Anda di halaman 1dari 21

KHILAFIAH

Tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah Seminar Agama

Disusun oleh :

Hanna Siti Nurmaulida


Royya Fawazi Durri

Program Studi Pendidikan Matematika


Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Suryakancana
Cianjur
2017

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 1


Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayahnya kepada kami, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah “K H I L A F I A H” tanpa halangan yang berarti dan
selesai tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan dan penulisan
makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan
baik.

Kami sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami berharap
saran dan kritik dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.

Dan kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri dan seluruh
pembaca pada umumnya.

Cianjur, 11 Februari 2017

penulis

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 2


Daftar Isi

Kata pengantar ........................................................................................... i

Daftar isi .................................................................................................... ii

BAB 1 Pendahuluan .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ………....................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ……….................................................................. 1
C. Tujuan ……………............................................................................. 2

BAB 2 Pembahasan................................................................................... 3

A. Pengertian Khilafiah ………………………………………………….. 3


B. Khilafiah dalam lintas sejarah ...……………………………………… 4
C. Sebab-sebab terjadinya khilafiah…...…………………………………. 9
D. Ikhtilaf yang diharamkan…...…………………………………………. 13
E. Upaya memahami dan menyikapi khilafiah ……..…………………... 15

BAB 3 Penutup .......................................................................................... 17

A. Kesimpulan ………………………………………………………….. 17

Daftar Pustaka ............................................................................................ 18

ii

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 3


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia.
Hal ini karena, manusia secara alami terlahir dalam keanekaragaman bentuk,
mulai dari jenisnya ada laki-laki dan ada perempuan, suku, bangsa, bahasa dan
budaya yang berbeda, hingga pada perbedaan karakter, pemikiran,
pengetahuan, dan ideology keagamaan. Perbedaan pendapat bersifat alamiah
dan ilmiah. Alamiah karena secara fitri cara pandang manusia itu tidak selalu
sama. Ilmiah, karena teks-teks syari’ah (al-Quran dan al-sunnah) memberikan
ruang-gerak bagi kemungkinan untuk berbeda pendapat.
Perbedaan merupakan interaksi yang tidak dapat dielakkan dalam roda
kehidupan umat manusia, dan dinilai suatu hal yang negatif. Perbedaan yang
disikapi secara emosional dan memperlihatkan sikap kebencian terhadap
perbedaan itu, maka hasilnya akan terus menjadi negatif dan akan
menghasilkan sikap intoleran yang akibatnya terjadi sebuah konflik. Namun,
jika perbedaan dipandang sebaga hal yang positif dan dinilai sebuah hal yang
lumrah dan wajar-wajar saja serta menghormatinya, maka pandangan tentang
perbedaan sebagai bentuk interaksi negatif itu akan berubah menjadi positif
dan akan melahirkan sikap toleran yang dampaknya terjadi sebuah kedamaian
dan keharmonisan dalam menyikapi perbedaan. Dalam konteks inilah, upaya
untuk mengembalikan fikih pada wataknya yang inklusif, toleran dan
beragam, menjadi agenda penting untuk terus diupayakan. Sumbersumber
inklusivitas dan intoleran yang dianggap berasal dari fikih harus segara dikaji
ulang dan diluruskan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian khilafiah?
2. Bagaimana sejarah khilafiah?
3. Apa saja faktor terjadinya khilafiah?

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 4


4. Apa saja khilafiah yang diharamkan?
5. Bagaimana cara menyikapi khilafiah?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian khilafiah
2. Mengetahui sejarah khilafiah
3. Mengetahui faktor penyebab adanya khilafiah
4. Mengetahui khilafiah yang diharamkan
5. Mengetahui cara menyikapi khilafiah

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 5


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KHILAFIAH
Khilafiah / ikhtilaf diambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih, tidak
sepaham. Sedangkan secara terminologis, khilafiah adalah perselisihan paham
atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan
dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.1
Kata ikhtilaf memiliki lawan dari kata ittifaq (kesepakatan, kesesuaian).
Ikhtilaf adalah bentuk masdar dari kata ikhtalafa dalam artian semua yang tidak
sama, maka pasti berbeda. Ikhtilaf juga mengandung arti tanazu’ (kontradiksi),
yang juga dikenal dengan kata munaza’ah dan mujadalah. Tegasnya, “tidak semua
yang berbeda pasti berlawanan, akan tetapi, semua yang berlawanan, pasti
berbeda. Hal ini karena, kata “berbeda” maknanya lebih umum dari pada kata
“berlawanan”. Adapun ikhtilaf dalam terminology yaitu perbedaan pandangan
(pendapat) seseorang dengan yang lainnya.2
Perbedaan pendapat dalam masalah hukum sebagai hasil penelitian ijtihad
tidak perlu dipakai sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam,
bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak.
Di dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa khilafiyah bagi ummatku adalah
rahmat. Teks riwayat tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Naṣr al-Maqdisī
berbunyi:3
“perbedaan pendapat dikalangan umatku adalah rahmat”
Namun, Menurut Muḥammad Luṭfī al-Sabbāgh, “Perbedaan pendapat itu
bukanlah raḥmah tetapi bencana. Akan tetapi ia merupakan hal yang tidak bisa
dihindari sehingga yang dituntut adalah selalu berada di dalam koridor syari„at
dan tidak menjadi sebab perpecahan, perselisihan dan perang.” Namun Ibn
Qudāmah al-Ḥanbalī menyatakan bahwa perbedaan di kalangan para imam adalah

1
Al-allamah Abdurahman, mukaddimah Ibnu khaldun (Jakarta, Dar al-kitab al-arabi, 2001) hal 504
2
Muammar Bakri, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtilaf Mazhab Fikih
(vol.14; Jurnal Al-Ulum,2014) hal.174
3
Jalāl al-Dīn „Abd al-Raḥmān b. Abī Bakr al-Suyūṭī, Jāmi„ al-Jawāmi„ (Jāmi„ al-Kabīr), Juz I, 1164.

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 6


rahmat sedangkan kesepakatan di antara mereka adalah ḥujjah. Pernyataan al-
Sabbāgh tersebut sejalan dengan salah satu Ḥadīts Rasulullah berbunyi:
Dari Abdullāh b. Masūd, katanya: saya mengadu, ya Rasulallah,
sesungguhnya keduanya menyalahiku dalam bacaan? Katanya: Beliau marah dan
wajahnya berubah dan bersabda, “Sesungguhnya penyebab kehancuran umat
sebelum kalian adalah karena khilafiyah” (Ḥ.R. Aḥmad.)
Jika demikian, maka seharusnya perbedaan atau khilafiyah yang terjadi
selama ini harus dicarikan solusi agar tidak hanya sejalan dengan penyataan
Rasulullah, tetapi juga sejalan dengan misi beliau sebagai rahmat yang bersifat
universal.4

Menurut KH Tengku Djurqornaian Khilafiah berasal dari kata khilaf yang


artinya berbeda pendapat. Dan para ulama telah menggaris bawahi bahwa yang
boleh berbeda pendapat itu adalah orang alim. Kilaf adalah perbedaan pendapat
yang berdasarkan pada dalil-dalil yang kuat. Khilaf itu hadisnya sama, dalilnya
sama, pahamnya beda.

B. KHILAFIAH DALAM LINTAS SEJARAH


1. Khilafiah Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Di masa nabi sendiri, hal-hal yang melahirkan khilafiyah seringkali terjadi.
Bahkan khilaf terjadi di depan Rasulullah SAW sendiri. Beberapa di antaranya
adalah :

a. Shalat Ashar di Perkampungan Bani Quraidhah


Dalam peristiwa shalat Ashar di perkampungan bani Quraidhah, kita dapat
mengambil pelajaran berharga bahwa urusan khilafiyah tidak pernah pandang
bulu. Bahkan para shahabat nabi yang mulia sekalipun tidak pernah sepi dari
urusan itu. Saat itu para shahabat terpecah dua, sebagian shalat Ashar di
perkampungan Bani Quraidhah, meski telah lewat Maghrib, karena pesan nabi
adalah:

4
Ariffudin Ahmad, Tadabbur al-Ḥadīts: Solusi Masalah Khilafiyah (vol.2; Ilmu Ushuluddin,2015)
hal 224.

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 7


"Janganlah kalian shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraidhah."
Namun sebagian yang lain tidak shalat di sana, tetapi di tengah jalan
namun pada waktunya. Lalu apa komentar nabi, adakah beliau membela salah
satu pendapat? Jawabnya tidak. Beliau tidak menyalahkan kelompok mana
pun karena keduanya telah melakukan ijtihad dan taat kepada perintah. Hanya
saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda beliau. Jadi, khilaf di masa
kenabian sudah terjadi dan tetap menjadi khilaf.
Dari hadits ini, jumhur mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka
yang sudah berijtihad, karena Rasulullah SAW tidak mencela salah satu dari
dua kelompok shahabat tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan bahwa para ahli fiqih berselisih
pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok
menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya.
Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka
menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan
yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut.
Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di
jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera
mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera
menuju keridhaan Allah SWT dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu
menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua keutamaan; keutamaan
jihad dan shalat pada waktunya.
Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin
adalah mereka udzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada
dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah menjalankan perintah.
Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sementara yang segera
mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak mungkin.
Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan dua dalil. Mereka

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 8


memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga
menerima pahala.5

b. Khilaf Perang Badar Dalam Pemilihan Posisi


Dalam kasus penempatan pasukan perang di medan Badar, terjadi
perbedaan pendapat antara Rasulullah SAW dengan seorang shahabat.
Menurut shahabat yang ahli perang ini, pendapat Rasulullah SAW yang bukan
berdasarkan wahyu kurang tepat. Setelah beliau menjelaskan pikirannya,
ternyata Rasulullah SAW kagum atas strategi shahabatnya itu dan bersedia
memindahkan posisi pasukan ke tempat yang lebih strategis.
Di sini, nabi SAW bahkan menyerah dan kalah dalam berpendapat dengan
seorang shahabatnya. Namun beliau tetap menghargai pendapat itu. Toh,
pendapat beliau SAW sendiri tidak berdasarkan wahyu.

c. Khilaf Masalah Tawanan


Masih dalam perang yang sama, saat perang hampir berakhir, muncul
keinginan di dalam diri Rasululah SAW untuk menghentikan peperangan dan
menjadikan lawan sebagai tawanan perang. Tindakan itu didasari oleh banyak
pertimbangan, selain itu juga karena saat itu belum ada ketentuan dari langit.
Maka nabi SAW bermusyawarah dengan para shahabatnya dan diambil
keputusan untuk menawan dan meminta tebusan saja. Saat itu hanya satu
orang yang berbeda pendapat, yaitu
Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu. Beliau tidak sepakat untuk
menghentikan perang dan meminta agar nabi SAW meneruskan perang hingga
musuh mati semua. Tidak layak kita menghentikan perang begitu saja karena
mengharapkan kekayaan dan kasihan. Tentu saja pendapat seperti ini tidak
diterima forum musyarawah dan Rasulullah SAW serta para shahabat lain
tetap pada keputusan semula, hentikan perang.

5
Ahmad Sarwat. Fikih Ikhtilaf: Panduan Umat di Tengah Belantara
Perbedaan Pendapat. (Jakarta: Darul Ulum al-Islamiyah. 2007) hal. 13-14

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 9


Tidak lama kemudian turun wahyu yang membuat Rasulullah SAW
gemetar ketakutan, karena ayat itu justru membenarkan pendapat Umar bin
Al- Khattabradhiyallahu 'anhu dan menyalahkan semua pendapat yang ada.
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Anfal: 67)6

2. Khilafiah Pada Masa Nabi Sebelumnya


Kalau para shahabat nabi Muhammad SAW sering berbeda pendapat,
maka ternyata para nabi pun sering berbeda pendapat.

a. Kisah Perbedaan Pendapat Antara Musa Dengan Harun


Lihat bagaimana nabi Musa as. berselisih dengan saudaranya, nabi Harun
as. Bahkan sampai ditariknya kepala Nabi Harun as. dengan marah dan
kecewa.
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah
dan sedih hati berkatalah dia, "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu
kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji
Tuhanmu? Dan Musa pun melemparkan luh-luh itu dan memegang
kepala saudaranya sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata, "Hai
anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan
hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu
menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu
masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim"(Q. Al-A'raf:
150)
Konon Nabi Musa 'alaihissalam kecewa dengan sikap saudaranya, Nabi
Harun 'alaihissalam yang dianggapnya terlalu lemah dan tidak bisa bersikap
tegas di hadapan kedegilan kaum mereka, kaum yahudi.

6
Ibid hal. 15-16

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 10


Padahal keduanya nabi dan sama-sama dapat wahyu dari Allah SWT.
Tetapi urusan berbeda pendapat dan pendekatan, adalah urusan yang bersifat
manusiawi. Sangat mungkin ikhtilaf terjadi di kalangan para nabi
'alaihimussalam.
Bukankah kisah Musa as dengan nabi Khidhir as juga demikian? Keduanya
selalu berselisih dan beda pendapat dalam perjalanan. Musa as selalu
mempertanyakan semua tindakan shahabatnya itu, meski pada akhirnya beliau
selalu harus dibuat mengerti. Tetapi intinya, beda pemahaman itu adalah
sesuatu yang wajar dan mungkin terjadi, bahkan di kalangan sesame para nabi.
Dan tidak ada kebenaran tunggal dalam hal ini.7

3. Khilafiah Diantara Para Malaikat


Bahkan sesama malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekali pun tetap
terjadi beda pendapat. Masih ingat kisah seorang yang taubat karena telah
membunuh 99 nyawa ditambah satu nyawa?
Dalam perjalanan menuju taubatnya, Allah mencabut nyawanya. Maka
berikhtilaflah dua malaikat tentang nasibnya. Malaikat kasih sayang ingin
membawanya ke surga lantaran kematiannya didahului dengan taubat nashuha.
Namun rekannya yang juga malaikat tetapi job-nya mengurusi orang pendosa
ingin membawanya ke neraka, lantaran masih banyak urusan dosa yang belum
diselesaikanya terkait dengan hutang nyawa.
Bayangkan, bahkan dua malaikat yang tidak punya kepentingan hewani,
tidak punya perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan
Allah SWT untuk berbeda pendapat. Walhasil, ikhtilaf itu adalah sesuatu yang
melekat pada semua makhluq Allah, dan bukan hal yang selalu jelek atau hina.
Ikhtilaf di kalangan umat Islam adalah sesuatu yang nyaris tidak mungkin hilang,
apalagi di zaman sekarang ini.8

7
Ibid hal. 17-18
8
Ibid hal. 19

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 11


C. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT
Berbagai-bagai sebab telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan
fuqaha, yang pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitupertama,
perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum, apakah bisa
dijadikan dasar penetapan hukum atau tidak. Kedua, perbedaan pendirian tentang
aturan-aturan bahasa dalam pemahaman terhadap sesuatu nash (Alquran dan
Alhadits).

1. Kedudukan Sumber-Sumber Hukum


Sumber-sumber hukum yang diperselisihkan kedudukannya tersebut ialah
hadits Nabi saw, ijma', qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan 'urf. Tentang
kedudukan Alquran sebagai sumber hukum, tidak dipermasalahkan lagi dari
semua seginya. Akan tetapi dari segi nash-nash Alquran bisa terjadi
perselisihan pendapat, dan hal ini termasuk dalam pembicaraan tentang sebab
yang kedua. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diperincikan perselisihan-
perselisihan yang timbul sekitar kedudukan sumber-sumber hukum, di
antaranya mengenai hadis, ijma', dan qiyas sebagai berikut.

a. Hadits
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum dalam garis besamya ddak lagi
diperselisihkan oleh para fiiqaha. Akan tetapi, perselisihan tnercka bisa terjadi
mengenai segi-segi lain seperti berikut:
1) Sampai atau tidaknya sesuatu hadis

2) Percaya atau tidaknya terhadap seseorang perawi hadis


Sebagaimana dimaklumi, tidak semua perawi hadis mempunyai
tingkatan yang sama tentang dapat dipercaya dan tentang ketelitian serta
ingatannya. Bahkan di antaranya ada yang diragukan kejujurannya, tidak
kuat ingatan dan ketelitiannya atau periwayatannya menimbulkan keragu-
raguan, karena hadis yang diriwiyatkan berlawanan dengan kctentuan
Alquran atau hadis yang masyhur. Keadaan scmacam ini terjadi pada

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 12


zaman sahabat, yakni pada masa-masa pertama Islam dan pada masa
sesudahnya lebih-lebih lagi keadaannya.

3) Sahih atau tidaknya sesuatu hadis


Sebagai akibat dari banyaknya periwayatan terhadap hadis-hadis
nabi, bermacam-macam keadaan si perawi dari segi kejujuran, ketelitian
dan ingatan, bermacam-macamnya jalan periwayatan hadis atau tidaknya,
sampai atau tidaknya ujung periwayatan hadis kepada rasul,
mendengarnya si perawi dari gurunya langsung atau tidak,
penyendiriannya periwayatan seseorang perawi atau ada orang lain yang
meriwayatkan hadis yang sama, dan keadaan-keadaan lain dari pada
periwayatan hadis, sebagai akibat dari pada itu semua, maka timbullah
pembagian hadis nabi kepada hadis-hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis Ahad dibagi menjadi hadis sahih, hasan, dan dha'if.
Terhadap hadis sahih dan hasan, maka tidak ada seorang fuqahapun yang
tidak memakainya, akan tetapi perselisihan btsa terjadi mengenai sahih
atau tidaknya sesuatu hadis, di mana menurut seseorang dianggap sahih
sedang menurut orang lain dianggap tidak sahih. Perbedaan ini disebabkan
karena perbedaan penilaian terhadap hal-hal yang menyangkut segi
periwayatannya, seperti seorang perawi bisa dipercaya oleh seseorang
sedang oleh orang lain tidak, atau ia dianggap mendengar sendiri dari
gurunya, sedang menurut penyelidikan orang lain tidak mendengar sendiri,
atau seseorang perawi bukan dari golongannya sendiri, atau adanya
penetapan syarat-syarat kesahihaan sesuatu hadis yang tidak dianggap
perlu oleh orang lain.

4) Pembagian hadis dha’if


Para fuqaha membagi hadis dha'if menjadi dua bagian, yaitu
pertama hadis dha'if yang lemah sekali sehingga tidak memberikan dugaan
sedikitpun terhadap kebenaran isinya. Hadis semacam ini tidak boleh
dipakai dengan kesepakatan para fuqaha karena memperhatikan sesuatu

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 13


hukum kepada syara' harus didasarkan dalil yang pasti (yakin) atau dalil
dhanny (dugaan kuat) yang menunujukkan bahwa hukum tersebut adalah
hukum dari Tuhan. Kedua, hadis dha'if yang tidak begitu lemah, dan hadis
menurutt ulama berbeda-beda pendapat.
Menurut jumhur fuqaha, hadis tersebut boleh dipakai, sedang
menurut fuqaha lain seperti fuqaha Dhahiri, hadis tersebut tidak boleh
dipakai, karena hadis tersebut menimbulkan keragu-raguan terhadap
kedudukannya sebagai landasan perbuatan kita. Ada pula fuqaha yang mau
memakai hadis dha'if, apabilabanyak jalannya dan ada penguatnya, atau
apabila sesuai dengan hasil qiyas.

5) Pelawanan antara dua hadis ahad


Sebenarnya antara hukum-hukum syara, tidak terdapat perlawanan
satu sama lain, sebab kesemuanya berasal dari Tuhan, baik berupa Alquran
maupun Alhadis. Kalau kita melihat adanya perlawanan/perbedaan antara
dua hadis, maka hal ini disebabkan karena kita tidak mengetahui suasana
keluarnya nash-nash tersebut atau perkara-perkara yang karenanya hadis-
hadis tersebut dikeluarkan, atau tidak diketahui mana yang dahulu dan
mana yang kemudian atau karena kita tidak mengetahui secara pasti
pengertian (maksud) dari dua hadis tersebut. Boleh jadi salah satu hadis
bcrhubungan dengan sesuatu peristiwa, sedang hadis lain berhubungan
dengan peristiwa lain.9

b. Perbedaan Pendapat Karena Ijma


Pada masa rasulullah saw., tidak ada pembicaraan tentang ijma'
sebagai sumber hukum syara', karena sumber segala hukum syara' adalah
Rasulullah saw. Akan tetapi setelah Rasulullah saw. wafat, dan setelah
kaum muslimin mengalami sesuatu peristiwa hukum yang tidak pernah
dialami sebelumnya yang dengan sendirinya tidak pernah menanyakan
hukumnya kepada Rasulullah saw., maka bagaimanapun juga mereka

9
Al-allamah Abdurahman, op cit, hal 505

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 14


harus mencari ketentuan hukumnya. Bagi mereka tidak ada cara lain
kecuali harus mempelajari dan menggali apa yang telah ditinggalkan oleh
Rasulullah saw, berupa Alquran dan hadis disamping menerapkan aturan-
aturan pokok yang telah mereka peroleh selama pergaulan dengan Nabi
saw. Jawaban mereka yang mempelajari hukum peristiwa-peristiwa yang
terjadi kadang-kadang sama dan merupakan kebulatan pendapat, tapi
kadang-kadang jawaban, mereka juga berbeda-beda. Terhadap pendapat
yang masih diperselisihkan, maka diserahkan kepada khalifah untuk
dipakai atau tidaknya.10

c. Perbedaan Pendapat Karena Qiyas


Dengan wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat terpaksa
harus memeras otak untuk mengetahui hukum sesuatu peristiwa yang
dihadapi. Kalau peristiwa tersebut ada kemiripannya dengan apa yang
pernah terjadi pada masa rasul, maka mereka tinggal menerapkan hukum
yang telah ada, dan kalau tidak ada kemiripannya, maka mereka dalam
menetapkan hukum kadang-kadang berpedoman pada jiwa syariat yang
umum, atau menghapuskan kesempitan tanpa mempunyai syarat-syarat
dan aturan-aturan penetapan hukum yang dikenal pada masa kemudiannya.
Cara-cara yang sama juga dipakai oleh fuqaha-fuqaha angkatan
berikutnya. Akan tetapi, pada masa kemudian timbullah orang-orang yang
memakai cara-cara tersebut bukan pada tempatnya, dan sebagai akibatnya
sudah barang tentu adalah penetapan hukum yang tidak tepat, Maka
timbullah pembahasan tentang dalil-dalil hukum, syarat-syarat
pemakaiannya dan cara-cara menerapkannya. Dari sini maka timbullah
perselisihan tentang beberapa macam dalil (sumber) hukum, dan diantara
ialah qiyas.11

10
ibid
11
ibid

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 15


D. IKHTILAF YANG DIHARAMKAN
Ada beragam bentuk ikhtilaf di tengah umat. Tentunya tidak semua bentuk
ikhlitaf diterima dan ditolelir keberadannya. Ada beberapa jenis-jenis ikhtilaf
yang diharamkan dan kita wajib menghindari diri dari sifat dan sikap itu.
Pertama, nash yang sudah qath’i dan tidak membutuhkan lagi multi-tafsir.
Bahkan para ulama telah sepakat (ijma’) di dalamnya.12 Hukum qath’i ini terdapat
tiga macam;
1. Hukum-hukum berkenaan dengan aqidah seperti, tauhid, kenabian dan semua
yang berhubungan dengan pokok-pokok ajaran agama (ushuluddin).
2. Hukum-hukum yang bertalian dengan amaliyah yang sudah jelas dalilnya di
dalam nash, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat dan juga tentang
pengharaman khamar, membunuh dan mencuri.
3. Kaidah-kaidah umum yang bersumber dari syariat Islam yang dibuktikan
dengan adanya nash yang jelas tanpa ada lagi pertentangan atau istinbath
setelah melewati pengamatan mendalam misalnya, kaidah yang mengatakan
“la dharara wa la dhirara” (tidak ada yang mudharat tanpa ada yang
mudharat).13
Kedua, ikhtilaf yang diteruskan dengan keras kepala, sombong, takabbur,
merasa benar sendiri dan semua orang yang tidak sama pendapatnya dengan
dirinya dianggap salah, bodoh, ahli bid'ah, ahli neraka, murtad, keluar dari manhaj
salaf, melawan sunnah, bahkan kafir. Naudzu billah min zalik.
Sikap merasa diri paling benar dan paling mendapat hidayah dari Allah
adalah sikap seorang yang kurang ilmu dan kurang sifat tawadhu'. Dia merasa
hanya dirinya saja yang punya kebenaran, sementara pendapat siapa pun yang
dianggapnya bertentangan dengan pendapat dirinya, harus dilukai dengan kata-
kata tajam yang merendahkan, menghinakan, melecekan, kalau perlu dengan
memboikotnya seolah orang lain itu musuh agama.
Ketiga, ikhtilaf yang tidak pakai ilmu tetapi mengandalkan taqlid dari
seseorang tokoh, padahal jauh dari disiplin ilmu yang benar. Berbeda pendapat
12
Ahmat Sarwat, op. cit. hal. 20
13
Muhammad Ali hasyim al-Asadi. “Al-am wa atsaruhu fi Ikhtilaf al-Fuqaha” Jurnal Kufa Studies
Center, Kufa University.Volume: I. Tahun 2010.

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 16


bahkan berdebat sementara dirinya bukan ahli di bidang itu. Ini tentu kesalahan
maha fatal dan kekonyolan maha konyol. Kalau ada ribuan ahli astronomi
sepanjang masa berijma' bahwa pusat edar tata surya adalah matahari dan bumi
mengelilinginya, tentu kita lebih percaya.
Sementara kalau ada seorang kiyai yang mengatakan bahwa bumi itu rata
seperti meja dan pusat edar tata surya adalah bumi dan matahari mengelilingi
bumi, boleh jadi bukan ayatnya yang salah, tetapi ilmu pengetahuan si kiyaiitu
yang out of date alias ketinggalan zaman.
Setidaknya, si kiyai itu harus mawas diri karena ilmu yang dikuasainya
bukan ilmu falak dan bukan astronomi. Beliau tidak punya teropong, tidak punya
teleskop, tidak pernah naik wahana luar angkasa, tidak pernah membayangkan
sebuah satelit yang mengorbit bumi. Dan kasus seperti ini, sayangnya, sering
terjadi lantaran fanatisme buta dan taqlid bukan pada tempatnya. Kalau kiyai
bilang langit itu hijau, maka santrinya akan bilang hijau, walau pun langit itu biru.
Maka taqlid tidak karuan kepada kiyai adalah sebuah kesalahan dalam berikhitlaf.
Mazhab fiqih bukanlah sekte atau pecahan kelompok dalam agama.
Mazhab fiqih adalah metologi yang sangat diperlukan dalam memahami nash-
nash agama. Slogan untuk mengambalikan segala urusan kepada Quran dan
Sunnah memang mudah, tetapi dalam kenyataannya, ada banyak masalah yang
muncul dan tidak terpikirkan sebelumnya. Dan ujung-ujungnya, tiap orang akan
berimprovisasi sendiri-sendiri dalam berpegang kepada Quran dan Sunnah,
bahkan variannya akan menjadi sangat banyak tidak terhingga.
Munculnya aliran sesat semacam Islam Jamaah, Ahmadiyah, serta
kelompok ‘nyeleneh’ lainnya adalah akibat dari tidak adanya sistem istimbath
hukum yang baku dalam menarik kesimpulan hukum yang benar dari Quran dan
sunnah. Semua jamaah sesat selalu mengklaim bahwa mereka merujuk kepada
Quran dan sunnah. Untuk itu dibutuhkan rule of the game dalam menggunakan
Quran dan sunnah, agar hasilnya tidak bertentangan dengan esensi keduanya.14

14
Ahmat Sarwat, op. cit. hal. 21-23

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 17


E. Upaya Memahami dan Mensikapi Masalah Khilafiyah

MENYIKAPI

NEGATIF NETRAL POSITIF

SIKAP YANG
SUBJEK TIDAK
DAPAT
MENGAMBIL
DIAMBIL
PEDULI
SUBJEK

TIDAK TIDAK ADA


MENGAMBIL KONFLIK
PEDULI

TOLERAN

KONFLIK
TERHINDAR

INTOLERAN
POTENSI
KONFLIK

Diagram di atas, menggambarkan seseorang dalam menyikapi ikhtilaf


(perbedaan) dengan tiga kemungkinan persepsi yaitu, positif, netral dan negatif.
Jikalau dia menyikapi perbedaan itu sesuatu yang positif maka tentunya tidak ada
konflik. Biasanya orang yang seperti ini tidak mau konfrontasi dengan lawan
bicara demi menjaga suasana damai dan tentang. Sikap ini juga seseorang
cenderung mengalah demi kelanggengan hubungan yang telah terjalin. Adapun

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 18


jikalau menyikapinya dengan netral dan tidak mengambil peduli (indiferen) maka
tidak akan terjadi konflik. Oleh karena itu, menyikapi perbedaan terkadang
dibutuhkan sikap moderat, sehingga tidak akan terjadi sebuah konflik. Yusuf al-
Qardhawi mengatakan “mengikuti manhaj yang moderat/pertengahan dan
menghindari sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya “urusan
yang terbaik adalah yang pertengahan” selain itu seseorang dibutuhkan
ketidakpedulian terhadap perbedaan “Menyibukkan diri dengan agenda umat yang
lebih besar dengan skala prioritas. Membahas dan menanggapi masalah khilafiyah
tidak akan pernah selesai, yang ada justru melemahnya kesatuan umat. Karena itu,
lebih utama berbuat secara riil demi kemaslahatan umat dari pada sibuk berdebat
dalam masalah khilafiyah.
Namun jikalau seseorang menyikapi perbedaan itu negative maka akan
terjadi banyak kemungkinan, manakala seseorang itu tidak peduli maka tentunya
tidak akan ada konflik, namun jikalau seseorang menyikapinya dengan toleran,
maka konflik itupun terhindar dan harmoni akan tercapai. Namun, apabila disikapi
intoleran maka akan terjadi potensi konflik.15

15
Amir Mualim, Memahami dan menyikapi masalah khilafiah (Al-Mawarid, 2004) hal. 38-40

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 19


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
khilafiah adalah perbedaan pendapat mengenai furu agama islam. Yang
menjadi faktor adanya khilafiah adalah:
 Kedudukan sumber-sumber hukum
a. Hadis
1) Sampai atau tidaknya sesuatu hadis
2) Percaya atau tidaknya terhadap seseorang perawi hadis
3) Sahih atau tidaknya sesuatu hadis
4) Pembagian hadis dha’if
5) Pelawanan antara dua hadis ahad
b. Perbedaan pendapat karena ijma
c. Perbedaan pendapat karena qiyas
Adapun menyikapi khilafiah tersebut ada yang menanggapi negative,
netral, dan juga positif. Respon tersebut menentukan akan terjadinya konflik atau
adanya toleransi.
Khilafiah ini tidak hanya terjadi pada kalangan ulama masa sekarang saja,
akan tetapi terjadi juga di masa nabi Muhammad SAW, masa nabi-nabi
sebelumnya, bahkan antara malaikatnya Allah SWT.

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 20


DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Al-allamah. 2001. Mukaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta Timur: Dar


al-kitab al-arabi

Ahmad, Arifuddin. 2015. Tadabbur al-Ḥadīts: Solusi Masalah Khilafiyah. Ilmu


Ushuluddin. Vol: 2, Nomor 3, Januari 2015

Bakry, Muammar. 2014. Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika


Ikhtilaf Mazhab Fikih. Jurnal Al-Ulum. Vol: 14 Nomor 1, Juni 2014

Muammir, Alim. 2004. Memahami dan Mensikapi Masalah Khilafiyah.


Jogjakarta: Al-Muwarid

Sarwat, Ahmad. 2007. Fiqih Ikhtilaf : Panduan Umat di Tengah Belantara


Perbedaan Pendapat. Jakarta Selatan: Yayasan Daarul-Uluum Al-Islamiyah

KHILAFIAH DALAM ISLAM | 21

Anda mungkin juga menyukai