang akan dipinang bukan dalam pinangan pria lainnya sampai
pria tersebut melepas pinangannya.16 Nabi saw. bersabda:

....ِ‫َخيو‬
ِ‫أ‬ ‫وم َعلَى َس ْوِم‬ ِِ ِ ِ
ُ ‫الر ُج ُل َعلَى خطْبَة أَخيو َوََل يَ ُس‬
َّ ‫ب‬ُ ُ‫ََل ََيْط‬
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda: "Janganlah meminang
wanita yang telah dipinang saudaranya…
2. Perempuan yang akan dipinang bukan pada masa iddah, dan jika pada iddah
raj’i maka yang berhak mengawininya adalah mantan suaminya, disamping
itu ada empat hal yang terkait, diantaranya:
a. Kebolehan meminang seorang wanita cerai yang belum disetubuhi,
disebabkan tidak masuk pada masa iddah dalam kesepakatan para
ulama, sesuai QS. Al-Ahzab/33: 49.
b. Tidak bolehnya melamar wanita yang telah ditalak raj’i, baik terang-
terangan ataupun tidak, hal ini disebabkan karena masih sebagai wanita
yang diperistri.
c. Kebolehan meminang seorang wanita dengan isyarat (tertutup) dan tidak
terbuka atau terang-terangan bagi wanita dalam masa iddah disebabkan
wafatnya suami.24
d. Ketidakbolehan meminang seorang wanita yang sedang dalam ikatan

22
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 35.
23
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 33
24
Bus\ainan al-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002), h. 54-55.
12

pernikahan dengan pria lainnya.18


Namun Imam Al-Ghazali meyarankan laki-laki muslim untuk tidak
menikahi 6 jenis wanita ini dengan memiliki beberapa pertimbangan
didalamnya harus diperhatikan dalam memilih pasangan khususnya terhadap
pemilihan calon istri, diantaramya sebagai berikut :
a) Al-Ananah (Wanita Yang Suka Mengeluh)
Wanita yang suka mengeluh dan mengadu. Keluhannya membuat
suami tertekan dan mendatangkan solusi. Wanita seperti ini tidak dapat
bersinergi bersama suami menuju pernikahan sakinah, mawadah,
warahmah.
b) Al-Mananah (Mengungkit Jasa Yang Diperoleh Suami)
Wanita seperti ini dapat menghambat peran suami. Sebab ia suka
mengungki-ungkit kebaikannya. Perilaku istri ini mengancam pahala yang
telah ia dapat. Perbuatan baiknya akan terhapus, seiring dengan sikap
sombong.
c) Al-Hananah (Wanita Yang Punya Masa Lalu)
Tipe wanita yang suka menceritakan kembali pria sebelum
pasangannya. Baik jasa dan kebaikannya. Misalnya wanita seorang janda.
Dia suka mengukit-ukit kelebihan mantan suaminya. Atau, bila wanita
tersebut belum pernah menikah mereka suka menceritakan ayah atau
saudara laki-lakinya. Terlebih jika wanita mmembandingkan dari sisi
ekonomi.
d) Al-Haddaqah (Wanita Yang Belanjanya Besar atau boros)
Wanita yang suka berbelanja, boros dalam membelanjakan uang.
Mereka suka meminta produk-produk mewah. Imam Al Ghazali melarang
menikahi wanita seperti ini, sekali pun pria mampu memenuhi hobi
belanjanya.
e) Al-Baraqah (Wanita Yang Suka Berdandan)
13

Berdasarkan penjelasan Imam Al Ghazali, Al Haddaqah adalah tipe


wanita yang suka berhias sepanjang hari. Mereka juga berlebihan dalam
berpenampilan. Selain itu wanita ini suka bersedih dan suka mengurung
diri.
f) Asy-Syaddaqh (Wanita Yang Banyak Bicara)
Tipe wanita yang suka bicara lagi cerewet. Semua ia komentari, namun
komentarnya tak bermanfaat. Menikah memiliki tujuan kedamaian, bila
pria menikahi wanita nyinyir, tentu dia tak dapat merasakan kedamaian
dalam rumah tangga.

C. Tujuan Peminangan
Pada dasarnya tujuan dari peminangan dengan perkawinan tidaklah jauh
berbeda. Secara eksplisit, tujuan dari peminangan memang tidak disebutkan seperti
halnya dalam perkawinan, namun secara implisit, tujuan daripada peminangan dapat
dilihat dari syarat-syarat yang ada dalam peminangan. Peminangan itu sendiri
mempunyai tujuan, tidak lain yaitu untuk menghindar dari kesalahpahaman antara
kedua belah pihak, dan juga, agar perkawinan itu sendiri berjalan atas pemikiran
yang mendalam dan mendapat hidayah. Lebih jauh lagi, suasana kekeluargaaan
nantinya akan berjalan erat antara suami istri, dan anggota keluarga lainnya.25
Selain itu, Soerojo Wignjodipoero menyatakan, yang menjadi landasan orang
melakukan peminangan tidak sama di semua daerah, lazimnya adalah:
a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu sudah dapat
dilangsungkan dalam waktu dekat.
b. Khususnya di daerah-daerah yang pergaulannya sangat bebas antara pergaulan
muda-mudi maka dibatasi dengan pertunangan.
c. Suatu pemberian kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mengenal lebih jauh

25
Abdullah Nashih „Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq,
1993 ), h. 29.
14

lagi calon suami, agar nantinya menjadi pasangan yang harmonis.26


Dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Abu Zahrah menyatakan bahwa
tujuan peminangan tidak lain adalah sebagai ajang, bahwasanya pasangan yang
hendak melangsungkan pernikahan dapat saling melihat antara pihak perempuan
dengan pihak laki-laki agar tidak terjadi suatu penyesalan, karena dikatakan bahwa
melihat merupakan cara terbaik untuk mengetahui akan suatu hal.27
Yang terpenting dari tujuan peminangan bila ditinjau secaraumum adalah:
Pertama: Lebih mempermudah dan memperlancar jalannya masa perkenalan
antara pihak peminang dan yang dipinang beserta dengan kelurga masing-masing. Hal
ini dikarenakan tidak jarang bagi pihak peminang atau yang dipinang sering salah
atau kurang dewasa dalam menjalani proses pengenalan kepada calon
pendampingnya.
Kedua: Supaya di antara keduanya rasa cinta dan kasih lebih cepat tumbuh.
Ketiga: Menimbulkan efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati bagi pihak
yang akan menikahi atau yang akan dinikahi, dan tanpa adanya pihak-pihak yang
mendahului.28

2626
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Gunung
Agung, 1995), h. 125.
27
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al- Syakhsiyyah (Beirut: Daral-Fikr), h. 29.
28
al-Athar, Saat Anda Yang Meminang, h. 170.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Peminangan (khitbah) merupakan satu langkah untuk menuju pernikahan

dan merupakan permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk

menjadi istri. Khitbah juga sebagai langkah saling mengenal antara satu sama lain.

Karena sebelum menikah dianjurkan untuk melihat calon pasangan.

Terdapat syarat-syarat dalam peminangan yaitu mustahsinah dan lazimah.

Syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada pihak laki-laki yang

akan meminang seorang wanita agar ia meneliti dahulu wanita yang akan

dipinangnya tersebut. Persyaratan lazimah merupakan syarat yang harus dipenuhi

sebelum khitbah dilakukan.

Tujuan dari peminangan yaitu untuk lebih mempermudah dan memperlancar

jalannya masa perkenalan dari kedua belah pihak, bisa mempercepat tumbuhnya rasa

cinta dan kasih, dan menimbulkan rasa ketentraman jiwa dan kemantapan hati bgi

pihak yang akan menikah.

B. Implikasi
Makalah ini diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan referensi dan

bahan rujukan untuk penulisan makalah selanjutnya, yang terkusus mengenai

peminangan.

Adapun saran yang bisa kami sampaikan yaitu agar kiranya para pembaca

lebih menambah wawasan serta literature-literaturnya untuk lebih memahami

pembahasan pada makalah ini. Terima kasih.

15
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. VI; Jakarta: Sinar Grafika,
2012.

al- Athar, Abd. Nashir Taufik. Saat Anda Meminang. Jakarta: Pustaka Azam, 2001.

Al- Asqolani, Ibn Hajr. Bulugh al-Maram. Semarang: Karya Toha Putrah, 1378 H.

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Logos, 1999.

Endarmoko, Eko. Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2006.

al-Habsyi, M. Baqir. Fikih Praktis. Bandung: Mizan, 2002.

Al-Hamdani, Risalah an-Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Idhamy, Dahlan. Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya: Al-
Ikhlas, 2008.

al-Iraqy, Bus\ainan al-Sayyid. Rahasia Pernikahan yang Bahagia. Jakarta: Pustaka


Azzam, 2002.

Munawir, Warson. Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: PP al-Munawir, 1984.

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Bandung: Irsyad


Baitus Salam, 1995.

Nashih, Abdullah dan Ulwan. Tata Cara Meminang dalam Islam. Solo: Pustaka
Mantiq, 1993.

al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Terj. Ahmad Rijali, Tafsir al-Qurṭubi


Syaikh Imam al-Qurṭubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II. Beirut: Darul Fikri, 2005.

Sabiq, Sayyid. Fiqhus Sunnah jilid 2. Beirut: Darul Fikri, 1998.

16
17

Thalib, Muhammad. 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam. Bandung: Irsyad


Baitus Salam, 1995.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT


Gunung Agung, 1995.

Zahrah, Muhammad Abu. al-Ahwal al- Syakhsiyyah. Beirut: Daral-Fikr.

Zuhaili, Wahbah. Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

Anda mungkin juga menyukai