Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENGERTIAN, SYARAT, BATASAN, DAN AKIBAT HUKUM KHITBAH


Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam di
Indonesia

Dosen Pengampu : Miftahudin Azmi,M.HI

Oleh :
Aziz Mahful Habib Mahendra (18230012)
Farhan Zamzami (200201110091)
Indana Zulfa (200201110231)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Khitbah.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Selain itu, makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Miftahudin Azmi, M. HI
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi Sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu kami sangat membutuhkan dan menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Malang, 11 September 2022

Pen
yusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... 2

DAFTAR ISI...................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4

A. Latar Belakang........................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah................................................................................... 5
C. Tujuan...................................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 7

A. Pengertian Khitbah....................................................................................7
B. Syarat dan rukun Khitbah........................................................................10
C. Batasan dalam Khitbah............................................................................11
D. Akibat Hukum..........................................................................................14
E. Khitbah Menurut Undang-undang...........................................................15

BAB III PENUTUP........................................................................................... 20

A. KESIMPULAN........................................................................................ 20
B. SARAN..................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 21

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peminangan atau pertunangan merupakan pendahuluan dari sebuah
perkawinan, sebuah tindakan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT
sebelum adanya ikatan suami istri, dengan tujuan agar pada waktu memasuki
perkawinan didasarkan pada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran
masing-masing pihak.
Dalam bahasa Arab, peminangan disebut dengan khitbah. Khitbah atau
meminang adalah seorang laki-laki yang meminta seorang perempuan untuk
menjadi istrinya, dengan cara-cara yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat.1 Dalam pelaksanaan khitbah, biasanya masing-masing pihak
saling menjelaskan keadaan tentang dirinya dan keluarganya.
Ikatan dalam pertunangan terjadi setelah pihak laki-laki meminang
pihak wanita, dan pinangan tersebut diterima oleh pihak perempuan. Masa
antara diterimanya lamaran hingga dilangsungkannya pernikahan disebut
dengan masa pertunangan. Pertunangan tersebut tidak lebih dari sekedar
ikatan dan janji untuk menikahi perempuan yang mana didalamnya masih
belum terjadi akad nikah. Sehingga status perempuan yang dipinang tersebut
masih sebagai orang asing bagi laki-laki yang melamarnya hingga
terlaksananya akad nikah.
Menurut jumhur ulama, peminangan bukan termasuk syarat sahnya
dalam suatu perkawinan. Jadi jika dalam suatu perkawinan dilaksanakan
tanpa diawali oleh sebuah peminangan, maka hukum perkawinan tersebut
tetap sah.2 Akan tetapi sering kita temui, peminangan banyak dilakukan
oleh manyarakat sebelum terjadinya akad nikah.
Sebelum melaksanakan akad perkawinan, yang harus pertama kali

4
diperhatikan ialah hendaknya kedua calon mempelai dapat saling mengenal
pribadi masing-masing, baik dari segi karakter, agama, kehormatan, silsilah
nasab, maupun kecantikan dan ketampanannya. Dalam hal ini, Islam
menganjurkan agar yang pertama dipilih yakni calon isteri atau suami karena
agamanya, bukan hanya karena kecantikan, kekayaan, maupun semata-mata
karena kedudukannya yang tinggi. Karena dengan agama yang baik,
seseorang akan lebih sanggup untuk menilai hubungan perkawinan
berdasarkan ukuran yang tepat, sehingga dapat memenuhi keperluannya, dan
sesuai dengan apa yang diinginkan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peminangan
merupakan suatu aktifitas pendahuluan didalam melangsungkan suatu
pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Maka dengan ini dibutuhkan
persyaratan-persyaratan tertentu sehingga keluarga yang akan dibentuk itu
dapat berlangsung dengan baik dan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Ketelitian memilih dan menetapkan seseorang sebagai pasangan hidup
terletak pada kedua belah pihak, baik pihak perempuan maupun pihak laki-
laki. Suatu pilihan akan menghasilkan yang baik jika dilaksanakan melalui
proses meneliti secara mendalam mengenai tingkah laku dan kehidupan
sehari-hari dari yang dipilih. Karena tujuan hidup berumah-tangga yakni
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Setelah keduanya saling mengenal dan memantapkan pilihannya,
kemudian pihak laki-laki mengadakan lamaran (peminangan) kepada pihak
perempuan, sebagai langkah awal dari suatu perkawinan. Tujuan
diadakannya peminangan adalah untuk menunjukkan adanya keseriusan
seorang laki-laki untuk menjalin hubungan dan mengikat pihak perempuan
yang telah dipinang agar tidak dipinang oleh orang lain.
Seperti yang kita ketahui, saat ini banyak masyarakat yang
mengenalkan calon kedua mempelai dengan cara merayakan pertunangannya,
yakni dengan cara calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon
mempelai perempuan dengan membawa beberapa seserahan kepada calon
istrinya, seperti cincin, macam-macam makanan, pakaian, dan lain-lain.

5
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan khitbah?
2. Apa saja syarat dan rukun khitbah?
3. Bagaimana batasan dalam khitbah?
4. Bagaimana akibat hukum yang di timbulkan dari khitbah?
5. Bagaimana khitbah menurut undang-undang?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui definisi dari khitbah.
2. Untuk mengetahui syarat dan rukun khitbah.
3. Untuk mengetahui Batasan dalam khitbah.
4. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari khitbah.
5. Untuk mengetahui khitbah menurut undang-undang.

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
Al-Khitbah berasal dari lafadz Khathiba, yakhthibu, khithbatun
Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-Khithbah ialah
permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan
istri menurut cara-cara yang berlaku di kalangan masyarakat. Dalam
pelaksanaan khithbah (lamaran) biasanya masing-masing pihak saling
menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya. Khithbah merupakan
pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada ikatan suami istri
dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada
penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masingmasing pihak.1
Kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba yang
diartikan sebagai meminang atau melamar.2 Kata khitbah dalam istilah
bahasa Arab merupakan akar dari kata al- khitbah dan al- khatbu. Al-
khitab berarti pembicaraan. Jika al- khitab (pembicaraan) ada kaitannya
dengan perempuan, maka makna eksplisit yang bisa kita tangkap adalah
pembicaraan yang menyinggung ihwal pernikahan. Sehingga, makna
meminang bila ditinjau dari akar katanya adalah pembicaraan yang
berhubungan dengan lamaran atau permohonan untuk menikah.3
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah
pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia
ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut
maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara
langsung ataupun dengan perwakilan wali.4

1
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 2008).
2
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006).
3
Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang (Jakarta: Pustaka Azam, 2001).
4
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, n.d.

7
2. Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan
(khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua
orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat
Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan
agar kedua calon pengantin saling mengetahui.5
3. Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian
kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan
disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya
diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.6
4. Al-Hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan
seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang
perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini,
sebagai pendahuluan nikah.7
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan
(khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan
pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik
secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini
dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Menurut ilmu fiqh,
peminangan artinya “permintaan”. Secara terminologi adalah pernyataan
atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk
mengawininya, baik dilakukan oleh lakilaki itu secara langsung atau lewat
perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama. 8
Tentu hal itu dilakukan berdasar pada kaidah-kaidah umum yang telah
berlaku di masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal
untuk menuju ke jenjang serius pernikahan. Allah SWT menggariskan
agar masing-masing pasangan yang hendak menikah lebih awal saling
mengenal sebelum dilakukan akad nikahnya sehingga pelaksanaan

5
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2 (Beirut: Darul Fikri, 1998).
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007).
7
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).
8
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1995).

8
perkawinan benar-benar berdasarkan pada pandangan dan penilaian yang
jelas.9
Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya peminangan
adalah Surat Al-Baqarah ayat 235 :
ٓ ْ َْ َ ۤ ّ َْ ْ ُ َ َ َ َ ُ ‫َ اَل‬
‫الن َسا ِء ا ْو اك َنن ُت ْم ِف ْي‬ ُْ َ
ِ ‫و جناح عل ْيك ْم ِف ْي َما ع َّرضت ْم ِب ٖه ِمن ِخطب ِة‬
ُ َ َ ‫ٓاَّل‬ َ ُ ‫َ ْ ُ ُ َ َ ّٰ ُ َ َّ ُ َ َ ْ ُ ْ َ َّ َ ٰ ْ اَّل‬
‫اع ُد ْو ُه َّن ِس ًّرا ِا ا ْن ت ُق ْول ْوا‬ ِ ‫انف ِسك ْم ۗ ع ِلم الله انك ْم ستذك ُرون ُهن ول ِكن تو‬
ً ‫َ اًل‬
‫ق ْو َّم ْع ُر ْوفا ۗە‬
Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi
janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik.”10
Dalam bahasa Al-Qur’an, peminangan disebut Khitbah, seperti
pada ayat diatas. Mayoritas ulama menyatakan bahwa peminangan tidak
wajib. Namun praktik kebiasaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa
peminangan merupakan pendahuluan yang hampir pasti dilakukan. Karena
didalamnya, ada pesan moral dan tatakrama untuk mengawali rencana
membangun rumah tangga yang ingin mewujudkan kebahagiaan, sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Ini sejalan dengan pendapat Dawud Ad-dhahiry
yang menyatakan meminang hukumnya wajib.11 betapapun juga,
meminang adalah merupakan tindakan awal menuju terwujudnya
perkawinan yang baik.
Adapun sabda nabi yang diisyaratkan terkait dengan khitbah dan
diriwayatkan oleh Abu Hurairah adalah sebagai berikut:

9
Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1995).
10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, n.d.
11
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Juz 2 (Semarang: Usaha Keluarga, n.d.).

9
ُ ‫َ ْ َأ ُ َ ْ َ َ َ َ َّ ُ َ ْ ُ َ ْ َّ ّ َ َّ َّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ ُ َ مْل َ َأ‬
‫ال ت ْنك ُح ا ْر ة‬ ‫ عن الن ِب ِي صلى الله علي ِه وسلم ق‬،‫عن ِبي هريرة ر ِضي الله عنه‬
ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َْ
ّ ‫ر ب َذات‬Vْ ‫اظ َف‬
َ ‫الدين َتر َب ْت َي َد‬
‫اك‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ و ِل ِد ِينهاف‬،‫ وجم ِالها‬،‫ و ِلحس ِبها‬،‫ مِل ِالها‬:‫ِالرب ٍع‬
Artinya:
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi SAW, beliau
bersabda:Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah
karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. (Muttafaq ‘Alaih)12

B. Syarat-syarat Khitbah

Meskipun sebagian besar Ulama tidak menghukumi wajib terhadap


peminangan, akan tetapi di dalam peminangan mengandung suatu akad
(perjanjian) antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, sehingga dalam
melakukan peminangan harus melalui syarat-syarat dan rukun-rukun yang
telah ditetapkan oleh syariat. Fiqh Islam telah menjelaskan mengenai
syarat-syarat sahnya peminangan, yaitu:
a. Syarat lazimiah
Syarat lazimiah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan:
1) Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari laki-
laki yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram mushaharah,
maupun mahram radla’ah (sepersusuan).
2) Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain,
kecuali laki-laki yang telah meminangnya telah melepaskan hak
pinangannya atau memberikan izin untuk dipinang oleh orang lain.
3) Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan ‘iddah.13
Selain syarat yang ketiga ini masih ada beberapa ketentuan, yaitu:

12
Shahih al-Bukhari no. 4.700, n.d.
13
Hady Mufaat Ahmad, ., n.d.

10
a) Perempuan yang dalam keadaan iddah raj’i, tidak boleh
dipinang karena yang berhak merujuknya adalah bekas
suaminya.
b) Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat boleh
dipinang tetapi dengan sindiran.
c) Perempuan dalam masa iddah bain sughra boleh dipinang oleh
bekas suaminya.
d) Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh
bekas suaminya, setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki
lain, didukhul dan diceraikan.14
b. Syarat Muhtahsinah
Maksud dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan
yang apabila dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang
disyaratkan. Syarat mustahsinah tidak harus dipenuhi dalam
peminangan, tetapi lebih bersifat anjuran kepada seorang laki-laki yang
akan meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang akan
dibangunnya berjalan dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-
syarat mustahsinah antara lain:
1) Sejodoh (kafa’ah)
2) Subur dan mempunyai kasih sayang
3) Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan
budi pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di
kemudian hari.15
Adapun rukun peminangan antara lain sebagai berikut:
1) Calon laki-laki
2) Calon perempuan
3) Wali
4) Saksi16

14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 3 ed. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
15
Hady Mufaat Ahmad, ., n.d.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006).

11
5) Lafaz peminangan.17

C. Batasan Dalam Khitbah


Syariat Islam memperbolehkan seseorang laki-laki memandang
wanita yang ingin dinikahinya, bahkan dianjurkan dan disunnahkan karena
pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana
keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman. Diantara dalil yang
menunjukkan bolehnya memandang Wanita karena khitbah sebagaimana
yang diriwayatkan dari Nabi SAW Bersabda kepada Al-Mughirah bin
Syu’ban yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah
anda telah melihatnya?” Ia menjawab: “ Belum.” Beliau bersabda:
“Lihatlah Ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk
mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga kasih sayang
dan kesesuaian).”
Ada sebuah dalil syar’i yang menunjukkan akan bolehnya seorang
laki-laki melihat perempuan yang hendak Ia khitbah yaitu: “Diriwayatkan
dari Jabir r.a., dia berkata, Rasulullah SAW Bersabda, “jika salah seorang
diantara kalian hendak mengkhitbah perempuan, jika Ia dapat melihat apa
yang menarik dari perempuan tersebut hingga membuatnya ingin
menikahinya maka hendaklah Ia melakukannya.” (HR Ahmad dan Abu
Dawud).18
Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita
terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita lain yang bukan
mahram. Hal ini di dasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur
keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing-masing calon
pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang yang
akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi
bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan, yakni
anak-anak dan keturunannya. Demikian juga diperbolehkan bagi masing-

17
Amir Syarifuddin, No Title, n.d.
18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013).

12
masing laki-laki dan Wanita memandang satu sama lain pada sebagian
kondisi selain khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian, dan
menyampaikan persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian
dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan
sebaliknya.19
Terdapat empat pendapat Fuqaha’ tentang anggota tubuh terpinang
yang boleh dipandang yaitu:
a. Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I dan Ahmad dalam
salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita
terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan.
Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkapkan
banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua
telapak tangan dijadikan indicator kesuburan badan, gemuk dan
kurusnya. Adapun dalil mereka adalah firman Allah:
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari mereka. (QS. An-Nur: 31)
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya”
dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga
menyatakan, pandangan di sini diperbolehkan karena kondisi darurat
maka hanya sekadarnya, wajah menunjukkan keindahan dan
kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan
dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak boleh memandang selain kedua
anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
b. Ulama Hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat
bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala,
kedua tumit kaki, dan sesamanya.

19
Abdul Aziz M.Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, n.d.

13
Adapun alasan mereka; Nabi SAW Tatkala memperbolehkan seorang
sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa
beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.
Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian
diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti
halnya wajah.
c. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat
adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu.
Memandang anggota tubuh tersebut di nilai cukup bagi orang yang
ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang
wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan
maksiat yang pada umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah wajib
dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita
boleh terbuka kedua tumit, wajah dan kedua telapak tangannya ketika
dalam shalat dan haji.20
d. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota
tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda
Nabi SAW: “lihatlah kepadanya.” Disini Rasulullah tidak
mengkhususkan suatu bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah dibantah mayoritas ulama, karena
menyalahi ijma’ ulama dan prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena
darurat diperkirakan sekadarnya. Pendapat yang kuat (rajih), yakni
bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki.
Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan
yang ada pada Wanita terpinang, baik dari segi fisik, suara, pemikiran,
dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya.
Kadangkala wanita terpinang tidak terlalu cantik,, tetapi
terkadang karena baik sifat-sifat dan tingkah lakunya, seorang laki-laki
dapat teperdaya karena sifat, akhlak, dan kecerdasannya.

20
Abdul Aziz M.Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, n.d.

14
D. Akibat Hukum

Khitbah merupakan langkah awal dalam proses pernikahan. Di


mana melalui khitbah ini seorang yang meminang dan yang dipinang dapat
mengenal lebih dalam, sehingga kelak setelah menjadi suami isteri tidak
menimbulkan penyesalan serta kekecewaan di kedua belah pihak. Khitbah
yang telah dilakukan oleh pihak yang meminang maka akan timbul
konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:

a. Meskipun peminangan tidak berakibat hukum, tetapi perempuan yang


telah dipinang oleh seorang laki-laki dan telah diterimanya, maka
tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, karena peminangan yang
pertama menutup hak khitbah orang lain, kecuali jika diizinkan oleh
laki-laki pertama. Bahkan jumhur ulama mengharamkan meminang
perempuan yang telah dipinang oleh orang lain.
b. Setelah terjadi peminagan maka laki-laki yang meminang boleh
melihat muka dan tangan perempuan yang dipinangnya serta saling
mengenali antara keduanya. Dalam istilah Arab disebut nadhar dan
ta’aruf. Pernikahan dalam Islam didasarkan pada kerelaan, kesukaan,
serta persetujuan dari kedua belah pihak. Maka dari itulah diperlukan
bagi masing-masing pihak untuk melakukan nadhar dan ta’aruf,
sehingga setelah menikah terhindar dari kemungkinan terjadinya
kekecewaan-kekecewaan.
c. Akad peminagan tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan
perempuan yang melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti
layaknya suami isteri.
d. Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat
yang sepi, kecuali ditemani oleh muhrimnya.21

E. Khitbah Menurut Undang-Undang

21
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, 10 ed. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983).

15
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Peminangan dalam ilmu fiqih disebut dengan “Khitbah” yang
mempunyai arti permintaan. Menurut istilah mempunyai arti
memunjukkan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang
laki-laki pada perempuan atau sebaliknya baik dilakukan oleh laki-laki
secara langsung ataupun dengan perantara orang yang dipercayainya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Agama.22

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), peminangan adalah


kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pria dengan seorang wanita.23

Setelah dilakukan peminangan dan para pihak telah sama-sama


sepakat, maka perkawinannya dapat dilangsungkan. Masa ikatan untuk
melangsungkan perkawinan ini disebut masa khitbah atau masa
pertunangan. Dalam masa ini antara laki-laki dan perempuan belum boleh
bergaul layaknya suami istri, karena belum terikat dalam tali perkawinan.
Larangan-larangan yang berlaku dalam hubungan laki-laki dan wanita
yang bukan muhrim berlaku juga dalam masa pertunangan ini.

Di Indonesia, dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan tidak diatur masalah peminangan, namun dalam Kompilasi
Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) diatur masalah peminangan
dalam Pasal 11-13 (Bab III tentang Peminangan). Menurut Yahya Harahap
pengaturan ini demi tertibnya cara-cara peminangan berdasarkan moral
dan yuridis. Kompilasi Hukum Islam menjabarkan pengaturannya sebagai
berikut:

a. Pada prinsipnya secara utuh diambil dari ajaran Al-Qur'an ditambah


dengan ajaran hukum fiqh standar setelah dimodifikasi ke arah
ketentuan yang rasional praktis dan aktual.
22
Seomiyanti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty,
1997).
23
Soesilo dan Pramudji R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, 1 ed. (Rhedbook Publisher,
2008).

16
b. Nilai-nilai etika dan yuridis adat digabung di dalamnya, sehingga tata
tertib peminangan yang hidup menurut adat dan budaya masyarakat,
tidak dihalangi penerapannya.

Dalam Pasal 11 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, peminangan


dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari jodoh,
tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya. 24
Diharamkan meminang perempuan yang bersuami, karena berarti
menganjurkan untuk meminta cerai dari suaminya. Hal itu tentu akan
menyebabkan hati si suami sakit, bahkan mungkin akan timbul
permusuhan dan perkelahian antara si suami dan laki-laki yang meminang.
Padahal Islam sangat mementingkan persatuan dan melarang permusuhan.
Diharamkan juga meminang perempuan yang berada dalam idah talak raj'i,
dikarenakan masih ada ikatan dengan bekas suami dan suaminya masih
bisa berhak rujuk. Dalam idah talak bain, diharamkan dipinang secara
terang-terangan, dikarenakan bekas suaminya masih berhak terhadap
dirinya dan berhak untuk mengawininya dengan aqad baru, tetapi boleh
dipinang dengan sindiran. Berdasarkan pada firman Allah dalam (Q.S Al-
Baqarah Ayat 235). Imam Syafii berpendapat bahwa perempuan yang
berada dalam idah talak bain boleh dipinang dengan sindiran dengan di-
qiyas-kan kepada perempuan yang berada dalam idah karena kematian
suaminya, sebab keduanya sama-sama tidak dapat dirujuki olah suaminya.
Hal ini karena dalilnya ayat itu umum, meskipun sebab turunnya
dikarenakan menerangkan lama masa iddah perempuan yang kematian
suaminya. Karena diiktibarkan (yang dihitung dan dipegang) ialah lafaz
yang umum, bukan sebab yang khusus.

Perempuan yang berada dalam masa idah karena ditinggal mati


Suaminya, maka boleh dipinang dengan sindiran di masa idahnya, sebab
hubungannya dengan si suami yang mati putus. Dengan kematian
suaminya, maka hak suami terhadap istrinya sama sekali hilang.
24
M.H Dr.Drs. Abd. Shomad, S.H., Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, Edisi revisi, 2012.

17
Diharamkan meminang dengan terang-terangan untuk menjaga perasaan
istri yang sedang berkabung dan untuk menjaga perasaan keluarga ahli
warisnya sebgaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah di atas. Dalam
ayat tersebut, idah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah 4
bulan 10 hari, sebab itu sepakat para ulama bahwa boleh meminang
perempuan yang masa idah karena kematian suaminya itu karena nash ayat
tersebut di atas.

Diharamkan meminang perempuan dalam masa idah dengan terus


terang, karena akan menarik perempuan itu untuk berdusta dengan
mengatakan bahwa masa idahnya telah habis, padahal sebenarnya ia masih
dalam masa idah. Kalau terjadi perkawinan maka akan timbul
percampuran keturunan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meminang dengan


terus terang semua bekas istri orang lain yang sedang idah diharamkan.
Tetapi kalau meminang dengan kata sindiran kepada perempuan yang
sedang idah dari talak bain atau talak karena kematian dibolehkan,
sedangkan kepada perempuan dalam idah talak raj'i tetap diharamkan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah ini diatur di Pasal 12 Ayat 1 dan
Ayat 2:

1. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih


perawan atau terhadap janda yang telah habis masa idahnya.
2. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa idah raj’i,
haram untuk dipinang.

2. Akibat Hukum Khitbah


Pasal 13 ayat 1 dan 2 KHI menyebutkan:

18
a. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
b. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan
tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan
setempat sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

Dalam masa pertunangan ini biasanya ada pemberian barang-


barang sebagai hadiah dari pihak calon suami kepada calon istrinya.
Pemberian ini dalam adat jawa disebut peningset atau tanda ikatan cinta.
Pemberian dan hadiah yang telah diberikan hukumnya sama dengan
hibah.25

25
M.A Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisi revisi, 4 ed. (Depok:
Rajawali Pers, 2019).

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Khithbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada
ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan
kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), peminangan adalah kegiatan upaya ke
arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita
2. Syarat-syarat Khitbah antara lain:
a. Syarat lazimiah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan, contohnya:
1) Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari
laki-laki yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram
mushaharah, maupun mahram radla’ah (sepersusuan).
2) Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki
lain, kecuali laki-laki yang telah meminangnya telah
melepaskan hak pinangannya atau memberikan izin untuk
dipinang oleh orang lain.
3) Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan ‘iddah.
b. Syarat Muhtahsinah adalah syarat tambahan yang apabila dipenuhi
akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang disyaratkan,
contohnya:
1) Sejodoh (kafa’ah)
2) Subur dan mempunyai kasih sayang
3) Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani
dan budi pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul
penyesalan di kemudian hari.
3. Adapun rukun peminangan antara lain sebagai berikut:
a. Calon laki-laki
b. Calon perempuan

20
c. Wali
d. Saksi
4. Pada batasan khitbah terdapat sebuah dalil syar’i yang menunjukkan akan
bolehnya seorang laki-laki melihat perempuan yang hendak Ia khitbah yaitu:
“Diriwayatkan dari Jabir r.a., dia berkata, Rasulullah SAW Bersabda, “jika salah
seorang diantara kalian hendak mengkhitbah perempuan, jika Ia dapat melihat apa
yang menarik dari perempuan tersebut hingga membuatnya ingin menikahinya
maka hendaklah Ia melakukannya.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
a. Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I dan Ahmad
dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh
wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua
telapak tangan.
b. Ulama Hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat
bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher,
kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya.
c. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk
dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak
lebih dari itu.
d. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota
tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman
sabda Nabi SAW: “lihatlah kepadanya.” Disini Rasulullah tidak
mengkhususkan suatu bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
5. Khitbah yang telah dilakukan oleh pihak yang meminang maka akan timbul
konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:
a. perempuan yang telah dipinang oleh seorang laki-laki dan telah
diterimanya, maka tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, karena
peminangan yang pertama menutup hak khitbah orang lain,

21
b. Setelah terjadi peminagan maka laki-laki yang meminang boleh
melihat muka dan tangan perempuan yang dipinangnya serta
saling mengenali antara keduanya.
c. Akad peminagan tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan
perempuan yang melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti
layaknya suami isteri.
d. Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat
yang sepi, kecuali ditemani oleh muhrimnya
Pasal 13 ayat 1 dan 2 KHI menyebutkan:
a. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
b. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan
tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan
setempat sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
B. Saran
Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan
Sekiranya dapat dimaafkan. Wallahul muafiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hady Mufaat. ., n.d.

———. ., n.d.

Al-Hamdani. Risalah an-Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Athar, Abd. Nashir Taufik al-. Saat Anda Meminang. Jakarta: Pustaka Azam,
2001.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahannya, n.d.

Dr.Drs. Abd. Shomad, S.H., M.H. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah
Dalam Hukum Indonesia, Edisi revisi, 2012.

Endarmoko, Eko. Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia,. Jakarta: Gramedia, 2006.

Idhamy, Dahlan. Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya:


Al-Ikhlas, 2008.

M.Azzam, Abdul Aziz, dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat,
n.d.

———. Fiqh Munakahat, n.d.

Muhammad Thalib. 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam. Bandung: Irsyad


Baitus Salam, 1995.

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Bandung: Irsyad


Baitus Salam, 1995.

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisi revisi.
4 ed. Depok: Rajawali Pers, 2019.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. 3 ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998.

Rusyd, Ibn. Bidayah Al-Mujtahid, Juz 2. Semarang: Usaha Keluarga, n.d.

23
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013.

———. Fiqhus Sunnah jilid 2. Beirut: Darul Fikri, 1998.

Seomiyanti. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan.


Yogyakarta: Liberty, 1997.

Shahih al-Bukhari no. 4.700, n.d.

Soesilo, dan Pramudji R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 1 ed. Rhedbook


Publisher, 2008.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

———. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

———. No Title, n.d.

Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. 10 ed. Jakarta: Hidakarya


Agung, 1983.

Zuhaili, Wahbah. Fiqhul Islami wa Adillatuhu, n.d.

24

Anda mungkin juga menyukai