Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah MATERI FIQIH II

Tentang

PERWALIAN, URUTAN, JENIS, MACAMNYA, DAN HIKMAH


PERNIKAHAN

Dosen Pengampu : Muhammad S. Pd.I, M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 9:

NURSIDAH 21.11.2725
SELMA PUTRI WAHYUNI 21.11.2744
WINDA SAFITRI 21.11.2768

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH KUALA TUNGKAL

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (III C)

TAHUN AKADEMIK

2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT. Shalawat serta salam
teruntuk Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan serta
menyampaikan kepada kita semua ajaran islam yang terbukti kebenarannya,
serta makin terus terbukti kebeneranya.

Dengan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua yang
telah membantu dan memberikan inspirasi kepada kami sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dengan penuh kesadaran diri dan kerendahan hati, kami menyadari bahwa
hanya Allah-lah yang memiliki kesempurnaan, sehingga tentu masih banyak
lagi rahasia-Nya yang belum tergali dan belum kita ketahui.

Oleh karenanya kami senantiasa mengharapkan kritik dan saran


membangun dari teman-teman dan pembaca sekalian sehingga mampu
menjalani sinergi yang pada akhirnya akan membuat pemikiran atau sebuah
penelitian yang bisa lebih disempurnakan lagi dimasa yang akan
datang,bukan hanya mengenai penelitian semata, namun juga untuk
kemajuan umat manusia.

KualaTungkal, November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar Isi ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
C. Tujuan ................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah .................................................................................. 6


B. Definisi Wali Nikah ............................................................................. 8
C. Urutan Wali Nikah Mazhab Hanafiyah ................................................ 9
D. Jenis-jenis Wali Nikah ......................................................................... 11
E. Macam-Macam Wali dan Wali Nikah ................................................. 13
F. Hikmah Walimah Nikah....................................................................... 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................... 13
B. Saran ..................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam telah memandang keluarga sebagai suatu unit dasar
kemasyarakatan dari masyarakat Islam dan telah menekankan bahwa
pembentukan keluarga adalah tanggung jawab setiap pasangan. Islam juga
cenderung memandang keluarga sebagai sesuatu yang mutlak baik dan
mendekati suci (sakral). Hubungan keluarga sangat ditekankan dalam fiqh
Islam untuk mencapai kehidupan sejahtera dan bermanfaat bagi para
anggotanya. Jalan yang ditetapkan Islam untuk membentuk keluarga tersebut
dinamakan dengan pernikahan.1 Pernikahan dalam Islam adalah pekerjaan
mulia yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan oleh setiap muslim
sekiranya telah memenuhi syarat untuk itu.
Pernikahan akan menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik antara
suami dan isteri. Pernikahan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan pernikahan.2 Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu
seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan
berhubungan antara jantan dan betina secara anarki, dan tidak ada satu aturan.
Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah
adakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-
laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhoi,
dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridho meridhoi,
dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki
dan perempuan itu telah saling terikat. Hukum yang mengatur tentang tata
cara pernikahan tersebut terangkum dalam rukun dan syarat-syarat
pernikahan.
Di antara permasalahan hukum fiqh munakahat yang lebih banyak
mengandung problematika dibanding dengan yang lainnya adalah masalah

3
perwalian. Seorang wanita tidak memiliki kemampuan hukum yang penuh
untuk menikah atas dasar kehendaknya sendiri. Kekurangan kemampuan itu
memerlukan penyempurnaan dari luar dirinya sendiri yang dalam hal ini
diistilahkan dengan perwalian. Problem perwalian dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, dari dasar normatif penetapannya. Kedua, dampak teknis yang
muncul ketika hukum ini dihadapkan pada kondisi masyarakat modern yang
mengalami perubahan baik dari segi intelektual maupun dari segi sosialnya.
Dari segi dasar hukum perwalian dalam pernikahan ditemukan beberapa
variasi dalam proses pelaksanaan akad pernikahan. Pertama, Hadits-hadits
yang dijadikan sebagai dasar hukum perwalian ternyata tidak memutlakkan
sahnya pernikahan melalui perwalian. Kedua, tidak ada hadits yang secara
mutlak menetapkan urutan-urutan wali dalam pernikahan. Kedua hal yang
bersifat ijtihadiyah ini tergambar pada hasil rumusan para imam mazhab
mengenai kedudukan wali dalam akad nikah dan urutan para wali dalam
menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya.
Berdasarkan tema kajian dan uraian di atas, maka persoalan yang akan
dikaji pada makalah ini yaitu.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana Pengertian Nikah?
2. Bagaiamana Definisi Wali Nikah?
3. Bagaimana Urutan Wali Nikah Mazhab Hanafiyah?
4. Apakah Jenis-jenis Wali Nikah?
5. Bagaimana Macam-Macam Wali dan Wali Nikah?
6. Bagaimana Hikmah Walimah Nikah?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui Pengertian dan Landasan Hukumnya
2. Untuk mengetahui Definisi Wali Nikah
3. Untuk mengetahui Urutan Wali Nikah Mazhab Hanafiyah

4
4. Untuk mengetahui Jenis-jenis Wali Nikah
5. Untuk mengetahui Macam-Macam Wali dan Wali Nikah.
6. Untuk mengetahui Hikmah Walimah Nikah

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Secara bahasa, nikah artinya menghimpun. Nikah juga berarti
bersetubuh dan akad. Menurut ahli usul dan bahasa, bersetubuh merupakan
makna hakiki dari nikah, sementara akad merupakan makna majāzī. Dengan
demikian, jika dalam ayat al-Qur’an atau hadis Nabi muncul lafaz nikah
dengan tanpa disertai indikator apa pun, berarti maknanya adalah
bersetubuh,1 sebagaimana Q.S. an-Nisa’[4]:22 :
ِ َ‫ف ۗ اِنَّه َكانَ ف‬
‫احشَة‬ َ ‫س ۤا ِء ا َِّّل َما قَد‬
َ َ‫سل‬ ِ َ‫َو َّل تَن ِك ُحوا َما نَ َك َح ٰا َب ۤا ُؤ ُكم ِمن‬
َ ‫الن‬

َ ‫س ۤا َء‬
‫سبِيل‬ َ ‫َّو َمقتا َو‬ ࣖ
Artinya :”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau…”.
Ayat tersebut menurut pemahaman kelompok ini, menunjukkan
keharaman seseorang menikahi wanita yang sudah berzina dengan bapaknya.
Sementara itu, keharaman menikahi wanita yang sudah menikah (akad)
dengan bapaknya ditetapkan berdasarkan ijma’.2
Berbeda dengan pandangan di atas, menurut ahli fiqh, makna hakiki
nikah adalah akad, sementara makna majāzī-nya adalah bersetubuh, karena
makna itulah yang masyhur dalam al-Qur’an dan hadis. Kelompok Shāfi’ī
dan Mālikī memperkuat pendapat kedua ini dengan beberapa argumen, dari
al-Qur’an (an-nūr [24]:32) yaitu sebagai berikut:
‫ص ِل ِحينَ ِمن ِعبَا ِد ُكم َواِ َم ۤا ِٕى ُكم اِن يَّ ُكونُوا فُقَ َر ۤا َء يُغنِ ِه ُم‬
ّٰ ‫َواَن ِك ُحوا اّلَيَامٰ ى ِمن ُكم َوال‬
‫ع ِليم‬
َ ‫ّللاُ َوا ِسع‬ّٰ ‫ّللاُ ِمن َفض ِله َو‬ ّٰ

1
Hj. Iffah Muzammil , FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernikahan dalam Islam)
Dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Tangerang :Tira Smart Cetakan pertama, 2019, hlm.1
2
Ibid, hlm. 2

6
Artinya:”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan...”

Kata ‘nikah’ dalam ayat di atas (QS al-nur [24]:32) secara jelas
menunjukkan makna ‘akad’ dan tidak mungkin diartikan ‘bersetubuh’. Secara
bahasa, makna nikah adalah berkumpul dan bersetubuh.
Sebagaimana diketahui makna bersetubuh dan berkumpul lebih
sempurna dalam akad. Oleh sebab itu jika tepat lebih nikah dimaknai akad.
Wahbah al-Zuḥaily memperkuat argumen jumhur dengan Q.S. al-aḥzāb
[33]:49: ُ
‫طلَّقت ُ ُموه َُّن ِمن قَب ِل اَن تَ َمسُّوه َُّن فَ َما‬ ِ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّذِينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِذَا نَكَحت ُ ُم ال ُمؤ ِم ٰن‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
‫س َراحا َج ِميل‬َ ‫س ِر ُحوه َُّن‬ َ ‫ع َلي ِه َّن ِمن ِعدَّة تَعتَدُّونَ َها فَ َمتِعُوه َُّن َو‬
َ ‫لَ ُكم‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi


perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”.
Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara
yang sebaik- baiknya”. Menurut al-Zuḥaily, ayat di atas adalah ayat yang
paling terang benderang menunjukkan bahwa makna hakiki nikah adalah
‘akad’, sementara ‘bersetubuh’ adalah makna majāzī-nya (karena ayat di atas
menghubungkan ‘nikah’ dengan talak). Akad disebut ‘nikah’ karena akad-lah
yang mengantar kepada ‘persetubuhan’, sebagaimana alQur’an menyebut
khamr (‫( الخمر‬dengan isthm/dosa (‫ اإلثم‬,(karena khamr itulah yang mengantar
pelakunya mendapatkan dosa. Berbeda dengan Shāfi’iyah dan Mālikiyah,
kelompok Ḥanafiyah berpendapat bahwa makna hakiki nikah adalah
bersetubuh. 3

3
Ibid, hlm.3

7
B. Definisi Wali Nikah
Kata wali secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil
dari kata ‫ ولي‬di mana dalam kamus Al Munawwir, kata tersebut diartikan

sama dengan ‫ قرب‬yang berarti dekat.4 Sejalan dengan pemaknaan di atas, apa
yang diungkapkan oleh Mahmud Yunus dalam kamus Arab-Indonesia bahwa
kata wali berasal dari ,‫ومولي‬, ‫ولي والي فهو‬, ‫يلي‬, ‫وّلية‬yang diartikan
melindungi, amat dekat kepada si pulan, mengikutinya, mengiringinya tanpa
batas.5 Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali yang paling berhak menikahkan
adalah wali yang paling dekat hubungannya dengan mempelai perempuan
(waliaqrob), sehingga muncul tartibul wali di mana runtutan para wali juga
dimulai dari ayah, kakek dan seterusnya, sehingga ayah lebih berhak
menikahkan dibanding dengan kakek.
Menurut Syari’ah (Fiqih) wali nikah adalah suatu kekuasaan atau
wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang
yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu,
demi kemaslahatannya sendiri. Sedangkan wali nikah menurut Sayyid Sabiq
adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain
sesuai dengan bidang hukumnya. Para ulama’ mengatakan dalam kitab-kitab
fiqih klasik, bahwa wali merupakan salah satu rukun dari nikah, pernikahan
tidak sah tanpa adanya atau izin dari wali. Pernyataan ulama’ tersebut sesuai
dengan Hadis nabi yang artinya : pernikahan tidak akan sah kecuali adanya
wali dan dua orang saksi yang adil”. Seperti yang di tulis Djaman Nur dalam
bukunya “fiqih Munakahat”, ia menuliskan: wali nikah adalah orang yang
mengakadkan nikah itu menjadi sah, dan tanpa dia nikah tidak sah.6
Perwalian dalam istilah fikih disebut wilayah, yang berarti penguasaan
dan perlindungan. Perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh
agama kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang. Orang yang

4
Ahmad Yatim, Persepsi Masyarakat Terhadap Wakil Wali Nikah Di Kua Kabupaten
Lampung Tengah (Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia) Lampung : Penerbit:
Pascasarjana IAIN Metro, Cetakan Pertama 2020, hlm. 21
5
Ibid,hlm. 22
6
Ibid,hlm. 23

8
diberi kekuasaan perwalian disebut dengan wali. Wali secara umum
adalahseseorang yang dikarenakan kedudukannya mempunyai wewenang
untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Topik pembahasan ini
adalah yang berhubungan dengan perwalian atas orang dalam pernikahan.
Orang yang diberi kekuasaan perwalian atas orang dalam pernikahan dikenal
dengan sebutan“wali Nikah”. Secara etimologi wali berasal dari Bahasa Arab
yang berarti wali, orang yang mengurus perkara seseorang. Secara
terminologi, wali nikah adalah orang yang mempunyai wewenang untuk
mengawinkan perempuan yang berada dibawah perwaliannya dimana tanpa
izinnya perkawinan perempuan itu dianggap tidak sah. Menurut Sudarsono
wali nikah adalah pihak yang memberikan izin berlangsungnya akad nikah
antara lakilaki dan perempuan. Wali hanya ditetapkan bagi pihak pengantin
perempuan.

C. Urutan Wali Nikah Mazhab Hanafiyah


Mazhab Hanafiyah mengklasifikasi kewalian dalam tiga bentuk:
kewalian terhadap jiwa (al-wilāyah ‘alā al-nafs), kewalian terhadap harta (al-
wilāyah ‘alā al-māl) dan kewalian terhadap harta dan jiwa (alwilāyah ‘alā al-
nafs wa al-māl ma’an). Kewalian dalam pernikahan termasuk masalah
kewalian terhadap jiwa. Kewalian dalam pernikahan terbagi pada dua bentuk:
kewalian yang dapat memaksa (wilāyah al-ijbār) dan kewalian yang dapat
memilih (wilāyah al-ikhtiyār). Kewalian yang dapat memaksa terjadi karena
hubungan kekerabatan (al-qarābah), perhambaan (al-milk), pernikahan (al-
walā’), dan kekuasaan (imāmah).7
Dalam membuat urutan wali nikah ini, Mazhab Hanafiyah
mengemukakan teori bahwa perwalian didasari oleh aspek kekerabatan dan
ke-’aṣābah-an serta yang paling dekat kepada perempuan yang akan
dinikahkan.8 Hal ini didasari oleh ‫ العصيرا الييي النكياح‬.

7
Soraya Devy,WALI NIKAH: Urutan dan Kewenangannya dalam Perspektif Imam Mazhab
Tim Sahifah Diterbitkan atas Kerjasama: Sahifah Gampong Lam Duro, Prodi Hukum Keluarga
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Cetakan Pertama, Oktober 2017, hlm. 71
8
Ibid, hlm. 72

9
‘Aṣābah adalah satu istilah kewarisan yang berarti ahli waris yang
dapat menghabiskan sisa harta peninggalan dan yang menunjukkan waris
yang paling dekat kepada yang meninggal (mayyit). Dalam konteks wali
nikah, pihak ‘aṣabah ini dipandang sebagai orang yang paling dekat unsur
kekerabatannya kepada perempuan yang akan dinikahkan. Adapun urutan
wali nikah menurut Mazhab Imam Abū Hanifah adalah sebagai berikut :9
1. Anak laki-laki (al-ibn)
2. Anak laki-laki dari anak laki-laki (ibn al-ibn) dan seterusnya ke bawah
3. Ayah
4. Kakek (ayah dari ayah atau al-jadd atau āb al-āb ) dan seterusnya ke atas.
5. Jika perempuan tersebut gila dan mempunyai ayah dan anak laki-laki (ibn)
atau ada kakek dan anak laki-laki (ibn ) maka yang menjadi wali nikahnya
adalah anak laki-laki (al-ibn). Demikian menurut Imam Abū Hanifah dan
Burhān al-Dīn Mahmud ibn Tāj al-Dīn.
Menurut Muhammad al-Syaibāniy, ayah perempuan yang gila (al-
majnūnah) itulah yang menjadi wali nikahnya. Tetapi yang lebih utama
dinyatakan di dalam Syarh al-Tahāwi, hendaknya ayah perempuan yang gila
(almajnūnah) tersebut memerintahkan anak laki-laki dari perempuan yang
gila (al-majnūnah) tersebut untuk menjadi wali nikah bagi ibunya yang gila
itu.
1) Saudara kandung laki-laki
2) Saudara laki-laki seayah
3) Anak laki-laki saudara kandung laki-laki dan seterusnya ke bawah
4) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah dan seterusnya ke bawah
5) Paman kandung (‘amm li abawain)
6) Saudara laki-laki ayah seayah (‘amm li āb)
7) Anak laki-laki saudara kandung laki-laki ayah (ibn ‘amm li abawain) dan
seterusnya ke bawah.
8) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah seayah (ibn al- ’amm li āb)

9
Ibid,hlm. 74

10
9) Paman kandung ayah (‘amm al-āb li abawain) dan anak laki-lakinya
10) Paman ayah seayah (‘amm al-ab li āb) dan anakanak laki-lakinya
11) Paman kandung kakek (‘amm al-jad li abawain) dan anak anak laki-lakinya
12) Paman kakek seayah (‘amm al-jadd li āb) dan anakanak laki-lakinya
13) Orang laki-laki merupakan ‘aṣābah jauh dari perempuan yang hendak
menikah, yaitu anak paman jauh (ibn ‘amm ba’id). Semua orang-orang yang
tersebut di atas mempunyai hak sebagai wali nikah bagi perempuan yang
dalam keadaan hilang ahliyyah al-adā`nya.
14) orang yang memerdekakan hamba
15) Sultan atau qadi Mazhab Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-
Zuhailiy, memberikan beberapa catatan mengenai kewenangan wali.

D. Jenis-jenis Wali Nikah


Ada beberapa pendapat mengenai perwalian dalam berbagai madzhab
di antaranya: menurut madzhab Hanafi membagi perwalian kepada tiga
bagian: perwalian terhadap diri, perwalian terhadap harta dan perwalian
terhadap diri dan harta secara bersamasama.10
Wahbah az-Zuhaili membagi perwalian terhadap diri menjadi dua
bagian, yaitu perwalian ijbar (yang bersifat harus) dan perwalian ikhtiar
(sukarela).
Perwalian ijbar berdasarkan maknanya yang khusus adalah hak wali
untuk mengawinkan orang lain dengan orang yang dia kehendaki. Perwalian
ijbar dengan pengertian ini menurut madzhab Hanafi ditetapkan kepada anak
kecil perempuan meskipun dia adalah seorang janda, serta kepada perempuan
idiot, perempuan gila, dan budak perempuan yang dimerdekakan, orang yang
memiliki perwalian ini disebut wali mujbir.
Perwalian ikhtiar adalah hak wali untuk mengawinkan orang yang dia
walikan berdasarkan pilihan dan kerelaannya. Orang yang memiliki

10
Soraya Devy,Wali Nikah: Urutan dan Kewenangannya dalam Perspektif Imam Mazhab
Tim Sahifah Diterbitkan atas Kerjasama: Sahifah Gampong Lam Duro, Prodi Hukum Keluarga
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Cetakan Pertama, Oktober 2017, Ibid, hlm. 31

11
perwalian ini disebut sebagai wali mukhayyir. Golongan Hanafi berpendapat:
“Wali mujbir berlaku bagi ashabah seketurunan terhadap anak yang masih
kecil, orang gila dan orang yang kurang akalnya.
Menurut madzhab Hanafi tidak ada perwalian selain perwalian mujbir,
oleh karena itu, menurut pendapat mereka tidak ada perwalian yang selain
wali mujbir yang membuat akad pernikahan bergantung kepadanya.
Semuanya adalah wali mujbir. Madzhab Maliki membagi perwalian menjadi
dua bagian yakni khusus dan umum. Perwalian khusus adalah yang dimiliki
oleh orangorang tertentu, mereka itu ada enam orang, yaitu: bapak, orang
yang diwasiatkan oleh bapak, kerabat ashobah, orang yang memerdekakan
dan penguasa.Perwalian umum adalah yang dimiliki dengan satu sebab, yaitu
Islam.11
Perwalian ini untuk semua orang Islam, yang melaksanakannya adalah
salah satu dari mereka dengan cara seorang perempuan meminta diwakilkan
kepada salah seorang Islam untuk melaksanakan akad perkawinannya.
Syaratnya, dia tidak memiliki bapak atau orang yang diwasiatkan oleh
bapaknya, dan dia adalah rakyat jelata bukan seorang perempuan bangsawan.
Perwalian terhadap seorang perempuan merupakan sebuah syarat mutlak bagi
sahnya salah satu akad perkawinan menurut madzhab Syafi’i.
Seorang perempuan tidak mengawini dirinya dengan izin waliya, atau
perempuan yang lain dengan perwakilan, dan dia juga tidak bisa menerima
perkawinan dari seseorang. Ada dua jenis perwalian yakni perwalian ijbar dan
perwalian ikhtiar. Perwalian ijbar adalah yang dimiliki oleh bapak, dan kakek
ketika tidak ada bapak. Maka seorang bapak boleh mengawinkan anak
perawan yang masih kecil atau besar tanpa seizinnya, dan disunahkan untuk
meminta izinnya. Sedangkan perwalian ikhtiar dimiliki bagi semua wali
‘ashobah dalam mengawinkan seorang perempuan janda. Seorang wali tidak
boleh mengawinkan seorang janda kecuali dengan izinnya. Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

11
Ibid, hlm.33

12
Pasal 20 ayat (2) menerangkan bahwa wali nikah terdiri dari Wali Nasab dan
Wali Hakim.

E. Macam-Macam Wali dan Wali Nikah


Sebenarnya urusan perwalian bukan hanya yang berhubungan dengan
nikah, tetapi menurut para fuqaha imam madzab macammacam wilayah
perwalian adalah sebagai berikut: 12
1. Menurut Hanafiyah macam-macam perwalian ada tiga yaitu perwalian
dalam masalah harta, wilayah perwalian dalam masalah jiwa dan
perwalian dalam masalah harta dan jiwa secara bersamaan.
a. Perwalian dalam masalah jiwa adalah Pengawasan kepada seserang
yang pribadinya mempunyai kekurangan atau tidak mempunyai
kemampuan secara sempurna, seperti dalam masalah pernikahan,
pendidikan, kesehatan, operasional, maka ditetapkanlah sebagai wali,
yaitu Bapaknya, Kakek dan seterusnya semuai wali.
b. Perwalian dalam masalah harta adalah mengatur yang masih kecil atau
belum cukup umur atau hijr untuk menggunakan harta, memanfaatkan,
menjaga, menginfaqkan,maka ditetapkanlah sebagai wali bapak, kakek,
dan yang wasiyatkan oleh keduanya sebagai wali yaitu hakim
c. Perwalian dalam masalah jiwa dan harta adalah mencakup urusan
kepribadian dan harta yang menjadi wali hanya bapak dan kakek
Sedangkan masalah perwalian dalam perkawinan masuk dalam
perwalian masalah jiwa yang terbagi menjadi dua yaitu Walayatul ijbar dan
Walayatul ikhtiyar
a. Walayatul ijbar ada empat sebab, yaitu kekeluargaan, penguasa/raja,
memerdekaan, dan imamah
b. Walayatul ikhtiyar adalah hak wali dalam menikahkan yang
diwalihinya sesuai dengan yang dipilih nya dan yang diridhainya
menjadi wali nikah atau disebut wali mukhoyar

12
H.Kosim, Fiqh Munakahat I Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam Dan Keberadaannya
Dalam Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Depok : Rajawali Pers, 2019, hlm. 62

13
2. Menurut Malikiyah perwalian dibagi menjadi dua, yaitu walayatulkhoshoh
dan walayatulammah
a. Walayatulkhoshoh adalah wali orang-orang tertentu, mareka ada enam
macam, yaitu bapak, dan orang yang diberiwashiyat oleh bapak,
keluarga terdekat jalur ashabah, maula, penanggung (kaafil) dan Suthan
(penguasa)
b. Walayatulammah adalah wali yang ditetapkan hanya satu sebab yaitu
Islam, maka setiap orang muslim berhak menjadi wali dengan syarat
tidak ada wali bapak atau yang diwashiyati oleh bapak
3. Menurut Syafi’iyah, wali ada dua macam, yaitu wali mujbir dan wali ikhtiyar
a. Wali mujbir adalah bapak, kakek jika tidak ada bapak
b. Wali ikhtiyar adalah dari jalur ashabah
1. Pendapat Hanabilah tentang macam-macam seperti pendapatnya Syafi’iyah
dan Malikiyah13
Jumhur Ulama sepakat bahwa wali menjadi syarat sahnya akad nikah
kecuali Imam Abu Hanifah, dan Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urut-
urutan wali adalah sebagai berikut :
1. Ayah
2. Ayahnya ayah (kakek) terus ke atas
3. Saudara laki-laki seayah seibu
4. Saudara laki-laki seayah saja
5. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Anak laki-laki no.7
10. Anak laki-laki no. 8 dan seterusnya
11. Saudara laki-laki ayah, seayah seibu
12. Saudara laki-laki ayah, seayah saja

13
Ibid,hlm.63

14
13. Anak laki-laki no.11
14. Anak laki-laki no.12 dan
15. Anak laki-laki no. 13 dan seterusnya
Perwalian yang berhubungan dengan wali nikah ada enam macam,
yaitu : wali nasab wali hakim ,wali tahkim dan wali maula
1. Wali nasab.
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan
wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Wali nasab dibagi menjadi
dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Dalam urutan di atas yang
termasuk wali aqrab adalah wali nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi
wali ab’ad. Jika nomor 1 tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan
nomor 3 menjadi wali ab’ad, dan seterusnya. Adapun perpindahan wali aqrab
kepada wali ab’ad adalah sebagai berikut.Apabila wali aqrabnya non muslim:
a. Apabila wali aqrabnya fasik,
b. Apabila wali aqrabnya belum dewasa,
c. Apabila wali aqrabnya gila,
d. Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.
2. Wali Hakim.
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah SAW.
bersabda : 14
“Tidak ada nikah kecuali harus adanya wali Maka penguasa (hakim)
yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.”
(HR.Ahmad) Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah :
Pemerintah , Khalifah (pemimpin), Penguasa, atau qadi nikah yang diberi
wewenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang di atas, maka wali hakim dapat diangkat oleh
orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim.
Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam
kondisi-kondisi berikut.

14
Ibid,

15
a. Tidak ada wali nasab;
b. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad;
c. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh 92,5 km atau dua
hari perjalanan;
d. Wali aqrab di penjara dan tidak bisa ditemui;
e. Wali aqrabnya ’adlal; f. Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit);
f. Wali aqrabnya sedang ihram;
Wali hakim tidak berhak menikahkan :
a. Wanita yang belum baligh;
b. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekutu;
c. Tanpa seizin wanita yang akan menikah; dan
d. Wanita yang berada di luar daerah kekuasaannya
3. Wali Tahkim.
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami atau calon
istri. Adapun cara pengangkatnya (cara tahkim) adalah : Calon suami
mengucapkan tahkim kepada seseorang dengan kalimat, ”Saya angkat
bapak/saudara untuk menikahkan saya dengan si…. (calon istri) dengan
mahar….dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu,
calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu
menjawab, ”Saya terima tahkim ini.” Wali tahkim terjadi apabila :
a. Wali nasab tidak ada;
b. Tidak ada wali hakim atau penghulu
4. Wali maula
adalah wali yang menikahkan budaknya. Artinya, majikan sendiri.
Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya
bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan di sini
terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
5. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan
yang diwakilkan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat
mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwakilkan tanpa

16
melihat rida atau tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya. Agama
mengakui wali mujbir itu karena memerhatikan kepentingan orang yang
diwakilkan. Sebab, orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak
dapat memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri. Di samping
itu, ia belum dapat menggunakan akalnya untuk mengetahui kemaslahatan
akad yang dihadapinya.
Adapun yang dimaksud dengan ijbâr (mujbir) adalah hak seseorang
(ayah ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang
bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Tidak ada permusuhan antara wali dengan perempuan yang ia sendiri, menjadi
walinya (calon pengantin wanita);
2. Calon suaminya sekufu dengan calon istri, atau ayah lebih tinggi; dan
3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbâr gugur.
Sebenarnya, ijbâr bukan harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok bila
diartikan pengarahan. Wali yang tidak mujbir adalah :
1. Wali selain ayah, kakek dan terus ke atas.
2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah baligh, dan mendapat
persetujuan dari yang bersangkutan.
3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan
atau tulisan.
4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis, cukup dengan diam.

F. Hikmah Walimah Nikah


Sayyid Sabiq mengutip salah satu pernyataan hasil penelitian tentang
nikah dan kesehatan yang dilakukan PBB yang dimuat dalam harian nasional
bahwa orang yang bersuami umurnya lebih panjang daripada orang yang
tidak bersuami istri baik karena menjanda, bercerai ataupun sengaja
membujang. Pernyataan itu selanjutnya menjelaskan di berbagai Negara,
orang-orang kawin pada umur yang masih muda, bahwa pernikahan di usia

17
muda merupakan solusi yang lebih baik, di mana penelitian terbaru
mengungkapkan bahwa keterlambatan menikah berpengaruh pada
kecerdasan bayi.15 Akan tetapi bagaimanapun juga umur orang-orang yang
bersuami istri umurnya lebih panjang.
Pernyataan di atas sesuai dengan hadist nabi Saw:
‫اي معرش الناس اتقواالزىن فإن فيه ست حصال ثاّلث ىف ادلنيا وثاّلث ىف اّلخرة‬
‫اما الىت ىف ادلنيا فيذهب الهباء ويورث الفقر وينقص العمر واما الىت ىف اّلخرة‬
‫فسخط هلل وسؤ احلساب وعذاب النار‬
Artinya:”Wahai umat manusia, takutlah terhadap perbuatan zina,
karena perbuatan zina akan mengakibatkan 6 perkara. Yang tiga didunia dan
yang tiga ialah: menghilangkan wibawa, mengakibatkan kefakiran,
mengurangi umur dan tiga lagi yang akan dijadikan Allah hisab yang jelek
(banyak dosa), dan siksaan neraka.”
Lain dari itu hikmah perkawinan ialah memelihara diri seseorang,
supaya jangan jatuh kelembah kejahatan (perzinaan). Karena bila ada istri di
sampingnya akan terhindarlah ia dari pada melakukan pekerjaan yang keji itu.
Begitu juga wanita yang di samping suaminya, tentu akan terhindar dari
maksiat.16
Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi hikmah-hikmah perkawinan itu banyak
antara lain:
2. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak,
maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu
perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan
secara individual.
3. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah
tangganya teratur. Kehidupan tidak akan tenang kecuali dengan adanya
ketertiban rumah tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud kecuali
harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu.

15
Hikmatullah, Fiqh Munakahat Pernikahan Dalam Islam, Cipayung: Penerbit EDU
PUSTAKA Cetakan Pertama, 2021, hlm. 26
16
Ibid, hlm. 27

18
4. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan
dunia masing-masing dengan cirri khasnya berbuat dengan berbagai macam
pekerjaan.
Dalam kaitan ini rasulullah SAW bersabda:
‫ليتخذ احدمك قلبا شاكرا ولساان ذاكرا وزوجة مؤمنة صاحلة تعنيه عىل اخرته‬
“Hendaklah di antara kamu sekalian menjadikkhian hati yang
bersyukur, lidah yang selalu mengingat Allah, dan istri mukminah shalihah
yang akan menyelamatkannya di akhirat.”
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa
keuntungan (hikmah). antara lain sebagai berikut:17
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya
3. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami istri
5. Sebagai realisasi arti sosiologis dari akad nikah Hikmah dari disuruhnya
mengadakan walimah ini adalah dalam rangka mengumumkan kepada
khalayak bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak
mengetahuinya.
Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberi tahukan terjadinya
perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari menghadirkan dua orang
saksi dalam akad perkawinan.

17
Ibid, hlm. 48

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa, nikah artinya menghimpun. Nikah juga berarti
bersetubuh dan akad. Menurut ahli usul dan bahasa, bersetubuh merupakan
makna hakiki dari nikah, sementara akad merupakan makna majāzī. Dengan
demikian, jika dalam ayat al-Qur’an atau hadis Nabi muncul lafaz nikah
dengan tanpa disertai indikator apa pun, berarti maknanya adalah bersetubuh
Kata wali secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata
‫ ولي‬di mana dalam kamus Al Munawwir, kata tersebut diartikan sama dengan
‫ قرب‬yang berarti dekat.
Perwalian ini untuk semua orang Islam, yang melaksanakannya
adalah salah satu dari mereka dengan cara seorang perempuan meminta
diwakilkan kepada salah seorang Islam untuk melaksanakan akad
perkawinannya. Syaratnya, dia tidak memiliki bapak atau orang yang
diwasiatkan oleh bapaknya, dan dia adalah rakyat jelata bukan seorang
perempuan bangsawan. Perwalian terhadap seorang perempuan merupakan
sebuah syarat mutlak bagi sahnya salah satu akad perkawinan menurut
madzhab Syafi’i.
Mazhab Hanafiyah mengklasifikasi kewalian dalam tiga bentuk:
kewalian terhadap jiwa (al-wilāyah ‘alā al-nafs), kewalian terhadap harta (al-
wilāyah ‘alā al-māl) dan kewalian terhadap harta dan jiwa (alwilāyah ‘alā al-
nafs wa al-māl ma’an). Kewalian dalam pernikahan termasuk masalah
kewalian terhadap jiwa. Kewalian dalam pernikahan terbagi pada dua bentuk:
kewalian yang dapat memaksa (wilāyah al-ijbār) dan kewalian yang dapat
memilih (wilāyah al-ikhtiyār).

20
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yatim, Persepsi Masyarakat Terhadap Wakil Wali Nikah Di Kua


Kabupaten Lampung Tengah (Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di
Indonesia) Lampung : Penerbit: Pascasarjana IAIN Metro, Cetakan Pertama 2020
Hj. Iffah Muzammil , FIQH MUNAKAHAT (Hukum Pernikahan dalam
Islam) Dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan No.
1 Tahun. Tangerang :Tira Smart Cetakan pertama, 2019
Soraya Devy,WALI NIKAH: Urutan dan Kewenangannya dalam Perspektif
1974Imam Mazhab Tim Sahifah Diterbitkan atas Kerjasama: Sahifah Gampong
Lam Duro, Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry
Cetakan Pertama, Oktober 2017
Hikmatullah, Fiqh Munakahat Pernikahan Dalam Islam, Cipayung: Penerbit
EDU PUSTAKA Cetakan Pertama, 2021
H.Kosim, Fiqh Munakahat I Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam Dan
Keberadaannya Dalam Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Depok :
Rajawali Pers, 2019

21
LAMPIRAN

22
23
24
25

Anda mungkin juga menyukai