Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KE NW-AN

MEMAHAMI KHILAFIAH

KELAS XI AGAMA 1
MA MUALLIMIN NWDI PANCOR
ANGGOTA KELOMPOK
1. M,SYAMSUL FARIJI
2. ABD.PATTAH AL HIPZI
3. ZAIDAN RAMDHONI
4. ALWINANDI
5. KHAIRUL KHABIB
6. RAHMAT ZAKIRIN AMIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang memahami khilafiyah
ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasihpada
ustadz nurman QH.S.pd. selaku guru mata pelajaran ke nw-an yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
sertapengetahuan kita mengenai khilafiyah dan kasusnya. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebabitu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya
tugas yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami khususnya maupun paramembacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurangberkenan.

PANCOR 16 JANUARI 2023

KETUA KELOMPOK 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB 1..............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................4
B. B.RUMUSAN MASALAH.................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
MEMAHAMI KHILAFIAH.........................................................................................................5
A. Pengertian dan Pembagian Khilafiah.................................................................................6
B.Sebab dan akibat terjadinnya ikhtilaf di kalangan ulama.................................................7
C.Masalah khilafiyah pada masa rasulullah saw....................................................................9
D. Ikhtilaf yang umum di Indonesia.......................................................................................10
E. Perbedaan Pendapat Ulama adalah Rahmat....................................................................12
F.Pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat..................................16
G.Aliran-Aliran (mazhab) dalam hukum islam....................................................................16
H.Kesatuan mazhab dalam hukum islam..............................................................................17
I. Sikap terhadap Masalah khilafiyah....................................................................................18
BAB III.........................................................................................................................................19
A. KESIMPULAN....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................20
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Khilafiyah adalah perbedaan pendapat mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
masalah keagamaan. Perbedaan pendapat seperti ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah
masih hidup, juga sampai Rasulullah telah wafat yang menyebabkan para sahabat sulit
menemukan sumber hukum yang terpercaya selain Al-Qur'an dan Hadis, sehingga para
sahabat menetapkan hukum itu secara individu.

Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia.
Di antara masalah khilafiah tersebut ada yarig menyelesaikannya dengan cara yang
sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Akan
tetapi dibalik itu, masalah khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di
kalangan umat Islam karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak
berdasarkan pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam
fiqh), dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang
sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa
memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi saw.,
dalam haditsnya:

Artinya:

‫اْخ ِتاَل ُف ُأَّمِنْي َر ْح َم ٌة‬

"Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat."

Hadits ini dapat diambil kesimpulan, bahwa orang itu bisa bebas memilih salah satu
pendapat dari beberapa pendapat, tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.

B. B.RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian khilafiah/ikhtilaf ?
2. Apa sebab-sebab terjadinnya khilafiyah/ikhtilaf di kalangan ulama?
3. Apakah khilafiyah sudah ada sejak masa rasulullah?
4. Apa ikhtilaf yang umum terjadi di indonesia?
5. Apakah perbedaan ulama adalah rahmat?
6. Apa pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat ?
7. Apa aliran-aliran dalam hukum islam itu?
8. Apa kesatuan mazhab dalam hukum islam itu?
9. Bagaimana kita menyikapi khilafiyah di ummat ini?

BAB II
PEMBAHASAN
MEMAHAMI KHILAFIAH
Organisasi NW telah sepakat dan komitmen dalam soal syari'ahnya dengan mengikuti hasil
ijtihad atau pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi'i radhiyallahu anhu. Dalam hal ini,
ketika jamaah NW mengikuti pendapat Imam Syafi'i, maka tentunya banyak dari pendapat beliau
yang bisa berbeda dengan pendapat Imam-imam mujtahid lainnya. Dan inilah yang dikenal
dalam Islam dengan sebutan istilah khilafiah

Khilafiyah dalam bahasa kita sering diartikan dengan perbedaan pendapat, pandangan, atau
sikap. Masalh khilafiyah, umumnya merupakan masalah yang hukumnya tidak disepakati para
ulama. Dan dalam masalah-masalah ikhtilaf atau khilafiyah itu hanya terjadi didalam furu'. atau
cabang dan ranting-runting perintah agama dan bukan mengenai po- kok-pokoknya (ushul).
Namun demikian, banyak orang yang kurang dapat membedakan anatara yang pokok dan yang
bukan pokok, sehingga banyak yang mengira masalah furu' itu masalah pokok. Atau banyak
yang fana- tik kepada furu' yang telah dibiasakan, sehingga mengira dan men- jadikan bahwa
yang telah dibiasakan itu adalah pokok. Misalnya masalah ushalli sebelum takbirotul Ihram dan
doa qunut pada shalat subuh, padahal ked- uanya bukan pokok.

Dan pada dasarnya juga, perbedaan pendapat di antara kalangan umat Islam bukan hanya
terdapat dalam masalah fiqih saja, tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal, seperti
siyasah (politik), dakwah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi di
kalangan umat Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya
perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara
halal dan haram.

Sejak awal sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan
hukum dalam beberapa masalah syari'ah, telah ter- jadi di kalangan para sahabat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam. Namun demikian, ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, mereka dapat dengan segera segera bertanya
dan mengembalikannya ke- pada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi setelah
beliau wafat, maka perbedaan pendapat dikalangan para sahabat dalam menetapkan hukum
masalah tertentu, maka para sahabat saat itu melakukan ijtihad sebagai solusi dalam menyelesai-
kannya. Dan ketika mereka berijtihad, tentunya memiliki hasil yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Sebagai contoh, sahabat Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para
saudara si mayat, jika mereka mewarisi bersama-sama dengan kakek si mayat, karena kakek diq-
iyaskan seperti ayah, di mana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalangi)
kewarisan para saudara. Sedangkan untuk Umar bin Khatab memberikan warisan dari si mayat
kepada para saudara tersebut, karena kakek tidak termasuk dalam kata-kata "ayah" yang
dinyatakan dalam nash.

A. Pengertian dan Pembagian Khilafiah


Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan, seperti tidak sepaham atau tidak
sama. Kata khilafiah adalah lawan dari ittifaq yang berarti kesepakatan. Dan secara etimologis
fiqhiyah, khilafiah di ambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih. Sementara secara termi-
nologis, khilafiah adalah perbedaan paham atau pendapat di kalangan para ama figh sebagai hasil
ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.

Untuk khilafiah ini bagi para ulama juga dimaknai sebagaimana asal katanya, yaitu
"perbedaan". Sebagian ulama membedakan antara khilafah dan khilaf dengan perincian yang
lebih khusus. Dan yang menjadi catatan penting bahwa khilafiah dalam bahasa fiqih bukan
diartikan berlawanan atau pertentangan tetapi perbedaan pendapat. Dengan demikian khilafah
merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.

Khilafiah terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf Mahmud (terpuji) dan ikhtilaf madzmum
(tercela). Ikhtilaf disebut terpuji, jika merupakan hasil ijtihad yang berlandaskan niat mencari
kebenaran dan memenuhi syarat dan adab-adabnya, bahkan meskipun hasil ijtihad tersebut
keliru.

Sebagaimana dalam hadits yang bersumber dari Amr bin Ash, Rasu- lullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Jika seorang hakim menghukumi (suatu urusan) kemudian dia beri- jtihad
dan benar maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihadi kemudian salah,
maka baginya satu pahala "... (HR. Bukhori dan Muslim)

Ikhtilaf yang terpuji adalah yang terjadi di antara para sahabat dalam masalah cabang-cabang
fiqh adalah seperti hak waris antara kakek dan saudara, jatuhnya talak tiga dalam satu waktu, di
beberapa masalah riba, dan lain sebagainya. Begitu pula perbedaan yang ada di antara imam
madzhab yang sangat banyak kita jumpai dalam kitab fikih. Maka perbe- daan yang terpuji ini
justru merupakan bentuk rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Adapun bentuk ikhtilaf mazhmumah (tercela) adalah hasil dari ijtihad yang keliru karena
bukan berlandaskan pada kebenaran, tetapi permusu- han, nafsu, fanatisme dan sikap tercela
lainnya. Maka kemudian mereka berusaha menafsirkan, mentakwilkan hal-hal yang sebenarnya
sudah final dan qoth'i hukumnya. Atau bahkan membuat dalil-dalil baru yang palsu untuk
menguatkan pendapatnya.

Ikhtilaf mazhmumah sering terjadi di faham-faham tertentu seperti Syi'ah, Khawarij,


Mu'tazilah dan sebagainya. Inilah bentuk ikhtilaf yang dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik,
dimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 72 golongan semuanya di neraka
kecuali satu golongan saja yaitu al-jamaah" (HR. Ibnu Majah)

B.Sebab dan akibat terjadinnya ikhtilaf di kalangan ulama

Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Dan
banyak hal yang menyebabkan terjadinya ikhti- laf atau perbedaan pendapat dalam ijtihadeya
para ulama' majtahid Da diantara hal-hal yang menjadi faktor umum yang menyebabkan
timbulnya ikhtilaf tersebut antara lain ialah: Pertama yaitu perbedaan pemahaman dan penafsiran
pada sebahagian nash-nash hukum pada sudut lafaz dan makna. Sebagaimana contoh dalam
firman Allah Ta'ala;

‫ المطلقات بتريمن بأنفسهن ثالثة قروء‬....


"Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (dari
pernikahan) selama 3 kali suci..." (QS. al-Baqarah 2:228)

Untuk ayat ditas, para ulama berbeda pendapat pada ayat Quru", apakah ia bermakna tiga kali
haid atau tiga kali suci. Lalu, dalam mengelu- arkan hukum terhadap ayat di atas, para imam
mazhab berbeda dalam me- mahaminya. Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa
perkataan quru' mewakili jangka waktu bersih dari haid Sedangkan Imam Abu Hani- fah
berpendapat, bahwa quru' itu adalah mewakili jangka waktu seseorang berada dalam haid.
Sementara Imam Ahmad, dalam pendapat pertamanya, mengatakan quru' adalah masa suci. Dan
dalam pendapat yang kedua, be- liau mengatakan bahwa quru' merupakan masa dalam keadaan
haid.
Kedua, perbedaan para ulama terhadap kualitas kedudukan dan ban- yaknya sumber-sumber
dalil yang mereka temui. Hal ini terjadi karena, hadits-hadits pada zaman imam mazhab masih
belum dapat dihimpunkan secara sistematik. Para imam mazhab terpaksa mencarinya sendiri
den- gan berhijrah ke berbagai tempat atau bertanya kepada yang lain. Imam Syafi'i, pernah
berpesan kepada muridnya, Ahmad bin Hambali: "Engkan lebih mengetahui akan hadits-hadits
daripada diriku. Oleh karena itu jika ada hadits yang sahih beritahulah aku meski hadits tersebut
dari Kufah, Basrah atau Syria. Beritahulah aku supaya aku dapat berpegang kepadan ya".

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah;

"Tidak seorangpun imam akan diterima seluruh pendapatnya dika langan umat-berbeda yang
terjadi pada sandaran mereka terhadap sunnah-sunnah Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam pada
perkara ke-cil at besar Mereka sem bersepakat dan yakin alas kewaji metati Rasulullah
Shalallahu Alaihi Walam Dan sesunggu perkataan setiap orang im boleh diambil dan boleh
ditolak kecua perkatan nabi Ahammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Tep ada orang yang
berpendapat dan pendaysanya itu menyelisihi ha shahih, maka diwajibkan ataya untuk
meninggalkan pendapatnya,

Ketiga, perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks da syar'i yang masih umum
yaitu masih bersifat dzonni. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati kesahihannya, namun
potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena
adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan
menginterpretasikannya, juga dalam melakukan peraduan atau pentarji han antara dalil tersebut
dan dalil-dalil lain yang terkait.
keumuman maksud nash-nash al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sebagai hujjah yang
terkandung di dalamnya kata-kata majaz dan hakikat yang menyebabkan banyak penafsiran
ulama' dalam mentarjihkan maksud perkataan-perkataan tersebut dan dalam kaedah Ushul Fiqh,
perkara ini digelar sebagai lafaz hakiki dan lafaz majazi (kiasan). Sebagai contohnya pada firman
Allah Ta'ala;

‫ أو لمسلم النساء‬.
".....Atau kamu sentuh perempuan.... "(QS.al-Maidah (5): 6)
Apakah yang dimaksudkan didalam ayat ini hanya sekadar bersen tuhan saja seperti
pandangan Ibnu Umar atau kiasan bagi persetubuhan seperti pendapat Ibnu Abbas?!
Keempat, perbedaan pendapat dibeberapa kaidah ushul fiqh dan be berapa dalil (sumber)
hukum syar'i dalam permasalahan yang tidak ada nash-nya dan memang diperselisihkan di antara
para ulama, seperti qiyas istihsan, mashlathah mursalah. Urf, Sadchudz-Dzara-i, Syar'u man
qablana, dan berbagai wujud pandangan fuqaha' yang mutasyaddid (terlalu ber hati-hati) dan ada
yang mutarakhis (memudahkan). Seperti contoh pada pandangan Ibnu Umar ketika berwudhu',
beliau akan memasukkan air ke matanya sehingga menyebabkan beliau buta dan menurut Ibnu
Abbas pula tidak merasakan perkara itu perlu dilakukan.
Kelima, perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubaha realita kehidupan, situasi,
kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal
ungkapan bahwa, suat fatwa tentang hukum syar'i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya

faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam
beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dikenal terdapat Qaul Qadiim
(pendapat lama, yakni saat be- liau tinggal di Baghdad Iraq) dan Qaul Jadid (pendapat baru,
yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad
rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang
hukum masalah-masalah tertentu

Dengan adanya ikhtilaf ini berdampak pada perbedaan istinbath dan jtihad hukum yang
ditetapkan oleh para sahabat, para ulama' serta gen- erasi setelahnya hingga saat ini. Sehingga di
dapati ada beberapa ulama yang sering berbeda pendapat dalam memberikan fatwa, namun
perbedaan pendapat ini tidak menjadikan para ulama' tersebut berselisih dan bermu- suhan,
berbeda dengan para pengikutnya yang cenderung fanatik akan madzhab yang dipilihnya hingga
terkadang menimbulkan perselisihan dan perdebatan.

C.Masalah khilafiyah pada masa rasulullah saw


Masalah ikhtilaf ini sendiri bahkan telah ada sejak zaman rasulullah, karena setiap makhluk
punya pemikiran dan pemahamannya masing-masing sendiri, Bahkan Dr.Makalah Agama Islam:
KhilafiyahYusuf Al Qaradhawy mengatakan: ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat.
Adalah Nabi Musa As, berikhtilaf dengan Nabi Harun As, hingga Nabi Musa As menarik
jenggot Nabi Harun As. ketika mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry.

Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang pemuda yang
sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri yang baik, apakah
diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niatnya.

Ikhtilaf juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasululloh, seperti halnya perbedaan
pendapat saat Rasululloh memerintahkan sahabat pergi ke Bani Quraidhob. beliau mengatakan:
‫ال ُيَص َّلْيَن أَح ٌد الَع ْص َر إاَّل ِفي َبِني ُقَر ْيَظة‬
Artinya: "Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kamu sholat Ashar kecuali di Bani

Quraidhok." Hingga tibalah waktu sholat sedangkan para sahabat masih didalam perjalanan.
Sebagian para sahabat berpendapat bahwa tidak akan sholat sampai di tempat tujuan, dan
sebagian lagi berpendapat bahwa beliau tidak bermaksud demikian kemudian melaksanakan
sholat. Maka, kejadian tersebut terdengan oleh Rasululloh dan beliau tidak mencela salah
satupun dari kalangan sahabat
Ikhtilaf juga terjadi saat Umar bin Khottob tengah menuju negeri Syam Ditengah perjalanan
diberitakan bahwa di negeri tersebut tengah terjangkit wabah penyakit tha'un. Oleh beliau
perjalanan dihentikan, kemudian bermusyawarah dengan para sahabat anshar dan muhajirin.
Pendapat yang kuat adalah keputusan untuk kembali pulang. Dan sebelumnya Abdurrahman bin
"Auf datang karena ada suatu keperluan. Ia pun berkata, "Aku punya penyelesaian masalah ini.
Bahwa Rasululloh

bersabda:

‫ وإن وقع وأنتم فيها فال تخرجوا فرارًا منه‬،‫إذا سمعتم به في أرض فال تقدموا عليه‬

"Jika kalian tengah mendengar suatu daerah tengah terjangkit suatu penyakit, maka jangan
datang kesana. Jika telah datang wabah ditempat mu, maka janganlah keluar dari tempat
tersebut." (HR. Bukhary dan Muslim dari Abdurrahman bin "Auf).

D. Ikhtilaf yang umum di Indonesia

di Negara Indonesia yang merupakan Negara dengan mayoritas berpenduduk muslim, pasti
terdapat perbedaan diantara umat islam yang ada di Indonesia. Salah satu ikhtilaf yang umum
dibahas di Indonesia adalah masalah pelaksanaan shalat tarawih dan quaut pada shalat subuh.
1. Tarawih
Ikhtilaf yang terjadi di ummat muslimm yang diindonesia pada shalat tarawih. ini secara garis
besar terletak pada jumlah rakaat dan teknis pelaksanaan rakaat tersebut. Jumlah rakaat yang
dilaksanakan adalah 8 atau 20 rakaat. Masing masing memiliki dalil yang kuat, pelaksanaan
shalat 8 rakaat merupakan kebiasaan rasulullah seperti pada hadist

"lalu aku berdiri disamping rasulullah, kemudian ia letakkan tangn kanannya pada kepala saya
dan digangnya telinga kanan saya dan ditelitinya, lalu ia shalat dua rakaat kemudian dua rakaat
lagi lalu dua rakaat lagi kemudian dua rakaat lalu shalat witir, kemudian ia tiduran menyamping
sehingga datang bilal menyerukan adzan..." (HR. Muslim)
Hadist ini juga merupakan dasar pelaksanaan shaala tarawih dengan salam di setiap 2 rakaat.
Ada pula hadist yang menerangkan bahwa rasul melakukan shalat tarawih dengan salam setiap 4
rakaat, dengan dalil!

"diriwayatkan dari abu salamah ibn abdulrahman bahwa, ia bertanya pada aisyah ra
bagaimana rasulullah shalat di bulan ramadhan. Aisyah menjawab: "baik dibulan ramdhan
ataupun bukan, rasulullah melakukan shalat lail tidak lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat
empat rakaat; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan.
Kemudian shalat lagi empat rakaat dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat
yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga rakaat." (HR. Al Bukhari)

Adapun yang melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat berlandasan pada bahwaa kaum
muslimin bersama umar bin khattab melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat ditambah 3
witir. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al muwattha' juz 1 yang artinya sebagai
berikut:

Dari Yazid bin Hudzaifah, "orang-orang (kaum muslimin) pada masa umar melakukan
tarawih di bulan ramadhan 23 rakaat"

2. Qunut

Qunut dalam shalat subuh merupakan salah satu yang diperselisihkan oleh para ulama.
Sebagian ulama tidak menerima dalil tentang qunut pada shalat subuh, sebagianya tetap
memandang bahwa hadist tentang qunut pada shalat subuh itu kuat. Adapaun dalil yang
diperselisihkan adalah:
"Dari anas bin malik ra berkata bahwa Nabi SAW melakukan qunut selama sebulan untuk
mendoakan kebinasaan arab, kemudian beliau meninggalkannya." (HR Muttafaq Alaih)
"dari Anas ra berkata bahwa nabi SAW berqunut kecuali mendoakan kebaikan suatu kaum atau
mendoakan keburukan."(HR Ibnu Khuzaemah)

Berikut pendapat 4 madzhab


1. Imam Hanafi berpendapat bahwa qunut pada shalat subuh tidak disyariatkan,menurut mereka
Rasulullah memang pernah melakukannya namun telah dihapuskan hukumnya
2. Imam Maliki berpendapat bahwa qunut pada shalat subuh hukumnya adalah mustahab
(disukai) dan fadhilah (lebih utama) karna Rasulullah dulu melakukannya
3. Imam Syafi'l berpendapat bahwa qunut pada shalat subuh adalah sunnah
4. Imam hanbali erpendapat bahwa qunut pada shalat subuh hukumnya tidak disunnahkan namun
hanya disunnahkan pada shalat witir saja.

E. Perbedaan Pendapat Ulama adalah Rahmat

Perbedaan pendapat atau masalah khilafiah dalam Fiqh adalah seb- agai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam.
Namun sebaliknya, perbedaan pendapat itu bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak.
Dan ini- lah yang dimaksudkan dalam haditsnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

‫اختالف ُأَّمِتي َر ْح َم ة‬

"Perbedaan pendapat (di kalangan) uinatku adalah rahmat."

Hadits di atas ini termasuk dari sekian hadits yang dihina dan kritik habis-habisan oleh ulama
Wahhabiyyah. Memang pengertian hadits ini ma- sih terjadi silang pendapat, sebagian
mengartikan perbedaan dalam urusan hokum dan sebagian lagi mengartikan perbedaan dalam
urusan pekerjaan masing-masing umatku. Namun, semua pengertian tersebut benar meski yang
kuat adalah pengertian yang pertama, yaitu perbedaan dalam hukum. Artinya, ikhtilaf ulama
adalah bentuk perluasan bagi umat manusia dalam memilih pendapat dari bermacam-macamnya
pendapat alama. Namun, jangan difahami bahwa ikhtilaf dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Hadits di atas dikeluarkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam al-Hujjah, al-Baihaqi dalam Risalah
Asy'ariyah tanpa sanad (mu'allaq). Dan begitu Juga al-Halimi, Qadhi Husain. Imam Haramain
dan lain-lain. Dan dalam menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat
pasti tapi menggunakan kata-kata "diriwayatkan". Dan sebenarnya ini sudah termasuk bukti
bahwasannya hadits di atas tidak maudhu'. Lantaran ti- dak mungkin mereka rela memasukkan
hadits palsu atau maudhu' kedalam kitab-kitab mereka. Padahal kita tahu, mereka adalah
kritikus-kritikus dalam bidang hadits yang handal.

Imam As-Subki mengatakan: "Hadits ini tidak dikenal para ahli had- its (tidak diriwayatkan
dengan sanad), dan aku belum menemukan sanad shahih, dha'if atau maudhu'." As-Suyuthi
dalam al-Jami' ash-Saghir [no. 288) setelah membawakan hadits tersebut mengatakan: "Mungkin
dike- luarkan pada sebagian kitab huffazh (penghafal hadits) yang belum sam- pai kepada
kami.". Pernyataan ini adalah bentuk kehati-hatian as-Suyuthi dalam menyikapi hadits yang
begitu masyhur dan dibawakan oleh ulama- ulama ahli hadits (tanpa sanad) yang masyhur
kealimannya dan terdepan di bidangnya. Bukan seperti sikap yang ditunjukkan Nashiruddin al-
Albani. yang bukan ahli hadits terpercaya, tapi dengan enteng dan tanpa beban menghina as-
Suyuthi dengan mengatakan: "Menurutku ini sangat jauh. karena konsekwensinya bahwa ada
sebagian hadits Rasulallah Shallallahu alaihi wa sallam. yang luput dari umat Islam. Ini tidak
layak diyakini seorang muslim." Sebuah statemen yang sangat tidak layak ditujukan kepada as-
Suyuthi.

Kehati-hatian Imam as-Suyuthi cukup beralasan, karena selain masy hur disampaikan ulama-
ulama terkemuka dan adil, makna haditsnya juga shahih, selain dikuatkan dengan hadits lain
(musnad) yang diriwayatkan oleh as-Suyuthi sendiri dalam al-Madkhal dan ad-Dailami dalam
Musnad al-Firdaus dari Abdullah bin Abbas secara marfu':

‫اْخ ِتالُف َأْص َح اِبي َر ْح َم ًة‬

"Perbedaan-perbedaan para sahabatku adalah rahmat."

Dan perbedaan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- adalah juga perbedaan
umat. Meski hadits ini dinilai lemah sanadnya oleh al-Iraqi, namun derajat kelemahannya dapat
terangkat atau menjadi kuat disebabkan adanya riwayat lain yang dibawakan putranya, yaitu Abu
Zur- 'ah dan juga Ibnu Sa'ad (mursal dha'if) sebagaimana masyhur dalam kai- dah ahli ushul dan
ahli hadits.

Sebagai bukti kebenaran isi kandungan hadits di atas adalah seperti yang tercatat dalam
Fatawi hal. 27 karya Syaikh Husain, Mufti Malikiyyah di Makkah yang di kutib dari al-Amir Ali
Abdul Baqi az-Zurqani dalam Hasyiyah Mukhtashar Khalil, bahwa Imam asy-Syafi'i berkata,
"Allah ti dak akan menyiksa seorang hamba karena (meninggalkan) sesuatu yang masih di
perselisihkan ulama dan perselisihan (perbedaan pendapat) ulama adalah rahmat bagi umat ini".

Umar bin Aziz menuturkan: "Bukan sesuatu menyenangkan bagiku, andai para shahabat-
shahabat Nabi Muhammad tidak berbeda-be da, karena jika mereka tidak berbeda-beda, maka
tidak akan ada rukhshah (dispensasi hukum)".

Maqalah mujaddid pertama ini menunjukkan perbedaan shahabat- shahabat Nabi tersebut
adalah dalam urusan hukum agama. Selain juga memberi faham bahwa perbedaan-perbedaan
adalah keuntungan (rahmat) bagi umat selanjutnya. Artinya, para as-Salaf as-Shalih membuka
ruang bagi manusia untuk berijtihad dan diperbolehkan ikhtilaf dalam ijtihad tersebut. Sebab,
andai ruang ijtihad tidak dibuka, tentu akan mempersem pit para mujtahidin, karena ijtihad dan
penyangkaan-penyangkaan tentu tidak bisa sama.

Dalam hal ini. jika ihktilaf dianggap tidak rahmat, tentu Umar bin Ab- dul Aziz adalah orang
yang keliru, tapi tidak ada orang yang akan berani menganggapnya keliru kecuali orang-orang
yang mulut dan hatinya tidak dikunci dengan adab dan syariat.

Maqalah umar tersebut juga menguatkan hadist marfu’berikut,

‫أصحابي بمنزلة النجوم في الَّس َم اء فبأيهم اقتديتم اهتديُك ْم َو اْخ ِتالُف َأْص َح ابي َلُك ْم َر ْح َم ة‬

"Sahabat-sahabatku adalah layaknya bintang-bintang di langit, den- gan yang mana kalian
mengikuti, niscaya akan mendapat jalan petun juk. Dan perbedaan-perbedaan sahabatku bagi
kalian semua adalah rahmat.
Untuk Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam al-'Aqa'id menandaskan: "Perbedaan imam-imam
(ulama-ulama) adalah rahmat dan kesepak- atan mereka adalah hujjah."

Lain lagi pendapat dari Imam Asy-Syathibi mengatakan: "Segolongan ulama salaf
menjadikan perselisihan umat dalam furu (masalah figh) adalah bagian dari rahmat, dan jika
termasuk bagian dari rahmat- maka ulama-ulama yang ikhtilaf tersebut tidak akan keluar dari
jalur dari bagian ahli rahmat."
Sementara Imam Asy-Sya'rani mengatakan, "Para ahli kasyf me nyatakan bahwa pendapat-
pendapat para ulama madzhab adalah sesuai dengan syariat secara kenyataan (nafs al-amr),
meskipun itu tidak diketa hui jelas oleh para pengikutnya. Dan pendapat-pendapat ulama
madhub tersebut adalah sesuai dengan syariat Nabi terdahulu. Maka jika ada yang mengamalkan
apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama-ulama maka dia seperti mengamalkan mayoritas
syariat-syariatnya para nabi." Penjelasan asy-Sya'rani tersebut memberi faham tentang legalnya

berbeda pendapat dalam ijtihad dan tidak di anggap sebagai sesuatu yang tercela Selanjutnya,
jika muncul pertanyaan yang mengatakan, jika ikhtilaf umat adalah rahmat, maka akan
bertentangan dengan larangan ikhtilaf oleh Allah dalam Q.S. Ali Imran: 103:

‫واعتصموا بحبل هللا جميعا وال تفرقوا‬

"Berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan jangan bercerai be- rai." (QS. Ali Imran (3):
103 Dan dalam Q.S. Ali Imran: 105.disebutkan juga;

‫وال تكوُنوا َك اَّلِذ يَن َتَفَّر ُقوا َو اْخ َتَلُفوا ِم ْن َبْع ِد َم ا َج اَء ُهُم اْلَبِّيَناُت‬

"Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mere ka." (QS. Ali Imran (3): 105

Terkait pertanyaan diatas, maka sebagai jawabannya adalah bahwa antara hadits dan dua ayat
tersebut pembicaraannya masing-masing ber-beda. Dua ayat tersebut berbicara tentang
terhinanya orang-orang yang berselisih (ikhtilaf) kepada Rasulnya, sebagaimana dalam hadits:
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancur karena banyak berselisih pada nabi-
nabinya." Dan umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak seperti itu, yakni berselisih
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena telah mengetahui ancaman adzab besar
bagi mereka yang menyelisih Nabinya. Mereka berselisih hanya dalam urusan hukum fiqh dan
ada pemaafan bagi yang salah seperti yang sudah dimak- lumi dalam hadits Nabi, Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Harun ar-Rasyid seringkali bermusyawarah dengan Imam Malik serta menganjurkan agar
supaya kitab al-Muwaththa' ditempelkan di dinding Ka'bah dan orang-orang diajak untuk
mengamalkannya. Namun, Imam Malik menolak dan mengatakan, "Jangan engkau lakukan,
karena shaha- bat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berselisih dalam masalah fiqh (furu')
dan sudah tersebar di daerah-daerah dan semuanya orang benar (dalam ijtihadnya)."
Diceritakan juga oleh Imam Zakariyya al-Anshari, dimana saat Khal- ifah al-Manshur berhaji
dan bertemu Imam Malik, beliau mengutarakan maksud hatinya yang berkeinginan supaya kitab
al-Muwaththa' ditulis dan disalin kemudian dikirimkan ke daerah orang-orang muslim dan
diperin- tahkan pada untuk mengamalkannya dan tidak boleh menggunakan yang lain. Imam
Malik menjawab, "Jangan engkau lakukan wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya pendapat-
pendapat (ulama) telah sampai pada mereka dan mereka juga mendengar hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam serta meriwayatkannya. Dan setiap golongan telah mengambil apa yang mereka
ketahui dan dijadikan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Biarkan mereka memilih
jalan untuk mereka masing-masing dalam setiap daerah."

F.Pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat

Hal-hal yang menimbulkan pemahaman yang berbeda terhadap nash-nash (dalil) pada garis
besarnya dapat dibagi menjadi dua macam. yaitu pengertian kata-kata tunggal dan pengertian
susunan kata (uslub). Kata-kata tunggal tersebut ialah kata-kata musytarak. suruhan dan
larangan, hakikat dan majaz, mutlak dan muqayyad. Adapun susunan kata-kata (uslib) yang
menim-bulkan pemahaman yang berbeda ialah pengecualian dan kata-kata umum, mafhum
mukhalafah, fahwul khitab, umumul muqtadha, istisna sesudah beberapa

jumlah kata-kata. Berikut ini contoh-contohnya:


a. Kata-kata musytarak adalah kata yang punya 2 pengertian atau lebih
b. Pengertian suruhan dan larangan
c. Kata-kata hakikat (arti sebenarnya) dan majazi (bukan arti sebenarnya)
d. Kata-kata muthlak (kata tanpa batasan tertentu) dan muqayyad (kata ada batasan tertentu)
e. Mathum Mukhalafah adalah kata kebalikan atau kata sebaliknya
f. Fahwal Khitah/Mafhum Muwafaqah adalah apabila yang dipahamkan lebih utama
hukumnya dari pd yang diucapkan, eth memukul org tua lebih tidak boleh hukumnya
g. Istitsma (pengecualian) sesudah serangkaian perkataan

G.Aliran-Aliran (mazhab) dalam hukum islam


Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat. tabi'in
hingga muncul madzhab madzhabfiqih pada periode ini. Seperti contoh hokum yang
dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa "iddah wanita
hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti
salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut Perbedaan
adalah suam hal yang wajar, karena keadaan tidak sama tentang pengetahuan dan pemalaman
terhadap nash-nash syariat dan tujuan-tujuannya, selain karena perbedaan tinjauan dan dasar-
dasar pertimbangan dalam menganalisis sesuatu persoalan hukum. Para Imam Mujtahid, seperti
Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbali, sudah cukup dikenal di Indonesia
oleh sebagian besar umat Islam. Bagi Umuwan. selain imam mazhab yang empat itu, juga
mereka kenal seperti Imam Daud Adz-Dzahiri, Syi'ah Zaidiyah, Syi'ah Imamiyah, dan mujtahid
lainnya. Akan tetapi, untuk mengetahui pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat
terbatas. Bahkan ada yang cenderung

hanya ingin mendalami mazhab tertentu saja. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan
alau karena ilmu yang diterima hanya dan ulama atau guru yang, menganut suatu mazhab saja.
Mengenai suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi hendaknya jangan
menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada
mazhab yang lain yang bersumber dari Alquran dan hadis. Hal ini dimaksudkan agar seseorang
tidak panatik kepada satu mazhab. Untuk mengenal tokoh-tokoh, pikiran- pikiran dan
pengaruhnya kepada kaum muslimin, maka perlu disebutkan secara singkat tentang mazhab-
mazhab tersebut, terutama empat mazhab yang terkenal di Indonesia.

1. Imam Hanafi
2. Imam Malik Bin Anas (93-179 H)
3. Imam Syafi'i
4. Imam Ahmad Bin Hambali (164 11-241 II)

H.Kesatuan mazhab dalam hukum islam


Perbedaan pendapat yang bisa dikatakan menimbulkan mazhab ialah "perbedaan pokok!'
yakni yang berpangkal pada perbedaan pendirian terhadap sumber-sumber hukum itu sendiri,
seperti perbedaan antara fuqaha Dhahiri yang mengakui kebolehan "riba" pada pertukaran beras
(dengan jumlah lebih pada salah satunya), dan kebolehan ini didasarkan atu "kebolehan asal"
(ibahah asliy ah), sedangkan jumhur fuqaha menganggap haramnya riba tersebut, karena mereka
mendasarkan pendapatnya pada qiyas, yakni mempersamakan beras dengan gandum yang sudah
ada ketentuannya dalam hadis. Dalam hal ini masing-masing pendapat hisa dianggap sebagai
mazhab, Kalau perbedaan pokok menjadi kriteria (ciri khas) mazhab, maka perbedaan-perbedaan
pendapat yang terdapat antara empat mazhab Sunni (Hanafi, Mauki, Syafi'i, dan Hambali)
seharusnya tidak perlu menimbulkan mazhab-mazhab yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama
lain, karena dasar-dasar dalam mazhab-mazhab tersebut sebenarnya sama. dan perbedaan yang
terjadi antara mereka hanya berpangkal pada pemahaman, pertimbangan, tinjauan dan cara-cara
pengambilan hukum dari sumber- sumbemya. Masing-masing dari mazhab empat tersebut
memakai Alquran, Alhadis, ijma', qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah, meskipun kadang-
kadang terjadi selisih pendirian mengenai perincian-perincian kecil sekitar sumber-sumber
tersebut. Dengan demikian, apabila kita teliti benar-benar, maka perbedaan pendapat antara
Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi'i atau Imam Malik, tidak berpangkal pada dasar-dasar
hukum. Bahkan pada garis

besaraya cara-cara pengambilan hukum pun tidak banyak berbeda. Penggabungan Imam-
imam Abu Yusuf. Muhammad bin al-Hasan, dan Zafar dengan Imam abu Hanifah tidak lain
adalah karena mereka berguru dan bergaul dengannya, menyiarkan pendapat-pendapatnya dan
menyatakan persetujuan pendiriannya dengan pendapat-pendapat tersebut, Imam Syafi'i sendiri
pada mulanya adalah pengikut Imam Malik dan baru memisahkan diri dan dianggap memisahkan
diri dengan mengemukakan mazhab bam, setelah ia mementingkan unnik menjelaskan pendapat
pendapatnya sendiri kepada orang banyak. Demikian pula halnya dengan Abu Tsaur dan At-
Thabari (mazhab-mazhab fiqhnya sudah musnah) pengikut mazhab Syafi'l Dengan berpijak pada
kesamaan dasar hukum, maka perbedaan pendapat tersebut tidak lebih dari pada perbedaan
pendirian yang terjadi antara mazhab-mazhab tersebut dan dengan demikian maka sumber-
sumber hukum yang dipegang adalah sama.

I. Sikap terhadap Masalah khilafiyah


Perbedaan merupakan suatu rahmat yang diberikan Allah kepada kita umat Islam. dengan
adanya perbedaan maka memperkaya khasanah pengetahuan agama kita. dalam permasalahan ini
solusi yang harus dicapai bukan pada mempersatukan pikiran dan pandangan umat ini karna
setiap orang memiliki keyakinan dan keteguhan terhadapa apa yang dipercaya, namun solusi
yang seharusnya dilakukan adalah bagiamana kita menyikapi perbedaan ini sehingga menjadi
rahmat bagi semua berikut adalah bagaimana sikap atau adab kita terhadap khilafiyah ini :
1. Menyadari bahwa perbedaan dalam hal furu' adalah suatu rahmat.
2. Mengikuti manhaj moderat / pertengahan dan menghindari berlebih-lebihan dalam agama
3. Tidak menjadi fanatic terhadap suatu manhaj atau madzhab
4. Fokus pada hal-hal yang telah jelas hukumnya dari hal yang mutasyabihat (meragukan)
5. Pentingnya membaca perbedaan di antara ulama
6. Penentuan dan pembatasan dalam pemahaman dan istilah.
7. Menyibukkan diri dengan masalah umat yang lebih besar dan prioritas
8. Saling bekerja sama dan membantu dalam hal-hal yang disepakati
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Perbedaan atau ikhtilaf sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sejak masa
sebelum rasulullah hadir di muka bumi, perbedaan ini terjadi karena perbedaan
pemahaman seseorang terhadap sesuatu, kamna perbedaan pemahaman inilah
maka akan menghasilkan hokum atau keputusan yang berbeda pula. Namun
perbedaan ynag terjadi antar umat islam janganlah menjadi pemicu perpecahhan
dan pertikaian, karna umat islam ini membawa satu visi menjadi rahmatan lil
alamin, kasih saying terhadap semesta
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/51930365/KHILAFIYAH

https://id.scribd.com/document/408395112/Makalah-KHILAFIYAH

Anda mungkin juga menyukai