Anda di halaman 1dari 48

Makalah Al Islam

Tema :“MUNAKAHAH”

DOSEN PEMBIMBING :
Romyzal, M.Pd. I

Penyusun :
Syifa Isnaini ( 199110051 )
Nisa Ul Khoiriyah ( 199110099 )
Aulia Lorensa Veron ( 199110077 )
Khairani Aulia Ramadhan ( 199110152 )

Kelas 2/E
Prodi : Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Komunikasi
UIR

1
Kata Pengantar

ِ ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ مٰ ِن الر‬


‫َّحي ِْم‬

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Munakahah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari bapak
Romyzal pada mata kuliah Al Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang beragama bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Romyzal selaku dosen mata kuliah Al islam
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan Kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, Februari 2020

Kelompok 9

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang..................................................................................
B. Rumusan Masalah............................................................................
C. Tujuan Pembahasan.........................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN
1. Pengertian nikah
2. Pernikahan dalam islam
3. Konsep Ta’aruf dalam rangka khitbah (peminangan)
4. Dasar hukum
5. Rukun dan syarat nikah
6. Mahar dan walimatul ursy
7. Hak dan kewajiban suami istri
8. Putusnya perkawinan, misalnya, Thalaq, Khulu’, Ila’, Zhihar, Li’an, Mut’ah, Iddah dan
Ruju’
9. Hukum pacaran dan hamil di luar nikah
10. Hikmah dan filosofi nikah.

BAB 3 PENUTUP
Kesimpulan..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada dasarnya hukum islam sudah mengatur tentang pernikahan sesuai dengan ketentuan
syari’at islam. secara garis besar hukum islam terbagi menjadi dua yitu fiqih ibadah dan fiqih
muamalat. dalam fiqih ibadah meliputi aturan tentang shalat,puasa,zakat,haji,nazar dan sebagainya
yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. sedangkan fiqih
muamalah ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya seperti perikatan,sanksi hukum
dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan keadilan baik secara perorangan maupun
kemasyarakatan.
Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang dimaksud dengan nikah menurut
bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha yankihu nikahan yang berarti kawin. dalam istilah
nikah adalah ikatan suami istri yang sah menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi
suami istri. dalam hukum kekeluargaan harus disertai dengan kuat agama yang disyariatkan islam.
beberapa hukum tersebut dapat dipelajari dalam al-qur’an dan as-sunnah.
Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan, ada lelaki ada
perempuan, salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk meneruskan
generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh sebab itu Allah SWT memberikan manusia karunia
berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan
melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan
yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan yang
sesuai dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan,agar lahir keturunan secara
terhormat, maka pernikahan adalah satu hal yang wajar jika  dikatakan sebagai suatu peristiwa dan
sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.Adapun makalah ini akan
membahas mengenai pengertian dan hukum pernikahan,rukun dan syarat pernikahan, ta’aruf, mahar,
walimatul ursy, hak dan kewajiban suami istri,putusnya perkawinan, hukum pacaranserta pernikahan
yang terlarang..

4
B. Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan maka beberapa masalah yang dapat
penulis rumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Pengertian nikah
2. Konsep pernikahan dalam islam
3. Ta’aruf dalam rangka khitbah (peminangan)
4. Dasar hukum
5. Rukun dan syarat nikah
6. Mahar dan walimatul ursy
7. Hak dan kewajiban suami istri
8. Putusnya perkawinan, misalnya, Thalaq, Khulu’, Ila’, Zhihar, Li’an, Mut’ah, Iddah
dan Ruju’
9. Hukum pacaran dan hamil di luar nikah
10. Hikmah dan filosofi nikah.

C. Tujuan Pembahasan

Untuk dapat memahami, lebih mengetahui tata cara dan hukum nikah dalam
kehidupan sehari-hari

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Arti nikah menurut bahasa yaitu : bercampur dan berkumpul, artinya bercampur dan
berkumpul antara pria dan wanita untuk melakukan persetubuhan yang halal.
Arti nikah menurut istilah :
Menurut istilah syariat, nikah artinya Perjanjian (akad) antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bukan muhrimnya untuk membangun rumah tangga dan dengan pernikahan dapat
menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allah SWT. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
pengertian pernikahan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri
untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
Nikah merupakan salah satu asas yang utama dalam memelihara kemashlahatan umum.
Kalau tidak ada peraturan tentang nikah, manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, dan hawa
nafsu ini dapat menimbulkan perselisihan dan bencana dalam masyarakat.

B. Konsep pernikahan dalam islam


C. Ta’aruf dalam rangka khitbah (peminangan)

 Secara bahasa ta'aruf bisa bermakna ‘berkenalan’ atau ‘saling mengenal’. Asalnya berasal


dari akar kata ta’aarafa.Jadi, kata ta’aruf itu mirip dengan makna ‘berkenalan’ dalam bahasa kita.
Setiap kali kita berkenalan dengan seseorang, entah itu tetangga kita, orang baru atau sesama
penumpang dalam sebuah kendaraan umum misalnya, dapat disebut sebagai ta’aruf. Ta’aruf jenis ini
dianjurkan dengan siapa saja, terutama sekali dengan sesama muslim untuk mengikat hubungan
persaudaraan. Tentu saja ada batasan yang harus diperhatikan kalau perkenalan itu terjadi antara dua
orang berlawanan jenis, yaitu pria dengan wanita. Ta’aruf atau perkenalan yang dianjurkan dalam
islam adalah dalam batas-batas yang tidak melanggar aturan islam itu sendiri.
Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak pria dan wanita dipersilakan menanyakan
apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi
kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh
dilakukan cuma berdua saja. Harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau
keluarganya. Jadi,taaruf bukanlah bermesraan berdua,tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat

6
realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua. ta'aruf adalah proses saling kenal
mengenal pra nikah dengan dilandasi ketentuan syar'i.

 Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada
seoranng perempuan atau sebaliknya dengan perantara seorang yang di percayainya.Dalam
merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus di tempuh oleh seorang
ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang di inginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara
syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khitbah (peminangan) kepada akhwan yang
di kehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khitbah adalah agar masing- masing
pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.Laki-laki yang meminang atu pihak perempuan
yang dipinang dalam massa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan pinangan tersebut,
meskipun dulunya ia menerimanya. Meskipun demikian,pemutusan pinangan itu mesti dilkukan
secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara peminengan
tersebut itu tidak ada kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan.
Dengan demikian pemberian tersebut dapat diambil kembali bila pinangan itu tidak berlanjut dengan
perkawinan.

 Perempuan-perempuan yang boleh dikhitbahkan


Dalam agama islam, meminang seseorang yang akan dinikahi hukumnya mubah (boleh) dengan
ketentuan.Perempuan yang dipinang harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :
a. Tidak dalam pinangan orang lain.
b. Pada waktu di pinangan, perempuan tidak ada penghalang syara’ yang melarang
dilangsungkannya pernikahan.
c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i dan
d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in,hendaklah meminang dengan cara sirry
(tidak terang-terangan)

Dalam peminangan, laki-laki yang meminang dapat melihat wanita yang


dipinangnya.Melihat (nazar) hukumnya sunnah.Dengan akan melihat dapat di ketahui identitas
maupun pribadi wanita yang akan dikawininya. Rasulullah SAW, bersabda yang artinya :
“ Apabila seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat, maka
dapat melihatnya apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka laksanakanlah”
(Riwayat Ahmad dan Abu Daud).

7
D. Dasar hukum
Nikah adalah suatu ketentuan yang di syariatkan oleh agama islam dan merupakan insting
(pembawaan) bagi setiap manusia yang normal,baik pria maupun wanita yang didasarkan pada al
quran dan sunah rasul saw.Oleh karena itu merupakan upaya untuk mewujudkan suatu
masyarakat,maka islam mendasarkan hokum nikah tersebut kepada kondisi dan keadaan dari seorang
yang hendak melakukannya,baik dari segi kesanggupan fisik (seksual) maupun dari segi
kesanggupan materi (nafkah) sebagai resiko yang ditimbulkan dari nikah tersebut.

Hukum menikah itu sesuai dengan keadaannya yaitu:


a.       Wajib yaitu bagi orang yang sudah mampu nikah, dan khawatir akan terjerumus dalam
perzinahan. Maka orang tersebut diwajibkan untuk menikah.
b.      Sunnah yaitu bagi orang yang telah mampu untuk menikah (baik fisik, mental, maupun
biaya) , tetapi tidak khawatir akan terjerumus kedalam kemaksiatan karena mampu menjaga
dirinya.
c.       Mubah artinya diperbolehkan. Mubah ini merupakan asal hukum pernikahan.
d.      Makruh yaitu orang yang akan melakukan pernikahan telah mempunyai keinginan atau
hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
Pernikahan semacam ini dikhawatirkan mendatangkan kemudharatan.
e.       Haram bagi orang yang menikah atas dorongan nafsu belaka, orang yang ingin merenguk
keuntungan materidan orang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang
dinikahinya.

E. Rukun dan syarat nikah

Setelah pinangan dari calon laki-laki diterima oleh calon pengantin perempuan maka
diadakanlah akad nikah.Dengan adanya akad nikah berarti calon mempelai sudah sah hidupnya
sebagai suami istri dalam suatu rumah tangga dan mereka harus melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing sebagai suami istri.

Suatu pernikahan dianggap sah apabila semua rukunnya sudah terpenuhi, Rukun nikah adalah
sebagai berikut :

8
1. Sighat(Aqad)
Sighat(Aqad) yaitu ijab dan qobul.Ijab adalah penyerahan dari wali perempuan atau wakilnya
seperti”saya nikahkan engkau dengan anak perempuan saya ………………………. Dengan mahar
atau mas kawin……………………………… qobul adalah penerimaan dari calon laki-laki seperti
“saya terima nikah ………………….. dengan mahar atau mas kawin ………………..
Syarat-syarat sighat (‘aqad) :

1.1 antara ijab dan qobul tidak boleh diselingi oleh pembicaraan yang lain, atau begitu lama,
artinya segera setelah selesai pengucapan kalimat ijab dari wali si perempuan, langsung di
sambut dengan pengucapankaliamt qobul oleh mempelai laki-laki.

1.2 adanya kalimat penyesuaian bunyi kalimat ijab dengan qabul, jka tidak sesuai tidak sah
nikah. Misalnya, seorang wali menikahkan Fatimah anak ali lalu diterima oleh calon
mempelai Aisyah anak Ali atau Fatimah anak umar dan lain sebagainya.

1.3 dengan kata-kata yang tegas menunjukkan lafaz nikah, misalnya, saya menikahkan
(Mengawinkan).

1.4. Tidak ada Ta’lik atau Syarat yang menghalangi berlangsungnya perkawinan. Kalau pakai
ta’lik tidak sah nikah, Mmisalnya saya nikahkan anak saya Ftimah dengan kamu, jika telah di
ceraikan oleh suaminya.

1.5 tidak dibatasi lamanya nikah dalam ijab dan qabul. Jika lamanya dibatasi maka nikahnya
tidak sah misalnya kata wali; saya nikahkan anakku Fatimah dengan kamu selama 1 tahun.

1.6 di dengar oleh dua orang saksi nikah dan di pahami maksudnya.

1.7. di sebutkan dengan khusus nama wanita yang di nikahkan itu dalam ijab dan qabul.

9
2. Calon Suami
Di sebutkan pula oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi
Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42:
‫" و شرط في الزوج حل واختيار وتعيين وعلم بحل المرأة له‬

“Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam dan bukan mahram), tidak
terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya.”

Syarat-syarat calon suami yaitu :


a. Beragama islam.
b. Baligh dan berakal.
c. Calon mempelai laki-laki bukan muhrim dari calon pengantin wanita yang akan dinikahi.
d. Tidak mempunyai istri 4 orang atau lebih.
e. Tidak mempunyai istri dengan wanita yang haram di madu dengan calon pengantin yang akan
dinikahinya.
f. Nyata calon emmpelai laki-laki itu memang benar-benar laki-laki bukan banci.
g. Tidak sengan ihram mengerjakan haji atau umrah.

3. Calon Istri
Syarat-syarat calon istri yaitu :
a. Beragama islam.
b. Tidak muhrim bagi laki-laki yang akan menikahinya.
c. Bukan istri orang lain, dan bukan istri yang dalam ‘iddah.
d. Nyata ia seorang wanita.
e. Tertentu orangnya.
f. Bukan wanita yang sedang mengerjakan haji atau umrah.

4. Wali
Seorang wanita yang akan nikah mesti memakai wali, Nikah tanpa wali batal (tidak sah).
Syarat-syarat wali :
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal

10
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. ‘Adil
g. Bukan sedang mengerjakan haji atau umrah.

Susunan Wali :
1. Bapak
2. Datuk (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak
4. Saudara laki-laki yang sebapak saja
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak
6. Anka laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja
7. Saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak (paman seibu sebapak)
8. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja (paman sebapak)
9. Anak laki-laki bapak yang seibu sebapak (anak laki-laki paman seibu sebapak)
10. Anak laki-laki saudara lakk-laki bapak yang sebapak saja (anak laki-laki bapak yang sebapak
saja (anak laki-laki paman sebapak)
11. Hakim

Pembagian Wali Nikah :


A. Wali Mujbir
Wali mujbir ialah wali yang mempunyai wewenang penuh untuk menikahkan putri atau cucunya
baik baligh atua belum tanpa seizinnya lebih dahulu, yang termasuk wali mujbir ialah:
 Bapak
 Datuk (bapak dari bapak)

B. Wali Akrab
Wali akrab ialah wali yang seibu sebapak mujbir,yang termasuk wali akbar ialah :
 Saudara laki-laki yang seibu sebapak
 Saudara laki-laki yang sebapak saja
 Anak laki-laki saudara laki-laki seibu sebapak
 Anak laki-laki saudara laki-laki yang sebapak aja

11
C. Wali Ab’ad
Wali ab’ad ialah wali yang sudah agak jauh tetapi masih termaduk wali dari segi keturunan (nasab).
Yang termasuk wali ab’ad ialah:
 Saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak.
 Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
 Anka laki-laki saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak.
 Anak laki-lkai saudara laki-lkai bapak yang sebapak saja.

D. Wali Hakim
Wali hakim ialah wali yang tidak termasuk keturunan (nasab) dari wanita yang akan di nikahkan.
 Kepala Negara Islam
 Kepala Negara yang beragama Islam
 Qadhi
 Na’ib

F. Mahar dan walimatul ursy

 Pengertian Mahar
Mahar (arab : ‫ = المهر‬maskawin), adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah.

Menurut KBBI mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-
laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib
dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon
suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.

12
Para ulama mazhab mengemukakan beberapa definisi, yaitu:
 Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa:” mahar sebagai sejumlah harta yang
menjadi hak istri, karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan
sesungguhnya”.
 Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk
digauli”.
 Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar. “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik
disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah
pihak, maupun ditentukan oleh hakim”

 Dasar Hukum Mahar


 (Q.S.An-Nisa: 4)
‫ص ُدقَ ٰـتِ ِہ َّن نِ ۡحلَ ۬ةًۚ‌ فَإِن ِط ۡبنَ لَ ُكمۡ عَن َش ۡى ۬ ٍء ِّم ۡنهُ ن َۡف ۬ ًسا فَ ُكلُوهُ هَنِ ٓي ۬ـًٔا َّم ِر ٓي ۬ـًٔا‬ ْ ُ‫َو َءات‬
َ ‫وا ٱلنِّ َسآ َء‬

Artinya,” Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah [ambillah] pemberian itu
[sebagai makanan] yang sedap lagi baik akibatnya.

 (QS. An-Nisa’:24)
َ ‫فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِم ْنه َُّن فَئَاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن فَ ِر ْي‬
ً‫ضة‬

Artinya,” Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.

 (HR. Bukhori), Rasululah bersabda:


‫تَزَ َّوجْ َولَوْ بِخَاتِ ٍم ِم ْن َح ِد ْي ٍـد‬

Artinya,” “Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”

13
 Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar yang dengan yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi memiliki nilai,
maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak
berharga.
c. Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud
untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikan kelak. Memberikan mahar dengan barang
hasil gasab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak
disebutkan jenisnya.

 Macam-macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar
mitsil (sepadan).
1) Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika
akad nikah, atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah. Ulama fiqh sepakat bahwa
dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1. Telah bercampur (bersenggama).
2. Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri,
dan ternyata hikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istri mahram sendiri, atau
dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai
sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT: “ Jika kamu
menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah

14
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. (Q.S An-
Nisa: 237)”
2) Mahar mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besra kadarnya pada saat sebelum ataupun
sesudah ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah
diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengikat status social,
kecantikan dan sebagainya. Bila terjadi mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
atau ketika terjadi pernikahan, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin
wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan
ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:


1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah.

 Kadar (Jumlah) Mahar


Kalangan ulama sepakat secara bulat, Bahwa tidak ada batasan tertinggi mahar yang
diberikan mempelai pria kepada istrinya. Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula
jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia
dalam memberikannya.Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang
lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak
mampu memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang
bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk
menetapkan jumlahnya.

 Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut,
seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti
khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual
beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
a. Barangnya tidak boleh dimiliki;

15
b. Mahar digabungkan dengan jual beli;
c. Penggabungan mahar dengan pemberian;
d. Cacat pada mahar; dan
e. Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak
atau unta yang lepas

 Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang


Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian,
berdasarkan sabda Nabi Saw:

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan
sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi
Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan
dishahihkan oleh Hakim).

Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik,
dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.

 Walimatul ursy
Walimah ‫ الوليمة‬artinya Al-ja’mu = kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul. Walimah
‫ الوليمة‬berasal dari kata Arab: ‫ اَ ْل َولِ َم‬artinya makanan pengantin. Maksudnya adalah makanan yang
disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu
undangan atau lainnya. Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya,
atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Bisa juga diadakan tergantung
adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat

 Hukum menghadiri undangan walimatul ursy


Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang yang mengundang,
maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya. Adapun wajibnya mendatangi undangan
walimah, apabila:

16
a. Tidak ada uzur syar’i
b. Dalam walimah itu tidak ada atau tidak digunakan untuk perbuatan munkar
c. Yang diundang baik dari kalangan orang kaya maupun miskin.
Secara rinci, undangan itu wajib didatangi, apabila memenuhi syarat:
a. Pengundang sudah mukhallaf, merdeka, dan sehat akal
b. Undangan tidak hanya dikhususkan kepada orang kaya tanpa melibatkan orang miskin
c. Tidak hanya tertuju kepada orang yang disenangidan orang yang dihormatinya
d. Pengundang beragama islam. Dengan demikian menurut pendapat yang lebih kuat
e. Khususnya hari pertama walimah. Demikian pendapat yang masyhur
f. Belum didahului oleh undangan lain. Jika ada undangan lain sebelumnya, yang pertama
wajib didahulukan
g. Tidak ada kemungkaran dan perkara-perkara lain yang menghalangi kehadirannya
h. Orang yang diundang tidak berhalangan.

 Hikmah Walimah
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan (hikmah),
antara lain sebagai berikut:
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami isteri
5. Sebagai realisasi arti sosiologis dari akad nikah
6. sebagai pengumuman bagi masarakat, terhadap resminya pernikahan.

G. Hak dan Kewajiban Suami dan Hak Istri


Suami harus memenuhi hak strinya dengan baik seperti maharnya, nafkahnya, mu’nahnya,
kiswahnya. Semua itu harus dilakukan oleh suami dengan penuh kerelaan, hati baik, ucapan yang
lemah lembut, dan penuh Kesabaran atas prilaku buruk misalnya si istri berakhlaq kurang baik”.
Suami juga harus bisa membimbing istrinya dengan baik dan sabar menuju kebaikan-kebaikan dan
ibadah. Mengajari istrinya bagaimana bersuci yang benar sesuai perintah agama, juga membimbing

17
istrinya dengan benar tatkala ia haid, ketika ia shalat serta ketika istri melaksanakan kewajiban-
kewajiban agama yang lain.

Firman Allah SWT dalam Surat an Nisaa: 19:


ِ ‫َوعَا ِشرُوه َُّن بِ ْال َم ْعر‬
‫ُوف‬
“Dan pergaulilah istri-istri mu sekalian dengan baik”.
Lalu dalam Surat al Baqarah: 228 yang berbunyi:
ِ ‫ال َعلَ ْي ِه َّن َد َر َجةٌ ۗ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ‫َولَه َُّن ِم ْث ُل الَّ ِذي َعلَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ُوف ۚ َولِل ِّر َج‬
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.
Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kewajiban-kewajiban suami kepada istri dan hak yang harus diterima bagi istri itu setidaknya harus
di penuhi dan disesuai dengan kemampuan dari sang suami, diantaranya :
1. Suami itu harus memberikan Nafkah; nafkah lahir seperti makan dan minum, belanja
perabotan rumah tangga, biaya sekolah, biaya mondok, dan belajar anak-anaknya. Di
samping itu juga, suami harus memberikan nafkah batin, baik hubungan seksual yang baik
dan layak, maupun hubungan psikologis dalam rumah tangga itu yang juga baik dan layak.
2. Suami harus juga memberikan mu’nah. Yang dimaksud dengan mu’nah itu adalah segala
sesuatu di luar kewajiban-kewajiban nafkah tersebut, atau bahasa lain adalah segala biaya tak
terduga, seperti biaya-biaya pengobatan jika sakit, biaya yang dengan perhiasan istri, biaya
untuk istri bersolek dan lain-lain.
3. Suami juga wajib memberikan biaya kiswah, dalam hal ini suami harus memenuhi biaya
pakaian Istri (secukupnya dan seperlunya).

H. Putusnya perkawinan misalnya: thalaq,khulu’,ila’, zhihar, li’an, mut’ah, iddah, dan ruju’

A. Thalaq

‫إنإبليسيضععرشهعلىالماءثميبعثسراياهفأدناهممنهمنزلةأعظمهمفتنةيجئأحدهمفيقولفعلتكذاوكذافيقولماصنعتش‬
‫يئاقالثميجئأحدهمفيقولماتركتهحتىفرقتبينهوبينامرأتهقالفيدنيهمنهويقولنعمأنت‬

18
Artinya:“Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya.
Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada
yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-
apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya
meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk
duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim)

Di atas merupakan hadist Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam yang sesungguhnya merupakan
suatu peringatan tentang buruknya suatu perceraian. Mengapa? Karena perceraian itu adalah salah
satu cita-cita terbesar dari iblis yang merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling laknat,
dimana dengan adanya perceraian akan dapat menimbulkan berbagai dampak seperti terputusnya
keturunan maupun terputusnya tali silaturahmi.
Perceraian atau dalam islam dikenal dengan talak yang dapat diartikan sebagai terlepasnya
ikatan sebuah perkawinan atau juga bisa diartikan terputusnya hubungan perkawinan antar suami dan
istri dalam jangka waktu tertentu atau untuk selama-lamanya. Mengapa dikatakan dalam jangka
waktu tertentu? Karena dalam islam diperbolehkan adanya rujuk, dengan beberapa catatan seperti
firman Allah SWT berikut ini :

َ ‫ْري ٌحبِإِحْ َسانٍ َواليَ ِحلُّلَ ُك ْمأ َ ْنتَأْ ُخ ُذوا ِم َّماآتَ ْيتُ ُموهُنَّ َشيْئاًإِالّضأ َ ْنيَ َخافَاأَالَّيُقِي َما ُحدُودَاللَّ ِهفَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْمأَالَّيُقِي َما ُحدُودَاللَّ ِهفَال ُجن‬
‫َاح َع‬ ِ ‫الطَّالقُ َم َّرتَانِفَإ ِ ْم َزا ٌكبِ َم ْعرُوفٍأَوْ تَس‬
َ‫لَ ْي ِه َمافِي َماا ْفتَ َد ْتبِ ِهتِ ْل َك ُحدُودُاللَّ ِهفَالتَ ْعتَدُوهَا َو َم ْنيَتَ َع َّد ُحدُودَاللَّ ِهفَأُولَئِ َكهُ ُمالظَّالِ ُمون‬

Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229)

 Kapankah perceraian atau talak itu dapat dilakukan?


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam talak atau cerai diantaranya :

19
1. Talak atau cerai tidak boleh dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya pada saat istrinya
sedang dalam masa haid, nifas, atau saat istrinya dalam keadaan suci akan tetapi ia menggaulinya.
2. Hendaknya ketika mengucapkan talak, suami dalam keadaan sadar, karena apabila suami
mentalak istrinya dalam keadaan tidak sadar seperti ketika sedang marah, sehingga karena amarah
tersebut dapat menutupi kesadarannya hingga ia bicaa yang tidak diinginkan, maka talak yang ia
lakukan adalah tidak sah
3. Seorang suami yang mentalak atau menceraikan istrinya bermaksud untuk benar-benar
mencerai atau berpisah dengan istrinya tersebut, jangan sampai talak yang diucapkan hanya sekedar
menakut-nakuti atau menjadikan talak itu sebagai sumpah.

 Hukum talak
Pada dasarnya perceraian atau talak adalah sesuatu hal yang harus dihindari dalam sebuah
perkawinan. Mengapa? Karena selain merupakan perbuatan yang amat disenangi oleh iblis, talak
juga nantinya dapat berakibat buruk bagi kehidupan, baik itu bagi pasanagan suami istri yang
memutuskan untuk bercerai, bagi keturunan atau anak-anak mereka, juga bagi anggota keluarga
lainnya. Adapun hukum dari talak atau cerai ada bermacam-macam, yaitu :
1. Wajib ; Perceraian atau talak dikatakan wajib apabila :
 Antara suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi
 Tidak terjadi kata sepakat oleh dua orang wakil baik dari pihak suami maupun istri untuk
perdamaian rumah tangga yang hendak bercerai
 Adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan bahwa perceraian/ talak adalah jalan
yang terbaik.
Dan jika dalam keadaan-keadaan tersebut keduanya tidak diceraikan, maka suami akan berdosa.
2. Haram ; Suatu perceraian/ talak akan menjadi haram hukumnya apabila :
 Seorang suami menceraikan istrinya ketika si istri sedang dalam masa haid atau nifas
 Seorang suami yang menceraikan istri ketika si istri dalam keadaan suci yang telah disetubuhi
3. Sunnah ; Perceraian merupakan hal yang disunnahkan, apabila :
 Suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya
 Sang istri tidak bisa menjaga martabat dan kehormatan dirinya

20
4. Makruh ; Perceraian/ talak bisa dianggap sebagai hal yang makruh apabila seorang suami
menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik, memiliki akhlak yang mulia, serta memiliki
pengetahuan agama yang baik.
5. Mubah ; Sedangkan perceraian atau talak bisa dikatakan mubah hukumnya apabila suami memiliki
keinginan/ nafsu yang lemah atau juga bisa dikarenakan sang istri belum datang haid atau telah habis
masa haidnya.
 Rukun perceraian/ talak
1. Bagi Suami ; Suami yang hendak menceraikan istrinya haruslah :
 Berakal sehat
 Baligh
 Bercerai atas kemauan sendiri atau tanpa adanya paksaan dari pihak lain

2. Bagi Istri ; Seorang istri yang bisa diceraikan haruslah :


 Memiliki akad nikah yang sah dengan suami
 Suami belum pernah menceraikannya dengan mengucapkan talak tiga

3. Lafadz Talak ; Talak dianggap sah apabila dalam lafadznya :


 Terdapat kejelasan ucapan yang menyatakan perceraian
 Disengaja atau tanpa adanya paksaan dari pihak manapun atas pengucapan talak tersebut.

 Jenis-jenis talak
Talak dibagi dalam beberapa jenis, yaitu :
A. Dilihat dari sighat (ucapan/ lafadz) talak
Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Talak Sharih (Talak langsung)
Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya dengan lafadz atau ucapan yang
jelas dan terang. Meskipun talak ini diucapkan tanpa adanya niat ataupun saksi, akan tetapi sang
suami tetap dianggap menjatuhkan talak/ cerai.

Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Mausu’ahal-Fiqhiyah :


‫واتفقواعلىأنالصريحيقعبهالطالقبغيرنية‬
Artinya “Para ulama sepakat bahwa talak dengan lafadz sharih (tegas) statusnya sah, tanpa
melihat niat (pelaku).”

21
Contoh Lafadz/ ucapan Talak Sharih :
 Aku menceraikanmu
 Engkau aku ceraikan
 Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya.

2. Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung)


Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya dengan menggunakan
kata-kata yang di dalamnya mengandung makna perceraian akan tetapi tidak secara langsung.
Seorang suami yang apabila menjatuhkan talak dengan lafadz talak kinayah sementara tidak ada niat
untuk menceraikan istrinya, maka talak tersebut dianggap tidak jatuh.
Akan tetapi apabila sang suami mempunyai niat untuk menceraikan istrinya ketika mengucapkan
kalimat-kalimat talak tersebut, maka talak dianggap jatuh. Contoh Lafadz talak kinayah :
 “Pulanglah engkau pada orang tuamu karena aku tidak lagi menghendakimu”
 “Pergi saja engkau dari sini kemanapun engkau suka”
 “Tidak ada hubungan apapun lagi di antara kita,” dan lain sebagainya.

B. Dilihat dari pelaku perceraian


Jika ditinjau dari segi tersebut, cerai atau talak terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Cerai Talak oleh Suami
Ini merupakan jenis perceraian atau talak yang paling umum terjadi, dimana seorang suami
menjatuhkan talak kepada istrinya. Begitu seorang suami mengucapkan lafadz talak kepada sang
istri, maka talak atau cerai tersebut telah dianggap jatuh atau terjadi.Jadi status perceraiannya terjadi
tanpa harus menunggu keputusan dari pengadilan agama. Dengan kata lain, keputusan dari
Pengadilan Agama hanyalah sebagai formalitas saja.
Talak jenis ini dibedakan menjadi 5 jenis, yaitu :
Talak Raj’i
Yaitu suatu proses perceraian dimana suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya.
Akan tetapi sang suami bisa melakukan rujuk dengan istrinya ketika sang istri masih dalam
masa iddah, dan ketika masa iddah telah habis atau lewat, rujuk yang dilakukan oleh suami tidak
dibenarkan kecuali harus dengan akad nikah yang baru.
Allah SWT berfirman :

22
ۖ ِ ‫ْري ٌحبِإِحْ َسا ٍن ۗ َواَل يَ ِحلُّلَ ُك ْمأ َ ْنتَأْ ُخ ُذوا ِم َّماآتَ ْيتُ ُموهُنَّ َش ْيئًاإِاَّل أَ ْنيَخَ افَاأَاَّل يُقِي َما ُحدُو َدهَّللا‬
ِ ‫الطَّاَل قُ َم َّرتَا ِن ۖ فَإِ ْم َسا ٌكبِ َم ْعرُوفٍأَوْ تَس‬
َ‫فَإِ ْن ِخ ْفتُ ْمأَاَّل يُقِي َما ُحدُودَاللَّ ِهفَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َمافِي َماا ْفتَ َد ْتبِ ِه ۗ تِ ْل َك ُحدُودُاللَّ ِهفَاَل تَ ْعتَدُوهَا ۚ َو َم ْنيَتَ َع َّد ُحدُودَاللَّ ِهفَأُو ٰلَئِ َكهُ ُمالظَّالِ ُمون‬

Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229).

Talak Bain
Ini adalah suatu proses perceraian dimana seorang suami mengucapkan atau melafadzkan
talak tiga kepada istrinya. Dalam kasus seperti ini, sang suami tidak diperbolehkan untuk rujuk
dengan istrinya, kecuali sang istri telah menikah kembali dengan orang lain lalu sang istri diceraikan
oleh suami barunya tersebut dan telah habis masa iddahnya.
Allah SWT berfirman :

َ‫اج َعاإِ ْنظَنَّاأَ ْنيُقِي َما ُحدُو َدهَّللا ِ ۗ َوتِ ْل َك ُحدُودُاللَّ ِهيُبَيِّنُهَالِقَوْ ٍميَ ْعلَ ُمون‬
َ ‫َاح َعلَ ْي ِه َماأَ ْنيَتَ َر‬
َ ‫إِ ْنطَلَّقَهَافَاَل تَ ِحلُّلَهُ ِم ْنبَ ْع ُد َحتَّ ٰىتَ ْن ِك َح َزوْ جًا َغ ْي َرهُ ۗ فَإ ِ ْنطَلَّقَهَافَاَل ُجن‬

Artinya:“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu
tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al- Baqarah
ayat 230)

Talak Sunni
Ini adalah perceraian dimana seorang suami mengucapkan talak kepada istri yang belum
disetubuhi ketika si istri dalam keadaan suci dari haid.

23
Talak Bid’i
Yaitu perceraian dimana suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang masih dalam masa haid atau
istri yang dalam keadaan suci dari haid akan tetapi sudah disetubuhi.

Talak Taklik
Yaitu perceraian yang terjadi akibat syarat atau sebab-sebab tertentu. Jadi apabila sang suami
melakukan sebab atau syarat-syarat tersebut, maka terjadilah perceraian atau talak.
 Bagaimanakah hukumnya jika seorang suami langsung menjatuhkan talak 3
kepada istrinya?
Terdapat perbedaan pendapat tentang hal tersebut, dimana sebagian para ulama menyatakan
bahwa talak 3 hanya bisa dilakukan setelah terjadi dua kali talak dan dua kali rujuk. Pendapat ini
berdasarkan pada Firman Allah SWT dalam Surat Al- Baqarah ayat 229 yang menyatakan bahwa”
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.”
Sedangkan pendapat yang lainnya menyatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan untuk
dilakukan, yaitu dengan merujuk pada hadist:“Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakr, lalu dua tahun
di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia
sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam
yang dulu pernah berlaku, yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-
gesaan ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan
talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak.” (HR Muslim)

2. Gugat Cerai oleh istri


Ini merupakan proses perceraian dimana sang istri mengajukan permohonan gugat cerai atas
suaminya kepada Pengadilan Agama, dan sebelum lembaga pemerintah tersebut memutuskan secara
resmi, maka perceraian dianggap belum terjadi.Ada dua istilah terkait gugat cerai yang dilakukan
oleh istri atas suaminya, yaitu :
Fasakh
Yaitu pengajuan perceraian yang dilakukan seorang istri atas suaminya tanpa adanya
kompensasi yang diberikan oleh istri kepada sang suami. Fasakh bisa dilakukan ketika :
 Suami telah dianggap tidak memberikan nafkah lagi baik nafkah lahir maupun batin kepada
istrinya selama enam bulan berturut-turut.

24
 Apabila seorang suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa
adanya kabar berita
 Suami dianggap tidak melunasi mas kawin atau mahar yang telah disebutkan di dalam akad
nikah, baik sebagian maupun keseluruhan.
 Suami berlaku buruk kepada istrinya seperti menganiaya, menghina, maupun tindakan
lainnya yang dapat mengancam keselamatan dan keamanan sang istri.

Khulu’
Yaitu proses perceraian atas permintaan dari pihak istri dan suami setuju dengan hal tersebut
dengan syarat sang istri memberikan imbalan kepada sang suami. Dampak dari gugatan cerai yang
dilakukan istri tersebut adalah hilangnya hak suami untuk melakukan rujuk selama sang istri sedang
dalam masa iddah atau yang disebut dengan talak ba’insughra. Dan apabila sang suami
menghendaki untuk rujuk, maka ia harus melakukan proses melamar dan menikahi kembali wanita
yang telah menjadi mantan istrinya tersebut. Dan apabilan wanita tersebut hendak menikah dengan
pria lain, maka ia harus menunggu hingga masa iddahnya selesai.

 Apa yang dilakukan setelah proses talak terjadi?


Dengan adanya perceraian atau talak, para wanita tidak diharamkan untuk memperoleh
nafkah dari suami untuk dirinya selama dalam masa iddah, dan suami juga dilarang untuk
mengeluarkan istrinya dari rumah selama masa itu. Justru ketika istri sedang dalam masa iddah,
suami wajib membiarkan sang istri untuk tetap tinggal satu rumah dengannya, karena dengan begitu
kemungkinan untuk rukun kembali bisa terjadi.
Seorang suami juga tidak diperbolehkan untuk memakan atau mengambil kembali mahar atau
segala sesuatu yang telah ia berikan kepada istrinya sebelum perceraian terjadi.

Istri yang ditalak memiliki hak untuk tetap mendapatkan mut’ah seperti biasanya. Allah SWT telah
berfirman :
ْ َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعل‬
َ‫ىال ُمتَّقِين‬ ِ ‫َولِ ْل ُمطَلَّقَاتِ َمتَا ٌعبِ ْال َم ْعر‬
Artinya “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut´ah
menurut yang ma´ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al- Baqarah
ayat 241)

25
B. Khulu’
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu (ُ‫) ال ُخ ْلـع‬. Kata Al-Khulu (ُ‫ ) ال ُخ ْلـع‬dengan
ِ ْ‫) ُخ ْلع ُْالشو‬. Maknanya
didhommahkanhurupkha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata (‫ب‬
melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk
melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu
waTa’ala berfirman.

‫هُنَّلِبَا ٌسلَ ُك ْم َوأَ ْنتُ ْملِبَا ٌسلَه َُّن‬


“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]

Menurut fuqaha, khulu’ secara  umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta


sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar terlepas dari ikatan
perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas
dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna
seperti mubara’ah (pembebasan). Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk
menebus dirinya dari (ikatan) suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan diri
dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. 

 KETENTUAN HUKUM AL-KHULU


Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi
sebagai berikut.

I. Mubah (Diperbolehkan)
Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak
dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah
Subhanahu waTa’ala dalam ketaatan kepadanya. dengan dasar firman Allah Subhanahu waTa’ala.

َ ‫فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْمأَاَّل يُقِي َما ُح ُدودَاللَّ ِهفَاَل ُجن‬


‫َاح َعلَ ْي ِه َمافِي َماا ْفتَ َد ْتبِ ِه‬
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya” [Al-Baqarah : 229]

26
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan
pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan
penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya
merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena
adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk
fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena
khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak
Tiga)
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila
sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan
haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan
tidak memilih perceraian.

II. Diharamkan Khulu’


a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan
sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya
dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita.
Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh.

b). Dari Sisi Isteri


Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi
perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan
syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
‫أَيُّ َماا ْم َرأَ ٍة َسأَلَ ْتزَ وْ َجهَاطَالَقًافِي َغي ِْر َمابَاْ ٍسفَ َح َرا ٌم َعلَ ْيهَا َرائِ َحةُ ْال َجنَّ ِة‬
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya
aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkanSyaikh Al-
Albani dalam kitab Irwa’ulGhalil, no. 2035] [14]

III. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).


Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri di sunnahkan
Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.

27
IV. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap
orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya sang
suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari
Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim
peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak
menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang
wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta.
Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan
kufur.

 RUKUN DAN SYARAT KHULU


Di dalam khulu’ terdapat beberaa unsur yang merupakan rukun yang menjadi karakteristik
dari khulu’itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat yang hampir keseluruhannya
menjadi perbincangan di kalangan Ulama.
Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ itu adalah :
a)      Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan;
b)      Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan;
c)      Uang tebusan atau iwadh; dan
d)     Alasan untuk terjadinya khulu’.

Pertama: suami
Syarat suami menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang
berlaku  thalaq adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu
akil, balig, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini,
bila suami belum dewasa, atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan
dengan nama khulu’ adalah walinya. Demikian pula keadaannya seseorang yang berada di bawah
pengampuan karena kebodohannya yang menerima permintaan khulu’ istri adalah walinya.
Kedua: istri yang di  khulu’
Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Ia adalah seorang yang berada dalam wilayah si suami.
2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta

28
Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan istri. Khulu’ sepeerti ini
disebut khulu’ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh
pihak ajnabi tersebut.

Ketiga: adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau  iwadh.


Tentang iwadh ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama menempatkan iwadh itu sebagai
rukun yang tidak boleh ditinggalkan oleh sahnya khulu’. Pendapat lain, diantaranya di satu riwayat
dari Ahmad dan Imam Malik mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh. Alasanya adalah
bahwa khulu’ itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh
tanpa iwadh, sebagaimana berlaku dalam thalaq. Adapun yang berkenaan dengan syarat dan hal-hal
yang berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan di kalangan ulama.

Keempat: Shighat atau ucapan cerai


Yang di sampaikan oleh suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau iwadh.

Kelima: adanya alasan untuk terjadinya  khulu’.


Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi terlihat adanya alasan untuk
terjadinnya khulu’ yaitu istri khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tuganya sebagai istri yang
menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah.

 Tujuan dan Hikmah Khulu’


Tujuan dari kebolehan khulu’  itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan
kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami
karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.
Hikmah yang terkandung di dalamnya sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menolak
bahaya, yaitu pabila perpecahan antara suami istri telah menumuncak dan dikhawatirkan keduanya
tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami-istri, maka khulu’ dengan cara-cara yang
telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya permusuhan dan
unutk menegakkan hukum-hukum Allah.

C. ILA’

29
Ila’ adalah sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat
bulan atau dengan tidak menyebut masanya. Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab
dengan maksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan membiarkan istrinya
menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah dicerai atau tidak.
Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’ paling lama
empat bulan. Dengan demikian, apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih
rujuk atau talak. Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah. Namun, jika
yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra.
‫ فجعل الحرام حالال‬،‫ من نسائه وحرّم‬.‫ آلى رسول هللا صلعم‬: ‫ قالت‬.‫ض‬.‫عن عائشة ر‬،
)‫ ورواته ثقات‬،ّ‫وجعل لليمين كفّارة(رواه التّرمذى‬
Artinya : Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. Telah bersumpah Ila’ diantara istrinya dan
mengharamkan berkumpul dengan mereka. Lalu beliau menghalalkan yang telah diharampkan dan
membayar kafarat bagi yang bersumpah.” (HR. Tirmidzi dan para rawinya dapat dipercaya.

 Dasar Hukum Ila’’


Yang menjadi landasan permasalahan ini adalah firman Allah SWT dalam al-quran surah al-baqarah
ayat 226 yang artinya : “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinyadiberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat diatas Allah SWT bermaksud untuk menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang-
orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama satu
tahun atau dua tahun bahkan lebih. Kemudian Allah SWT menjadikannya selama empat bulan saja.
Waktu yang ditetapkan oleh Allah SWT dijadikan bagi suami sebagai masa penangguhan bagi suami
untuk merenungkan diri dan memikirkan mungkin ia membatalkan sumpahnya dan kembali kepada
isterinya atau mentalaknya.

 Rukun Ila’
Menurut jumhur fuqaha,  ila’ memiliki empat rukun
a)        Al-haalif (orang yang bersumpah atau al-mauli)
 Menurut madzhab Hanafi orang yang melakukan ilaa’ adalah setiap suami yang memiliki
kemampuan untuk menjatuhkan talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki
pernikahan dan disandarkannya kepada kepemilikian pernikahan. Atau orang yang tidak dapat
mendekati isterinya kecuali dengan ssuatu yang berat yang harus dia penuhi.

30
 Menurut madzhab Syafii, orang yang melakukan ila’ adalah suami yang sah talaknya atau
semua suami yang aqilbaligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. tidak sah ilaa’ yang
dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa dan orang yang lumpuh.
 Menurut madzhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami yang dapat
melakukan persetubuhan, yang bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya
untuk tidak menyetubuhi isterinya yang dapatdisetubuhi dalam masa yang melebihi empat bulan. 

b)        Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah)


Yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan menyebut nama Allah atau juga dengan
menyebut sifat-sifatnya menurut kesepakatan para fuqaha. Menurut madzhab Hambali dan Maliki
orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dilazimkan hukum ila’ jika dia
bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh sebab itu ditetapkan masa selama empat bulan. 

c)        Al-mahluuf’alaih (objek sumpah)


Objek sumpah adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung pengertian
persetubuhan. Misalnya: aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak junub darimu, aku tidak dekati
kamu.

d)       Masa


Menurut pendapat jumhur fuqaha selain madzhab Hanafi yaitu si suami bersumpah untuk
tidak menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan. Sedangkan menurut madzhab Hanafi
masa yang paling minimal adalah lebih dari empat bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah
selama tiga bulan atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ilaa’.
Sebab perselisihan pendapat diantara mereka adalah kembali kepada mereka mengenai al-fay yang
merupakan tindakan kembali mendekati isteri. Apakah dilakukan sebelum lewat masa empat bulan
ataukah setelah masa empat bulan.

 Syarat Ila’
Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’
yakni:
a)      Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang
maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan.

31
b)      Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena
Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
c)      Si suami bersumpah untuk tidak  melakukan persetubuhan di bagian vagina.
d)     Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang yang selain isteri tidak
memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada
perempuan yang selain isteri.

D. Zhihar
Zihar adalah ungkapan suami yang menyamakan istri dengan ibu kandung atau mahramnya
seperti adik atau kakak perempuannya.Kata Zihar berasal dari kata zahara-yazhara-zahrah yang
berarti punggung, jelas atau terang. Secara terminologi, istilah zihar merupakan sebuah ungkapan
suami kepada isterinya yang bermaksud menyamakan anggota tubuh isterinya dengan ibunya,
misalnya : “punggungmu sama dengan punggung ibuku”.Sejak zaman Pra-Islam praktekzihar ini
diartikan sebagai talak kepada istri, maksudnya apabila seorang suami menzihar istrinya maka
artinya ia menjatuhkan talak kepada istrinya.

 Hukum Zihar
Para ulama sepakat mengatakan zihar itu hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang
melakukan zihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para ulama ini berdasarkan
penjelasan yang gambling dari Al-Qur'an dan Hadits tentang tidak bolehnya zihar:
1. Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zihar
2. Penzihar wajib membayar kafarat zihar
3. Setelah kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali kepada istrinya.
Kafarat zihar yang haruslah di bayar harus berurutan, artinya apabila dia tidak sanggup membayar
bentuk kafarat yang pertama maka dia membayar dengan bentuk yang kedua, Selanjutnya bila tidak
sanggup membayar bentuk yang kedua, maka dia harus membayar dengan bentuk yang ketiga.
Bentuk kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu maka dia

32
harus puasa selama dua bulanberturut-turut, jika tidak mampu maka dia harus memberi makan
kepada 60 orang miskin
4. Hukum Suami yang Menzhihar Isterinya Kemudian  Menyetubuhinya  Sebelum Habis
Waktu.

E. Li’an
Li’an berasal dari kata ”la’ana” ,yang artinya laknat,sebab suami istri pada ucapan kelima saling
bermula’anah dengan kalimat  “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh jika ia tergolong
orang yang telah berbuat dosa.

 Firman Allah dalam QS. Annur:6-9 adalah :

ِ ‫ َو ْالخَا ِم َسةُ أَ َّن لَ ْعنَتَ هَّللا‬-٦- َ‫ت بِاهَّلل ِ إِنَّهُ لَ ِمنَ الصَّا ِدقِين‬
ٍ ‫َوالَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ أَ ْز َوا َجهُ ْم َولَ ْم يَ ُكن لَّهُ ْم ُشهَدَاء إِاَّل أَنفُ ُسهُ ْم فَ َشهَا َدةُ أَ َح ِد ِه ْم أَرْ بَ ُع َشهَادَا‬
‫ب هَّللا ِ َعلَ ْيهَا إِن‬ َ ‫َض‬ َ ‫ َو ْال َخا ِم َسةَ أَ َّن غ‬-٨- َ‫ت بِاهَّلل ِ إِنَّهُ لَ ِمنَ ْال َكا ِذبِين‬
ٍ ‫اب أَ ْن تَ ْشهَ َد أَرْ بَ َع َشهَادَا‬َ ‫ َع ْنهَا ْال َع َذ‬-٧- ُ‫َعلَ ْي ِه إِن َكانَ ِمنَ ْال َكا ِذبِينَ َويَ ْد َرأ‬

٩- َ‫ َكانَ ِمنَ الصَّا ِدقِين‬-


Artinya: dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal dia tidak mempunyai
saksi-saksi selain dari mereka sendiri,maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah
dengan nama alloh  sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.dan ( sumpah )
yang kelima laknat alloh atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu
dihindarkan dari hokumalloh oleh sumpahnya,empat kali atas nama alloh sesungguhnya suaminya
itu benar-benar termasuk orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat alloh
atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.

 Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat
6-9, sebagai berikut:
a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut
menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia
harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya
benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial
tuduhannya tidak benar (dusta).

33
c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia
menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila
ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun hubungan
perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.

 HukumLi’an
 Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah melakukan qadzaf (‫ )قذف‬dan
berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Allah Ta’ala berfirman :
ً‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأَرْ بَ َع ِة ُشهَدَا َء فَاجْ لِدُوهُ ْم ثَ َمانِينَ َج ْل َدة‬ َ ْ‫َوالَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ ْال ُمح‬
ِ ‫صنَا‬
Artinya: “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali cambukan” (QS. An Nuur : 4)

Had tersebut tidak berlaku jika dia membawa 4 orang saksi sebagai bukti. Allah Ta’ala
berfirman :
‫َوالاَّل تِي يَأْتِينَ ْالفَا ِح َشةَ ِم ْن نِ َسائِ ُك ْم فَا ْستَ ْش ِهدُوا َعلَ ْي ِه َّن أَرْ بَ َعةً ِم ْن ُك ْم‬
Artinnya: “dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)” (QS. An Nisaa : 15)

 Akibat Hukum Li’an


a. Akibat Hukum Li’an Bagi suami dan Istri
Akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Jumhur ulama mengemukakan
alasan bahwa pada dasarnya diantara keduanya telah terjadi pemutusan hubungan, saling membenci,
saling mengumbar hawa nafsu, dan merusak batasan-batasan Allah, yang semuanya
mengharuskan keduanya untuk tidak berkumpul kembali selamanya. Demikian itu, karena pada
dasarnya hubungan suami istri itu dibina atas dasar kasih sayang, sementara mereka tidak memiliki
lagi rasa kasih sayang ini sama sekali. Maka hukuman yang layak bagi keduanya adalah bercerai dan
berpisah.

b.      Akibat Li’an dari Segi Hukum

34
             Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu li’an menimbulkan
pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami
istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Gugur had atas istri sebagai had zina
2.      Wajib  had atas istri sebagai had zina
3.      Suami istri bercerai untuk selamanya
4.      Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya.

F. Mut’ah
Kata mut’ah dalam bahasa arab berasal dari mata’a, yanta’u, mat’anwamut’atan kesenangan
atau kenikmatan.Nikah mut’ah adalah nikah atau perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan
wanita dengan akad dan jangka waktu tertentu.
Menurut jumhur Ulama fiqh, yang dimaksud dengan “akad dan jangka waktu tertentu” dalam
nikah mut’ah adalah akad yang tidak diikat oleh kehendak bersama yang berdasarkan cinta kasih
untuk hidup berumah tangga selama-lamanya sebagai suami isteri. Akad seperti ini hanya
berdasarkan kebutuhan biologis dalam waktu tertentu. dalam akad ini disebutkan    pula jumlah atau
jenis mahar, sesuai kesepakatan kedua belah pihak, demikian pula dengan pembatasan waktu.
َّ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هللا‬
‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن ُم ْت َح ِة النِّ َسا ِء يَوْ َم خَ يْب‬ ِ ِ‫ع َْن َعلِّ ِي طَل‬
ِ ‫ب َر‬
‫ أِ ْن هُ َو أِألَ َوحْ ٌى يٌو َحى‬,‫ق َع ِن ْآلهَ َوئ‬
ُ ‫و َما يَ ْن ِط‬.
َ
Artinya:
“Dari Ali bin Abu Thalib ia berkata “Sesungguhnya RosullulahSAWmelarang nikah mut’ah dengan
perempuan-perempuan pada waktu perang khaibar”. (HR. Bukhari-Muslim)

 Hukum Nikah Mut’ah


Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah maka dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa macam pendapat:
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’I, Imam Al-Laits, Imam Alauza’iy, mengatakan
perkawinan mut’ah itu hukumnya haram. Pendapat ini didasarka kepada beberapa hadits yang
berbunyi,

35
‫ أَألَ َوأِنَّال َل قَ ْد‬,‫َاع‬ ْ ُ ‫ت أَ َذ ْن‬
ُ ‫ أَيُّهَا النَّاسُ أِنِّى ُك ْن‬:‫ فَقَ َل‬,َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َح َّر َم ْال ُم ْت َحة‬
َ ِ‫أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬
ِ ‫ت لَ ُك ْم فِى األ ِستِ ْمت‬
 )‫ (رواهابرما مبه‬.‫َح َّر َمهَاأِلَى يَوْ ِم القِيَا َم ِة‬
Artinya:
“Bahwasanya Rosullulah SAW mengharamkan nikah mut’ah maka ia berkata: Hai manusia,
sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian nikah mut’ah. Maka seorang ketahuilah,
bahwa Allah mengharamkanya sampai hari kimat.” (HR. Ibnu Majah)

G. Iddah
Sebagaimana diketahui, wanita memiliki masa iddah, yakni masa tunggu tertentu setelah ditinggal
wafat atau diceraikan suaminya. Pada masa ini pula, suami yang mencerainya bisa kembali atau
rujuk kepadanya, tanpa memerlukan akad baru, selama talak yang dijatuhkan berupa talak raj‘i (bisa
dirujuk).

‫َارةوباألشهرأَواأْل َ ْق َراء‬
َ ‫او َذلِ َكيحصلبِ ْالوال َد ِةت‬
َ َ‫اال َمرْ أَةليعرفبَ َرا َءة َرحمه‬
ْ َ‫العدةاسْمل ُم َّدة َم ْعدُودَةتَتَ َربَّصفِيه‬ 
ْ
Artinya: “Iddah adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan
rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, atau dengan
hitungan quru’ (masa suci).”

 MACAM-MACAM IDDAH
Ada tiga macam-macam Iddah, yaitu :
1.      Iddah sampai kelahiran kandungan
Iddah seperti ini tidak ada perbedaan pendapat antara para fuqaha’ bahwa wanita yang hamil jika
berpisah dengan suaminya karena talak atau khulu’ atau fasakh, baik wanita merdeka atau budak,
wanita muslimah atau kitabiyah, iddah-nya sampai melahirkan kandungan. Firman Allah SWT. :
َ َ‫والت األحْ َما ِل أَ َجلُه َُّن أَ ْن ي‬
‫ض ْعنَ َح ْملَه َُّن‬ ُ ُ‫َوأ‬

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” ( QS. Ath-Thalaq(65): 4 ).

36
Wanita yang hamil ditinggal suaminya karena meninggal dunia maka masa iddah-nya sampai
melahirka kandungannya. 

2.      Iddah beberapa kali suci


Yaitu iddah setiap perpisahan dalam hidup bukan sebab kematian, jika wanita itu masih haidh
sebagaimana firman Allah swt. :
‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al-
Baqarah (2): 228).

3.      Iddah dengan beberapa bulan


Masa iddah dengan beberapa bulan pada dua kondisi, yaitu sebagai berikut :
a.       Kondisi wafatnya suami, barang siapa yang meninggal suaminya setelah nikah yang shahih
walaupun dalam iddah dari talak raj’I,  iddahnya 4 bulan 10 hari.
b.      Kondisi berpindah (firaq), jika istri sudah meno pause atau kecil belum haidh, firman a]Allah swt. :

  َ‫يض ِم ْن نِ َسائِ ُك ْم ِإ ِن ارْ تَ ْبتُ ْم فَ ِع َّدتُه َُّن ثَالثَةُ أَ ْشه ٍُر َوالالئِي لَ ْم يَ ِحضْ ن‬
ِ ‫َوالالئِي يَئِ ْسنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath-Thalaq (65): 4).[4]

 KEDUDUKAN HUKUM IDDAH


Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil
atau tidak, masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani masa iddah itu, sesuai dengan
firman allah swt. :

‫ق هَّللا ُ فِي أَرْ َحا ِم ِه َّن‬


َ َ‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَالثَةَ قُرُو ٍء َوال يَ ِحلُّ لَه َُّن أَ ْن يَ ْكتُ ْم َـن َما خَ ل‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.” (QS. Al-Baqarah (2): 228).

37
Diantara hadis nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang disampaikan
oleh aisyah menurut riwayah ibnu majah dengan sanad yang kuat yang artinya : “nabi saw.
Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali haid.

 HIKMAH IDDAH
Adapun tujuan dan hikmah di wajibkan Iddah itu adalah :
 Untuk mengetahui bersihnya Rahim perempuan atau isteri tersebut dari bibit yang di
tinggalkan oleh mantan suaminya itu.  Supaya tidak terjadi bercampur aduknya keturunan
(percampuran nasab), apabila mantan istri tersebut berkahwin dengan lelaki lain.
 Untuk memanjangkan masa rujuk, jika cerai itu talak raj’i.   Dengan adanya masa yang
panjang dan lama dapat memberi peluang kepada suami untuk berfikir (introspeksi diri) dan
mungkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu sehingga ia ingin kembali kepada
istrinya atau akan rujuk kembali.
 Sebagai penghormatan kepada suami yang meninggal dunia.  Bagi seorang isteri yang
kematian suami yang  di kasihinya sudah tentu akan meninggalkan kesan yang pahit di jiwanya, 
dengan adanya iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah merupakan suatu masa yang sesuai
untuk ia bersedih, sebelum menjalani kehidupan yang baru di samping suami yang lain.

H. Ruju’
Rujuk dalam istilah hukum disebut Raj’ah, Rujuk secara bahasa berarti tahapan kembali,
Orang yang rujuk pada istrinya berarti kembali pada istrinya.Rujuk dalam syara’ adalah
mengembalikan istri yang masih dalam ‘iddah talak, bukan ba’in pada pernikahan semula[1].
Sedangkan definsi rujuk dalam pengertian fiqih menurut al-mahalliaialah:
Artinya: “kembali kedalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam
masa ‘iddah”.
Maksudnya meneruskan atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan antara pasangan suami
istri yang sebelum itu, dikhawatirkan dapat terputus karena di jatuhkannya talak raj’i oleh suami.
Rujuk merupakan hak suami yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Syari’at rujuk berlaku melalui ketetapan Allah SWT, yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an:

38
Artinya:  “suami mereka lebih berhak untuk merujukinya jika mereka merekamenginkanislal
atau damai. Talak (yang dapat dirujuk) itu ada dua kali. (setelah suami dapat) menahan dengan
baik, atau melepaskan dengan baik.”(Qs. Al-Baqoroh [2]:228-229).

 SYARAT RUJUK
Banyak yang menjelaskan tentang Syarat rujuk , baik itu di buku maupun di kitab, kita akan
memabahas syarat dari rujuk yang di jelaskan oleh ulama’ fiqih Dan juga yang di terangkan didalam
KHI.
Ulama’ fiqih menetapkan syarat sahnya rujuk, yaitu :
a. Suami yang melakukan rujuk adalah orang yang cakap bertindak hukum yaitu baligh dan
berakal.
b. Suami yang akan rujuk harus menyatakan dengan jelas keinginannya atau dapat juga dengan
sindiran. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat boleh langsung dengan perbuatan.
c. Status wanita yang sedang ditalak  haruslah masih berada dalam masa ‘iddah.
d. Rujuk harus dilakukan secara langsung tanpa ada persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh si
suami sendiri.

 Rukun rujuk
1) Suami yang merujuk
Syarat-syarat suami sah merujuk:
a) Berakal
b) Baligh
c)Dengan kemauan sendiri
d) Tidak di paksa dan tidak murtad

2) Ada istri yang di rujuk


Syarat istri yang di rujuk:
a) Telah di campuri
b) Bercerai dengan talak bukan dengan fasakh
c) Tidak bercerai dengan khuluk
d) Belum jatuh talak tiga.
e) Ucapan yang menyatakan untuk rujuk.

39
3) Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin dapat hidup
bersama kembali dengan baik.
4) Dengan pernyataan ijab dan qabul.

 Syarat lafadz (ucapan) rujuk:


i. Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau” atau “aku
kembalikan engkau kepada nikahku”.
ii. Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku
rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister mengatakan mau.
iii. Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan.

 Hukum Rujuk
1. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum
menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
2. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.
3. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
4. Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan.

I. Hukum Pacaran dalam Islam


Tidak pernah dibenarkan adanya hubungan pacaran di dalam Islam. Justru sebaliknya, Islam
melarang adanya pacaran di antara mereka yang mukan muhrim karena dapat menimbulkan
berbagai fitnah dan dosa. Dalam Islam, pacaran adalah haram. Oleh sebab itu, Islam mengatur
hubungan antara lelaki dan perempuan dalam dua hal, yakni:
 Hubungan Mahram
Yang dimaksud dengan hubungan mahram, seperti antara ayah dan anak perempuannya,
kakak laki-laki dengan adik perempuannya atau sebaliknya. Oleh karena yang mahram berarti sah-
sah saja untuk berduaan (dalam artian baik) dengan lawan jenis.
Sebab, dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 23 disebutkan bahwa mahram (yang tidak boleh
dinikahi) daripada seorang laki-laki adalah ibu, nenek, saudara perempuan (kandung maupun se-
ayah), bibi (dari ibu maupun ayah), keponakan (dari saudara kandung maupun sebapak), anak
perempuan (anak kandung maupun tiri), ibu susu, saudara sepersusuan, ibu mertua, dan menantu

40
perempuan. Dalam hubungan yang mahram, wanita boleh tidak memakai jilbab tapi bukan
mempertontonkan auratnya.
 Hubungan Non-mahram
Selain daripada mahram, artinya laki-laki dibolehkan untuk menikahi perempuan tersebut.
Namun, terdapat larangan baginya jika berdua-duaan, melihat langsung, atau bersentuhan dengan
perempuan yang bukan mahramnya. Untuk perempuan, harus menggunakan jilbab dan menutup
seluruh auratnya jika berada di sekitar laki-laki yang bukan mahramnya tersebut.

Hamil Diluar Nikah


Dewasa ini kita sering mendengar maraknya persoalan sosial yang muncul dalam masyarakat
terutama menyangkut masalah zina dan pemerkosaan. Islam adalah agama yang sangat mengutuk
perbuatan tercela tersebut dan menganjurkan umatnya untuk senantiasa menghindari perbuatan zina.
Perbuatan zina tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kemajuan
teknologi, maraknya pergaulan bebas, pudarnya nilai-nilai islami dan mudahnya seseorang
berinteraksi dengan orang lain. Kemajuan teknologi memang berdampak positif dan memanjukan
hidup manusia namun teknologi juga bisa menimbulkan pengaruh negatif terutama pada generasi
muda. pergaulan bebas juga merupakan salah satu ciri-ciri akhir zaman.

 Pengertian dan Jenis Zina


Zina dalam islam dapat diartikan sebagai hubungan seksual antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang belum atau tidak memiliki ikatan dalam pernikahan. Islam dengan jelas
melarang perbuatan zina dan banhkan mendekatinya pun tidak boleh sebagaimana Firman Allah
SWT dalam surat Al Isra ayat 32 yang artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk”.(Q.S Al-Isra:32).

Dalam islam zina dikategorikan menjadi :


1. Zina muhson
Zina muhson adalah zina yang dilakukan oleh orang baik pria ataupun wanita dewasa yang sudah
menikah dalam hal ini merupakan kejadian selingkuh. Zina muhson sangat melanggar

2. Zina ghoiru Muhson

41
Zina Ghoiru Muhson adalah zina yang dilakukanoleh mereka yang masih perjaka atau gadis yang
belum pernah menikah.

Adapun kategori zina yang lain juga termasuk :


 Zina kecil
Zina kecil disini adalah zina yang dilakukan oleh anggota tubuh lain seperti mata, telinga,
tangan, mulut dan lainnya selain anggota kemaluan tubuh. Pacaran yang kini marak dikalangan muda
mudi dapat dikategorikan sebagai zina kecil.
Hal ini sesuai dengan hadits Rasul SAW
“Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua
mata, zinanya memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan
zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan rindu, sedangkan faraj
(kemaluan) hanya mengikuti dan tidak mengikuti.” (HR Abu Hurairah)
 Zina Besar
Zina besar adalah zina yang dilakukan dengan oleh pria dan wanita yang sudah akil baligh
atau dewasa dan melibatkan masuknya organ kemaluan pria pada organ kemaluan wanita dan
dilakukan tidak berdasarkan paksaan.

 Hukum Hamil Di luar Nikah


1. Hukuman Dera
Wanita yang berzina baik hamil ataupun tidak dan ia mengakuinya maka harus diberikan hukuman
dera atau cambuk. Hukuman dera diberikan pada mereka yang melakukan zina ghoiru muhson atau
mereka yang belum menikah sebagaimana dijelaskan dalam Qur’an Surat An Nur ayat 2 yang
berbunyi

ِ ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ِمائَةَ َج ْل َد ٍة َوال تَأْ ُخ ْذ ُك ْم بِ ِه َما َر ْأفَةٌ فِي ِد‬
َ‫ين هَّللا ِ إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُون‬ ِ ‫ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِي فَاجْ لِ ُدوا ُك َّل َو‬
َ‫اآلخ ِر َو ْليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما طَائِفَةٌ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِين‬
ِ ‫بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (An Nur :
2)

42
2. Hukuman Rajam
Bagi pasangan yang melakukan zina dan mereka sudah menikah maka hukuman zina muhson
yang mereka lakukan adalah dengan hukuman rajam atau dilempari batu hingga mati termasuk
wanita yang sedang hamil. Sebagaimana hadits rasulullah SAW berikut ini

Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. Ketika beliau sedang berada didalam
masjid. Laki-laki itu memanggil-manggil Nabi seraya mengatakan,” Hai Rasulullah aku telah
berbuat zina, tapi aku menyesal, “ Ucapan itu di ulanginya sampai empat kali. Setelah Nabi
mendengar pernyataan yang sudah empat kali diulangi itu, lalu beliau pun memanggilnya, seraya
berkata, “Apakah engkau ini gila?’’‘’ Tidak, jawab laki-laki itu, Nabi bertanya lagi, ‘’ Adakah
engkau ini orang yang muhsan?’’‘’Ya,’’ jawabnya. Kemudian, Nabi bersabda lagi,’’ Bawalah laki-
laki ini dan langsung rajam oleh kamu sekalian,’’(H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)
 Konsekuensi Hamil di Luar Nikah
Wanita hamil akibat zina akan melahirkan anak secara tidak sah apabila ia tidak menikah
dengan laki-laki yang menghamilinya dan nasabnya hanya kepada ibunya saja. Hal ini sesuai dengan
pendapat beberapa ulama yakni ;
a. Imam Syafi’i berpendapat bahwa anak yang lahir diluar nikah nasabnya terkait kepada laki-
laki yang mengawini ibunya jika lama kehamilan di atas enam bulan, akan tetapi jika saat menikah
ibunya tengah hamil di bawah dari enam bulan, maka nasab anak dihubungkan kepada ibunya.
Berdasarkan mahzab syafi’i makan anak diluar nikah yang ibunya tidak menikah memiliki ketentuan
sebagai berikut :
 Tidak ada hubungan nasab kepada bapaknya melainkan kepada ibunya.
 Tidak ada saling mewarisi dari ayahhya
 Tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah

b. Imam Hanafi berpendapat bahwa nasab anak diluar nikah tetap terikat kepada ayah
biologisnya atau laki-laki yang menghamili wanita tersebut dan bukan pada laki-laki yang menikahi
ibunya. Meskipun demikian, saat ini Kompilasi Hukum Islam lebih condong pada pendapat Imam
Hambali dimana anak yang lahir diluar nikah suci dan ia tidak menanggung dosa ayah dan ibunya. Ia
tetap harus mendapatkan hak-haknya sebagai anak termasuk pendidikan, status, agama dan nasab
dari ayah biologisnya meskipun ibunya menikah dengan wanita lain.

43
 HIKMAH DAN FILOSOFI NIKAH
Ada beberapa hikmah dari menikah,yaitu :
 Meraih kecintaan dan keridaan Allah dengan cara memperbanyak keturunan guna
melestarikan eksistensi dan kehidupan manusia.
 Kecintaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena turut memperbanyak umatnya yang
akan dibanggakannya kelak padahari Kiamat, sebagaimana hadits, “Menikahlah kalian
dengan perempuan yang paling dicintai dan paling banyak memberi keturunan. Sebab, aku
akan membanggakan banyaknya jumlah kalian atas umat-umat lain padahari Kiamat,” (HR
Ahmad).
 Meraih keberkahan dari doa anak-anak yang saleh.
 Mendapat syafaat dari anak yang meninggal di waktu kecil.

J. Hikmah dan Filosofi Nikah


Tujuan awal dan mendesak dari perkawinan adalah menghindari zina. Ini menunjuk kan
bahwa Islam sangat tidak mentolerir pergaulan bebas antar lawan jenis yang berujung pada
perzinahan dan secara signifikan akan merusak tatanan kekeluargaan, kemasyarakatandancita-cita
Islam untuk mendidik umat menjadi komunitas terbaik di dunia
Tujuan jangka pendek dari sebuah perkawinan adalah menghindari zina. Seorang laki-laki
secara natural akan bangkit hasrat seksualnya seiring dengan sampainya dia pada tahap baligh dalam
istilah fiqih. Tanda balighnya seorang laki-laki adalah saat dia mulai mimpi basah. Itu artinya, hasrat
libido sudah mulai tumbuh.Karena pria adalah gender manusia yang memiliki sifat agresif dalam hal
seks sedang di sisi lain Islam melarang perbuatan zina. maka Rasululullah menganjurkan anak muda
untuk segera menikah. Karena perkawinan akan memelihara mata dan menjaga kemaluan dari
perbuatan zina. Puasa adalah salah satu cara menurunkan syahwat. Cara lain seperti olahraga dan
mengurangi atau menghindari makanan-makanan tertentu.
Jadi, tujuan awal dan mendesak dari perkawinan adalah menghindari zina.  Ini menunjukkan
bahwa Islam sangat tidak mentolerir pergaulan bebas antar lawan jenis yang berujung pada
perzinahan dan secara signifikan akan merusak tatanan kekeluargaan, kemasyarakatan dan cita-cita.
Kedua, mengikuti sunnah Nabi Muhammad dan para  Rasul sebelumnya. Perkawinan
merupakan salah satu tauladan para Rasul seperti tersurat dalam QS Ar-Ra’d 13:38) yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telahmengutusbeberapaRasulsebelumkamudan Kami
memberikankepadamerekaisteri-isteridanketurunan.”

44
Ketiga, memperbanyak jumlah umat Islam.Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Nabi
bersabda,
“Nikahilah perempuan yang subur karena aku suka melihat umat yang banyak kelak di hari kiamat.”

Keempat, agar memiliki anak cucu yang dapat berjihad memakmurkan bumi dan menyembah
Allah.

Kelima, mencari keridhaan Allah. Pernikahan adalah ibadah yang keutamaan dan pahalanya
sangat luas. Karena di dalam kehidupan rumah tangga yang baik akan banyak sekali amal kebaikan
yang mendapatkan pahala dari Allah. Seperti pahala menjaga diri dan keluarga dari perbuatan dosa,
pahala memperlakukan istri dengan baik, pahala mendidik anak, pahala bersabar dalam mencari
rejeki untuk anak istri, dan lain-lain.

Keenam, mendapatkan ketentraman hati. Dalam QS Ar-Rum 30:21 Allah berfirman yang
artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk mu isteri-isteri dari
jenis mu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan di jadikan-Nya
diantara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itubenar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ketujuh, selamat dari fitnah dan praduga. Orang yang sudah menikah dianggap lebih
memiliki kredibilitas dan integritas. Kata-katanya akan lebih di dengar. Orang dewasa yang tidak
menikah cenderung di asumsikan macam-macam karena dianggap menyalahi insting natural dan
norma masyarakat.

45
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
 nikah berkumpulnya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrimnya
untuk membangun rumah tangga yang telah diikat dengan perjanjian atau akad.
 Taaruf adalah proses untuk mengenal orang baru (berkenalan) dan dilandasi dengan
ketentuan syar'i
 meminang adalah untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau
sebaliknya dalam merencanakan kehidupan berumah tangga
 Suatu pernikahan akan dianggap sah apabila rukunnya sudah terpenuhi Adapun rukun nikah
adalah akad, calon suami, calon istri, Wali
 Mahar adalah pemberian wajib berupa uang tunai atau barang yang diberikan oleh seorang
laki-laki kepada seorang perempuan sebagai ketulusan hati dari Canon suami
 Mahar memiliki beberapa syarat yang 1 harta atau benda yang berharga 2 barang yang suci
dan bisa diambil manfaat 3 barangnya bukan barang ghasab 4 barangnya bukan tidak jelas
keadaannya
 Walimatul ursy atau diartikan dengan pesta pernikahan
 Sebagai seorang suami harus memenuhi hak istri dengan baik seperti mahar nafkah dan lain
sebagainya dilakukan dengan penuh kerelaan dan hati baik serta lemah lembut

46
 Ada beberapa macam yang dapat memutuskan perkawinan yang pertama yaitu talak yang
kedua khulu' yang ketiga sila keempat zihar yang kelima Li'an yang ke-6 mut'ah apabila ke 6 hal
tersebut terjadi maka seorang perempuan memiliki masa iddah dan apabila perceraian telah terjadi
seorang suami dan istri masih bisa kembali bersama dengan melakukan rujuk
 Islam melarang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim atau disebut
juga dengan pasaran sehingga dalam Islam hukum pacaran adalah haram
 Pada masa sekarang banyak pergaulan bebas terjadi di mana-mana sehingga Banyak wanita
yang hamil diluar pernikahan hukum dari hamil diluar nikah ada dua yaitu hukum daerah atau
hukum cambuk yang kedua yaitu hukum rajam atau dilempari batu. Konsekuensi hamil diluar nikah
adalah apabila seorang anak yang lahir maka ia tidak dapat menggunakan nasab dari ayahnya
sehingga ia hanya menggunakan nasab dari ibunya
 Karena filosofi pernikahan memiliki banyak aspek bukan hanya sekedar pelepas hasrat
biologis, maka seorang muslim hendaknya berhati-hati dalam memilih pasangan. Kualitas agama
hendaknya lebih di dahulukan dari kualitas fisik, materi, status sosial, ijazah dan keturunan.

Daftar Pustaka
Sumber:
https://islam.nu.or.id/post/read/109055/faidah-dan-hikmah-di-balik-pernikahan-
https://tebuireng.online/memahami-hak-dan-kewajiban-suami-istri/
https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/pacaran-dalam-islam
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/hukum-hamil-diluar-nikah
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/talak
https://almanhaj.or.id/2382-al-khulu-gugatan-cerai-dalam-islam.html
https://www.sumberpengertian.id/pengertian-zihar
https://ms-aceh.go.id/berita-artikel-galeri/artikel/178-maraknya-nikah-mutah-di-indonesia.html
https://islam.nu.or.id/post/read/108744/ketentuan-masa-iddah-perempuan-dalam-islam http://khoirul-
marzuky.blogspot.com/2017/05/makalah-munakahat-pernikahan.html

47
http://semuamakalahpembelajaran.blogspot.com/2017/06/makalah-nikah-fiqih-munakahat.html

http://rajaampon.blogspot.com/2015/12/taaruf-dan-peminangan.html

https://islam.nu.or.id/post/read/84168/lima-rukun-nikah-dan-penjelasannya

http://memoriesoflife07.blogspot.com/2015/11/makalah-fiqih-munakahat-mahar-dan.html

48

Anda mungkin juga menyukai