PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan asbab al-ikhtilaf ?
2) Apa saja yang termasuk sebagai tempat terjadinya al-ikhtilaf ?
3) Bagaimana al-ikhtilaf dalam penafsiran al-qur’an ?
4) Apa yang menyebabkan terjadinya al-ikhtilaf ?
5) Macam-macam Ikhtilaf Al-Hadits ?
6) Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf Al-Hadits ?
7) Bagaimana menyikapi Ikhtilaf di sekitar Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas?
1.3 Tujuan
1) Mengetahui definisi dari asbab al-ikhtilaf.
2) Mengetahui tempat terjadinya al-ikhtilaf.
3) Mengetahui al-ikhtilaf dalam penafsiran al-qur’an.
4) Mengetahui sebab terjadinya al-ikhtilaf.
5) Mengetahui macam-macam Ikhtilaf Al-Hadits.
6) Mengetahui dan memahami sebab-sebab Ikhtilaf Al-Hadits.
7) Mampu menyikapi perbedaan dalam Ikhtilaf Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas
2
BAB II
PEMBAHASAN
1Thaha Jabir Fayyadh al-alwani, terj. Ija Suntana, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001), .25
3
Karena sumber-sumber Islam pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW
adalah al-Qur’an, al sunnah, dan ijtihad sahabat, termasuk qiyas, ra’yu, dan ijma’
sahabat, dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum Islam Abbas
Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu:3
1) Al-Qur’an, penyebabnya adalah sebagai berikut :
a) Adanya kontradisi antara sesama nash-nash al-qur’an dan adanya upaya
mereka untuk mencegah perentangan itu.
b) Perbedaan dalam memahami ayat-ayat global.
c) Sebagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual),
sedangkan yang lainnya lebih terhadap makna yang bermaksud kontekstual.
d) Sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan atau
menganggap nash lain sebagainya pengtakhshish-nya, sedangkan yang lain
menemukannya.
e) Perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-
nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek pengertian.
3) Ijtihad
4
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra’yu
ini tidak biasa dilepaskan dari perbedaan yang ada di antara mereka berbagai hal
termasuk ra’yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh
akal, kepribadian, keluarga, dan lingkungannya.4
Ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal baik
untuk mengeluarkan hukum syar’i maupun dalam penerapannya. Ijma’ dan
Qiyas merupakan bagian dari ijtihad, ijma’ merupakan kesepakatan para pakar
islam tentang hukum suatu masalah yang belum disebutkan dalam Al-Qur’an
dan Hadits. Sedangkan Qiyas adalah menetapkanhukum suatu masalah atau
kejadian yang tidak ada hukumnya denganmasalah yang sudah ada hukumnya
karena di antara keduanya ada persamaan illat (sebab-sebab hukum)5
Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami,
yaitu :
a) Ayat-ayat al-Qur’an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah.
Sedangkan ayat-ayat yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan merupakan
tempat terjadinya masalah khilafiyah.
b) Hadis-hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik
zhanni wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni ad-
dalalah (petunjuknya masih bersifat dugaan).
c) Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur’an dan as-
Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat.
Seperti hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.6
4.Djazuli, Ilmu Fiqh (Penggertian, perkembangan, dan penerapan hukum islam) (Bandung: Kencana
Prenada Media Group, 2004), 118
5 Munawir, AM, dkk, PAI dan Budi Pekerti Kelas X SMK, (Jakarta: Erlangga, 2016), 143-145
6.http://rifka-abdillah.blogspot.com/2012/04/perbedaan-madzhab-dan-sebab-sebSabnya.html
5
suatu ayat atau lafazh al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak
Allah Ta’ala dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah
makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam
menafsirkan al-Qur’an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah
ikhtilaf. Akan tetapi, sebagaimana akan diuraikan kemudian dari sisi lain, ikhtilaf
sendiri kemudian dibagi menjadi 2 jenis:
1) Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif).
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilaf tanawwu’ adalah :
a) sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang
berbeda itu ke dalam ayat dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika
makna-makna itu adalah makna yang shahih
b) makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun
diungkapkan dengan cara yang berbeda
c) terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya
memiliki makna yang shahih.
Contoh ikhtilaf tanawwu seperti beberapa penafsiran Mufassir
mengenai tafsir ashirotol mustaqim dalam surah Al-Fatihah. Keika kita
mencoba menengok Tafsir Al-Khozin kita kan temui bahwa beliau Syaikh
Alauddin menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang baik), kemudian
beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan Shirotol
Mustaqim dengan agama islam. Berbeda dengan penafsiran Al-Bagawi,
beliau menjadikan kitab allah sebagai makna penafsiran dari shirotol
Mustaqim, juga kemudian mengutip penafsiran Ibnu Mas’ud bahwa yang
dimaksud Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju syurga. Beberapa makna
yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak saling
menafikan satu sama lain karena Al-qur’an merupakan sumber petunjuk bagi
orang islam dimana setiap pribadi muslim senantiasa mengharapkan
keselamatan dunia akhirat dan masuk syurga dihari kemudian.
6
Ikhtilaf tadhadh adalah ketika makna-makna itu saling menafikan satu
sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu
diantaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.7
Sebagai contoh adalah ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’I dengan Imam
Ahmad yang terdapat dalam surah An-nisa ayat 43:
Terjemahnya : Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya allah maha pema’af lagi
maha pengampun.8
ْ أَولَ َم, menurut Imam Asy-syafi’I menyentuh disitu dalah
َ ِّتُ ُم الن/س
Lafaz ا َء/س
makna hakiki karena tidak ada illat atau sebab dan qarinahi atau petunjuk yang
mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majaz. Karenanya
menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut
Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat Majazy berdasarkan pada surah Al-
Baqarah ayat 237: Terjemahnya: “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum
kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menetukan maharnya maka
(bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan kecuali jika mereka
(membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di
tangannya…”.9
Karena menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu
walaupun berdosa jika bukan mahramnya karena hukum keduanya memang
berbeda. Sementara dari sudut apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam
tafsir al-Qur’an, Ibnu Taimiyah menyimpulkannya dalam 2 hal: yaitu ikhtilaf
yang didasari sandaran nash (tafsir bil Ma’tsur), dan ikhtilaf yang didasari oleh
selain nash (tafsir bil ra’yi). Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilaf itu
secara garis besar dapat dikatakan berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsir bil-
ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi.
a) Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ma’tsur
7
Seperti telah dijelaskan bahwa landasan yang menyebabkan terjadinya
ikhtilaf dalam tafsir bil-Ma’tsur adalah nash. Artinya, terdapat beberapa nash
atau riwayat yang tidak sepakat dalam mengukapkan penjelasan terhadap
suatu ayat atau lafazh qur’ani tertentu. Dalam kasus ini, kita akan
menemukan misalnya beberapa penjelasan tentang suatu ayat yang sama yang
secara sekilas nampak berbeda atau bertentangan.
Setelah meneliti lebih dalam, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa
ikhtilaf dalam kategori sangat mungkin terjadi karena sebab berikut :
Ketika sebuah lafazh ditafsirkan oleh setiap ulama dengan penjelasan yang
berbeda, padahal makna-makna itu sebenarnya ada dalam lafazh yang
dimaksud.
Contoh paling sederhana misalnya adalah lafazh “Hari Kiamat”
(Yaum al-Qiyamah). Hakikatnya satu, namun terkadang diungkapkan dengan
makna-maknanya yang lain, tapi semuanya tercakup dalam kata Yaum al-
Qiyamah. Kita mengenal kata “Yaum al-Din” (Hari Pembalasan), “Yaum al-
Hasyr” (Hari Pengumpulan), dan “Yaum al-Taghabun” (Hari saling
menuntut). Dimana setiap kata ini memiliki makna yang berbeda, namun
semua makna itu tercakup dalam “Yaum al-Qiyamah”.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa
kategori ini dapat dimasukkan dalam kategori ikhtilaf tanawwu’ yang tidak
saling kontradiktif, dan bukan ikhtilaf tadhadh.
Al-Qur’an menyebutkan sesuatu dengan lafazh yang bersifat umum,
lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu
bagiannya yang khusus saja. Seperti dalam surah faathir ayat 32 :
Terjemahnnya: Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang
kami pilih diantara hamba-hamba kami, lalu diantara mereka ada yang
mendzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih
dahulu membuat kebaikan dengan izin allah swt. Yang demikian itu adalah
karunia yang besar.
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah: (1) Yang
zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi), (2) yang bersikap
pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berkompetisi dalam kebaikan (al-
sabiq bi al-khairat). Bila kita merujuk pada bagaimana para ahli tafsir
menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas kita akan menemukan
8
perbedaan. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang
membaca Al-Qur’an tapi tidak mengamalkannya, yang pertengahan adalah
yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya, dan yang berkompetisi
dalam kebaikan adalah yang membaca Al-Qur’an, memahaminya dan
mengamalkannya. Ada yang menafsirkan bahwa yang zhalim itu adalah yang
lalai dari shalat sehingga kehilangan waktu dan jama’ah, yang pertengahan
adalah yang tidak kehilangan waktu namun ketinggalan jamaah, sementara
yang berkompetisi adalah yang selalu menjaga waktu dan jamaahnya. Ada
pula yang menafsirkan bahwa yang berkompetisi adalah yang masuk ke
mesjid sebelum adzan dikumandangkan, yang pertengahan adalah yang
masuk ke mesjid setelah adzan dikumandangkan, dan yang zhalim adalah
yang masuk setelah shalat ditegakkan. Dan banyak lagi penafsiran lain
seputar ini.
10. Usman el-Qurtuby, Al-Qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah) ( Bandung: Cordoba,
2016), 235
9
Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan asumsi bahwa
penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-
Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk
disampaikan kepada jin dan manusia.
Dengan kata lain, para penempuh metode ini hanya memperlakukan
al-Qur’an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka
tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti
asbab al-nuzul, dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-
Qur’an bi al-Lughah) tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat
dipungkiri bahwa al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab,
sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan.
Tetapi tidak cukup dengan itu. Para ulama tafsir telah menyimpulkan
berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak
menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbab al-
nuzul sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur’an.
Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Kisah ini
setidaknya menunjukkan dua hal penting :
a) Bahwa bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks
ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode
yang “sah-sah saja” dalam menafsirkan al-Qur’an.
b) Bahwa ketika “bertemu” antara penafsiran secara lughawy dengan
penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran
secara naqly-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks
al-Qur’an.
Akhirnya, memang tak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya
ikhtilaf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra’yi ini termasuk dalam
kategori ikhtilaf tadhadh. Dan berkembangnya berbagai firqah dalam Islam
adalah merupakan bukti nyata akan hal ini.11
10
Ikhtilaf dikalangan ummat islam telah terjadi sejak masa sahabat, ikhtilaf itu
terjadi karena perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang
sampai kepada mereka. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka dalam masalah
hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan
hukum dan berlainan tempat.
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar luas ke
berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-
pencar ke Negeri yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar
pikiran atau bermusyawarah memecahkan suatu masalah, sukar dilaksanakan.
Sampai saat ini fiqh ikhtilaf tetap berlangsung, mereka tetap berselisih paham
dalam masalah furu’iyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran
dalam memahami nash dan mengistinbahtkan hukum yang tidak ada nashnya.
Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara
yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan
yang cenderung berpegang pada dzahir nash, antara yang mewajibkan bermazhab
dan yang melarangnya. Perbedaan pendapat dikalangan ummat ini, sampai kapanpun
dan di tempat manapun akan terus berlangsung dan hal iini menunjukkan
kedinamisan hukum islam, karena pola pikir manusia terus berkembang.
Di antara sebab-sebab pokok terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama
(Mujtahidin) adalah sebagai berikut :
1) Sebab-Sebab Eksternal
a) Berbeda perbendaharaan hadis masing-masing mujtahid.
Hal ini terjadi sebagaimana telah disebutkan diatas, bahewa para sahabat
telah berpencar-pencar keberbagai penjuru negeri yang banyak
mengetahui tentang hadis nabi, sukar menemui mereka.
b) Ada juga kemungkinan, bahwa sahabat nabi dapat djumpai, tetapi
masing-masing sahabat itu tidak sama dalam perbendaharaan hadisnya,
karena pergaulannya dengan rasullullah ikut menentukan banyak
sedikitnya hadis yang diterima.
c) Diantara ulama dan umat islam, ada yang kurang memperhatikan situasi
pada waktu Nabi bersabda, apakah ucapan beliau itu berlaku umum atau
untuk orang tertentu saja. Apakah perintah itu untuk selama-lamnya atau
hanya bersifat sementara.
11
d) Diantara ulama dan ummat islam kurang memperhatikan dan
mempelajari, bagaimana caranya Nabi menjawab suatu pertanyaan atau
menyuruh orang, karena adakalanya jawaban atau suruhan itu tepat untuk
seseorang dan kadang-kadang tidak tepat untuk orang lain.
e) Diantara ulama dan ummat islam banyak yang terpengaruh oleh pendapat
yang dterimanya dari pemuka-pemuka dan ulama-ulama sebelumnya
dengan ucapan “telah terjadi ijmak”, pada masalah-masalah yang tidak
pernah terjadi ijmak.
f) Diantara ulama ada yang berpandangan yang terlalu berlebihan terhadap
amaliah-amaliah yang disunnatkan, sehingga orang awam
menganggapnya suatu amaliyah yang diwajibkan dan berdosa apabila
ditinggalkan.
g) Para sahabat yang tinggal terpencar-pencar diseluruh pelosok negeri, ada
yang meriwayatkan hadis berbeda-beda, karena mungkin lalai atau lupa,
sedangkan yang mengigatkan diantara sahabat-sahabat itu tidak ada.
Perbedaan pandangan dalam bidang politik, juga menimbulkan pendapat
yang berbeda dalam menetapkan hukum islam.
2) Sebab-Sebab Internal
a) Kedudukan suatu hadits
Karena hadis-hadits yang datang dari rasullullah itu melewati
banyak jalan, maka terkadang menimbulkan perbedaan antara riwayat
yang satu dengan yang lainnya, bahkan bisa juga berlawanan. Bagi orang
yang mantap hatinya mempercayai perawinya maka hadis tersebut
dijadikan landasan penetapan. Begitu juga sebaliknya bagi orang yang
tidak mempercayai perawinya akan menyampingkan hadis tersebut.
b) Perbedaan penggunaan sumber hukum
Para ulama dalam menetapkan suatu hukum tidak sama antara satu
dengan yang lain. Hal ini disebabkan tidak sama dalam penggunaan
sumbernya. umpamanya:
12
adalah dari segi sampa atau idaknya suatu hadits, percaya atau tidak
terhadap seorang perawi, sahih atau tidak suatu hadits.
2) Dalam masalah Ijmak
Sebagai contoh dalam masalah ijmak yaitu dalam hal
menjatuhkan talak 3 sekaligus. Jumhur Fuqaha mengatakan, bahwa
talak tiga sekaligus jatuh tiga juga dengan alasan telah ijmak pada
masa khalifah Umar, sedangkan ulama yang mengatakan, bahwa talak
tiga sekaligus, hanya jatuh satu dengan alasan, telah ijmak pada masa
Nabi dan Abu Bakar.
3) Istihsan
Imam Hanafi mempergunakan Istihsan dalam menetapkan
sebagian hukum, sedang Imam Syafi’i tidak memakainya. Sebagai
contoh: menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh membaca Al-Qur’an bagi
orang sedang haid, karena orang yang haid itu sama dengan orang
junub. Sedang menurut Imam Hanafi dibolehkan membacanya.
4) Maslahah Mursalah
Penetapan hukum dengan Maslahah Mursalah adalah melihat
kepentingan umum, walaupun kelihatannya menyimpan dari
ketentuan yang biasa berlaku.
Sebagai contoh: menjatuhkan hukuman mati atas suatu kaum
atau kelompok manusia yang membunuh satu orang, bisa bisa dijatuhi
hukuman mati menurut Fuqaha Hanafiah, Malik dan Syafi’i untuk
menghindari usaha jahat dari kelompok tertentu yang ingin
melakukan pembunuhan dengan cara sengaja.
Sedangkan menurut Mazhab Hambali, tidak boleh dijatuhi
hukuman mati, karena tidak sepadan.
5) Urf
Urf biasanya diarikan dengan kebiasaan, apakah kebiasaan itu
baik atau buruk. Sebenarnya penggunaan urf berkaitan erat dengan
maslahah mursalah, hanya saja hukum-hukum yang diterangkan dapat
berubah-ubah enurut suatu daerah.
13
a) Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan
salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
b) Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir.
c) Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang
berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut
kehidupan di seputar mereka.
2.5 Macam-macam Ikhtilaf Al-Hadits
Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful qulub
(perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan)
dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta
meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat
manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur
pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah
hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’,
dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak
dan tidak ditolerir.
Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal
pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:
1. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori
tafarruq atau iftiraq(perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak
ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf,
melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan
fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang
melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam
yang biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan
ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti
Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah),
Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
2. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan
dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’
(perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah
menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang
14
menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan
dalam tulisan ini pada khususnya.
15
a) Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman,
amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua,
akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah
dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau
khilafiyah.
b) Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-
masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa
sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-
lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah
yang ada.
c) Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai
bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari
ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap
mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-
sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin
perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas
sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan
ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu
’alaihi wasallam. Karenanya bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar
sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya
adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat
dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan
judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam
perbedaan pendapat para imam).
d) Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus
mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu
kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini
sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah,
seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya
mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus
mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam
menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau
pendapat).
16
e) Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau
memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan
berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi
yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para
thullaabul-’ilmisy-syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum
muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah
ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau
ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-
taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan
ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
f) Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat
personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan
memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut
pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika
ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari
ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” – keluar
dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
g) Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan
kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap
melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata
lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang
bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan
masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah
khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan
keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi,
termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan
pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut
kita.
h) Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem),
misalnya dengan memiliki sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan
dalam masalah-masalah furu’ khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap
yang tidak logis, tidak islami, tidak syar’i dan tentu sekaligus tidak salafi
(tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)!
17
i) Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang
telah disepakati atas masalah-masalah furu’ yang diperselisihkan. Atau
dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan
masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah.
j) Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala’ dan bara’ dalam bersikap
terhadap fenomena ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah.
Karena bab wala’ dan bara’ bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam
masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah
ushul (prinsip) pada umumnya.
k) Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-
masalah ijma’) – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-
masalah khilafiyah) – sebagai standar dan parameter komitmen dan
keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai
seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar
masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan
komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan
dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau
pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit
jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab
pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun.
Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan
berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai
orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah (?). Tidak. Itu semua
tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan
ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang
istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-
madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan
dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai
kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan
bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri!
l) Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah
tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak
masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan
18
(ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh
(rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
m) Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai
kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan
penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu
ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan
menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan
perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau
sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat diantara para ahli hukum (fuqaha)
dalam menetukan hukum dari permasalahan yang ada dengan menggunakan
metode yang berbeda.
Adapun beberapa tempat-tempat yang memungkinkan terjadinyan ikhtilaf
diantaranya ayat-ayat al-Qur’an yang masih belum jelas petunjuknya atau zanni
ad-dalalah, hadis-hadis Nabi Saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni
wurud dan zanni ad-dalalah, peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk
langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya
ikhtilaf yaitu perbedaan para ulama mengenai pemahamanya tentang lafadz nash,
perbedaan dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i yang masih umum yaitu
masih bersifat dzonni, Perbedaan pendapat dibeberapa kaidah ushul fiqh, dan juga
Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan,
situasi serta kondisi.
20
DAFTAR PUSTAKA
AM. Munawir, dkk. 2016. PAI dan Budi Pekerti Kelas X SMK, (Jakarta: Erlangga
Andi Muhamad Hidayat, “Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ahli
Hukum”.http://amanahgontory.sch.id/2016/11/15/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-
ikhtilaf-ahli-hukum/ diakses tanggal 15 Maret 2019
Djazuli. 2004. Ilmu Fiqh (Penggertian, perkembangan, dan penerapan hukum islam).
Bandung: Kencana Prenada Media Group.
Hasan, M. Ali. 1998. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT.RajaGrafiindo Persada.
http://rifka-abdillah.blogspot.com/2012/04/perbedaan-madzhab-dan-sebab-sebSabnya.html
Ildahayati , “Kesungguhan akan membuahkan kesuksesan Kesungguhan akan membuahkan
kesuksesan”. http://ildahayati.com/2015/04/26/ikhtilaf-perbedaan-pendapat-ulama-
dalam-hukum-islam/ diakses tanggal 15 Maret 2019
Muhammad Ikhsan, “Kumpulan Makalah & Artikel”. http://makalah gratis.blogspot.co.id/-
2010/01/makalah-ikhtilaf-dalam-tafsir.html. diakses tanggal 15 Maret 2019
Thaha Jabir Fayyadh al-alwani, terj. Ija Suntana. 2001. Etika Berbeda Pendapat dalam Islam.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Usman el-Qurtuby. 2016. Al-qur’an Cordoba (Al-qur’an Tajwid dan Terjemah. Bandung:
Cordoba
21