Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ADAB DAN SIKAP SEORANG MUSLIM DALAM MENGHADAPI


KHILAFIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Perbandingan

Dosen Pengampu: Dr. M. Ali Rusdi, S.Th.I, M.H.I

OLEH KELOMPOK 7:
1. RUSMAN MANSYUR 2020203874234011
2. VIRA AULIA 2020203874234019

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PAREPARE

2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur Kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw yang telah menegakkan kalimat Tauhid serta membimbing umatnya ke
jalan yang penuh cahaya dan semoga kita termasuk kaum yang mendapat syafaatnya di hari
akhir nanti, Amin.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai mata
kuliah Fiqih Perbandingan bagi para pembaca khususnya pada sub bahasan Adap dan Sikap
Seorang Muslim dalam Menghadapi Khilafiyah. Mohon maaf apabila dalam makalah ini
terdapat kata-kata yang salah dan sulit dipahami para pembaca, untuk itu kritik dan saran dari
para pembaca sangat kami perlukan demi kesempurnaan makalah selanjutnya, atas kritik dan
saran yang diberikan kami ucapkan terima kasih.

Parepare, Senin 1 November 2022

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 3
A. Konsep Khilafiyah........................................................................................................... 3
B. Sebab Khilafiyah ............................................................................................................. 4
C. Adab dan Sikap Terhadap Khilafiyah ............................................................................. 6
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 7
A. Kesimpulan...................................................................................................................... 7
B. Saran................................................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda, yang
mengharuskannya bekerja sesuai dengan hikmah Illahi, dan ini menciptakan keragaman cara
berfikir manusia untuk menuju Tuhannya. Berangkat dari pernyataan ini, dalam Islam pun
sebenarnya memiliki keberagaman pandangan tersendiri dalam melaksanakan ibadah kepada
Tuhannya. Terdapat beberapa golongan yang masing-masingnya mengakui bahwa
pendapatnyalah yang paling benar. Golongan-golongan ini sering biasa kita dengar dengan
istilah “mazhab”.

Perbedaan paham disini lebih condong ke arah hukum furu’iyah, karena dalam
penetapan hukum itu diperhatikan masa dan musim, keadaan alam dan tempat, adat kebiasaan
dan lain sebagainya. Aboebakar Atjeh (1977: 9) menuliskan keterangannya mengenai
Mazhab dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Mazhab; bahwa keadaan alam, umat,
adat istiadatnya, serta berbagai macam keyakinannya, tidaklah tetap dan kekal, itu semua bisa
berubah-ubah tergantung perkembangan zaman.

Dengan berkembangnya agama Islam di berbagai negeri maka timbulah pemahaman


masyarakat yang beragam. Artinya, perbedaan pendapat atau bisa disebut dengan istilah
“Khilafiyah” ini sudah terjadi sejak masa nabi, hanya saja pada zaman nabi apabila terjadi
khilafiyah di kalangan masyarakat ada yang memberikan keputusan akhir yaitu nabi sendiri.
Dengan demikian khilafiyah terselesaikan dan umat pun mengikuti keputusan nabi ini. Pada
zaman Khulafa al-rasyidin, untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan
umat selalu dimusyawarahkan oleh khalifah dengan anggota-anggota majlis
permusyawaratan. Keputusan musyawarah inilah yang nantinya menjadi pegangan umat (A.
Dzajuli, 1992: 103).

Khilafiyah ini tidak memberikan pengaruh yang negatif sampai ke zaman imam-imam
mujtahidin. Mereka tahu pasti dimana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan dimana harus
jadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi khilafiyah pada masa itu mereka cukup
toleran dan menghargai pendapat lain. Namun terkadang orang yang fanatik kepada satu
mazhab atau kepada satu pendapat ini sering mengakibatkan hal-hal yang tidak pada
tempatnya, melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan

3
kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu
kami akan membahas mengenai adab dan sikap muslim terhadap paham khilafiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Khilafiyah ?
2. Bagaimana Sebab Terjadinya Khilafiyah ?
3. Bagaimana Adab dan Sikap Terhadap Khilafiyah ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Khilafiyah !
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Sebab Terjadinya Khilafiyah !
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Adab dan Sikap Terhadap Khilafiyah !

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Khilafiyah
Secara bahasa ikhtilaf berasal dari kata khalafa, yakhlifu, khalfan. Adapun makna
khilafan yaitu berbeda, mengganti, membelakangi, meninggalkan keturunan.1 Khilafan dapat
juga diartikan dengan bertentangan, tidak sepakat, berselisih paham, perbedaan pendapat atau
pikiran yang masih terjadi di kalangan ulama.2 Sedangkan secara istilah ikhtilaf didefinisikan
dengan beragam definisi di antaranya adalah:
Taha Jabir mengatakan bahwa ikhtilaf adalah:3
“Ikhtilaf dan Mukhalifah proses yang dilalui melalui metode yang berbeda, antara seorang
dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.”
Dan menurut al Jurjani ikhtilaf yaitu,4
“Perbedaan pendapat yang terjadi di antara beberapa pertentangan untuk menggali
kebenarannya dan sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.”
Dari dua definisi yang dijelaskan oleh beberapa pakar hukum Islam dapat dipahami
bahwa, perbedaan pendapat adalah perbedaan cara atau metode yang ditempuh oleh
seseorang yang berbeda dengan orang lain, baik perkataan, perbuatan, prinsip, keadaan.
Namun al-Jurjani menjelaskan bahwa, tujuan atau maksud dari perbedaan pendapat untuk
memastikan kebenaran atau menolak kebatilan. Hal ini berbeda dengan definisi lain yang
tidak menjelaskan tujuan dari ikhtilaf. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar
untuk mencari kebenaran dan kesalahan dalam ikhtilaf sebagai antisipasinya, munculah ilmu
khilaf. Taha Jabir menjelaskan bahwa, ilmu khilaf adalah ilmu yang membahas kemungkinan
terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan oleh para Imam mazhab dan
sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa sandaran yang jelas kepada dalil yang
dimaksud.5

1
Ahmad Muhammad „Ali al Faiyumi al-Muqri, Misbahul al-Munir, (Bayrut: Maktabah al- „Asriyah
1997) h. 95
2
Luis Ma‟luf, al-Munjid, hlm. 193.Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketiga, (Jakarta:
PN Balai Pustaka, 2005), hlm. 420
3
Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani, Adabul Ikhtilaf fi al- Islam, terj. Abu Fahmi, (Jakarta: 1991), h. 225.
4
„Ali Muhammad Al-Jurjani, At-Ta‟rifat, (Dar al Aqsa‟ t.t), h. 99
5
Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani, Adabul Ikhtilaf…., h. 22.

5
Ilmu ikhtilaf menekankan cara menetapkan hukum yang sesuai dengan apa yang
dilakukan oleh para Imam mazhab sebelumnya dan juga untuk menolak perselisihan yang
tidak diharapkan. Uraian di atas memperlihatkan bahwa, ikhtilaf yang asalnya hanya sebatas
diskusi atau bantahan tiap-tiap mazhab atau pengikutnya, telah melahirkan ilmu yang
mandiri, yakni ilmu khilaf.6
Dari beberapa penjelasan pengertian di atas, maka yang dimaksud ikhtilaf dalam
pembahasan ini adalah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam dalam menetapkan
sebagian hukum Islam yang bersifat furu’, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat
ushul, yang disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan
hukum suatu masalah.
Biasanya perkara yang masuk kategori khilafiyah adalah masalah furu’ atau cabang-
cabang agama. Adapun masalah pokok, seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang
esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi perbedaan pendapat.
Adapun jenis ikhtilaf dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu:
1. Ikhtilaf yang tidak dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah akidah dan prinsip yang
menyingung akidah dasar dan tauhid.
2. Ikhtilaf yang dapat dibenarkan adalah ikhtilaf yang menyangkut masalah bukan
prinsip dasar. Misalnya seperti membaca bismillah saat membaca Al-fatihah dalam
shalat, qunut saat shalat subuh, tarawih, dll.
B. Sebab Khilafiyah
Para pakar hukum Islam berbeda-beda dalam mengelompokkan jumlah faktor
penyebab ikhtilaf. Adapun sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat secara umum, yaitu
sebagai berikut:
1. Muhammad Abdul Fath al-Bayanuni dalam bukunya: Dirasat fi Al-ikhtilaf Al-
Fiqhiyyah menjelaskan bahwa, asal perbedaan hukum-hukum fikih disebabkan
timbulnya ijtihad terhadap hukum, terutama pasca-Nabi dan sahabat meninggal
dunia”. al-Bayanuni menjelaskan, 4 faktor utama perbedaan, yaitu perbedaan
pendapat ada atau tidak ada nas Al-Qur’an atau hadis yang digunakan, perbedaan
dalam memahami suatu nas, perbedaan dalam metode jama’dan tarjih, perbedaan
dalam kaidah ushul fiqih dan sumber-sumber hukum.7

6
Dedi Supriadi, Perbandingan Madzab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.
69-71
7
Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, Dirasat fi Ikhtilafat al-Fiqhyah, terj. „Ali Mustafa Ya‟kub
( Jakarta: Pustaka Firdaus 1997) h. 20-21

6
2. Taha Jabir dalam bukunya Adabul Ikhtilaf menjelaskan, faktor-faktor penyebab
ikhtilaf ada empat macam, yaitu faktor bahasa, faktor periwayatan sunnah, faktor
kaidah dan metode istinbath.8
3. Mahmud Syaltut mengungkapkan bahwa, ikhtilaf di kalangan para ulama terjadi
disebabkan oleh beberapa sebab yang sulit dihindari, yaitu:
a. Al-Qur’an terdapat lafad-lafad yang memiliki arti ganda (musytarak), seperti kata
quru’. Kata quru’ memiliki arti suci dan haidh. Imam Abu Hanifah berpendapat,
perempuan yang ditalak oleh suaminya harus beriddah tiga kali haidh. Sementara
Imam Syafi’i berpendapat, perempuan yang dicerai oleh suaminya harus beriddah
tiga kali suci. al-Quran juga terdapat kata Hakiki dan Majazi, para ulama sering
terjadi perbedaan perdapat dalam menetapkan hukum ketika menghadapi kata
hakikat dan majaz.
b. Perbedaan waktu, tempat dan kasus yang dihadapi. Tidak semua kasus yang
dihadapi oleh para ulama, didapati nas hukumnya. Sehingga mereka harus
berijtihad. Ketika berijtihad para ulama menggunakan metodologi yang belum
tentu sama antara yang satu dengan yang lain, sehingga menimbulkan hukum
yang berbeda-beda.
c. Riwayat. Para ulama tidak sama tingkatan dalam menerima hadis Rasullah saw.
Persoalan tersebut disebabkan berbeda jumlah sahabat yang dapat dijumpai.
Sementara para sahabat juga tidak sama tingkatan dalam mendengar hadis dari
Nabi. Ada sahabat yang hanya mendengar satu hadis saja dan ada sampai puluhan,
ratusan dan bahkan ribuan hadis. Sehingga ada hadis yang sampai kepada
sebahagian ulama dan tidak sampai kepada sebahagian yang lain.
d. Berbeda dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul dalam menetapkan hukum.
e. Berbeda dalil yang digunakannya, Seperti istihsan, maslahah mursalah, Qaul
sahabat, ‘uruf, dan lain-lain.
f. Perbedaan kapasitas intelektual masing-masing ulama.9
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, masalah khilafiah adalah masalah yang
selalu aktual dalam realitas kehidupan manusia, karena ada daya berpikir yang dimiliki yang
mengakibatkan orang berpikir dinamis dalam menetapkan suatu hukum. Dan dapat
disimpulkan dan dikelompokkan ke dalam empat sebab utama:
1. Perbedaan pendapat tentang valid-tidaknya suatu teks dalil syar’i sebagai hujjah.

8
Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani, Adabul Khilaf…, h. 98-105
9
Mahmud Syaltut dan M. Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Bulan Bintang, Jakarta, 1996), h. 16-17

7
2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fikih dan beberapa dalil hukum
syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada (nas-nya), seperti qiyas, istihsan,
mashalih mursalah, ‘urf, saddud-dhara’i, syar’u man qablana, dan lain-lain.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan situasi, kondisi, tempat,
masyarakat, dan semacamnya.

C. Adab dan Sikap Terhadap Khilafiyah


Berkenaan dengan sikap dan etika dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan
cara menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu
dengan cara terlebih dahulu mendengar seluruh pendapat yang berbeda-beda dari para
sahabatnya yang mulia.
Adapun adab dan sikap seorang muslim terhadap khilafiyah sebagai berikut:10
1. Yakin bahwa masalah khilafiyah itu wajar dan tidak bisa dihindari terjadinya.
Khilafiyah sudah ada sejak awal mula risalah Islam pertama kali diturunkan di muka
bumi.
2. Yakin bahwa beda pendapat itu bukan dosa, justru sebaliknya kita jadi semakin punya
khazanah yang kaya tentang ragam alur hukum.
3. Yakin bahwa khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditangani dengan sewot dan
emosi, melainkan sebuah kewajaran yang manusiawi.
4. Selama masih ada Quran dan sunnah, sudah pasti muncul perbedaan pendapat. Karena
sejak zaman nabi dan shahabat di mana Quran sedang turun dan hadits masih
diucapkan oleh nabi, sudah ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Kalau
perbedaan pendapat mau dihilangkan, maka hapus dulu Quran dan sunnah dari muka
bumi.
5. Kita diharamkan merasa diri paling benar dengan pendapat kita. Padahal kapasitas
kita tidak pernah sampai kepada derajat ulama ahli istimbath hukum.
6. Kita diharamkan untuk mencaci maki ulama, apalagi sampai menuduh mereka ahli
bid’ah, hanya lantaran para ulama itu tidak sama pandangannya dengan apa yang kita
pikirkan.

10
Ahmad Syarwat, Masalah Khilafiyah, Bagaimana Harus Bersikap, Rumah
Fiqih:https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-374-masalah-khilafiyah-bagaimana-harus-bersikap.html. 2006.
Diakses pada tanggal 29 Oktober 2022.

8
7. Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita
sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain.
Tindakan seperti ini hanya dilakukan oleh mereka yang jahil dan tak berilmu.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan (Khilafiyah) atau ikhtilaf sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sejak
masa sebelum Rasulullah hadir di muka bumi, perbedaan ini terjadi karena perbedaan
pemahaman seseorang terhadap sesuatu, karna perbedaan pemahaman inilah maka akan
menghasilkan hukum atau keputusan yang berbeda pula. Namun perbedaan yang terjadi antar
umat Islam janganlah menjadi pemicu perpecahan dan pertikaian, karna umat Islam ini
membawa satu visi menjadi Rahmatan lil alamin, kasih sayang terhadap semesta.
B. Saran
Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena kesempur-naan itu
hanya milik Allah, berkenaan dengan hal ini kami dari penyusun sangat membutuhkan kritik
dan saran yang dapat membangun dalam pembuatan makalah ke depannya. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muhammad „Ali al Faiyumi al-Muqri, Misbahul al-Munir, (Bayrut: Maktabah al-
„Asriyah 1997) h. 95

Luis Ma‟luf, al-Munjid, hlm. 193.Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketiga,
(Jakarta: PN Balai Pustaka, 2005), hlm. 420

Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani, Adabul Ikhtilaf fi al- Islam, terj. Abu Fahmi, (Jakarta: 1991),
h. 225.

Ali Muhammad Al-Jurjani, At-Ta‟rifat, (Dar al Aqsa‟ t.t), h. 99

Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani, Adabul Ikhtilaf…., h. 22.

Dedi Supriadi, Perbandingan Madzab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), h. 69-71

Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, Dirasat fi Ikhtilafat al-Fiqhyah, terj. „Ali Mustafa
Ya‟kub ( Jakarta: Pustaka Firdaus 1997) h. 20-21

Taha Jabir Fayyadl Al-Ulwani, Adabul Khilaf…, h. 98-105

10
Mahmud Syaltut dan M. Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Bulan Bintang, Jakarta, 1996),
h. 16-17

Ahmad Syarwat, Masalah Khilafiyah, Bagaimana Harus Bersikap, Rumah


Fiqih:https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-374-masalah-khilafiyah-bagaimana-
harus-bersikap.html. 2006. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2022.

11

Anda mungkin juga menyukai