Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH

Khitbah, Kafa’ah, Mahar, dan Walimatul’ursy

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh 1

Dosen Pengampu: Dra. Azizah M.A.

Disusun Oleh:

1. Dzaky Muh’arif - 11200480000099


2. Gemmeli Rafi - 11200480000105
3. Fajar Hanif Firdaus
- 11200480000045

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji syukur kehadirat Allah


SWT, yang telah memberikan karunia kepada penulis. Sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Khitbah, Kafaah, Mahar, dan
Walimatul’ursy” sesuai dengan waktu yang penulis rencanakan. Makalah ini
penulis buat dalam rangka memenuhi salah satu tugas penilaian mata kuliah Fiqh
1. Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini penulis berterima kasih kepada
Ibu Dra. Azizah M.A. selaku dosen mata kuliah.

Penulis sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah


wawasan pembaca. Penulis sebagai penyusun tidak pernah lepas dari kesalahan
dan kekurangan dalam menyusun makalah ini oleh karena itu, penulis mohon
maaf atas segala kekurangannya.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.


Dengan segala kerendahan hati, saran - saran dan kritik yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatkan kualitas makalah
ini dan makalah - makalah lainnya pada waktu mendatang.

Jakarta, 11 Oktober 2021

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

Halaman judul.........................................................................................................i

Kata Pengantar.......................................................................................................ii

Daftar isi..................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................................5

B. Rumusan Masalah.........................................................................................5

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Khitbah.......................................................................................7

B. Tujuan dan Hikmah Khitbah (Pinangan/Lamaran).......................................8

C. Dasar Hukum Khitbah (Pinangan/Lamaran)................................................8

D. Syarat dan Halangan Khitbah (Peminangan/Lamaran)...............................10

E. Sunnah dalam Khitbah (Pinangan/Lamaran)...............................................12

F. Akibat Hukum Khitbah (Pinangan/Lamaran)..............................................14

G. Pengertian Kafaah Dalam Perkawinan........................................................17

H. Dasar Hukum Kafaah..................................................................................18

I. Macam-Macam Kafaah.................................................................................20

J. Tujuan Kafaah Dalam Perkawinan...............................................................27

K. Pengertian Mahar.........................................................................................30

3
L. Syarat-Syarat Mahar dan Kadar Jumlah Mahar...........................................34

M. Pemberian Mahar Dengan Kontan Atau Utang..........................................39

N. Macam Macam Mahar.................................................................................41

O. Bentuk Mahar..............................................................................................44

P. Hikmah Disyariatkannya Mahar..................................................................46

Q. Pengertian Walimatul’Ursy.........................................................................47

R. Dasar Hukum Walimatul’Ursy dan Pandangan Ulama Mazhab Tentang


Walimatul’Ursy.................................................................................................48

S. Pelaksanaan Walimatul’Ursy.......................................................................50

T. Hukum Menghadiri Undangan Walimatul’Ursy..........................................51

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................56

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan, Allah


memerintahkan manusia untuk menikah dengan syarat dan ketentuan yang telah
diatur dan ditetapkan. Manusia tidak akan berkembang tanpa adanya suatu
perkawinan, karena pada dasarnya perkawinan menyebabkan adanya keturunan
dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kerabat serta
masyarakat.

Perkawinan merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan kebutuhan


biologis bagi manusia. Perkawinan atau ikatan pernikahan adalah sebuah sunnah
yang mulia yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul serta generasi awal dan
akhir yang mengikuti petunjuk mereka. Karena itulah, perkawinan yang sarat
dengan nilai dan bertujuan untuk kehidupan rumah tangga yang sakinah yang
berlandaskan mawaddah dan rahmah, perlu memahami syarat dan rukun tertentu,
agar tujuan disyariatkan perkawinan tercapai.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar
pembahasan dalam makalah ini tidak jauh dari judulnya, baiknya kita
rumuskan masalah-masalah yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana Cara Pinangan/Lamaran Dalam Khitbah?


2. Bagaimana Latar Belakang Tradisi Lamaran?
3. Bagaimana Akibat Hukum Khitbah?

5
4. Bagaimana Perspektif Hukum Islam Terhadap Persepsi Masyarakat
Tentang Kafaah Dalam Perkawinan?
5. Bagaimana Peran Kafaah Dalam Membentuk Keluarga Yang Sakinah?
6. Bagaimanakah Pandangan Para Ulama Fiqh Mengenai Kriteria Kafaah?
7. Bagaimana Cara Mengetahui Syarat-Syarat Mahar Sesuai Dengan Syariat?
8. Apa Hikmah Dari Disyariatkannya Mahar?
9. Apa Saja Macam-Macam Mahar?
10. Bagaimana Pandangan Ulama Mazhab Tentang Walimatul’Ursy?
11. Apa Hukum Menghadiri Undangan Walimatul’Ursy?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Cara Pinangan/Lamaran Sesuai Dengan


Ajaran Khitbah
2. Untuk Mengetahui Latar Belakang Tradisi Lamaran Oleh Calon Pria
Kepada Calon Wanita
3. Untuk Mengetahui Akibat Hukum Khitbah
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Perspektif Hukum Islam Terhadap Persepsi
Masyarakat Tentang Kafaah Dalam Perkawinan
5. Untuk Mengetahui Peranan Kafaah Dalam Membentuk Keluarga Yang
Sakinah
6. Untuk Mengetahui Pandangan Para Ulama Fiqh Mengenai Kriteria Kafaah
7. Untuk Mengetahui Syarat-Syarat Mahar Yang Ditentukan Dalam Syariat
8. Untuk Mengetahui Apa Hikmah Dari Disyariatkannya Mahar
9. Untuk Mengetahui Macam-Macam Mahar
10. Untuk Mengetahui Pandangan Ulama Mazhab Mengenai Walimatul’Ursy
11. Untuk Mengetahui Hukum Jika Menghadiri Walimatul’Ursy

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Khitbah

Secara Pada ilmu fikih kata khitbah disebut juga lamaran, berasal dari kata
.Kata lamaran dalam hukum islam adalah:

Artinya:“Seseorang pria meminta kepada seseorang wanita untuk menjadi


isterinya dengan cara-cara yang berlaku diantara masyarakat masyarakat”.

Secara terminologi fikih, khitbah atau lamaran atau pinangan merupakan


pendahuluan atau masa pra perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita, sebagai langkah awal sebelum keduanya melaksanakan akad nikah, agar
masing-masing mengenal calonnya. Khitbah itu sendiri masih harus dijawab “ya”
atau “tidak”. Bila telah dijawab “ya”, maka jadilah wanita tersebut sebagai
“makhtubah” atau wanita yang resmi dilamar.

Meminang atau melamar adalah menyatakan permintaan atau ajakan


mengingat perjodohan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk menjadi
istrinya dengan cara yang sudah berlaku dalam masyarakat. Meminang adalah
usaha dalam pendahuluan dalam rangka pernikahan. Sebelum dilangsungkan
pernikahan, kedua belah pihak harus saling mengenal baik sifat maupun
pembawaan, kemudian menarik persamaan dan perbedaan sehingga nanti setelah
menikah kedua belah pihak terjadi saling menghargai perbedaan, sama-sama mau
berkorban untuk yang lainnya.

Sehingga diharapkan akad nikah yang mereka lakukan benar-benar atas


dasar kerelaan, suka sama suka dan dengan pandangan yang jauh, dengan

7
demikian perkawinannya dapat berlangsung kekal tak mudah putus dan
diputuskan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengartikan khitbah sebagai
kegiatan kearah terjadinya hubungan perjodohan antar seorang pria dengan
wanita. Kegiatan Peminangan dimaksudkan supaya masing-masing pihak dapat
mengenal pribadi dan identitas calon suami atau istri sesuai dengan langkah-
langkah yang di gariskan oleh syariat.

B. Tujuan dan Hikmah Khitbah (Pinangan/Lamaran)

Adapun tujuan khitbah diantaranya:

1. Karena ingin menjamin perkawinan yang di kehendaki itu sudah dapat


dilangsungkan dalam waktu dekat.

2. Sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah di ikat.

3. Memberi kesempatan kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal sehingga
kelak mereka sebagai suami istri menjadi satu pasangan yang harmonis.

Pertama, Adapun hikmah khitbah yaitu:

Agar lancar kegiatan khitbah (pinangan) ini, pelamar di


perkenankan melihat dan berkenalan dengan wanita yang ia kehendaki, supaya
mereka dapat saling memahami pribadi masing-masing dan dapat mengerti
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang berupa material maupun imaterial.
Setelah proses ini mereka diharapkan semakin mantap untuk menuju kejenjang
perkawinan, sehingga kelak dapat di hindari hal-hal yang tidak diharapkan.

C. Dasar Hukum Khitbah (Pinangan/Lamaran)

8
Khitbah (pinangan) dalam hukum Islam bukan merupakan hal yang wajib
dilalui, setidaknya merupakan suatu tahap yang lazim pada setiap yang akan
melangsungkan perkawinan. Tetapi prakteknya di masyarakat menunjukkan
bahwa peminangan merupakan suatu hal yang hampir pasti di lakukan, sehingga
seolah-olah masyarakat menganggap bahwa khitbah merupakan hal yang wajib
dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dawud al-Dzahiry yang menyatakan
meminang hukumnya wajib.

Khitbah ada 2 bentuk yaitu:

1. Khitbah (pinangan) secara terang-terangan.


Kegiatan pinangan secara terang-terangan artinya pihak laki-laki menyatakan
niatnya untuk mengawininya dengan permohonan yang jelas atau terang.
Misalnya: aku ingin mengawinimu. Hal ini dapat dilakukan terhadap wanita
yang habis masa idahnya dan wanita yang masih sendiri statusnya.

2. Khitbah (pinangan) secara sindiran (kinayah)


Peminang dalam mengungkapkan keinginannya tidak menggunakan kalimat
yang jelas yang dapat dipahami. Misalnya; kamu sudah sepantasnya untuk
kawin. Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam
pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara

9
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang
ma’ruf.

Penjelasan mengenai ayat di atas adalah perempuan yang dalam iddah


karena di tinggal mati oleh suaminya. Dan yang dimaksud sindiran dalam “iddah”
karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam
iddah Talak raji’i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran. Disini adalah
seseorang yang mengucapkan kata yang tersurat berlainan dengan tersiratnya.
Seperti ucapan, “engkau wanita yang cantik, atau saya mengharapkan sekali
kiranya Allah memudahkan jalan bagiku memperoleh istri yang cantik”.
Termasuk meminang secara sindiran adalah memberikan hadiah pada perempuan
yang dalam iddah.

D. Syarat dan Halangan Khitbah (Peminangan/Lamaran)


Para Ulama fikih mensyaratkan bagi laki-laki yang hendak meminang
wanita agar memperhatikan dua syarat:

1. Syarat Mustahsinah

Mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang
akan meminang wanita agar ia meneliti lebih dahulu yang akan dipinangnya
itu, apakah sesuai dengan keinginannya atau belum, sehingga hal ini dapat
menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Adapun syarat
mustahsinah yaitu:

a. Wanita yang di pinang itu hendaklah setara (sekufu) dengan laki-laki


yang meminangnya, seperti sama-sama baik bentuknya, sama-sama
berilmu dan sebagainya.

b. Wanita yang dipinang itu hendaklah mempunyai sifat kasih sayang dan
bisa memberikan keturunan.

10
c. Wanita yang akan dipinang itu sebaiknya jauh hubungan darahnya
dengan laki-laki yang meminangnya. Karena agama melarang seorang
laki-laki mengawini seorang wamita yang sangat dekat hubungan
darahnya.

d. Sebaiknya mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari


wanita yang dipinang, sebaliknya wanita yang dipinang harus mengetahui
pula keadaan orang yang meminangnya.

2. Syarat Lazimah

Makna lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan


dilakukan. Adapun syarat lazimah yaitu:

a. Perempuan yang boleh dipinang dengan sindiran atau terus terang, yaitu
perempuanyang bukan istri orang, bukan dalam masa iddah (menunggu)
dan bukan dalam pinangan orang lain. Jika perempuan yang dipinang
orang lain tersebut jelas telah menolaknya, maka bolehlah ia meminang
perempuan orang lain. Hadits Nabi Muhammad SAW: Dari Uqban bin
Amir, ia berkata bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: “ orang
mukmin dengan orang mukmin yang lainnya itu bersaudara. Janganlah
seorang kalian diantara kamu meminang pinangan saudaranya, kecuali
pinangan sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan izin
kepadanya”.

Hadits Nabi SAW:

Artinya: “Janganlah seseorang dari kamu meminang (wanita)


yang dipinang saudaranya, sehingga peminang sebelumnya
meninggalkannya atau lebih mengijinkannya”.

b. Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik secara sindiran apalagi


dengan terus terang, yaitu perempuan dalam status istri orang lain atau

11
masih dalam iddah raj’i karena suaminya masih berhak merujuknya.
Allah SWT berfirman:

Artinya : “dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam


masa menanti itu, jika mereka (para suami) yang
menghendaki ishlah”.

c. Perempuan yang boleh dipinang, yaitu perempuan yang bukan dalam


masa iddah raj’i. dalam hal ini dibagi menjadi tiga yaitu:

 Perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati oleh


suaminya, boleh dipinang sendirian, tetapi tidak boleh secara terang
terangan.
 Perempuan beriddah talaq tiga (ba’in qubro)
 Perempuan beriddah karena talaq ba’in sughro atau sebab fazakh

Ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa wanita yang karena suaminya
meninggal dan iddah thalaq bain boleh dipinang dengan kinayah (sindiran).

Dari uraian diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwa wanita yang
statusnya berbeda dari penjelasan diatas, maka haram hukumnya bagi laki-laki
untuk meminangnya. Karena syarat diatas menjadi halangan peminangan.

E. Sunnah dalam Khitbah (Pinangan/Lamaran)

Sedangkan Laki-laki disunnahkan melakukan hal-hal berikut:

1. Melihat pinangan

Ada dua cara melihat wanita yang akan dipinang yaitu:

12
a. Mengirim seorang wanita yang dipercaya untuk mengecek keadaan
wanita yang mau dipinang. Baik dari sifat, akhlak serta penampilan
setiap hari.

b. Seorang laki-laki yang ingin melamarnya langsung. Berasarkan hadits


Nabi SAW:

Artinya: “Lihatlah. Karena dengan melihat itu akan lebih dijamin dapat
menyatukan kamu berdua.” (H.R. Ibnu Majah dan Turmudi).

Para Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seorang laki-laki disunahkan


melihat calon istri pada bagian wajah dan telapak tangan, dengan begitu akan
diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya Sekalipun para ulama’ sepakat
tentang kebolehan melihat ini, tetapi mereka memberikan batasan terhadap apa
saja yang boleh dilihat pada diri wanita itu, dalam hal ini mereka berbeda
pendapat mengenai batasan-batasan ini.

2. Khutbah

Sunnat-sunnat meminang adalah sebagai berikut:

a. Bagi peminang atau wakilnya menyampaikan khutbah sebelum


meminang atau sebelum akad nikah, dimulai dengan memuji Allah dan
Sholawat atas Nabi. Didasarkan pada pada hadits Nabi SAW:

Artinya: “Tiap-tiap perkara penting yang tidak dimulai dengan memuji


Allah, maka akan terputus (dari rahmat Allah)”.

13
b. Setelah selesai memuji Allah dan bersholawat, dilanjutkan dengan
menasehatkan supaya bertaqwa kepada Allah.

c. Kemudian, nyatakanlah keinginannya. Contoh: “aku datang kepada


tuan-tuan untuk meminang putri tuan yang mulia”.

d. Bagi wali yang dipinang juga menyampaikan khutbah dengan memulai


memuji Allah dan bersholawat atas Nabi, dilanjutkan dengan memberi
nasehat. Kemudian menyatakan menerima. Contoh: “kami tidak
keberatan menerima engkau”.

F. Akibat Hukum Khitbah (Pinangan/Lamaran)

Kegiatan khitbah (pinangan/lamaran) merupakan janji akan


menikah. Oleh karena itu pertunangan dapat diputuskan oleh salah satu
pihak, karena akad dari pertunangan ini belum mengikat salah satu pihak
dan belum pula menimbulkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi.
Akan tetapi menurut Wahbah Zuhaily (Guru besar Universitas
Damaskus), berpendapat bahwa akhlaq Islam menuntut tanggung jawab
setiap tindakan. Apalagi yang sifatnya yang berkaitan dengan
perkawinan. Seorang muslim berkewajiban menunaikan janji yang telah
di buatnya. Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti


diminta pertanggungan jawabnya”.

Oleh karena itu pemutusan pertunangan dilandasi oleh alasan yang


rasional dan kuat. Berkaitan dengan pertunangan ini dalam masyarakat
terdapat kebiasaan pada waktu pelaksanaannya, calon mempelai laki-laki
memberikan suatu pemberian seperti perhiasan, uang, makanan serta hasil
bumi sebagai tanda bahwa seseorang tersebut sungguh-sungguh berniat

14
untuk melanjutkan kejenjang perkawinan. Pemberian ini berbeda dengan
mahar. Mahar adalah pemberian dari calon suami kepada istri dengan
sebab nikah. Akan tetapi pemberian ini termasuk dalam pengertian
hadiah. Oleh karena itu akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah
tersebut berbeda dengan pemberian dalam bentuk mahar.

Ketika pertunangan harus diputuskan, sedangkan pihak laki-laki


telah memberikan hadiah atau lainnya kepada si wanita, maka dalam
melihat status hukum hadiah ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama.
Para Ulama Hanafi mengatakan bahwa hadiah itu sama statusnya
dengan hibah. Dan orang yang memberikan hibah itu dapat mencabut
kembali hibahnya kecuali ada halangan tentang pencabutannya, seperti
barang itu sudah habis. Bila barang yang di hibahkan atau di hadiahkan
laki-laki itu masih utuh, maka ia boleh meminta kembali.

Menurut Ulama mazhab Maliki berpendapat, bahwa harus di


bedakan dari mana datangnya pemutusan pertunangan tersebut. Bila
pemutusan itu dari pihak laki-laki maka ia tidak berhak menarik kembali
hadiahnya sekalipun barangnya masih utuh. Bila dari pihak perempuan
datangnya pemutusan, maka pihak laki-laki berhak menarik kembali
hadiahnya, baik masih utuh barangnya maupun sudah habis.

Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali mengatakan,


bahwa hadiah itu atau hibah itu tidak bisa ditarik kembali, karena menurut
mazhab ini sesuatu yang di hibahkan tidak dapat di tarik kembali.

Sumber referensi perbedaan diatas berdasarkan:


1. Riwayat Ashab As-Sunan, Rosulullah SAW Bersabda:

15
Artinya: “Tidak halal orang yang telah memberikan sesuatu, atau
menghibahkan sesuatu lalu meminta kembali barangnya, kecuali ayah
terhadap anaknya”.

2. Dari Abu Abbas, Rosulullah SAW Bersabda:


Artinya: “Orang yang menarik kembali barang yang di hibahkan,
adalah laksana orang yang menarik kembali sesuatu yang di
muntahkan”.

3. Dari Salim dari bapaknya Rosulullah SAW Bersabda:


Artinya: “Barang siapa memberikan hibah, maka ia masih tetap
berhak terhadap barangnya, selama belum mendapatkan imbalannya”.

Penjelasan Hadits-hadits diatas di kompromikan dalam I’lamul


muwaqi’iin sebagai berikut: pemberian hibah yang tidak halal menarik
kembali hibahnya, bila ia memberi hibah dengan sukarela (derma), bukan
untuk imbalan. Sedangkan pemberi hibah yang tetap mempunyai hak
menarik kembali hibahnya, bila hibah di berikan sebagai imbalan sesuatu
yang akan diterima, tetapi ia tidak mendapatkannya. Dengan demikian
hadits-hadits diatas dapat kita pakai sesuai dengan tempatnya. Definisi
hukum secara umum adalah keseluruhan peraturan tentang tingkah laku
yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum bukan sesuatu yang sekedar
menjadi bahan pengkajian secara logis dan rasional. Lebih dari itu hukum
di buat untuk dijalankan dan di taati.

Sedangkan Perwujudan dari tujuan, nilai-nilai ataupun ide-ide


yang terkandung didalam peraturan hukum merupakan suatu kegiatan
yang tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai hubungan timbal balik
dengan masyarakat. Begitu juga dengan hukum Islam, Hukum Islam dapat
diartikan merupakan hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari

16
agama Islam.

Kalau kita melihat realitas masyarakat dari sesi ekonomi maka


jelas bahwa denda akibat pembatalan khitbah tersebut merupakan suatu
pembebanan yang tidak bisa di berlakukan secara general. Karena hal ini
terkait dengan kemampuan seseorang dalam menanggung beban
keuangan.

Melihat Hukum asal dari khitbah adalah sunah, pemberian barang


dalam khitbah menurut hemat penulis adalah mubah atau boleh saja.
Bahkan praktek tersebut akan menjadi makruh jika hal tersebut
menjadikan dampak yang tidak baik yaitu pembebanan denda ketika
terjadi pembatalan khitbah oleh pihak perempuan.

Berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai


hadiah atau hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khitbah maka
sesuatu benda tersebut menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi
juga tidak boleh meminta kembali sesuatu atau benda tersebut yang
pernah diberikan, kecuali mahar. Secara syar’i hibah tidak boleh diminta
kembali karena merupakan suatu derma yang di berikan secara sukarela
dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu.

G. Pengertian Kafaah Dalam Perkawinan

Kafaah menurut bahasa Arab berasal dari kata ‫ﻛﻔﺊ‬, Yang berarti
sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa
Arab dan terdapat dalam al-Quran dengan arti “sama atau setara”. Contoh
dalam al-Quran terdapat dalam surat al-Ikhlas Ayat 4:

Artinya: “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia”.

17
Kafaah secara etimologis bermakna sebanding, setara, dan sesuai
yaitu kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan oleh calon istri
agar diperoleh keserasian terhadap suami istri secara mantab dalam rangka
menghindarkan persoalan-persoalan tertentu.

Kafaah dalam perkawinan menurut istilah hukum Islam yaitu


keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial, derajat, akhlak serta kekayaan.

Sedangkan yang dimaksud kafaah dalam perkawinan menurut


Sayyid Sabiq adalah kesamaan antara calon suami dan calon istri, sama
dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sama dalam akhlak
serta kekayaan. Dalam istilah fiqh lebih menekankan pada keserasian
antara calon suami dengan calon istri. Barangkali istiah yang populer pada
zaman sekarang yaitu ideal antara calon suami dengan istrinya untuk
melangsungkan perkawinan.

Kafaah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat


mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin
keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Kafaah dianjurkan dalam Islam dalam memilih calon suami atau istri tapi
tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafaah adalah hak bagi
wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi
atau sesuai akan menimbulkan problem yang berkelanjutan, dan besar
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian oleh karena itu, boleh
dibatalkan.

H. Dasar Hukum Kafaah

Islam menganjurkan agar adanya keseimbangan dan keserasian,


kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon suami istri untuk

18
dapat terbinanya dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.

Kafaah merupakan suatu yang disyariatkan oleh Islam guna


tercapainya tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi, hanya saja al-
Quran tidak menyebutnya secara eksplisit. Akan tetapi, Islam memberi
pedoman bagi orang yang ingin menikah untuk memilih jodoh yang baik
dan benar sebagaimana Firman Allah dalam al-Quran surat an-Nur ayat 3:

Artinya: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina


perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan pezina perempuan
tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin”.

Dengan tegas ayat ini melarang pernikahan antara orang pezina


(laki-laki atau perempuan) dengan orang mu’min. Dalam ayat ini pezina
hanya diperbolehkan menikah dengan pezina atau orang musyrik.

Ulama Hanbali dan zhahiri menetapkan bahwa pernikahan dengan


pezina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum mereka
bertaubat. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian orang yang suka
berzina itu enggan untuk menikah, karena antara kesalehan dengan
perzinaan bertolak belakang, maka tidak mungkin sebuah rumah tangga
bisa hidup tentram dan bahagia bila antara suami dan istri tidak sejalan
kehidupannya.

Adapun yang menyangkut perbedaan antara orang beriman dengan


orang fasik terdapat dalam al-Quran surat as-Sajdah ayat 18:

19
Artinya: “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik
(kafir)? Mereka tidak sama”.

Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa orang fasik tidak


sama atau tidak setara dengan orang beriman, yang membedakan adalah
tingkat kualitas agamaanya, disamping tidak sedarajat bahkan cenderung
berlawanan arah yang dapat membawa dampak buruk terhadap
kelangsungan hidup berumah tangga.

Ayat lain yang membahas tentang kafaah terdapat dalam Al-Quran


Surat An-Nur ayat 26:

Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan


laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula),
sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).
Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh
ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”.

Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahwa perempuan-


perempuan yang keji tidak setara dengan laki-laki yang baik, begitu pula
sebaliknya, dan laki-laki yang baik tidak setara dengan perempuan-
perempuan yang keji pula, begitupun sebaliknya. Ayat ini bertujuan untuk
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, agar dapat
terealisasinya keluarga bahagia seperti yang diharapkan.

I. Macam Macam Kafaah

20
Para ulama Imam Madhab masih berbeda pendapat dalam memberi
pengertian kafaah dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan
perbedaan ukuran dan kriteria kafaah yang mereka gunakan. Berdasarkan
konsep kafaah seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan
hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta,
pekerjaan maupun hal yang lainnya.

Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut


agar supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya
ketimpangan dan ketidak cocokan. Selain itu Secara psikologis seorang
yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat
membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan
keluarga. Proses mencari jodoh memang tidak bisa dilakukan secara asal-
asalan dan soal pilihan jodoh sendiri merupakan setengah dari suksesnya
perkawinan.

1. Agama (ad-din)
Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama mempunyai
prespektif tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang
dari perbuatan keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-
hukum agama. Agama dalam hal ini dimaksudkan sebagai
ketidakfasikan. Dalam hal ini semua ulama (mazhab Imam Hanafi,
Maliki, Shafii, dan Hambali) sepakat memasukkan agama dalam
kafaah, berdasarkan hadis riwayat Tirmidzi dengan sanad dari Abi
Hatim al-Muzanni, Rasulullah SAW bersabda: “Jika datang kepadamu
laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai maka kawinkanlah
jika kamu tidak berbuat demikian akan terjadi fitnah dan kerusakan
diatas bumi, Kemudian sahabat Rasulullah bertanya “Ya Rasulullah
apabila diatas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan?” Beliau
menjawab, jika datang kepadamu laki laki yang agama dan akhlaknya
kamu sukai hendaklah kawinkan ia (jawaban rasulullah diulang
sebanyak tiga kali)”. H.R Tirmidzi.

21
Hadis di atas ditunjukkan kepada para wali agar mengawinkan
perempuan-perempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang
beragama dan berakhlak. Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan
laki-laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki yang
berkedudukan tinggi atau keturunan mulia atau berharta, maka dapat
menimbulkan fitnah dan kerusakan bagi perempuan tersebut dan
walinya.

Ulama Malikiyah mengakui adanya kafaah, tetapi menurut mereka


kafaah hanya bersifat istiqomah dan budi pekerti saja. Apabila ada
seorang wanita sholehah dari keluarga yang kuat agamanya menikah
dengan pria yang fasiq (perbuatan yang melanggar perintah Allah),
maka wali wanita tersebut mempunyai hak untuk menolak atau
melarang bahkan menuntut fasakh (cacat atau rusaknya perkawinan),
karena keberagamaan merupakan suatu unsur yang harus dibanggakan
melebihi unsur kedudukan, harta benda, nasab dan semua segi
kehidupan lainnya.

Ulama Malikiyah ini mempunyai alasan bahwa manusia itu


sebenarnya sama baik dia kaya, miskin pangkat, rakyat jelata,
keturunan bangsawan keturuan petani dan sebaganiya adalah sederajat,
hanya yang membuat manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi
dari orang yang lainnya yaitu karena takwanya.

2. Keturunan (nasab)
Jumhur ulama (Hanifiyah, Shafiiyah dan Hanabilah) selain
Malikiyah berpendapat bahwa nasab merupakan salah satu hal yang
paling penting dan masuk dalam kafaah, karena ada beberapa alasan
mendasar yang mengilhami mereka, seperti banyaknya orang Islam,
khususnya orang muslim Arab yang sangat fanatik dalam menjaga

22
keturunan dan golongan mereka. Alasan mereka memasukkan nasab
dalam kafaah berdasarkan hadits Nabi SAW bersabda: “orang Arab
satu dengan lainnya sekufu. Satu kabilah sekufu dengan kabilah yang
sama, satu kelompok sekufu dengan kelompok yang sama antara
sesama laki-laki diantara sekufu kecuali tukang jahit atau bekam (H.R
Baihaqi).

Maksud dari hadits di atas adalah bahwa orang Arab sepadan


dengan orang Arab, orang Arab tidak sekufu dengan selain orang
Arab, kabilah yang satu sekufu dengan kabilahnya, bekas budak
sekufu dengan bekas budak. Jadi seseorang dianggap sekufu jika ia
dari golongan yang sama.

Menurut ulama Hanafiyah, nasab (keturunan) dalam kafaah hanya


dikhususkan pada orang-orang Arab. Dengan demikian suami dengan
istri harus sama kabilahnya. Jika seoarang suami dari bangsa Quraisy,
maka nasabnya sebanding dengan perempuan yang berasal dari bangsa
Quraisy. Dari sini diketahui bahwa laki-laki dari selain bangsa Arab
tidak sebanding dengan perempuan Quraisy dan perempuan Arab.

Adapun menurut ulama Shafiiyah, orang Arab sebanding dengan


Quraisy kecuali Bani Hasyim dan Muthalib karena tidak ada orang
Quraisy yang sebanding dengan mereka. Maksudnya adalah orang arab
yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib hanya
dapat sekufu dengan seseorang yang berasal dari keturunan yang sama,
tidak yang lainnya.

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa golongan Quraisy


sebanding dengan Bani Hasyim. Golongan Malikiyah berpendapat
seperti yang dijelaskan dalam kitab “Fiqh Islam wa Adilatuhu” bahwa
dalam Islam tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan

23
golongan yang lain, bagi orang Arab maupun non Arab yang
terpenting bagi golongan malikiyah adalah keimanan dan ketakwaan
seseorang terhadap Allah SWT.

3. Merdeka (hurriyah)
Yang dimaksud merdeka disini adalah bukan budak (hamba
sahaya). Jumhur ulama selain Malikiyah memasukkan merdeka dalam
kafaah berdasarkan firman Allah Q.S an-Nahl ayat 75:

Artinya: “Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya di


bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu,
dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik, lalu dia menginfakkan
sebagian rezeki itu secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-
terangan. Samakah mereka itu? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seorang budak dimiliki oleh


tuannya dan dia tidak dapat melakukan sesuatupun termasuk
menafkahkan hartanya sesuai dengan keinginannya kecuali atas
perintah tuannya. Akan tetapi orang merdeka bebas melakukan
sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa menunggu perintah dari
siapapun.

Jadi budak laki-laki tidak kufu dengan perempuan merdeka. Budak


laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu dengan perempuan yang
merdeka sejak asalnya. Laki-laki yang seorang neneknya pernah
menjadi budak tidak kufu dengan perempuan yang neneknya tidak
pernah menjadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin

24
dengan laki-laki budak akan dianggap tercela, begitu pula jika dikawin
dengan laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.

4. Harta (al-mal)
Yang dimaksud dengan harta adalah kemampuan seseorang (calon
suami) untuk memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya. Menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah, harta merupakan hal yang penting
dalam kehidupan rumah tangga sehingga harta dianggap penting untuk
dimasukkan dalam kriteria kafaah.

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa yang


dianggap sekufu adalah apabila seorang laki-laki sanggup membayar
mahar dan nafkah kepada istrinya. Apabila tidak sanggup membayar
mahar dan nafkah atau salah satu diantara keduanya, maka dianggap
tidak sekufu. Menurut Abu Yusuf (salah satu sahabat Abu Hanifah)
yang dianggap sekufu dalam harta adalah kesanggupan memberi
nafkah bukan membayar mahar. Sebab ukuran yang mudah dilakukan
dan kemampuan seorang untuk memberi nafkah itu tidak dapat dilihat
dari keadaan bapaknya.

Adapun ulama Malikiyah dan sebagian ulama Shafiiyah


menentang penggolongan harta dalam kriteria kafaah. Menurut mereka
harta memang dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting dalam
kehidupan rumah tangga sekalipun itu merupakan kebutuhan.
Memasukkan harta dalam ukuran kafaah sama halnya mengajari atau
mendidik umat Islam untuk tidak berkahlak terpuji seperti yang
diajarkan Nabi SAW.

5. Pekerjaan (hirfah)
Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan segala
sarana dan prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik
perusahaan maupun yang lainnya. Jumhur ulama selain Malikiyah
sepakat memasukkan pekerjaan dalam kafaah berdasarkan hadits Nabi,

25
Rasulullah SAW bersabda: “orang Arab satu dengan lainnya sekufu.
Satu kabilah sekufu dengan kabilah yang sama, satu kelompok sekufu
dengan kelompok yang sama antara sesama laki-laki diantara sekufu
kecuali tukang jahit atau bekam (H.R Baihaqi).

Hadis di atas menjelaskan bahwa seseorang yang mempunyai


pekerjaan terhormat akan sekufu dengan orang yang mempunyai
pekerjaan terhormat. Karena orang-orang yang mempunyai pekerjaan
terhormat menganggap sebagai suatu kekurangan jika anak perempuan
mereka dijodohkan dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar seperti
tukang bekam dan tukang jahit.

Apabila pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara


satu dengan yang lain maka dianggaplah tidak ada perbedaan. Untuk
mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar dapat diukur dengan
kebiasaan masyarakat setempat. Ada kalanya suatu pekerjaan di suatu
daerah dan pada suatu masa dipandang terhormat tetapi di tempat lain
mungkin dipandang hina. Apabila menjahit menurut adat lebih tinggi
derajatnya dibanding menenun, maka penjahit itu tidak sebanding
dengan anak penenun.

Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal


mendekati pekerjaan keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan
Hanafiyah, penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan
pihak keluarga perempuan sesuai dengan adat yang berlaku.
Menanggapi permasalahan golongan, Malikiyah berpendapat tidak ada
perbedaan mengenai pekerjaan, semua itu dapat berubah sesuai dengan
takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama Malikiyah tidak
dimasukkan dalam kriteria kafaah.

6. Seimbang Dari Segi Fisik Atau Tidak Cacat


Murid-murid Shafii dari riwayatnya Ibnu Nasir dari Malik bahkan
salah satu syarat kufu ini adalah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang

26
mempunyai cacat jasmani yang menyolok itu tidak sekufu dengan
perempuan sehat dan normal. Jika cacatnya pandangan lahiriyah,
seperti buta, tangan buntung atau perawakanya jelek, Maka laki-laki
yang seperti ini bukan tidak sekufu dengan perempuan sehat, tetapi
kurang disukai menurut pandangan lahiriah. Dalam hal ini ada dua
pendapat. Rauyani berpendapat bahwa lelaki seperti ini tidak kufu
dengan perempuan sehat, tetapi golongan Hanafi dan Hambali tidak
menerima pendapat ini. Dalam kitab al-Mugni “terhindar dari cacat
tidak termasuk dalam syarat kufu, tidak seorangpun menyalahi
pendapat ini, yaitu kawinnya orang yang cacat itu tidak batal”.

Meskipun demikian pihak perempuan serta wakilnya berhak


meminta khiyar (pilihan) untuk meneruskan atau membatalkan
perkawinan. Wali boleh mencegah perkawinan apabila anak gadisnya
kawin dengan laki-laki yang berpenyakit gila, kusta atu lepra, selain
cacat-cacat tersebut maka tidak dianggap sebagai ukuran kafaah.

Shafii, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa kedua penyakit


tersebut merupakan cacat bagi kedua belah pihak, yaitu laki-laki dan
perempuan. Kedua belah pihak boleh melakukan fasakh jika
menemukan penyakit tersebut ada pasangannya. Orang yang menderita
penyakit tersebut bagi Shafii dan Hambali hukumnya sama dengan
orang gila.

Sebagai kriteria kafaah, segi ini hanya diakui oleh ulama Malikiyah
tapidikalangan sahabat Imam Shafii ada juga yang mengakuinya.
Sementara dalam madzhab Hanafi maupun Hambali keberadaan cacat
tersebut tidak menghalangi kufu nya seseorang. Walaupun cacat
tersebut dapat menghalangi kesekufuan seseorang, namun tidak berarti
dapat membatalkan perkawinan. Karena keabsahan bebas dari
cacat sebagai kriteria kafaah hanya diakui jika pihak wanita tidak
menerima. Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran
misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi

27
ternyata memiliki cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan
alasan untuk menuntut fasakh.

J. Tujuan Kafaah Dalam Perkawinan

Tujuan keseimbangan (kafaah) dalam perkawinan sama dengan


tujuan perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Kebahagiaan dalam
rumah tangga tentulah menjadi tujuan yang ingin diperoleh mereka yang
mendirikannya. Sangatlah tepat jika pada setiap orang yang berniat
mendirikan rumah tangga dan berkeinginan mencapai kebahagiaan hidup
di dalamya, memilih niat yang baik dan senantiasa berupaya semaksimal
mungkin untuk mendapatkannya. Untuk itu diperlukan adanya
keseimbangan sebab tujuan keseimbangan dalam perkawinan tidak lepas
dari tujuan perkawinan itu sendiri.

Kafaah (keseimbangan dalam perkawinan) sangat


diperlukan untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan
tentram, karena masalah kafaah ini sangat penting dalam masalah rumah
tangga. Agar antara calon suami istri tersebut ada keseimbangan dalam
membina keluarga yang tentram dan bahagia. Jika di antara keduanya
sudah ada keseimbangan dan kecocokan maka akan mudah bagi mereka
untuk mewujudkan tujuan perkawinan. Maka di sini kafaah berperan
penting sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang sakinah.

Selain itu tujuan adanya kafaah adalah untuk kemasalahatan dalam


mengarungi bahtera rumah tangga. Maslahat diartikan dengan sesuatu
yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat. Tujuan
adanya kafaah dalam perkawinan sangat erat kaitannya dengan maqashid
syariah (kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum) yakni
sebagai berikut:

a. Memelihara Agama Atau Keberagamaan (‫)اﻟدﯾن ﺣﻔظ‬

28
Manusia sebagai makhluk Allah harus percaya kepada Allah yang
menciptakannya, menjaga, dan mengatur kehidupannya. Agama dan
keberagamaannya itu merupakan hal vital bagi kehidupan manusia
oleh karenanya harus dipelihara dengan dua cara mewujudkan serta
selalu meningkatkan kualitas keberadaanya. Segala tindakan yang
membawa kepada terwujud atau lebih sempurnanya agama itu pada
diri seseorang disebut tindakan yang maslahat.
b. Memelihara Jiwa Atau Diri Atau Kehidupan ( ‫)اﻟﻧﻔس ﺣﻔظ‬
Kehidupan atau jiwa itu merupakan pokok dari segalanya karena
segalanya di dunia ini bertumpu pada jiwa. Oleh karena itu jiwa harus
dipelihara eksistensi dan ditingkatkan kualitasnya. Ditemukan dalam
ayat-ayat al-Quran yang melarang manusia merusak diri sendiri atau
orang lain atau menjatuhkan diri dalam kerusakan karena yang
demikian adalah berlawanan dengan kewajiban memelihara diri.
c. Memelihara Akal ( ‫)اﻟﻌﻘل ﺣﻔظ‬
Akal merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
manusia karena akal itulah yang membedakan hakikat manusia dari
makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu, Allah menyuruh manusia
untuk selalu memeliharanya. Segala bentuk tindakan yang membawa
kepada wujud dan sempurnanya akal itu adalah perbuatan baik atau
maslahat.
d. Memelihara Keturunan ( ‫)اﻟﻧﺳل ﺣﻔظ‬
Yang dimaksud dengan keturunan di sini adalah keturunan dalam
lembaga keluarga. Keturunan merupakan gharizah atau insting bagi
seluruh makhluk hidup, yang dengan keturunan itu berlangsunglah
pelanjutan kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan
pelanjutan jenis manusia adalah pelanjutan jenis manusia dalam
keluarga, sedangkan yang dimaksud dengan keluarga adalah keluarga
yang dihasilkan melalui perkawinan yang sah. Untuk memelihara
keluarga yang shahih itu Allah mengehendaki manusia melakukan
perkawinan.

29
e. Memelihara Harta ( ‫)ل اﻟﻣﺎ ﺣﻔظ‬
Harta merupakan suatu yang sangat dibutuhkan manusia karena
tanpa harta manusia tidak mungkin bertahan hidup. Oleh karena itu
dalam rangka mendatangkan jalbu manfaah, Allah menyuruh
mewujudkan dan memelihara harta itu dengan berusaha
mendapatkannya.

Lima hal yang disebutkan di atas oleh al-Ghazali disebutkan


sebagai lima maqashid syariah (kandungan nilai yang menjadi tujuan
pensyariatan hukum). Namun al-Ghazali tidak menjelaskan dalam
bukunya kenapa harus Lima dan yang Lima itu adalah seperti yang
disebutkan di atas. Pelanggaran terhadap Lima hal pokok ini dinyatakan
sebagai dosa besar yang diancam dengan ancaman hudud-qishash. Namun
karena hudud-qishash itu juga mengenai qadzaf (menuduh orang lain
berbuat zina), maka ada ulama yang menambahkan satu lagi yaitu
pemeliharaan harga diri ( ‫ اﻟﻌرض‬Q‫)ﺣﻔظ‬. Namu karena tidak menginginkan
penambahan angka 5 maka memelihara harga diri digabungkan dengan
memelihara nasl.

Dengan demikian jelaslah keseimbangan kafaah dalam perkawinan


sangat diperlukan untuk mewujudkan keluarga yang tentram dan bahagia.
Dan akibat dari tidak adanya keseimbangan dalam perkawinan, keluarga
tersebut akan mengalami kegoncangan dalam rumah tangga, karena tidak
ada kecocokan keseimbangan diantara keduanya.

K. Pengertian Mahar
Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda
bentuk abstrak atau mashdar, yakni “mahran” atau kata kerja. Ini berarti
mahar adalah suatu benda yang berbentuk abstrak yang sesuai dengan
permintaan calon pasangan atau kesepakatan bersama.

30
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai
laki-laki kepada pihak mempelai perempuan yang hukumnya wajib.
Dalam memberikan mahar pihak mempelai laki-laki kepada pihak
mempelai perempuan yang berupa harta atau manfaat karena adanya
ikatan perkawinan bentuk dan jenisnya mahar tidak ditetapkan tetap dalam
hukum perkawianan Islam hanya saja kedua mempelai dianjurkan
melakukan musyawarah untuk menyepakati mahar yang akan diberikan.

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi


mahar ialah “Pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketelusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya”.

Suami berkewajiban memberikan mahar kepada calon istrinya.


Mahar adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberikan
nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya. Selama mahar itu bersifat
simbolis atau sekedar formalitas, maka jumlahnya sedikit pun tidak ada
masalah. Hal ini sejalan dengan penjelasan Rasulullah, “sebaik-baik
maskawin adalah seringan-ringannya.” Maksud dari hadits tersebut adalah,
jangan sampai karena masalah mahar menjadi faktor yang memberatkan
bagi laki-laki, maka tidak ada larangan bagi laki-laki yang mampu untuk
memberikan sebanyak mungkin mahar kepada calon istrinya. Namun,
pernikahan pada dasarnya bukanlah akad jual beli, dan mahar bukanlah
menjadi harga seorang wanita.

Sebagaimana firman Allah QS. An-Nisa’ (4) : (20-21)

31
Artinya: “Dan jika kamu mengganti istrimu dengan yang lain, sedangkan
kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebaimana kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan
mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat.”

Ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikemukakan di atas merupakan


dalil sebagai dasar hukum yang kuat bahwa laki-laki wajib membayar
mahar kepada perempuan yang hendak dinikahinya dengan ikhlas agar hak
perempuan sejak awal telah ditegakkan.

Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa mahar itu tidak ditetapkan


jumlah minimalnya. Segeram tepung, cicin besi dan dua pasang sandal itu
sudah cukup untuk disebut sebagai mahar. Dan berlebih-lebihan dalam
mahar dimakruhkan karena yang demikian tidak banyak memberikan
berkah, bahkan seringkali menyulitkan. Jika seorang wanita telah
menyetujui ilmu seorang laki-laki dan hapalan seleruh atau sebagian Al-
Qur’an sebagai mahar maka yang demikian itu diperbolehkan.

Agama Islam mencintai manusia yang tidak melampaui batas


dalam memberikan mahar dan tidak berlebihan. Karena Islam tidak
menganjurkan mahar yang berlebihan, mahar mubah (boleh) apabila kedua
belah pihak telah mencapai kesepakatan hal tersebut tidak menjadi

32
masalah akan tetapi apabila salah satu diantara keduanya keberatan bahkan
menggagalkan pernikahan maka makruh hukumnya.

Ibnu Al- Qayyim menyatakan:

Artinya: “Fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman,


tempat, keadaan, dan adat istiadat”.

Pada hakikatnya mahar ini bukan merupakan tujuan. Janganlah


berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita, sesungguhnya
yang mempunyai kemuliaan di dunia, atau mempunyai ketakwaan di sisi
Allah SWT adalah lebih utama dari kalian yaitu Nabi Muhammad SAW
dan apa yang aku ketahui dari Rasulullah SAW ketika menikah dengan
istri-istrinya, dan menikahkan putri-putrinya tidak lebih dari 12 dirham.

“Dari Ibnu Abbas berkata: “ketika Ali hendak menikahi Fatimah


Rasulullah Saw bersabda: berikanlah ia sesuatu (sebagai maharnya). ia
menjawab, aku tidak memiliki apa-apa. Rasulullah bersabda: mana baju
besimu.” (H.R Abu Daud)”

33
Artinya: “Rasulullah SAW. Didatangi seorang perempuan kemudian
mengetakan:” wahai Rasulullah SAW. Sesungguhnya aku telah
menyerahkan diriku kepada engkau” maka berdirilah wanita itu agak
lama. Tiba-tiba berdiri seorang laki-laki dan berkata: “wahai
Rasulullah SAW. Jodohkan saja dia dengan aku sekiranya engkau tidak
kurang berkenan” Rasulullah SAW bersabda: “apakah kamu mempunyai
sesuatu, untuk kamu berikan kepadanya (sebagai mahar)?”. Laki-laki itu
menjawab:”saya tidak memiliki apa-apa selain sarungku ini”.Rasul
bersabda: kalu kamu berikan sarung itu kepadanya, tentu kamu duduk
tanpa busana, karena itu carilah sesuatu” laki-laki itu berkata: ”aku
tidak mendapati sesuatu “.Rasulullah bersbda (lagi):”carilah walaupun
cuman cicin dari besi”lalu laki-laki itu mencari, dan tidak mendapati
sesuatu. Lalu Rasul menanyakan lagi:”apakah kamu ada sesuatu dari
Al- Qur’an?”.maka ia menjawab:ya, surat ini, dan surat ini, menyebut
beberapa surat”. Maka Rasulullah SAW bersabda:”sesungguhnya aku
akan menikah kamu dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki
dari Al-Qur’an (Riwayat Ahmad).”

34
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwasanya mahar
tidak harus berupa uang dan emas tetapi bisa juga dengan benda-benda
yang lain seperti cincin besi, sepasang sendal jepit dan lain-lain. Mahar
juga bisa berupa pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an seperti yang
dijelaskan pada hadits tersebut.

L. Syarat-Syarat Mahar dan Kadar Jumlah Mahar

1. Syarat Syarat Mahar


Dalam memberikan mahar, calon pasangan dari pihak laki-laki
juga harus memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian mahar.
Adapun syarat-syarat mahar yaitu:
a. Harta atau bendanya berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak
berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya
mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap
sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah mahar
dengan khamer, babi, atau darah, karena semua itu haram dan
tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab artinya mengambil barang milik
orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk
memilikinya karena berniat untuk mengembalikanya
kelak.memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah,
tetapi akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar
dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya atau tidak
disebutkan jenisnya Oleh karna itu, mahar yang diberikan harus
benda yang berharga, suci, bukan barang rampasan serta dan
barang yang tidak jelas keadaannya. Karna mahar adalah salah

35
satu tolak ukur keseriusan dari laki-laki terhadap perempuan yang
akan dinikahi tersebut.

2. Kadar Jumlah Mahar


Islam tidak menetapkan besar kecilnya nilai mahar yang harus
diberikan kepada calon isteri, hal ini disebabkan adanya perbedaan
antara sesama manusia. Fauqah sepakat bahawa mahar tidak memiliki
ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak boleh berlebihan.
Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan
kesepakatan bersama . Tidak ada dalam syara’ suatu dalil yang
membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya. Ini
berarti bahwa batas ukuran mahar disesuaikan dengan kesepakatan
bersama antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan. Mahar tidak dianjurkan terlalu tinggi ataupun terlalu
sedikit namun mampu dan kesepakatan bersama.

Muhammad Syahrur juga menyebutkan bahwa Pemberian mahar


adalah termasuk bagian dari batas-batas hukum Allah sedangkan
nilainya sesuai dengan kesepakatan bersama dan tergantung oleh
kemampuan manusia dalam suatu masa. Bagi pihak yang mampu
memberikan cincin berlian atau emas, maka ia berhak
memberikannya. Tetapi bagi pihak yang kekurangan, ia tetap wajib
memberikan mahar meskipun berupa cincin dari besi.

Hal yang terpenting adalah bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu


yang bisa diambil manfaatnya, baik berupa uang atau sebentuk cincin
yang sangat sederhana sekalipun, atau bahkan pengajaran tentang Al-
Qur’an dan lainnya, sepanjang telah disepakati bersama antara kedua
belah pihak.

36
Ini berarti bahwa, nilai suatu mahar bukanlah terletak pada nominal
atau harga barang tersebut, tetapi bermanfaat atau tidaknya bagi kita
dalam kehidupan sehari-hari.

Dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya


perkawinan yang paling besar barakahnya adalah yang paling murah
maharnya”. (H.R Ahmad) Telah dipaparkan di atas bahwa suatu
perkawinan akan lebih diberkahi manakala sang mempelai perempuan
tidak berlebih-lebihan dalam meminta mahar kepada pihak laki-laki.
Dalam Islam tidak ada ketentuan yang pasti tentang standar minimal
dan maksimal dari mahar yang mesti dibayarkan oleh suami kepada
calon isteri. Islam hanya menganjurkan kepada kaum perempuan agar
tidak berlebih-lebihan dalam meminta jumlah mahar kepada suami.

Islam tidak menyukai penentuan mahar yang terlalu berat atau


diluar jangkauan kemampuan seorang laki-laki Karena dapat
membawa akibat negatif, antara lain:
1. Menjadi hambatan berlangsungnya nikah bagi laki-laki dan
perempuan, terutama bagi mereka yang sudah merasa cocok
dan telah mengikat janji, akibatnya kadang-kadang mereka
putus asa dan nekad mengakhiri hidupnya.
2. Mendorong atau memaksa pihak laki-laki untuk berhutang. Hal
ini bisa berakibat kesedihan bagi suami isteri dan menjadi
beban hidup mereka karena mempunyai hutang yang banyak.
3. Mendorong terjadinya kawin lari, demikianlah Islam sangat
menganjurkan perempuan agar tidak meminta mahar yang
terlalu berlebihan atau memberatkan laki-laki. Mahar bukan
tujuan dari pernikahan, melainkan hanya simbol ikatan cinta
kasih. Pernikahan dengan mahar yang ringan bisa membawa
keberkahan dalam rumah tangga. Menurut pendapat ulama
tidak ada perbedaan pendapat.

37
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari mahar, hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberikanya.orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberikan maskawin yang lebih
besar jumlahnya kepada calon istrinya sebaliknya, orang yang miskin
ada yang hampir tidak mampu memberinya, oleh karena itu,
pemberian mahar diberikan menurut kemampuan yang bersangkutan
disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan
menikahi untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar kamal menyebutkan
janganlah hendaknya ketidak sanggupan membayar mahar karena
besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu
perkawinan.

Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya mahar


tergantung pada kebiasaan masyarakat setempat. Adapun jika ketika
calon mempelai laki-laki tidak sanggup memenuhi permintaan mahar
dari pihak perempuan maka mahar bisa di tentukan seusai dengan
kesepakatan bersama.

Para fuqoha ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun


dalam akad nikah namun ada juga yang berpendapat bahwa mahar
hanya merupakan Syarat sah nikah dan bukan rukun antara lain yaitu:
1. Menurut Imam Syafi’iyah mahar merupakan kewajiban
seorang suami sebagai Syarat untuk memperoleh manfaat dari
istri, baik secara ekonomis maupun biologis.
2. Menurut Imam Malikiyah yang berpendapat bahwa mahar
adalah rukun dari akad nikah yang tidak adanya mengekibatkan
pernikahan tidak sah, akan tetapi sah pernikahanya walupun
tidak disebutkan mahar dalam akad nikah.

38
3. Menurut Imam Hanafiyah memaknai mahar sebagai suatu yang
tidak harus disebutkan pada akad nikah.
4. Menurut Asy-Syaukani mahar hanya kebiasaan lazim bukan
syarat ataupun rukun dari nikah, sedangkan hal yang bisa
dijadikan mahar adalah harta atau sesuatu yang secara hukum
dapat diambil manfaatnya.

Menurut kepala KUA di Desa Surabaya Udik Kecamatan


Sukadana Kabupaten Lampung Timur Bapak H. Feri Prastiana S.Ag
beliau berpendapat bahwasanya ketika seseorang akan melaksanakan
pernikahan terlebih dahulu mereka harus memenuhi syarat dan rukun
nikah diantaranya adanya mahar, karena mahar adalah sebagai
pelengap dari akad nikah yang sudah menjadi kebiasaan yang wajib
diberikan walapun maharnya hanya sepasang sandal atau cincin dari
besi. Seperti yang telah dijelas oleh Imam Malikiyah yang
berpendapat bahwa mahar adalah rukun dari akad nikah yang tidak
adanya mengekibatkan pernikahan tidak sah, akan tetapi sah
pernikahanya walupun tidak disebutkan mahar dalam akad nikah.

M. Pemberian Mahar Dengan Kontan Atau Utang

Mahar dibolehkan membayar secara tunai pada saat


berlangsungnya akad pernikahan, atau menunda pembayaran sebagianya,
dan menunda sebagian yang lain berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak atau sesuai dengan kebiasaan setempat yang berlaku. Namun
sebaiknya melunasinya atau paling sedikt membayar sebagian, segera
setelah berlangsungnya akad nikah.

Pemberian mahar bisa dilakukan secara tunai ataupun kredit atau


sebagian dibayar tunai dan sebagian lainya dihutang dengan syarat harus
diketahui secara detail misalnya laki-laki mengatakan “saya mengawinimu

39
dengan mahar seratus yang lima puluh saya bayar kontan sedangkan
sisanya dibayar dalam waktu setahun.

Menurut KHI mahar bukan merupakan rukun perkawinan, juga


bukan syarat perkawinan karena tidak terdapat pasal mengenai hal itu.
Didalam Pasal 34 ditegaskan bahwa kewajiban menyerahkan mahar bukan
merupakan rukun dalam perkawianan.”kata penyerahan” mengandung
berbagai penafsiran yakni pembayaran mahar dengan cara menyerahkanya
secara langsung kepada calon mempelai perempuan atau secara simbolik.
Ada juga Pembayaran mahar secara tidak kontan atau sama sekali tidak
menyerahkan mahar, hanya menyebutkan atau simbolik yakni tempo.

Pelaksanaan pembayaran mahar bisa dilakukan sesuai dengan


kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau
kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan
kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan sebagian, atau hutang
sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar kontan
sebagian.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua


perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih
berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara dihutang
keseluruhan. Segolongan lainya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda
pembayaranya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar
dimuka, mana kala akan menggauli istri.

Diantara Fauqoha yang membolehkan penundaan mahar cicil


(diansur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas
dengan yang telah ditetapkanya. Demikian pendapat Imam Malik ada juga
yang membolehkanya adanya perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’i.
Perbedaan pendapat tersebut karna pernikahan itu dapat disamakan dengan

40
jual beli dalam hal penundaan atau tidak dapat disamakan denganya.
Fauqoha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli berpendapat
bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau
perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan
jual beli berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh
dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.

Dalam hal kapan mahar wajib dibayar secara keseluruhan ulama


Hanafiyah, Malikiyah, Safi’iyah, dan Hambaliah sepakat tentang dua
syarat yaitu:
1. Setelah terjadinya hubungan badan
2. Matinya salah seorang diantara keduanya setelah
berlangsungnya akad.

Diluar hal tersbut terdapat perbedaan pendapat antara ulama


Hanafiyah dan Hambaliah mereka berpendapat bahwa kewajiban mahar
itu dimulai khalwat meskipun belum berlaku hubungan badan dalam artian
statusnya sudah disamakan dengan bergaulnya suami istri dalam banyak
hal.

Imam Maliki juga menentukan kewajiban membayar mahar


apabila seorang suami melakukan khalwat dengan isterinya dalam waktu
yang cukup lama (setahun) sekalipun dia belum mencampuri istrinya.
Menurut Imam Syafi’i tindakan suami isteri ditempat sepi tidak
berpengaruh apa-apa terhadap mahar maupun kewajiban-kewajiban lainya
kecuali memang benar-benar melakukan hubungan seksual dalam arti
yang sebenarnya.

N. Macam-Macam Mahar

41
Mahar adalah suatu yang wajib diberikan meskipun tidak dijelaskan
bentuk dan nilainya pada waktu akad. Dari segi dijelaskan atau tidaknya
mahar pada waktu akad, mahar terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-
laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. para ulama
sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin
dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu
bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-
pemberian itu tidak dibolehkan. Bagi suami yang menalak istrinya
sebelum dukhul, ia wajib membayar setengah dari mahar yang telah
diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam Al- Qur’an QS-Al-Baqarah
Ayat: (237):

Artinya: “Dan Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu


bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan
atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikahdan
pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan.”

Pernyataan diatas menjelaskan sebagai berikut:

42
1. Mahar menurut Syafi’i, Hambali, Imamiyah ialah bahwa segala
sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan
mahar, dan tidak ada batasan minimal dalam mahar.
2. Hanafi jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu
akad dilakukan dengar mahar kurang dari itu, maka akad tetap
sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham.
3. Menurut Maliki jumlah minimal mahar adalah tiga dirham, kalau
akad dilakukan kurang dari jumlah mahar tersebut, kemudian
terjadi percampuran maka suami harus membayar tiga dirham.

2. Mahar mitsli ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah


yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri karena pada waktu akd
nikah jumlah mahar belum ditetapkan bentuknya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 236

Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika


kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka.
orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang
patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang
yang berbuat kebajikan”

a. Menurut Hanafi dan Hambali manakala salah satu diantara

43
mereka meninggal dunia sebelum terjadi percampuran maka
ditetapkan bahwa si istri berhak atas mahar secara penuh.
b. Sementara menurut Maliki,dan Imamiyah tidak ada keharusan
membayar mahar manakala salah satu seorang di antara keduanya
meninggal dunia.

Menurut Sayyid Sabiq mahar mitsli diukur berdasarkan mahar


perempuan lain yang sama dengannya dari segi umurnya,
kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, kegadisannya,
kejandaanya dan negrinya sama ketika akad nikah dilangsungkan serta
sumua yang menjadi perbedaan mengenai hak atas mahar. Apabila
terdapat perbedaan maka berbeda pula maharnya seperti janda yang
mempunyai anak, janda tanpa anak dan gadis, maka berbeda pula
maharnya.

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mahar


dalam setiap perkawinan berdasarkan umur, kecantikan, harta, akal,
kegadisan, janda dan semua yang menjadi perbedaan mengenai hak
mahar. Mahar mistli diwajibkan dalam tiga kemungkinan, yaitu:
 Dalam keadaan suami tidak menyebutkan sama sekali
mahar atau jumlahnya ketika berlangsungnya akad nikah
 Suami menyebutkan mahar musamma namun mahar
tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau
mahar tersebut cacat seperti mahar dengan minuman keras
 Suami menyebutkan mahar musamma namun kemudian
suami isteri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar
tersebut dan tidak dapat terselesaikan.

Untuk menemukan jumlah dan bentuk mahar mistli tidak ada


ukuran yang pasti biasanya disesuaikan dengan kedudukan isteri
ditengah tengah masyarakat atau dapat pula disesuaikan dengan
perempua yang sederajat atau dengan saudaranya sendiri.

44
O. Bentuk Mahar

Pada pinsipnya mahar harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu


yang haram dipakai, dimiliki, atau dimakan. Ibnu rusyd mengatakan
bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar dan ini terkesan
harus berbentuk benda tidak dapat ditukar tampaknya tidak dibolehkan.
Namun, menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang bermanfaat tidak dinilai
dengen ukuran umum, tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu
dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini, calon istri mempunyai hak untuk
menilai dengan memilihnya ini sangat kondisional. Artinya, dia
mengetahui siapa dia dan siapa calon suami.

Selain dengan harta (materi), mahar juga boleh dengan selain harta
misalnya seperti pembacaan Al-Qur’an dan ke Islaman bentuk mahar
seperti ini dibolehkan dalam agama. Dasarnya adalah perbuatan Nabi
SAW. Yang membolehkan seorang laki-laki mengawini seorang wanita
dengan mahar mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada calon istrinya.

Firman Allah dalam QS. Al-Qashas Ayat (27):

Artinya: “Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud


menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu
cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu,
Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan
mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik”.

45
Golongan Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada beda antara
bolehnya khulu’ dengan mengembalikan semua maharnya kepada suami
atau sebagiannya, atau dengan kata lainnya. Tidak ada beda antara
pengembalian tunai hutang dan mafaat jasa tegasnya, segala yang boleh
dijadikan mahar boleh pula dijadikan ganti rugi dalam khulu’ berdasarkan
keumuman firman allah SWT QS. Al-Baqarah (229):

Artinya:“Maka tidaklah salah bagi mereka berdua (suami istri) tentang


apa yang dijadikan tebusan.”

Mahar yang disebut harta dan bernilai bagi orang adalah sah untuk
dijadikan mahar dengan demikian mahar bisa berupa emas, perak, barang
tetap seperti tanah yang diatasnya bisa dibangun rumah, semua itu sah
untuk dijadikan mahar biasanya disesuaikan dengan tradisi yang sudah
berlaku. Namun perlu diingat, jangan sampai ketentuan mahar dalam
tradisi membebankan pihak laki-laki, sehingga ia tidak bisa melakukan
perkawinan disebabkan pihak laki-laki, sehingga ia tidak bisa melakukan
perkawinan disebabkan ketidak mampuan membayar mahar karena terlalu
mahal. Dampak negatif dari mahar yang berlebihan bisa menimbulkan
dampak sosial yang berbahaya, sebab kebutuhan biologis antara
perempuan dan laki-laki tidak dapat terpenuhi. Padahal mereka sudah
merasa siap secara moril untuk melakukan pernikahan tersebut.

Artinya: “Tidak boleh memudaratkan diri sendiri dan tidak boleh


memudharatkan orang lain.”

P. Hikmah Disyariatkannya Mahar

46
Mahar disyari’atkan Allah untuk mengangkat derajat wanita dan
memberikanya penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai
kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah mewajibkan kepada laki-
laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha. Mahar
diwajibkanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada
umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala
perlengkapan yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi
manfaatnya kembali kepada suami juga. Oleh karena itu, merupakan suatu
relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri.

Apabila praktik yang berlaku di sebagian masyarakat, bahwa calon


mempelai laki-laki pada saat tunangan telah memberikan sejumlah
pemberian, demikian itu dilakukan semata-mata sebagai kebiasaan yang
dianggap baik sebagai tanda cinta calon suami kepada calon istrinya.

Hikmah disyariatkannya mahar adalah menunjukan bahwa


tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan
memberikan nafkah kepada istri, karena laki-laki adalah pemimpin atas
wanita dalam kehidupan rumah tangganya.

Islam mensyariatkan mahar bagi suami kepada istri sebagai tanda


kebaikan niat suci, dan penghormatan bagi dirinya, pengganti aturan atau
Tradisi Jahiliyah yang berlaku sebelum datang Islam. Saat itu perempuan
datang dipandang rendah dan hina. Bahkan tak jarang, hak perempuan di
injak-injak dan dirampas oleh suaminya. Padahal mahar adalah milik hak
penuh bagi istri yang tidak dapat diganggu gugat meskipun oleh walinya.

Perempuan mempunyai kebebasan dan wewenang penuh atas


hartanya ini untuk membelanjakan atau bershadaqah sesuka hatinya, jadi
mahar dalam Islam adalah lambang saling menghargai antara suami istri,
suami memberi dan istri menerima penghargaan itu. Namun berarti mahar
menjadi sesuatu yang menyulitkan sebab mahar bukanlah suatu syarat dan
rukun dalam akad perkawinan melainkan hanya salah satu hukum dan

47
akibat dari akad nikah, oleh karena itu penyebutan mahar pada saat nikah
bukan suatu yang wajib, bahkan suatu akad nikah yang dianggap sah.

Q. Pengertian Walimatul’Ursy
Walimah (١‫ )لوليمة‬artinya al-jam’u = kumpul, sebab antara suami
dan isrti berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat dan para tetangga.
Walimah (١‫ )لوليمة‬berasal dari bahasa arab ( ١‫ ) لوليم‬yang artinya makanan
pengantin, maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam
acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu
undangan atau lainnya.

Secara terminologi walimatul‘ursy adalah suatu pesta yang


mengiringi akad pernikahan, atau perjamuan karena sudah menikah.
Walimatul sendiri diserap dalam bahasa Indonesia menjadi walimah,
dalam fiqh Islam mengandung makna yang umum dan makna yang
khusus.

Makna yang umum adalah seluruh bentuk perayaan yang


melibatkan banyak orang. Sedangkan walimah dalam makna khusus
disebut dengan walimatul’ursy, yang mengandung pengertian peresmian
perkawinan yang tujuannya untuk memberitahukan kepada khalayak ramai
bahwa kedua pengantin telah resmi menjadi suami istri, sekaligus rasa
syukur kepada Allah atas berlangsungnya perkawinan tersebut.

Menurut Imam Syafi’i, bahwa Walimah terjadi pada setiap dakwah


(perayaan dengan mengundang seseorang) yang dilaksanakan dalam
rangka untuk memperoleh kebahagian yang baru. Yang paling mansyur
menurut pendapat yang mutlak, bahwa pelaksanaan walimah hanya
dikenal dalam sebuah pernikahan.

48
Menurut Sayyid Sabiq, walimah diambil dari kata al-walmu dan
mempunyai makna makanan yang dikhususkan dalam sebuah pesta
pernikahan. Dalam kamus hukum, walimah adalah makanan pesta
perkawinan atau tiap-tiap makanan yang dibuat untuk undangan atau
lainnya undangan.

Jadi bisa diambil dari suatu pemahaman bahwa pengertian


Walimatul’Ursy adalah upacara perjamuan makan yang diadakan baik
waktu akad, sesudah akad, atau dukhul (sebelum dan sesudah jima). Inti
dari upacara tersebut adalah untuk memberitahu dan merayakan
pernikahan yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan kebagian
kedua mempelai atau kedua keluarga.

R. Dasar Hukum Walimatul’Ursy dan Pandangan Ulama Mazhab Tentang


Walimatul’Ursy

Hukum walimatul‘ursy untuk pengantin adalah sunnah, ketentuan


ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Bahkan, sebagian ulama ada
yang mengatakan hukumnya wajib hal tersebut berlandaskan kepada
adanya perintah dari Rasulullah dan kita mempunyai kewajiban untuk
mendatangi undangan walimah tersebut.

Nabi Muhammad Saw mengatakan kepada Abdurahman bin Aufra.


ketika ia telah memberitahu kepada Nabi kalau ia telah menikah
berdasarkan kepada sabda beliau:

Artinya: “Adakanlah Walimah walaupun hanya dengan seekor Kambing”.


(HR. Muttafaq alaih).

49
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya
sunnah mu‟akad hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW:

Artinya: “Dari Anas, ia bekata “Rasulullah Saw Belum pernah


mengadakan Walimah untuk istri-istrinya, seperti beliau mengadakan
Walimah untuk Zainab, beliau mengadakan Walimah untuknya dengan
seekor kambing”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari riwayat lain, mengatakan:

Artinya: Dari Shafiyah binti Syaibah, bahwa ia berkata, "Nabi SAW


mengadakan walimah atas (pernikahannya) dengan sebagian istrinya
dengan dua mud gandum". (HR. Bukhari).

Beberapa hadits tersebut diatas menunjukan bahwa walimah itu


boleh diadakan dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal itu
ditunjukan oleh Nabi saw bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau
bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi
semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.

S. Pelaksanaan Walimatul’Ursy

Pada masa Rasulullah saw beliau selalu melakukan walimatul’ursy


setelah pelaksanaan akad nikah dan hanya memerintahkan sahabat
(pengantin pria) yang mampu untuk mengadakan walimatul’ursy. Hal ini
terlihat dalam salah satu hadist berikut:

50
Artinya: “Dari anas, ketika Rasulullah SAW melihat Abd. ar-Rahman ibn
‘Auf ada warna kuning, Rasulullah SAW bertanya: kenapa kuning-kuning
seperti ini? “Abd al-Rahman menjawab: aku baru saja menikahi seorang
perempuan dengan mahar emas seberat sebiji kurma. Rasulullah SAW
mengatakan: semoga Allah memeberikan berkah kepadamu dan
adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing”.

Dari hadits diatas, diketahui bahwa Rasulullah saw memerintahkan


kepada pengantin laki-laki yang baru saja menikah untuk melakukan
walimatur‘ursy. Di samping itu, pengantin laki-laki yang diperintah adalah
pengantin yang mampu untuk melakukan walimatul‘ursy tersebut. Dengan
demikian pelaksanaan walimatul‘ursy adalah pengantin laki-laki. Keluarga
pengantin laki-laki atau perempuan tidak dibebani untuk mengadakan walimatul
„urs anaknya, kecuali jika keluarga pengantin laki-laki atau perempuan dengan
kehendak sendiri melakukannya.

Pernikahan sebagai salah satu akad mempunyai konsekuensi


hukum terhadap halalnya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
sebelumnya haram. Oleh sebab itu, pelaksanaan akad pernikahan tidak
boleh disembunyikan dari masyarakat minimal masyarakat sekitarnya.

Hadits Nabi yang lain bahwa Rasulullah saw menyuruh agar


pernikahan itu diberitahukan secara terbuka dan jangan sembunyikan dari
masyarakat minimal masyarakat sekitar. Salah satu hadits dijelaskan
bahwa pernikahan harus diberitahukan kepada khalayak ramai:

Artinya: “Dari Aisyah r.a dari Nabi saw, beliau bersabda, umumkanlah
pernikahan ini! Rayakanlah di dalam masjid. Dan pukullah alat musik
rebana untuk memeriahkan (acara)nya”.

51
Berdasarkan hadits di atas, diarahkan agar pernikahan dilaksanakan
di masjid, karena masjid biasanya dihadiri oleh jama’ah untuk
melaksanakan ibadah. Diarahkan juga untuk memukul alat kesenian
(gendang) waktu pelaksanaan akad nikah, agar menarik perhatian orang
bahwa telah terjadi pernikahan.

Uraian di atas, maka walimah bertujuan untuk memperkenalkan bagi mereka


yang telah melaksanakan akad nikah (perkawinan) untuk berumah tangga,
agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan oleh ajaran agama Islam.

T. Hukum Menghadiri Undangan Walimatul’Ursy

Untuk menunjukan perhatian, memeriahkan dan mengembirakan orang


yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib
mendatanginya. Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah,
apabila:

1. Tidak ada udzur syar’i.

2. Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar.

3. Tidak membedakan kaya dan miskin.

Dasar hukum wajibnya mendatangi undangan walimah adalah hadist


Nabi saw sebagai berikut:

Artinya: “Jika salah seorang diantaramu diundang makan, hendaklah


dijabbah (dikabulkan), jika ia menghendaki makalanlah, jika ia
menghendaki tinggalkanlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

52
Artinya: Dari abu hurairah r.a bahwa Rasulullah Saw Telah bersabda:
“Barangsiapa tidak menghadiri undangan, sesungguhnya ia telah
durhaka kepada Allah dan Rasulnya.” (HR Bukhari)

Ada Ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan


adalah wajib kifayah. Namun ada juga ulama yang mengatakan Sunnah,
akan tetapi pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hukum
mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ulama adalah
sunnah muakkad. Sebagian golongan Syafi’i berpendapat wajib. Akan
tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa pendapat ini dari jumhur sahabat
dan tabiin karena hadist-hadits diatas memberikan pengertian tentang
wajibnya menghadiri undangan, baik undangan mempelai maupun
walinya.

Secara rinci, undangan itu wajib didatangi apabila memenuhi


syarat sebagai berikut:

a. Pengundangnya mukalaf, merdeka, dan berakal sehat


b. Undangannya tidak dikhususkan kepada orang-orang kaya saja,
sedangkan orang miskin tidak
c. Undangan tidak ditujukan hanya kepada orang yang disenangi atau
dihormati.
d. Pengundangnya beragama Islam (pendapat yang lebih sah)
e. Khusus pula dihari pertama (pendapat yang terkenal)
f. Belum didahului oleh undangan lain. Kalau ada undangan lain, maka
yang pertama harus didahulukan.
g. Tidak diselenggarakan kemungkarandan hal-hal lain yang
menghalangi kehadirannya.
h. Yang diundang tidak ada unzur syarak

53
Memperhatikan syarat-syarat tersebut, jelas bahwa apabila
walimah dalam pesta perkawinan hanya mengundang orang kaya saja,
hukumnya adalah makruh. Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya: “Dari abu Hurairah r.a bahwa Nabi Muhammad Saw Bersabda,
“Makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak
mengundang orang yang mau datang kepadanya (miskin), tetapi
mengundang orang yang enggan datang kepadanya (kaya). Barangsiapa
tidak menghadiri undangan, maka sesungguhnya ia telah durhaka kepada
Allah dan Rasul-Nya.” ( HR Muslim)

Dari riwayat lain juga disebutkan:

Artinya: “Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: ”Sejelek-jeleknya


makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang
kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin.” ( HR. Bukhari)

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

54
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang
perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau
keluarganya (walinya). Proses khitbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya
khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya
ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan
kepada keluarga atau wali pihak akhwat.
Kafaah diperuntukan bagi calon suami agar sederajat dengan calon
istrinya. Ini disyaratkan agar dapat menghasilkan keserasian dalam hubungan
suami-istri, kafaah disini mengandung arti bahwa laki-laki harus sama atau setara
dalam tingkatan ekonomi, pendidikan, ahlak dan tampilan wajah dan terutama
dalam hal agama pada saat memilih calon pasangan yang akan dilamarnya.
Kafaah merupakan hak perempuan dan walinya. Wali tidak bisa memaksa
mengawinkan perempuan dengan orang yang tidak sekufu kecuali yang
bersangkutan ridha.
Mahar merupakan pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.Agama
tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari
mahar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam
memberikannya. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau
utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian.
Walimatul’usry berasal dari bahasa arab (‫ ) الولم‬yang berarti makanan
pengantin. Jadi, inti maksud dari walimah ini adalah makanan yang disediakan
sebagai rasa syukur atas terselenggarakannya pernikahan (akad nikah). Ini juga
sebagai ungkapan rasa syukur pengantin maupun keluarga atas kebahagiaan
mereka. Hukum walimah itu sendiri adalah sunnah muakad. Ada beberapa ulama
yang berpendapat bahwa walimatul’ursy sunnahnya dilaksanakan selama tiga hari.
Sebagian ada lagi yang berpendapat bahwa walimatul’ursy dilaksanakan selama

55
tujuh hari. Namun yang terjadi pada masyarakat umumnya, walimatul’ursy
dilaksanakan satu sampai dua hari saja.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Abu Muhammad Jibril. Karakteristik Lelaki Shalih, cet.ke-1


Yogyakarta: Wihdah Press, 1999.

56
Alam, Andi Syamsu. Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan
Keluarga Sakinah, cet.II. Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006.

Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, alih bahasa oleh
Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.

Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah,
cet.ke-1. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

Departemen Agama RI. Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Jakarta: Dirjen


Bimmas dan Haji, 2001.

Ghazaly, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat. Bogor: Kencana, 2003

Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-
Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil, cet.1. Jakarta: Pustaka al-Sunnah,
2006.

Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002

Muzdhar, M. Atho’ (ed.). Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi


Perbandingan dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-Kitab
Fiqh, cet.I. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Umar. “Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam”. Skripsi
S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

57

Anda mungkin juga menyukai