Disusun Oleh:
JAKARTA
2021
1
KATA PENGANTAR
Kelompok 6
2
DAFTAR ISI
Halaman judul.........................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar isi..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................5
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah.......................................................................................7
I. Macam-Macam Kafaah.................................................................................20
K. Pengertian Mahar.........................................................................................30
3
L. Syarat-Syarat Mahar dan Kadar Jumlah Mahar...........................................34
O. Bentuk Mahar..............................................................................................44
Q. Pengertian Walimatul’Ursy.........................................................................47
S. Pelaksanaan Walimatul’Ursy.......................................................................50
A. Kesimpulan..................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................56
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar
pembahasan dalam makalah ini tidak jauh dari judulnya, baiknya kita
rumuskan masalah-masalah yang akan dibahas, antara lain:
5
4. Bagaimana Perspektif Hukum Islam Terhadap Persepsi Masyarakat
Tentang Kafaah Dalam Perkawinan?
5. Bagaimana Peran Kafaah Dalam Membentuk Keluarga Yang Sakinah?
6. Bagaimanakah Pandangan Para Ulama Fiqh Mengenai Kriteria Kafaah?
7. Bagaimana Cara Mengetahui Syarat-Syarat Mahar Sesuai Dengan Syariat?
8. Apa Hikmah Dari Disyariatkannya Mahar?
9. Apa Saja Macam-Macam Mahar?
10. Bagaimana Pandangan Ulama Mazhab Tentang Walimatul’Ursy?
11. Apa Hukum Menghadiri Undangan Walimatul’Ursy?
C. Tujuan Penulisan
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
Secara Pada ilmu fikih kata khitbah disebut juga lamaran, berasal dari kata
.Kata lamaran dalam hukum islam adalah:
7
demikian perkawinannya dapat berlangsung kekal tak mudah putus dan
diputuskan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengartikan khitbah sebagai
kegiatan kearah terjadinya hubungan perjodohan antar seorang pria dengan
wanita. Kegiatan Peminangan dimaksudkan supaya masing-masing pihak dapat
mengenal pribadi dan identitas calon suami atau istri sesuai dengan langkah-
langkah yang di gariskan oleh syariat.
2. Sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah di ikat.
3. Memberi kesempatan kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal sehingga
kelak mereka sebagai suami istri menjadi satu pasangan yang harmonis.
8
Khitbah (pinangan) dalam hukum Islam bukan merupakan hal yang wajib
dilalui, setidaknya merupakan suatu tahap yang lazim pada setiap yang akan
melangsungkan perkawinan. Tetapi prakteknya di masyarakat menunjukkan
bahwa peminangan merupakan suatu hal yang hampir pasti di lakukan, sehingga
seolah-olah masyarakat menganggap bahwa khitbah merupakan hal yang wajib
dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dawud al-Dzahiry yang menyatakan
meminang hukumnya wajib.
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam
pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara
9
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang
ma’ruf.
1. Syarat Mustahsinah
Mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang
akan meminang wanita agar ia meneliti lebih dahulu yang akan dipinangnya
itu, apakah sesuai dengan keinginannya atau belum, sehingga hal ini dapat
menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Adapun syarat
mustahsinah yaitu:
b. Wanita yang dipinang itu hendaklah mempunyai sifat kasih sayang dan
bisa memberikan keturunan.
10
c. Wanita yang akan dipinang itu sebaiknya jauh hubungan darahnya
dengan laki-laki yang meminangnya. Karena agama melarang seorang
laki-laki mengawini seorang wamita yang sangat dekat hubungan
darahnya.
2. Syarat Lazimah
a. Perempuan yang boleh dipinang dengan sindiran atau terus terang, yaitu
perempuanyang bukan istri orang, bukan dalam masa iddah (menunggu)
dan bukan dalam pinangan orang lain. Jika perempuan yang dipinang
orang lain tersebut jelas telah menolaknya, maka bolehlah ia meminang
perempuan orang lain. Hadits Nabi Muhammad SAW: Dari Uqban bin
Amir, ia berkata bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: “ orang
mukmin dengan orang mukmin yang lainnya itu bersaudara. Janganlah
seorang kalian diantara kamu meminang pinangan saudaranya, kecuali
pinangan sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan izin
kepadanya”.
11
masih dalam iddah raj’i karena suaminya masih berhak merujuknya.
Allah SWT berfirman:
Ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa wanita yang karena suaminya
meninggal dan iddah thalaq bain boleh dipinang dengan kinayah (sindiran).
Dari uraian diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwa wanita yang
statusnya berbeda dari penjelasan diatas, maka haram hukumnya bagi laki-laki
untuk meminangnya. Karena syarat diatas menjadi halangan peminangan.
1. Melihat pinangan
12
a. Mengirim seorang wanita yang dipercaya untuk mengecek keadaan
wanita yang mau dipinang. Baik dari sifat, akhlak serta penampilan
setiap hari.
Artinya: “Lihatlah. Karena dengan melihat itu akan lebih dijamin dapat
menyatukan kamu berdua.” (H.R. Ibnu Majah dan Turmudi).
2. Khutbah
13
b. Setelah selesai memuji Allah dan bersholawat, dilanjutkan dengan
menasehatkan supaya bertaqwa kepada Allah.
14
untuk melanjutkan kejenjang perkawinan. Pemberian ini berbeda dengan
mahar. Mahar adalah pemberian dari calon suami kepada istri dengan
sebab nikah. Akan tetapi pemberian ini termasuk dalam pengertian
hadiah. Oleh karena itu akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah
tersebut berbeda dengan pemberian dalam bentuk mahar.
15
Artinya: “Tidak halal orang yang telah memberikan sesuatu, atau
menghibahkan sesuatu lalu meminta kembali barangnya, kecuali ayah
terhadap anaknya”.
16
agama Islam.
Kafaah menurut bahasa Arab berasal dari kata ﻛﻔﺊ, Yang berarti
sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa
Arab dan terdapat dalam al-Quran dengan arti “sama atau setara”. Contoh
dalam al-Quran terdapat dalam surat al-Ikhlas Ayat 4:
17
Kafaah secara etimologis bermakna sebanding, setara, dan sesuai
yaitu kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan oleh calon istri
agar diperoleh keserasian terhadap suami istri secara mantab dalam rangka
menghindarkan persoalan-persoalan tertentu.
18
dapat terbinanya dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
19
Artinya: “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik
(kafir)? Mereka tidak sama”.
20
Para ulama Imam Madhab masih berbeda pendapat dalam memberi
pengertian kafaah dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan
perbedaan ukuran dan kriteria kafaah yang mereka gunakan. Berdasarkan
konsep kafaah seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan
hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta,
pekerjaan maupun hal yang lainnya.
1. Agama (ad-din)
Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama mempunyai
prespektif tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang
dari perbuatan keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-
hukum agama. Agama dalam hal ini dimaksudkan sebagai
ketidakfasikan. Dalam hal ini semua ulama (mazhab Imam Hanafi,
Maliki, Shafii, dan Hambali) sepakat memasukkan agama dalam
kafaah, berdasarkan hadis riwayat Tirmidzi dengan sanad dari Abi
Hatim al-Muzanni, Rasulullah SAW bersabda: “Jika datang kepadamu
laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai maka kawinkanlah
jika kamu tidak berbuat demikian akan terjadi fitnah dan kerusakan
diatas bumi, Kemudian sahabat Rasulullah bertanya “Ya Rasulullah
apabila diatas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan?” Beliau
menjawab, jika datang kepadamu laki laki yang agama dan akhlaknya
kamu sukai hendaklah kawinkan ia (jawaban rasulullah diulang
sebanyak tiga kali)”. H.R Tirmidzi.
21
Hadis di atas ditunjukkan kepada para wali agar mengawinkan
perempuan-perempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang
beragama dan berakhlak. Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan
laki-laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki yang
berkedudukan tinggi atau keturunan mulia atau berharta, maka dapat
menimbulkan fitnah dan kerusakan bagi perempuan tersebut dan
walinya.
2. Keturunan (nasab)
Jumhur ulama (Hanifiyah, Shafiiyah dan Hanabilah) selain
Malikiyah berpendapat bahwa nasab merupakan salah satu hal yang
paling penting dan masuk dalam kafaah, karena ada beberapa alasan
mendasar yang mengilhami mereka, seperti banyaknya orang Islam,
khususnya orang muslim Arab yang sangat fanatik dalam menjaga
22
keturunan dan golongan mereka. Alasan mereka memasukkan nasab
dalam kafaah berdasarkan hadits Nabi SAW bersabda: “orang Arab
satu dengan lainnya sekufu. Satu kabilah sekufu dengan kabilah yang
sama, satu kelompok sekufu dengan kelompok yang sama antara
sesama laki-laki diantara sekufu kecuali tukang jahit atau bekam (H.R
Baihaqi).
23
golongan yang lain, bagi orang Arab maupun non Arab yang
terpenting bagi golongan malikiyah adalah keimanan dan ketakwaan
seseorang terhadap Allah SWT.
3. Merdeka (hurriyah)
Yang dimaksud merdeka disini adalah bukan budak (hamba
sahaya). Jumhur ulama selain Malikiyah memasukkan merdeka dalam
kafaah berdasarkan firman Allah Q.S an-Nahl ayat 75:
24
dengan laki-laki budak akan dianggap tercela, begitu pula jika dikawin
dengan laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
4. Harta (al-mal)
Yang dimaksud dengan harta adalah kemampuan seseorang (calon
suami) untuk memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya. Menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah, harta merupakan hal yang penting
dalam kehidupan rumah tangga sehingga harta dianggap penting untuk
dimasukkan dalam kriteria kafaah.
5. Pekerjaan (hirfah)
Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan segala
sarana dan prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik
perusahaan maupun yang lainnya. Jumhur ulama selain Malikiyah
sepakat memasukkan pekerjaan dalam kafaah berdasarkan hadits Nabi,
25
Rasulullah SAW bersabda: “orang Arab satu dengan lainnya sekufu.
Satu kabilah sekufu dengan kabilah yang sama, satu kelompok sekufu
dengan kelompok yang sama antara sesama laki-laki diantara sekufu
kecuali tukang jahit atau bekam (H.R Baihaqi).
26
mempunyai cacat jasmani yang menyolok itu tidak sekufu dengan
perempuan sehat dan normal. Jika cacatnya pandangan lahiriyah,
seperti buta, tangan buntung atau perawakanya jelek, Maka laki-laki
yang seperti ini bukan tidak sekufu dengan perempuan sehat, tetapi
kurang disukai menurut pandangan lahiriah. Dalam hal ini ada dua
pendapat. Rauyani berpendapat bahwa lelaki seperti ini tidak kufu
dengan perempuan sehat, tetapi golongan Hanafi dan Hambali tidak
menerima pendapat ini. Dalam kitab al-Mugni “terhindar dari cacat
tidak termasuk dalam syarat kufu, tidak seorangpun menyalahi
pendapat ini, yaitu kawinnya orang yang cacat itu tidak batal”.
Sebagai kriteria kafaah, segi ini hanya diakui oleh ulama Malikiyah
tapidikalangan sahabat Imam Shafii ada juga yang mengakuinya.
Sementara dalam madzhab Hanafi maupun Hambali keberadaan cacat
tersebut tidak menghalangi kufu nya seseorang. Walaupun cacat
tersebut dapat menghalangi kesekufuan seseorang, namun tidak berarti
dapat membatalkan perkawinan. Karena keabsahan bebas dari
cacat sebagai kriteria kafaah hanya diakui jika pihak wanita tidak
menerima. Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran
misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi
27
ternyata memiliki cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan
alasan untuk menuntut fasakh.
28
Manusia sebagai makhluk Allah harus percaya kepada Allah yang
menciptakannya, menjaga, dan mengatur kehidupannya. Agama dan
keberagamaannya itu merupakan hal vital bagi kehidupan manusia
oleh karenanya harus dipelihara dengan dua cara mewujudkan serta
selalu meningkatkan kualitas keberadaanya. Segala tindakan yang
membawa kepada terwujud atau lebih sempurnanya agama itu pada
diri seseorang disebut tindakan yang maslahat.
b. Memelihara Jiwa Atau Diri Atau Kehidupan ( )اﻟﻧﻔس ﺣﻔظ
Kehidupan atau jiwa itu merupakan pokok dari segalanya karena
segalanya di dunia ini bertumpu pada jiwa. Oleh karena itu jiwa harus
dipelihara eksistensi dan ditingkatkan kualitasnya. Ditemukan dalam
ayat-ayat al-Quran yang melarang manusia merusak diri sendiri atau
orang lain atau menjatuhkan diri dalam kerusakan karena yang
demikian adalah berlawanan dengan kewajiban memelihara diri.
c. Memelihara Akal ( )اﻟﻌﻘل ﺣﻔظ
Akal merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
manusia karena akal itulah yang membedakan hakikat manusia dari
makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu, Allah menyuruh manusia
untuk selalu memeliharanya. Segala bentuk tindakan yang membawa
kepada wujud dan sempurnanya akal itu adalah perbuatan baik atau
maslahat.
d. Memelihara Keturunan ( )اﻟﻧﺳل ﺣﻔظ
Yang dimaksud dengan keturunan di sini adalah keturunan dalam
lembaga keluarga. Keturunan merupakan gharizah atau insting bagi
seluruh makhluk hidup, yang dengan keturunan itu berlangsunglah
pelanjutan kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan
pelanjutan jenis manusia adalah pelanjutan jenis manusia dalam
keluarga, sedangkan yang dimaksud dengan keluarga adalah keluarga
yang dihasilkan melalui perkawinan yang sah. Untuk memelihara
keluarga yang shahih itu Allah mengehendaki manusia melakukan
perkawinan.
29
e. Memelihara Harta ( )ل اﻟﻣﺎ ﺣﻔظ
Harta merupakan suatu yang sangat dibutuhkan manusia karena
tanpa harta manusia tidak mungkin bertahan hidup. Oleh karena itu
dalam rangka mendatangkan jalbu manfaah, Allah menyuruh
mewujudkan dan memelihara harta itu dengan berusaha
mendapatkannya.
K. Pengertian Mahar
Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda
bentuk abstrak atau mashdar, yakni “mahran” atau kata kerja. Ini berarti
mahar adalah suatu benda yang berbentuk abstrak yang sesuai dengan
permintaan calon pasangan atau kesepakatan bersama.
30
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai
laki-laki kepada pihak mempelai perempuan yang hukumnya wajib.
Dalam memberikan mahar pihak mempelai laki-laki kepada pihak
mempelai perempuan yang berupa harta atau manfaat karena adanya
ikatan perkawinan bentuk dan jenisnya mahar tidak ditetapkan tetap dalam
hukum perkawianan Islam hanya saja kedua mempelai dianjurkan
melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan.
31
Artinya: “Dan jika kamu mengganti istrimu dengan yang lain, sedangkan
kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebaimana kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat.”
32
masalah akan tetapi apabila salah satu diantara keduanya keberatan bahkan
menggagalkan pernikahan maka makruh hukumnya.
33
Artinya: “Rasulullah SAW. Didatangi seorang perempuan kemudian
mengetakan:” wahai Rasulullah SAW. Sesungguhnya aku telah
menyerahkan diriku kepada engkau” maka berdirilah wanita itu agak
lama. Tiba-tiba berdiri seorang laki-laki dan berkata: “wahai
Rasulullah SAW. Jodohkan saja dia dengan aku sekiranya engkau tidak
kurang berkenan” Rasulullah SAW bersabda: “apakah kamu mempunyai
sesuatu, untuk kamu berikan kepadanya (sebagai mahar)?”. Laki-laki itu
menjawab:”saya tidak memiliki apa-apa selain sarungku ini”.Rasul
bersabda: kalu kamu berikan sarung itu kepadanya, tentu kamu duduk
tanpa busana, karena itu carilah sesuatu” laki-laki itu berkata: ”aku
tidak mendapati sesuatu “.Rasulullah bersbda (lagi):”carilah walaupun
cuman cicin dari besi”lalu laki-laki itu mencari, dan tidak mendapati
sesuatu. Lalu Rasul menanyakan lagi:”apakah kamu ada sesuatu dari
Al- Qur’an?”.maka ia menjawab:ya, surat ini, dan surat ini, menyebut
beberapa surat”. Maka Rasulullah SAW bersabda:”sesungguhnya aku
akan menikah kamu dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki
dari Al-Qur’an (Riwayat Ahmad).”
34
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwasanya mahar
tidak harus berupa uang dan emas tetapi bisa juga dengan benda-benda
yang lain seperti cincin besi, sepasang sendal jepit dan lain-lain. Mahar
juga bisa berupa pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an seperti yang
dijelaskan pada hadits tersebut.
35
satu tolak ukur keseriusan dari laki-laki terhadap perempuan yang
akan dinikahi tersebut.
36
Ini berarti bahwa, nilai suatu mahar bukanlah terletak pada nominal
atau harga barang tersebut, tetapi bermanfaat atau tidaknya bagi kita
dalam kehidupan sehari-hari.
37
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari mahar, hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberikanya.orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberikan maskawin yang lebih
besar jumlahnya kepada calon istrinya sebaliknya, orang yang miskin
ada yang hampir tidak mampu memberinya, oleh karena itu,
pemberian mahar diberikan menurut kemampuan yang bersangkutan
disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan
menikahi untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar kamal menyebutkan
janganlah hendaknya ketidak sanggupan membayar mahar karena
besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu
perkawinan.
38
3. Menurut Imam Hanafiyah memaknai mahar sebagai suatu yang
tidak harus disebutkan pada akad nikah.
4. Menurut Asy-Syaukani mahar hanya kebiasaan lazim bukan
syarat ataupun rukun dari nikah, sedangkan hal yang bisa
dijadikan mahar adalah harta atau sesuatu yang secara hukum
dapat diambil manfaatnya.
39
dengan mahar seratus yang lima puluh saya bayar kontan sedangkan
sisanya dibayar dalam waktu setahun.
40
jual beli dalam hal penundaan atau tidak dapat disamakan denganya.
Fauqoha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli berpendapat
bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau
perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan
jual beli berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh
dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.
N. Macam-Macam Mahar
41
Mahar adalah suatu yang wajib diberikan meskipun tidak dijelaskan
bentuk dan nilainya pada waktu akad. Dari segi dijelaskan atau tidaknya
mahar pada waktu akad, mahar terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-
laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. para ulama
sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin
dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu
bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-
pemberian itu tidak dibolehkan. Bagi suami yang menalak istrinya
sebelum dukhul, ia wajib membayar setengah dari mahar yang telah
diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam Al- Qur’an QS-Al-Baqarah
Ayat: (237):
42
1. Mahar menurut Syafi’i, Hambali, Imamiyah ialah bahwa segala
sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan
mahar, dan tidak ada batasan minimal dalam mahar.
2. Hanafi jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu
akad dilakukan dengar mahar kurang dari itu, maka akad tetap
sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham.
3. Menurut Maliki jumlah minimal mahar adalah tiga dirham, kalau
akad dilakukan kurang dari jumlah mahar tersebut, kemudian
terjadi percampuran maka suami harus membayar tiga dirham.
43
mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran maka
ditetapkan bahwa si istri berhak atas mahar secara penuh.
b. Sementara menurut Maliki,dan Imamiyah tidak ada keharusan
membayar mahar manakala salah satu seorang di antara keduanya
meninggal dunia.
44
O. Bentuk Mahar
Selain dengan harta (materi), mahar juga boleh dengan selain harta
misalnya seperti pembacaan Al-Qur’an dan ke Islaman bentuk mahar
seperti ini dibolehkan dalam agama. Dasarnya adalah perbuatan Nabi
SAW. Yang membolehkan seorang laki-laki mengawini seorang wanita
dengan mahar mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada calon istrinya.
45
Golongan Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada beda antara
bolehnya khulu’ dengan mengembalikan semua maharnya kepada suami
atau sebagiannya, atau dengan kata lainnya. Tidak ada beda antara
pengembalian tunai hutang dan mafaat jasa tegasnya, segala yang boleh
dijadikan mahar boleh pula dijadikan ganti rugi dalam khulu’ berdasarkan
keumuman firman allah SWT QS. Al-Baqarah (229):
Mahar yang disebut harta dan bernilai bagi orang adalah sah untuk
dijadikan mahar dengan demikian mahar bisa berupa emas, perak, barang
tetap seperti tanah yang diatasnya bisa dibangun rumah, semua itu sah
untuk dijadikan mahar biasanya disesuaikan dengan tradisi yang sudah
berlaku. Namun perlu diingat, jangan sampai ketentuan mahar dalam
tradisi membebankan pihak laki-laki, sehingga ia tidak bisa melakukan
perkawinan disebabkan pihak laki-laki, sehingga ia tidak bisa melakukan
perkawinan disebabkan ketidak mampuan membayar mahar karena terlalu
mahal. Dampak negatif dari mahar yang berlebihan bisa menimbulkan
dampak sosial yang berbahaya, sebab kebutuhan biologis antara
perempuan dan laki-laki tidak dapat terpenuhi. Padahal mereka sudah
merasa siap secara moril untuk melakukan pernikahan tersebut.
46
Mahar disyari’atkan Allah untuk mengangkat derajat wanita dan
memberikanya penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai
kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah mewajibkan kepada laki-
laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar
diwajibkanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada
umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala
perlengkapan yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi
manfaatnya kembali kepada suami juga. Oleh karena itu, merupakan suatu
relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri.
47
akibat dari akad nikah, oleh karena itu penyebutan mahar pada saat nikah
bukan suatu yang wajib, bahkan suatu akad nikah yang dianggap sah.
Q. Pengertian Walimatul’Ursy
Walimah (١ )لوليمةartinya al-jam’u = kumpul, sebab antara suami
dan isrti berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat dan para tetangga.
Walimah (١ )لوليمةberasal dari bahasa arab ( ١ ) لوليمyang artinya makanan
pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam
acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu
undangan atau lainnya.
48
Menurut Sayyid Sabiq, walimah diambil dari kata al-walmu dan
mempunyai makna makanan yang dikhususkan dalam sebuah pesta
pernikahan. Dalam kamus hukum, walimah adalah makanan pesta
perkawinan atau tiap-tiap makanan yang dibuat untuk undangan atau
lainnya undangan.
49
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya
sunnah mu‟akad hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW:
S. Pelaksanaan Walimatul’Ursy
50
Artinya: “Dari anas, ketika Rasulullah SAW melihat Abd. ar-Rahman ibn
‘Auf ada warna kuning, Rasulullah SAW bertanya: kenapa kuning-kuning
seperti ini? “Abd al-Rahman menjawab: aku baru saja menikahi seorang
perempuan dengan mahar emas seberat sebiji kurma. Rasulullah SAW
mengatakan: semoga Allah memeberikan berkah kepadamu dan
adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing”.
Artinya: “Dari Aisyah r.a dari Nabi saw, beliau bersabda, umumkanlah
pernikahan ini! Rayakanlah di dalam masjid. Dan pukullah alat musik
rebana untuk memeriahkan (acara)nya”.
51
Berdasarkan hadits di atas, diarahkan agar pernikahan dilaksanakan
di masjid, karena masjid biasanya dihadiri oleh jama’ah untuk
melaksanakan ibadah. Diarahkan juga untuk memukul alat kesenian
(gendang) waktu pelaksanaan akad nikah, agar menarik perhatian orang
bahwa telah terjadi pernikahan.
52
Artinya: Dari abu hurairah r.a bahwa Rasulullah Saw Telah bersabda:
“Barangsiapa tidak menghadiri undangan, sesungguhnya ia telah
durhaka kepada Allah dan Rasulnya.” (HR Bukhari)
53
Memperhatikan syarat-syarat tersebut, jelas bahwa apabila
walimah dalam pesta perkawinan hanya mengundang orang kaya saja,
hukumnya adalah makruh. Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya: “Dari abu Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad Saw Bersabda,
“Makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak
mengundang orang yang mau datang kepadanya (miskin), tetapi
mengundang orang yang enggan datang kepadanya (kaya). Barangsiapa
tidak menghadiri undangan, maka sesungguhnya ia telah durhaka kepada
Allah dan Rasul-Nya.” ( HR Muslim)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
54
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang
perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau
keluarganya (walinya). Proses khitbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya
khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya
ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan
kepada keluarga atau wali pihak akhwat.
Kafaah diperuntukan bagi calon suami agar sederajat dengan calon
istrinya. Ini disyaratkan agar dapat menghasilkan keserasian dalam hubungan
suami-istri, kafaah disini mengandung arti bahwa laki-laki harus sama atau setara
dalam tingkatan ekonomi, pendidikan, ahlak dan tampilan wajah dan terutama
dalam hal agama pada saat memilih calon pasangan yang akan dilamarnya.
Kafaah merupakan hak perempuan dan walinya. Wali tidak bisa memaksa
mengawinkan perempuan dengan orang yang tidak sekufu kecuali yang
bersangkutan ridha.
Mahar merupakan pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.Agama
tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
mahar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau
utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian.
Walimatul’usry berasal dari bahasa arab ( ) الولمyang berarti makanan
pengantin. Jadi, inti maksud dari walimah ini adalah makanan yang disediakan
sebagai rasa syukur atas terselenggarakannya pernikahan (akad nikah). Ini juga
sebagai ungkapan rasa syukur pengantin maupun keluarga atas kebahagiaan
mereka. Hukum walimah itu sendiri adalah sunnah muakad. Ada beberapa ulama
yang berpendapat bahwa walimatul’ursy sunnahnya dilaksanakan selama tiga hari.
Sebagian ada lagi yang berpendapat bahwa walimatul’ursy dilaksanakan selama
55
tujuh hari. Namun yang terjadi pada masyarakat umumnya, walimatul’ursy
dilaksanakan satu sampai dua hari saja.
DAFTAR PUSTAKA
56
Alam, Andi Syamsu. Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan
Keluarga Sakinah, cet.II. Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006.
Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, alih bahasa oleh
Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah,
cet.ke-1. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-
Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil, cet.1. Jakarta: Pustaka al-Sunnah,
2006.
Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Umar. “Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam”. Skripsi
S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
57