Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada beberapa hal yang perlu disampaikan, pertama, dalam islam terdapempat madzhab
fiqih yang terkenal. Urutannya: Hanafi, Maliki, Safi’i, Hambali. Inilah madzhab
yang terkenal dalam fiqih islam. Kedua, walaupun sudah ada empat madzhab tidak
berarti bahwa semua syari’at islam itu telah dibicarakan oleh keempat madzhab
tersebut. Ini berarti, belum tentu pedapat di luar empat madzhab itu secara
otomatis salah. Salah atau tidak mesti menggunakan pijakan dan patokan yang sudah
disepakati yaitu Quran dan hadits. Ketiga, barangkali ada baiknya ikhwan fillah
mengetahui, mengapa hanya empat madzhab ? karena hanya empat madzhab yang lolos
dari seleksi alam. Mengapa bisa lolos, sebab imam-imam dari empat madzhab ini
mempunyai pengikut-pengikut atau murid-murid yang rajin mencatat perkataan imamnya
yang terus-menerus diwariskan hingga sampai kepada kita. Imam-imam yang diwariskan
ilmu dari Imam yang empat itu belum tentu kadar keimanannya dibawah imam yang
empat, banyak diantaranya yang juga sangat pandai. Namun pedapat-pendapat mereka
akhirnya dinisbatkan kepada pemberi pendapat yang pertama, yaitu imam yang pertama.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Al-Iktilaf ?
2. Bagaimana Al-Ikhtilaf Al-Maqbul ?
3. Apa saja asbab Al-Ikhtilaf ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui secara jelas pengertian Al-Ikhtilaf
2. Agar mengetahui bagaimana Al-Ikhtilaf yang Maqbul
3. Untuk mengetahui asbab Al-Ikhtilaf

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ta’rif Al-Iktilaf
Iktilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf
berdasar dari bahasa arab yang asal katanya khalafa, yakhlifu, khilafan. Maknanya
lebih umum dari pada al diddu, sebab setiap hal yang berlawanan atau aldiddain
pasti akan saling bertentangan.
Manusia berbeda pendapat, mereka saling berbantah dan perang mulut.
Terhadap perkara ini Allah menegaskan dalam firmannya QS. Maryam 37, yang artinya:
“maka berselisihlah golongan-ngolongan (yang ada) diantara mereka, maka
kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar”. [1]
Sedangkan menurut istilah ikhtilaf dan mugholif adalah mengambil satu
jalan diantara jalan yang lain baik dalam keadaan ataupun pekerjaan, secara umum
perbedaan itu setiap dua perkara yang berlawanan dan setiap dua yang berbeda itu
belum tentu berlawanan.[2] Perbedaan pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah yang
banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, bukan
sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang
pohon itu adalah al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli
dan aqli, sedangkan buahnya adalah hukum Islam (fiqih) meskipun berbeda-beda atau
banyak jumlahnya.[3]
Ikhtilaf dalam fiqih dibagi menjadi tiga: ikhtilaf maqbul, iktilaf madmum, dan
ikhtilaf saighma’kul.
2.2 Al-Ikhtilaf Al-Maqbul
Al-Ikhtilaf Al-Maqbul merupakan perbedaan yang diterima, ulama berbeda
pendapat mengenai suatu kesunahan dari beberapa macam-macam hal tersebut dan
mendahulukan kesunnahan dari yang lainnya dan Ibnu Taimiyah menyamakan hal ini
dengan macam-macamnya haji jika seseorang melakukan haji qiran ataupun tamattuk
ataupun ifrad maka hal itu sudah dianggap haji menurut ulamanya orang-orang Islam,
meskipun ulama tersebut bertentangan mengenai yang lebih utama dari tiga hal
tersebut. Begitu juga mengenai masalah adzan, adzan bisa dianggap benar meskipun di
dalamnya ada bacaan tarji’ (dua kalimat syahadat) ataupun tidak, begitu juga dengan
empat takbiran baik diawal atau ditengah-tengah takbir. Begitu juga mengenai
iqamah, iqamah bisa sah baik dibaca sekali atau dua kali, dimana saja iqamahnya
maka tetap sah menurut ulama orang Islam kecuali jika diantara manusia tersebut
terdapat pertentangan.[4]
Begitu juga mengenai permasalahan basmalah apakah dibaca keras atau
pelan dan setiap keduanya itu boleh hukumnya dan tidak membatalkan shalat namun
letak perbedaan itu pada kesunatannya sebagian ulama mensunnahkan sebagian lainnya
memakruhkan.[5]
Begitu juga masalah qunut dalam shalat subuh ulama berbeda pendapat
mengenai kesunnahan dan kemakruhannya, begitunpula bagi yang meninggalkannya apakah
harus melakukan sujud sahwi atau tidak. Namun apabila tidak melakukannya para ulama
tetap menghukuminya dengan sah karena melakukan qunut itu bukan sebuah kewajiban.
Begitu pula orang yang melakukan qunut, para ulama sepakat menghukumi shalatnya
tetap sah karena qunut termasuk perpanjangan rukun yang ringan dan itu merupakan
do’a pada rukun ini. Maka apabila seseorang melakukan qunut diselainnya waktu subuh
maka pekerjaan tersebut tidak membatalkan shalat menurut kesepakatan ulama.[6]
Begitu pula mengenai membaca istiftah, perbedaan ulama mengenai hal ini
terletak pada hal kesunnahannya. Adapun perbedaan mengenai kewajibannya itu hanya
sedikit terjadi, dan kewajiban istiftah tersebut berasal dari pendapat madzhab Imam
Ahmad.
Maka ikhtilaf ini merupakan ikhtilaf diantara umat yang mana perkaranya
itu sangat mudah. Ibnu Taimiyah berkata : “Memecah diri dari umat mengenai hal ini
hukumya itu tidak boleh memberikan hak pada sunnah dengan hak yang berada di
atasnya”. Seperti contoh seseorang yang memberikan hukum yang lainnya seperti wajib
dan sunnah yang afdhol. Karena tidak boleh hukumnya menjadikan perkara sunnah
menjadi wajib dan juga sebaliknya sekiranya seseorang mencegah orang lain untuk
meninggalkan perkara tersebut karena hal kewajibannya. Maka Ibnu Taimiyah
berpandangan bahwa orang yang seperti itu telah keluar dari agamanya dan bermaksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan meninggalkan hal yang sunnah tersebut karena
adanya perbedaan yang jelas itu hukumnya lebih utama dari pada melakukannya. Begitu
pula yang wajib.[7]
Dan menjadi sesuatu yang diketahui yaitu sesungguhnya(i’tilaful qulup)
bersatunya hati umat islam di dalam agama itu lebih utama dari pada mengerjakan
sunnah. Maka apabila ada seseorang meninggalkan sunnah karena alasan i’tilaful
qulub maka hal tersebut lebih utama dikerjakan apabila didalamnya terdapat
kemaslahatan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Aisyah RA.
Rasulullah bersabda :” seandainya umatmu tidak memperbaharui atau merenovasi ka’bah
pada zaman jahiliyah niscaya akan aku rusak dan aku ratakan ka’bah itu dengan bumi
dan akan ku jadikan ka’bah itu sebagai tempat keluar masuknya seseorang.[8]
2.3 Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf
Terjadinya perbedaan pendapat tentang menetapkan hukum islam, di
samping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga faktor lain karena
adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami
perkembangan sepanjang petummbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin
berkembang sepanjang sejarah hukum islam, sehingga kadang- kadang menimbulkan
pertentangan keras, utamanya di kalangan orang – orang awam. Tetapi pada masa
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak
begitu di persoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang
terjadi karna perbedaan dalam berijtihad.[9]
Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan fikirannya untuk
menemukan hukum Allah SWT dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang
memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka
yang pokok adalah sama, yaitu al-qur’an dan sunnah. Tetapi terkadang temuan mereka
berbeda satu sama lain dan masing –masing dengan hasil ijtihadnya, yang menurut
dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.
Syehk Muhammad al- madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al- Fuqoha’,
membagi ikhtilaf itu pada empat macam, yaitu
1. Pemahaman al-qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
2. Sebab – sebab khusus tentang sunnh Rasulullah SAW.
3. Sebab –sebab yang berkenan dengan qaidah –qaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah.
4. Sebab – sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al- qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW.
Penjelasan dari masing –masing penyebab ikhtilaf itu adalah sbagai berikut:
1. Pemahaman al- Qur’an dan sunnah
Seperti di maklumi, sumber syari’at islam adalah al- quran dan sunnah rasul.
Keduanya berbahasa arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari
satu (musytarak). Selain itu pada ungkapannya terdapat kata ‘am (umum) tetapi yang
dimaksudkannya “khusus”. Adapula perbedaan tinjauan dari segi lughawi dan ‘urfi
serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
Berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai musytarak dalam nash al-aquran yang
menimbulkan ikhtilaf tersebut.
Pertama kata ” ya’fu” kata ini mengandung dua arti musytarak yaitu menggugurkan dan
menghibahkan. Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan
siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah di tentukan, apakah wali
atau suami.
2. Sebab – sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah SAW
Sebab –sebab khusus mengenai sunnah rasul SAW. yang menonjol antara lain: (a)
pebedaan dalam penerimaan hadist, sampai atau tidaknya suatu hadits kepada sebagian
pendapat, (b) perbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya),
(c) perbedaan kedudukan syakhsbiyyah Rasul.
a. Perbedaan dalam penerimaan hadits
Para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hdits, kesempatannya
tidak sama. Ada banyak yang menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang
banyak menerima hadits sekaligus meriwayatkannya.tapi banyak pula diantara merek
yang sibuk dengan urusan –urusan pribdinya, sehingga jarang menghadiri majlis
Rasul, pada hal biasanya dalam majlis itulah rasul menjelaskan masalah –masalah
yang ditanyakan atau menjelskan hukum sesuatu ; memerintah atau melarang dan
menganjurkan sesuatu.
b. Perbedaan dalam menilai periwayat hadits
Adakalanya sebagian ulama memandang periwayat suatu hadits shahih, sedangkan
menurut ulama yang lain tidak, misalnya karna tidak memenuhi semua persyaratan yang
telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.
c. Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAW
Bahwa rasul disamping keberadaannya sebagai rasul, juga sebagai manusia biasa (Q.S.
al- Kahfi : 110). Kadang –kadang beliau bertindak sebagai panglima perang sebagai
kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau
tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika
melakukannya.
3. Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab –sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah –kaidah ushul
diantaranya adalah mengenai istisna’ yakni : apakah istisna’ yang terdapat sesudah
beberapa jumlah yang di’athafkan satu sama lainnya, kembali kepada semua ataukah
kepada jumlah terakhir saja. Adapuun sebab –sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf)
yang berkaitan denagn kaidah –kaidah fiqhiyah contohnya antara lain sebagai berikut
:
a. Madzhab Syafi’i menggunakan kaidah:” hukum terkuat dari segala sesuatu
adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.
b. Madzab Hanafi menngunakan kaidah :” hukum yag terkuat dari segala sesuatu
adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.
4. Perbedaan penggunaan dalil diluar Al-qur’an dan sunnah.
Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan perbedaan
penggunaan dalil diluar al-qur’an dan sunnah, seperti; Amal ahli madiah dijadikan
dasar fiqh oleh imam malik, tidak dijadikan dasar oleh para imam yang lainnya.
Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijma’ qiyas, maslahah mursalah, istihsan,
sad al-Dzari’ah, istishhab, urf dsb, yang oleh sebagian ulama’ dijadikan dasar,
sedang para ulama’ lain tidak menjadikan dasar dalam mengistimbatkan hukum,
sekalipun kebenarannya perbedaan itu hanyalah dalam tingkatan penggunaannya saja.
Dari uraian diatas tentang sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam
disimpulkan bahwa:
a. Perbedaan ulama’ mengenai sumber hukum utama (al qur’an) adalah dari segi
pemahaman semata-mata terdapat nash-nash yang zhanny (tidak pasti )dalalahnya.
b. Perbedaan mengenai sumber hukum yang ke dua, yakni sunnah rasul, yakni dari
segi wurud (penilaian terhadapat sanad dan sebagian matan hadist), disamping segi
dalalahnya, serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah rasul sesudah dikaitan dengan
Syakhshiyyah rasul (sebagai rasul atau insaniyahnya).
c. Perbedaan pendapat dalam islam, bukan mengenai persoalan dasar (pokok),
baik di kalangan ahlussunnah, maupun syiah dan mu’tazilah, melainkan perbedaan
pandangan dan penilaian terhadap nuzusb, (al qur’an dan sunnah) yang memungkinkan
dan memberi celah-celah adanya perbedaan penafsiran. Karna itu, peganut mahzab
tertentu sering menentang mahzabnya sendiri, seperti ibn taimiyah dan ibn al qayyim
terhadap imam ahmad bin hambal, serta abi yusuf dan muhammad al hasan al saibany
terhapat imam abi hanifah.
d. Perbedaan yang disebabkan penggunaan dalil diluar al qur’an dan sunnah
seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashabab mursalah, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai