Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan, sisi baik dan buruk selalu terlihat dalam dinamika kehidupan.
Belum lagi yang datang dari manusia, bahkan yang datang dari orang-orang saleh,
Allah Azza wa Jalla mengeluarkan yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu,
perbedaan tidak dapat dihindari bagi kita, kita tidak dapat menghindari perbedaan.
Allah berfirman:
“… Jika Allah menghendaki, Dia (hanya) menjadikan kamu suatu kaum, tetapi Allah
hendak menguji kamu dengan karunia-Nya yang diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu akan kembali, dan
kemudian Dia akan memberitahumu apa yang kamu bantah” (Qur’an 5:48).
Perbedaan pendapat di dalam keilmuan merupakan rahmat bagi kita, perbedaan
tersebut memperkaya ilmu kita dan ini dibuktikan oleh para ulama besar masa lalu seperti
Imam, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Namun, kita menyayangkan percakapan yang
terkadang melupakan ajaran Tuhan yang lain yaitu cinta, tak jarang kita melihat kata-kata
kotor lolos begitu saja, begitu mudahnya kita mendengar hinaan, fitnah bahkan kekafiran.
Kalau kita lihat orang-orang yang berpendapat mengabaikan Akhlakul Karimah, ini
biasanya adalah orang-orang yang tidak kita ketahui ilmunya, namun sayangnya ada
juga yang berpendapat tanpa memperhatikan etika, bahkan dari orang-orang itu, dari
orang-orang yang kita ketahui berilmu. Tidak peduli berapa banyak ketidaksepakatan
yang kita temukan, dari ulama hingga awam, perbedaan pendapat dan kontradiksi itu
sangat mengganggu.
Di antara banyak ahli “asbab al-ikhtilaf” kita akan menemukan bahwa
perbedaan pendapat sebenarnya justru karena ketaatan pada Al-Quran dan Hadits;
Kita akan terheran-heran bahwa perbedaan-perbedaan ini sebenarnya terbuka,
karena Al-Qur’an sendiri “sengaja” menciptakan perbedaan-perbedaan tersebut.
Kita akan menemukan bahwa pada titik tertentu perselisihan adalah sesuatu yang
tidak dapat diselesaikan.
Seperti disebutkan di atas, kami tertarik untuk mendalami masalah ini lebih jauh dan
terdorong untuk menulis makalah tentang perbedaan pendapat para ulama.

1.2 Rumusan Masalah

1
Rumusan Masalah ini juga dapat mempermudah kinerja penulisan dalam
mencari atau menjawab permasalahan yang ada dalam makalah yang berjudul
Perbedaan Pendapat Para Ulama.
1. Apa pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-ulama)?
2. Bagaimana klasifikasi ikhtilaf para ulama?
3. Apa sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama?
4. Apa faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama?
5. Apa hikmah adanya perbedaan pendapat para ulama?
6. Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-
ulama);
2. Untuk mengetahui klasifikas ikhtilaf para ulama;
3. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama;
4. Untuk mengetahui faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat
para ulama;
5. Untuk mengetahui hikmah adanya perbedaan pendapat para ulama;
6. Untuk mengetahui cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sebab-sebab perbedaan pendapat

2
Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di
kalangan para ulama.meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa
perbedaan pendapat itu disenangi,dan mendahulukan apa yang telah disepakati
daripada hal-hal lain dimana terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:1
1. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik
dalam Al-Quran maupun hadits.
2. Karena berbeda tanggapanya terhadap hadits.ada hadits yang sampai kepada
sebagian ulama,tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain.kslsu hadits
tersebut diketahui oleh semua ulama,sering terjadi sebagian ulama
menerimanya sebagai haditsh sahih,sedangkan sebagian yang lain
menganggap dha,if,isadan lain sebagainya.
3. Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah ushul.misalnya ada para ulama
yang berpendapat bahwa lapal am sudah ditakh’sis itu bisa di jadikan
hujah.ulama-ulam berpendapat bahwa mahfum itu hujah,kemudian berbeda
lagi pendapatnya terhadap makhfum mukhalafah.
4. Berbeda btanggapanya tentang ta’arudl(pertentangan antara dalil) dan
tarjih(menguatkan stu dalil atas dalil yang lain) Seperti:tentang nasakh dan
mansukh,tentang pentakwilan,dan lain sebagainya yang dibahas secara luas
dalam ilmu ushul fiqh.
5. Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama
sepakat bahwa Al-Quran dan Al Sunah Al-shahihah adalah sumber
hukum.tetapi berbeda pendapatnya istishan,al-maslahahnal-
mursalah,pendapat sahabat,dan lain-lainya yang[1]digunakan dalam era
berijtihad.sering pula terjadi,disepakati tentang dalilnyatetapi penerapanya
berbeda-beda.sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula . misalnya
tentang Qiyas:jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bias
digunakan,tetapi dalam menetapkan illat hukumnya maka berbeda pula dalam
hukumnya.

1 A.Djazuli.2004.ilmu fiqih.Bandung: Kencana Penada Media Group.

3
Dari keterangan diatas jelas bahwa perbedaan pendapat para ulama itu pada
prisipnya disebabkan karena berbeda dalam cara beijtihad. Berbeda dalam
berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad. Disamping itu
sering pula terjadi perbedaan pendapat akibat pengaruh lingkungan dimana ulama
tersebut hidup. Seperti Qaul Qadim dan Qawl Jadid dari Imam Al-Syafi’i. Qaul
Qadim merupakan hasil ijtihad Imam Al-Syafi’i ketika beliau hidup di bagdad.
Sedangkan Qawl Jadid merupakan hasil ijtihad imam Al-Syafi’I ketika beliau
hidup di mesir. Imam Abu Hanifah dihadapkan kepada masyarakat yang lebih
maju peradabannya di irak, sehingga di tuntut untuk berpikir secara lebih rasional
akibatnya rasionalitas lebih mewarnai mazhab Hanafi. Sebaliknya Imam Maliki
berhadapan dengan masyarakat Madinah, tempat nabi berjuang dan membangun
umatnya sehingga beliau dituntut untuk lebih mengikuti dan mempertahankan ‘urf
Ahli Madinah. Hal inilah mazhab Maliki lebih bernuasa tradisional.
Perlu ditekankan disini bahwa disamping perbedaan pendapat banyak pula
masalah yang disepakati para ulama, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan
dalil kulli ataupun dalil juz’i seperti wajib melakasanakan solat lima waktu, puasa
bulan Ramadhan, menunaikan zakat, naik haji bagi yang mampu, wajib
melaksanakan keadilan, melaksanakan amanah, wajib memelihara ukhuwah,
musyawarah, dan lain-lain. Haram melakukan pencurian ,perampokan,
pembunuhan, zina, minuman khamr, menuduh zin, menghina orang, melakukan
riba, menipu dalam timbangan, menjadi saksi palsu, dsb.2
Perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum syar’iyah tidak hanya
terjadi antar madzhab, perbedaan pendapat ulama ini juga terjadi dalam
lingkunganmadzhab mereka. Banyak orang mengingkari perbedaan pendapat
ulama ini, disebabkan keyakinannya yang menyatakan bahwa agama ini satu,
syariat juga satu, kebenaran itu satu tidak bermacam-macam dan sumber hukum
hanya satu yaitu wahyu ilahi. Selanjutnya mereka mengatakan, mengapa harus
ada perbedaan pendapat, dan mengapa madzhab-madzhab fiqh tidak menyatu?.
Mereka menyangka bahwa perbedaan pendapat ulama akan berakibat terjadinya

2 A.Djazuli.2004.ilmu fiqih.Bandung: Kencana Penada Media Group.

4
benturan-benturan dalam syariah dan perpecahan, dan menyamakan perbedaan
pendapat ini sama seperti perpecahan yang terjadi dalam tubuh agama Kristen
yang terpecah menjadi Ortodoks, Katolik dan Protestan.Semuannya ini adalah
kesalahpahaman yang batil. Perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat ulama
merupakan rahmat yang memberikan kemudahan bagi umat Islam, menjadi
kekayaan intelektual yang besar yang dapat dibanggakan. Perbedaan pendapat ini
hanya sebatas perbedaan far’iyah(cabang) dan metode ilmiah, bukan dalam ushul,
pondasi agama dan i’tikad. Dalam sejarah Islam, tidak ditemukan bahwa
perbedaan pendapat ini menjadi biang perpecahan, permusuhan dan pengoyak
kesatuan muslimin.
Perlu dijelaskan bahwa perbedaan ulama hanya sebatas akibat dari perbedaan
metode pengambilan hukum yang menjadi kebutuhan pasti dalam dalam
memahami hukum dari dalil-dalil syariah, seperti perbedaan dalam masalah
penafsiran nash-nash hukum berikut penjelasan-penjelasan yang dilakukan. Hal
ini disebabkan karakter bahasa Arab yang terkadang mempunyai makna lebih dari
satu, juga disebabkan riwayat hadits, kwalitas keilmuan ulama, atau disebabkan
adanya upaya ulama tertentu dalam menjaga kemaslahatan dan kebutuhan secara
umum.3
Berikut adalah enam penyebab penting perbedaan pendapat ulama dalam
mengambil hukum syariah:

1. Perbedaan Dalam Memaknai lafadz-lafadz Arabiah.


Perbedaan dalam memberikan makna ini disebabkan oleh bentuk lafadz
yang global (mujmal), mempunyai banyak makna (musytarak), mempunyai
makna yang tidak bisa dipastikan khusus atau umumnya, haqiqah dan majaz-
nya, haqiqah dan 'uruf-nya, atau disebabkan mutlaq atau muqayyad-nya, atau
perbedaan I’rab. Contoh simpel dari penyebab ini adalah pemaknaan lafadz “al-
Qur’u”, apakah dimaknai suci atau haid. Juga seperti lafaz amr (perintah), apakah
menunjukkan wajib atau sunat. Dan masih banyak contoh yang lain.

3 Sumber: Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Wahbah Zuhaili, Juz. 1 hlm: 83-88

5
2. Perbedaan Riwayat
Perbedaan riwayat hadits yang menjadi rujukan hukum diakibatkan oleh
beberapa hal. Pertama adalah adanya hadits yang hanya sampai kepada satu
mujtahid dan tidak sampai pada mujtahid yang lain. Kedua adalah sampainya satu
hadits kepada seorang mujtahid dengan sanad yang dla’if, sementara hadits
tersebut sampai kepada mujtahid yang lain dengan sanad yang shahih. Ketiga:
Seorang mujtahid berpendapat bahwa terdapatnya perawi dhaif dalam riwayat
sabuah hadits membuat hadits tidak dapat diterima, sedangkan mujtahid yang lain
tidak demikian.
3. Adanya Perbedaan Dasar hukum
Perbedaan dasar hukum yang dimaksud ialah dasar hukum selain al-
Quran, hadits dan ijma’, seperti Istihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi,
istishab dan sadd al-dzariah
4. Perbedaan dalam Kaidah-kaidah usul
Perbedaan ini seperti perbedaan pendapat tentang digunakannya kaidah
“al-‘am al-makhsush laisa bihujjah/lafadz yang bermakna khusus yang
dikhususkan tidak dapat dijadikan hujjah”, “Al-mafmun laisa bihujjah/kepahaman
konteks tidak bisa dijadikan hujjah” dan lain-lain.
5. Ijtihad Menggunakan Qiyas.
Ini adalah penyebab yang paling luas, dimana ia mempuyai dasar, syarat
dan illat. Illat pun juga mempunyai syarat dan tata cara dalam
mengaplikasikannya. Semua ini menjadi potensi bagi timbulnya perbedaan.

6. Pertentangan Dasar Hukum berikut Tarjihnya


Masalah ini sangat luas yang menjadi perbedaan pandangan dan
menimbulkann banyak perdebatan. Masalah ini membutuhkan ta’wil,
ta’lil, kompromi (jam’u), taufiq, naskh dan lain-lain.4

4 Sumber: Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Wahbah Zuhaili, Juz. 1 hlm: 83-88

6
Dengan penjelasan ini dapat diketahui bahwa hasil ijtihad para imam
madzhab tidak mungkin untuk diikuti semua, meskipun boleh dan wajib
mengamalkan salah satunya. Semua perbedaan adalah masalah ijthadiyah, dan
pendapat-pendapat yang bersifat dzanni (dugaan), yang harus dihormati dan
dianggap sama. Amatlah salah jika perbedaan tersebut menjadi pintu timbulnya
fanatisme, permusuhan dan perpecahan diantara kaum muslimin yang telah
disifati dalam al-Qur’an sebagai umat yang bersaudara dan diperintah untuk
berpegang teguh kepada tali Allah. Wallahul Musta’an5

B. Pengaruh Perbedaan pendapat Para Ulama


Perbedaan pendapat ini sudah terjadi sejak masa Nabi,hanya saja pada
zaman nabi apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat yang
memberikan keputusan akhir yaitu Nabi sendiri.dengan demikian,perbedaan
pendapat dapat terselesaikan.umat pun mengikuti keputusan Nabi ini .pada zaman
sahabat terutama pada zamanKhulafa-Rasyidin,untuk masaalah-masalah yang
berkaitan dengan kemaslahatan umat selalu dimusyawarahkan oleh Khalifah
dengan anggota-anggota majelis permusyawaratan.keputusan musyawarah ini
menjadi pegangan umat.
Perbedaan pendapat dalam masalah lainya tidak langsung berkaitan
dengan kepentingan ummat.perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqh
inintidak memberikan pengaruh yang negatif sampai kezaman imam-imam
mujtahidin.mereka tahu pasti dimana dimungkinkan perbedaan pendapat,dan
dimana perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran dan menghargai
pendapat yang lain.Imam Syafi’imenghargai pendapat Imam malik dan Imam
malik juga menghargai pendapat Abu Hanifah.
Namun,setelah orang fanatik kepada satu mazhab atau kepada satu
pejndapat ulama,maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang
tidak pada tempatnya.melampaui batas-batas yang harus dipegang
bersama,merusak persatuan dan kesatuan umat serta ukhwah islamiyah yang
dibina oleh Rasulullah SAW.prof.hasbi menyatakan:apabila kita perhatikan
5 A.Djazuli.2004.ilmu fiqih.Bandung: Kencana Penada Media Group.

7
keadaan masyarakat islam dewasa ini dan sebabnya mereka bergolong-golongan
ditinjau dari segi hukum islam niscaya nyatalah bahwa diantara sebab-sebab itu
ialah perbedaan pegangan,perbedaan anutan,dan peerbedaan anutan,dan
perbedaan ikutan.dan untunglah ditanah air kita Indonesia ini pengaruh perbedaan
anutan dan golongan tidaklah meruncing,jika dibandingkian dengan keadaan
diluar negeri seperti di india,di Persia dan lain-lain tempat.’’’pengaruh negatif dan
perbedaan pendapat ini ternyata bisa dinetralisasi dengan pendidikan yang
meluaskan wawasan berpikir tentang hikum islam,Antara lain dengan cara
muqaranah al-madzahib dan membaca kitab-kitab imam madzhab.

C. Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama


Perbedaan pendapat tidak akan mengakibatka pengaruh yang negatif.
Bahkan,perbedaan pendapat bisa memberikan hikmah yang besar.dengan berfikir
kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para Ulama,maka
perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar.dengan berfikir
kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para Ulama,maka
perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar,berikut ini akan
dikemukakan beberapa hikmah dapat ditarik dari perbedaan pendapat tersebut.
Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkunkan untuk
memilih mana mana alternatif yang terbaik diantara pendapat para ulam yang bisa
diterapkan untuk masa sekarang ini.cra inilah yang sedang ditempuh para ahli
hokum islam.sekarang telah tebukti dalam perkembangan hokum islam terakhir.
Disamping itu dengan adanya perbedaan pendapat para ulama,kita akan tahu
alas an masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut,sehingga
memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang
mempunyai ulama yang ada,dengan melihat kepada cara beristinbat,akan nilai Al-
Quran dan Sunah.
Kita melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan
ijtihad,maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat.sebab iijtihd
mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama.ini berarti dituntut sikap
toleran terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat.kenyataan lain adalah

8
umat islam pada umumny yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu
pendapat ulama,baik dengan cara ittiba’ maupun taklid.ini bisa dipahami karena
umat islam yang awam mempunyai I’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah
laku sesuai dengan ajaran agama..yang tahu ajaran agama itu adalah ulama(ahli
agama).
Maka dengan ittikad baiknya itu mereka mengikuti salah seorang
Ulama..apalagi mereka sering dengar Al-Ulama warasat Al-anbiya para ulama itu
adalah ahli waris para nabi.oleh karena itu,kedudukan Ulama sangat tinggi dimata
mereka,fatwa ulama pada pandangan mereka sama dengan fungsi dalil pada
pandangan mujtahid.hal ini tampak dari ungkapan:Qaul Al-muffi fi haqq al-am ka
al-addilla fi haqq al-mujtahid.
Sekalipun keharusan kembali kepada Al-Quran dan sunnah sudah lama
dikumandangkan,dan disepakati oleh seluruh imam mazhab,tetapi tampaknnya
belum ada model thuruq al-istinbatyang baru,akibatnya,sering terjadi adanya
pendapat baru,tetapi jika diteliti ternyata telah ada,mungkin ditemukan pada
mazhab hanafi,atau maliki,atau syafi, atau ulama lainya (Al-tharabi, Tsar,laits bin
Sa,ad,dan lain-lain)cara berintisbat untuk masalah barupun ternyata sama dengan
salah satu imam mazhab.dhahiri menekankan pada dilahir nash,sedangkan maliki
dan hanafi lebih menekankan pada kemaslahatan dan semangat ajaran,metode-
metode lainya dalam ilmu ushul fiqh.6
Akhirnya dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah wajar dalam
masalah-masalah ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan
ukhuwah islamiyah.perbedaan pendapat menjadi tidak wajar apabila menjurus
kepada perselisihan dan permusuhan,serta melampaui batas-batas dalil kulli.7

D. MENYINGKAPI PERBEDAAN PANDANGAN DALAM FIQIH

6 Mujtaba, Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press


7 Mujtaba, Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press

9
Perbedaan pandangan dalam masalah-masalah fiqih di kalangan para ulama
terjadi karena beberapa alasan dan beberapa kondisi. Sikap terbaik dalam
menghadapi perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah Dan taatilah Rasulmu, dan
Ulil amri Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ (An-Nisa: 59)
Ini adalah prinsip agung yang mesti diikuti oleh setiap muslim, yaitu
mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa maksudnya?Imam Ibnu
Katsirrahimahullah menjelaskan: Mujahid dan lebih dari satu orang salaf berkata:
yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Ini adalah perintah dari
Allah‘Azza wa Jalla bahwa semua hal yang diperselisihkan manusia, baik perkara
pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka hendaknya perselisihan itu
dikembalikan menurut keterangan Alquran dan As-Sunnah. Sebagaimana firman-
Nya: tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah)
kepada Allah. (Syura:10) Maka, apa-apa yang dihukumi oleh kitabullah dan sunah
Rasul-Nya, dan hal tersebut dinyatakan benar oleh keduanya, maka itulah Al-haq
(kebenaran), dan selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 2/345)
Ini yang pertama. Kemudian, jika kedua pihak merasa pendapatnyalah yang
lebih sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah dengan penelitian masing-masing,
tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka hendaknya mereka memegang dan meyakini
pendapatnya itu, tanpa mengingkari pendapat saudaranya, apalagi
meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, perlu nampaknya kita perhatikan nasihat dan contoh baik dari
para imam terdahulu dalam menyikapi perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan,
padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam
Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)

10
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah: “Dan Adapun yang terkait masalah
ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak
boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya
mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara
yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena
berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap
yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan
pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita
tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al-Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash
qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka hendaknya menerima dengan
lapang dada dan tidak saling mengingkari.
Imam As-Suyuthi Rahimahullah berkata dalam kitab Al-Asybah wa An
Nazhair:Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah
yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada
pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As-
Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair, 1/285)
Berkata Asy Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil: “Ijtihad itu, jika
dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep
penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka
wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang
mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid
(pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi
fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al-Hiwar wal Qawaid Al-Ikhtilaf,
hal. 43. Mauqi’ Al-Islam)
Al-Ustadz Hasan Al-Banna Rahimahullah menjelaskan -setelah Beliau
menerangkan sebab-sebab perselisihan fiqih di antara umat Islam:
“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan
dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan
tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan

11
dapat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam
warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Majmu’ah Ar
Rasa-il, hal. 26)
Dalam Risalah Al-Khamis beliau juga berkata: “Bahwa perselisihan dalam
masalah furu’ (cabang) merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena
dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang
dipahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat pun
tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi
sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu
Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al-
Muwatha’(himpunan hadits karya Imam Malik), “Ingatlah bahwa para sahabat
Rasulullah telah

BAB III

12
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang mempunyai
arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid
(kata kerja yang terdiri dari tiga huruf lebih) dengan tambahan hamzah dan ta’
maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya
adalah ikhtilaf. Ikhtilafmempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya
persetujuan).
 Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful
qulub (perbedaan dan perselisihan hati). Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal
afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman). Dalam“Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir
Husain, menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf
tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
 Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut
adalah:

1. Adanya perbedaan watak dan karakter manusia;


2. Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda;
3. Adanya perbedaan penetapan maslahah;
4. Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif);
5. Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i;
6. Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah;
7. Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah;
8. Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu.
 Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab
dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari
taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan
serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga
dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang
hal yang diperselisihkan.

13
 Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika
didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu:
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa
dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas
cakrawala berpikir;
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain
yang berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang
menyangkut kehidupan diseputar mereka.
 Cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama, anatar lain:
1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman,
amal dan akhlaq secara proporsional;
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian
terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap
masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah;
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai
bagian dari rahmat Allah bagi umat.

B. Saran

Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi kita,


perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah dibuktikan oleh
ulama-ulama besar dahulu seperti para imam, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang kita
melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita lihat kata-
kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah
kita dengar.

DAFTAR PUSTAKA

14
Afif, Abdul Wahhab. 1995. Pengantar Studi Perbandinga Mazhab. Jakarta: Darul
Ulum Press.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr.
Husain Barhami, Yasir. 2000. Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin. Kairo: Dar al-
Aqidah.
Pembukuan Manhaji, Team, 2003. Paradigma Fiqih Masail, Kediri:
Lirboyo.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2011. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta:
Gaung Persada Press.

15

Anda mungkin juga menyukai