Oleh :
Aziz Mahful Habib Mahendra (18230012)
Farhan Zamzami (200201110091)
Indana Zulfa (200201110231)
FAKULTAS SYARIAH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Khitbah.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Selain itu, makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Miftahudin Azmi, M. HI
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi Sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu kami sangat membutuhkan dan menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Pen
yusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4
A. Latar Belakang........................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah................................................................................... 5
C. Tujuan...................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 7
A. Pengertian Khitbah....................................................................................7
B. Syarat dan rukun Khitbah........................................................................10
C. Batasan dalam Khitbah............................................................................11
D. Akibat Hukum..........................................................................................14
E. Khitbah Menurut Undang-undang...........................................................15
A. KESIMPULAN........................................................................................ 20
B. SARAN..................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peminangan atau pertunangan merupakan pendahuluan dari sebuah
perkawinan, sebuah tindakan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT
sebelum adanya ikatan suami istri, dengan tujuan agar pada waktu memasuki
perkawinan didasarkan pada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran
masing-masing pihak.
Dalam bahasa Arab, peminangan disebut dengan khitbah. Khitbah atau
meminang adalah seorang laki-laki yang meminta seorang perempuan untuk
menjadi istrinya, dengan cara-cara yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat.1 Dalam pelaksanaan khitbah, biasanya masing-masing pihak
saling menjelaskan keadaan tentang dirinya dan keluarganya.
Ikatan dalam pertunangan terjadi setelah pihak laki-laki meminang
pihak wanita, dan pinangan tersebut diterima oleh pihak perempuan. Masa
antara diterimanya lamaran hingga dilangsungkannya pernikahan disebut
dengan masa pertunangan. Pertunangan tersebut tidak lebih dari sekedar
ikatan dan janji untuk menikahi perempuan yang mana didalamnya masih
belum terjadi akad nikah. Sehingga status perempuan yang dipinang tersebut
masih sebagai orang asing bagi laki-laki yang melamarnya hingga
terlaksananya akad nikah.
Menurut jumhur ulama, peminangan bukan termasuk syarat sahnya
dalam suatu perkawinan. Jadi jika dalam suatu perkawinan dilaksanakan
tanpa diawali oleh sebuah peminangan, maka hukum perkawinan tersebut
tetap sah.2 Akan tetapi sering kita temui, peminangan banyak dilakukan
oleh manyarakat sebelum terjadinya akad nikah.
Sebelum melaksanakan akad perkawinan, yang harus pertama kali
4
diperhatikan ialah hendaknya kedua calon mempelai dapat saling mengenal
pribadi masing-masing, baik dari segi karakter, agama, kehormatan, silsilah
nasab, maupun kecantikan dan ketampanannya. Dalam hal ini, Islam
menganjurkan agar yang pertama dipilih yakni calon isteri atau suami karena
agamanya, bukan hanya karena kecantikan, kekayaan, maupun semata-mata
karena kedudukannya yang tinggi. Karena dengan agama yang baik,
seseorang akan lebih sanggup untuk menilai hubungan perkawinan
berdasarkan ukuran yang tepat, sehingga dapat memenuhi keperluannya, dan
sesuai dengan apa yang diinginkan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peminangan
merupakan suatu aktifitas pendahuluan didalam melangsungkan suatu
pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Maka dengan ini dibutuhkan
persyaratan-persyaratan tertentu sehingga keluarga yang akan dibentuk itu
dapat berlangsung dengan baik dan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Ketelitian memilih dan menetapkan seseorang sebagai pasangan hidup
terletak pada kedua belah pihak, baik pihak perempuan maupun pihak laki-
laki. Suatu pilihan akan menghasilkan yang baik jika dilaksanakan melalui
proses meneliti secara mendalam mengenai tingkah laku dan kehidupan
sehari-hari dari yang dipilih. Karena tujuan hidup berumah-tangga yakni
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Setelah keduanya saling mengenal dan memantapkan pilihannya,
kemudian pihak laki-laki mengadakan lamaran (peminangan) kepada pihak
perempuan, sebagai langkah awal dari suatu perkawinan. Tujuan
diadakannya peminangan adalah untuk menunjukkan adanya keseriusan
seorang laki-laki untuk menjalin hubungan dan mengikat pihak perempuan
yang telah dipinang agar tidak dipinang oleh orang lain.
Seperti yang kita ketahui, saat ini banyak masyarakat yang
mengenalkan calon kedua mempelai dengan cara merayakan pertunangannya,
yakni dengan cara calon mempelai laki-laki mendatangi rumah calon
mempelai perempuan dengan membawa beberapa seserahan kepada calon
istrinya, seperti cincin, macam-macam makanan, pakaian, dan lain-lain.
5
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan khitbah?
2. Apa saja syarat dan rukun khitbah?
3. Bagaimana batasan dalam khitbah?
4. Bagaimana akibat hukum yang di timbulkan dari khitbah?
5. Bagaimana khitbah menurut undang-undang?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui definisi dari khitbah.
2. Untuk mengetahui syarat dan rukun khitbah.
3. Untuk mengetahui Batasan dalam khitbah.
4. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari khitbah.
5. Untuk mengetahui khitbah menurut undang-undang.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
Al-Khitbah berasal dari lafadz Khathiba, yakhthibu, khithbatun
Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-Khithbah ialah
permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan
istri menurut cara-cara yang berlaku di kalangan masyarakat. Dalam
pelaksanaan khithbah (lamaran) biasanya masing-masing pihak saling
menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya. Khithbah merupakan
pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada ikatan suami istri
dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada
penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masingmasing pihak.1
Kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba yang
diartikan sebagai meminang atau melamar.2 Kata khitbah dalam istilah
bahasa Arab merupakan akar dari kata al- khitbah dan al- khatbu. Al-
khitab berarti pembicaraan. Jika al- khitab (pembicaraan) ada kaitannya
dengan perempuan, maka makna eksplisit yang bisa kita tangkap adalah
pembicaraan yang menyinggung ihwal pernikahan. Sehingga, makna
meminang bila ditinjau dari akar katanya adalah pembicaraan yang
berhubungan dengan lamaran atau permohonan untuk menikah.3
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah
pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia
ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut
maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara
langsung ataupun dengan perwakilan wali.4
1
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 2008).
2
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006).
3
Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang (Jakarta: Pustaka Azam, 2001).
4
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, n.d.
7
2. Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan
(khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua
orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat
Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan
agar kedua calon pengantin saling mengetahui.5
3. Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian
kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan
disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya
diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.6
4. Al-Hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan
seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang
perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini,
sebagai pendahuluan nikah.7
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan
(khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan
pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik
secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini
dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Menurut ilmu fiqh,
peminangan artinya “permintaan”. Secara terminologi adalah pernyataan
atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk
mengawininya, baik dilakukan oleh lakilaki itu secara langsung atau lewat
perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama. 8
Tentu hal itu dilakukan berdasar pada kaidah-kaidah umum yang telah
berlaku di masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal
untuk menuju ke jenjang serius pernikahan. Allah SWT menggariskan
agar masing-masing pasangan yang hendak menikah lebih awal saling
mengenal sebelum dilakukan akad nikahnya sehingga pelaksanaan
5
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2 (Beirut: Darul Fikri, 1998).
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007).
7
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).
8
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1995).
8
perkawinan benar-benar berdasarkan pada pandangan dan penilaian yang
jelas.9
Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya peminangan
adalah Surat Al-Baqarah ayat 235 :
ٓ ْ َْ َ ۤ ّ َْ ْ ُ َ َ َ َ ُ َ اَل
الن َسا ِء ا ْو اك َنن ُت ْم ِف ْي ُْ َ
ِ و جناح عل ْيك ْم ِف ْي َما ع َّرضت ْم ِب ٖه ِمن ِخطب ِة
ُ َ َ ٓاَّل َ ُ َ ْ ُ ُ َ َ ّٰ ُ َ َّ ُ َ َ ْ ُ ْ َ َّ َ ٰ ْ اَّل
اع ُد ْو ُه َّن ِس ًّرا ِا ا ْن ت ُق ْول ْوا ِ انف ِسك ْم ۗ ع ِلم الله انك ْم ستذك ُرون ُهن ول ِكن تو
ً َ اًل
ق ْو َّم ْع ُر ْوفا ۗە
Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi
janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik.”10
Dalam bahasa Al-Qur’an, peminangan disebut Khitbah, seperti
pada ayat diatas. Mayoritas ulama menyatakan bahwa peminangan tidak
wajib. Namun praktik kebiasaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa
peminangan merupakan pendahuluan yang hampir pasti dilakukan. Karena
didalamnya, ada pesan moral dan tatakrama untuk mengawali rencana
membangun rumah tangga yang ingin mewujudkan kebahagiaan, sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Ini sejalan dengan pendapat Dawud Ad-dhahiry
yang menyatakan meminang hukumnya wajib.11 betapapun juga,
meminang adalah merupakan tindakan awal menuju terwujudnya
perkawinan yang baik.
Adapun sabda nabi yang diisyaratkan terkait dengan khitbah dan
diriwayatkan oleh Abu Hurairah adalah sebagai berikut:
9
Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1995).
10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, n.d.
11
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Juz 2 (Semarang: Usaha Keluarga, n.d.).
9
ُ َ ْ َأ ُ َ ْ َ َ َ َ َّ ُ َ ْ ُ َ ْ َّ ّ َ َّ َّ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ ُ َ مْل َ َأ
ال ت ْنك ُح ا ْر ة عن الن ِب ِي صلى الله علي ِه وسلم ق،عن ِبي هريرة ر ِضي الله عنه
ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َْ
ّ ر ب َذاتVْ اظ َف
َ الدين َتر َب ْت َي َد
اك ِ ِ ِ ِ ِ و ِل ِد ِينهاف، وجم ِالها، و ِلحس ِبها، مِل ِالها:ِالرب ٍع
Artinya:
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi SAW, beliau
bersabda:Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah
karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. (Muttafaq ‘Alaih)12
B. Syarat-syarat Khitbah
12
Shahih al-Bukhari no. 4.700, n.d.
13
Hady Mufaat Ahmad, ., n.d.
10
a) Perempuan yang dalam keadaan iddah raj’i, tidak boleh
dipinang karena yang berhak merujuknya adalah bekas
suaminya.
b) Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat boleh
dipinang tetapi dengan sindiran.
c) Perempuan dalam masa iddah bain sughra boleh dipinang oleh
bekas suaminya.
d) Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh
bekas suaminya, setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki
lain, didukhul dan diceraikan.14
b. Syarat Muhtahsinah
Maksud dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan
yang apabila dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang
disyaratkan. Syarat mustahsinah tidak harus dipenuhi dalam
peminangan, tetapi lebih bersifat anjuran kepada seorang laki-laki yang
akan meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang akan
dibangunnya berjalan dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-
syarat mustahsinah antara lain:
1) Sejodoh (kafa’ah)
2) Subur dan mempunyai kasih sayang
3) Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan
budi pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di
kemudian hari.15
Adapun rukun peminangan antara lain sebagai berikut:
1) Calon laki-laki
2) Calon perempuan
3) Wali
4) Saksi16
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 3 ed. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
15
Hady Mufaat Ahmad, ., n.d.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006).
11
5) Lafaz peminangan.17
17
Amir Syarifuddin, No Title, n.d.
18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013).
12
masing laki-laki dan Wanita memandang satu sama lain pada sebagian
kondisi selain khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian, dan
menyampaikan persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian
dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan
sebaliknya.19
Terdapat empat pendapat Fuqaha’ tentang anggota tubuh terpinang
yang boleh dipandang yaitu:
a. Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I dan Ahmad dalam
salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita
terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan.
Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkapkan
banyak nilai-nilai kejiwaan, kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua
telapak tangan dijadikan indicator kesuburan badan, gemuk dan
kurusnya. Adapun dalil mereka adalah firman Allah:
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari mereka. (QS. An-Nur: 31)
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya”
dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga
menyatakan, pandangan di sini diperbolehkan karena kondisi darurat
maka hanya sekadarnya, wajah menunjukkan keindahan dan
kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan kehalusan
dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak boleh memandang selain kedua
anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
b. Ulama Hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat
bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala,
kedua tumit kaki, dan sesamanya.
19
Abdul Aziz M.Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, n.d.
13
Adapun alasan mereka; Nabi SAW Tatkala memperbolehkan seorang
sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa
beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.
Oleh karena itu, tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian
diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti
halnya wajah.
c. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat
adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu.
Memandang anggota tubuh tersebut di nilai cukup bagi orang yang
ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang
wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan
maksiat yang pada umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah wajib
dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita
boleh terbuka kedua tumit, wajah dan kedua telapak tangannya ketika
dalam shalat dan haji.20
d. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota
tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda
Nabi SAW: “lihatlah kepadanya.” Disini Rasulullah tidak
mengkhususkan suatu bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah dibantah mayoritas ulama, karena
menyalahi ijma’ ulama dan prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena
darurat diperkirakan sekadarnya. Pendapat yang kuat (rajih), yakni
bolehnya memandang wajah, kedua tangan, dan kedua tumit kaki.
Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan
yang ada pada Wanita terpinang, baik dari segi fisik, suara, pemikiran,
dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya.
Kadangkala wanita terpinang tidak terlalu cantik,, tetapi
terkadang karena baik sifat-sifat dan tingkah lakunya, seorang laki-laki
dapat teperdaya karena sifat, akhlak, dan kecerdasannya.
20
Abdul Aziz M.Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, n.d.
14
D. Akibat Hukum
21
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, 10 ed. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983).
15
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Peminangan dalam ilmu fiqih disebut dengan “Khitbah” yang
mempunyai arti permintaan. Menurut istilah mempunyai arti
memunjukkan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang
laki-laki pada perempuan atau sebaliknya baik dilakukan oleh laki-laki
secara langsung ataupun dengan perantara orang yang dipercayainya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Agama.22
16
b. Nilai-nilai etika dan yuridis adat digabung di dalamnya, sehingga tata
tertib peminangan yang hidup menurut adat dan budaya masyarakat,
tidak dihalangi penerapannya.
17
Diharamkan meminang dengan terang-terangan untuk menjaga perasaan
istri yang sedang berkabung dan untuk menjaga perasaan keluarga ahli
warisnya sebgaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah di atas. Dalam
ayat tersebut, idah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah 4
bulan 10 hari, sebab itu sepakat para ulama bahwa boleh meminang
perempuan yang masa idah karena kematian suaminya itu karena nash ayat
tersebut di atas.
Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah ini diatur di Pasal 12 Ayat 1 dan
Ayat 2:
18
a. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
b. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan
tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan
setempat sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
25
M.A Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisi revisi, 4 ed. (Depok:
Rajawali Pers, 2019).
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Khithbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada
ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan
kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), peminangan adalah kegiatan upaya ke
arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita
2. Syarat-syarat Khitbah antara lain:
a. Syarat lazimiah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum
peminangan dilakukan, contohnya:
1) Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari
laki-laki yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram
mushaharah, maupun mahram radla’ah (sepersusuan).
2) Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki
lain, kecuali laki-laki yang telah meminangnya telah
melepaskan hak pinangannya atau memberikan izin untuk
dipinang oleh orang lain.
3) Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan ‘iddah.
b. Syarat Muhtahsinah adalah syarat tambahan yang apabila dipenuhi
akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang disyaratkan,
contohnya:
1) Sejodoh (kafa’ah)
2) Subur dan mempunyai kasih sayang
3) Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani
dan budi pekerti dari keduanya, sehingga tidak timbul
penyesalan di kemudian hari.
3. Adapun rukun peminangan antara lain sebagai berikut:
a. Calon laki-laki
b. Calon perempuan
20
c. Wali
d. Saksi
4. Pada batasan khitbah terdapat sebuah dalil syar’i yang menunjukkan akan
bolehnya seorang laki-laki melihat perempuan yang hendak Ia khitbah yaitu:
“Diriwayatkan dari Jabir r.a., dia berkata, Rasulullah SAW Bersabda, “jika salah
seorang diantara kalian hendak mengkhitbah perempuan, jika Ia dapat melihat apa
yang menarik dari perempuan tersebut hingga membuatnya ingin menikahinya
maka hendaklah Ia melakukannya.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
a. Mayoritas fuqaha seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I dan Ahmad
dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh
wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua
telapak tangan.
b. Ulama Hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang
anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita
mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat
bekerja di rumah, seperti wajah, kedua telapak tangan, leher,
kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya.
c. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya
berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk
dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak
lebih dari itu.
d. Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota
tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman
sabda Nabi SAW: “lihatlah kepadanya.” Disini Rasulullah tidak
mengkhususkan suatu bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
5. Khitbah yang telah dilakukan oleh pihak yang meminang maka akan timbul
konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:
a. perempuan yang telah dipinang oleh seorang laki-laki dan telah
diterimanya, maka tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, karena
peminangan yang pertama menutup hak khitbah orang lain,
21
b. Setelah terjadi peminagan maka laki-laki yang meminang boleh
melihat muka dan tangan perempuan yang dipinangnya serta
saling mengenali antara keduanya.
c. Akad peminagan tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan
perempuan yang melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti
layaknya suami isteri.
d. Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat
yang sepi, kecuali ditemani oleh muhrimnya
Pasal 13 ayat 1 dan 2 KHI menyebutkan:
a. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
b. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan
tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan
setempat sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
B. Saran
Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan
Sekiranya dapat dimaafkan. Wallahul muafiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
22
DAFTAR PUSTAKA
———. ., n.d.
Athar, Abd. Nashir Taufik al-. Saat Anda Meminang. Jakarta: Pustaka Azam,
2001.
Dr.Drs. Abd. Shomad, S.H., M.H. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah
Dalam Hukum Indonesia, Edisi revisi, 2012.
M.Azzam, Abdul Aziz, dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat,
n.d.
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisi revisi.
4 ed. Depok: Rajawali Pers, 2019.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. 3 ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998.
23
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013.
24