NIM : 19620085 Kelas : C ITTIBA’, TAQLID, DAN TALFIQ A. Ittiba’ Ittiba’ adalah suku kata dari bahasa arab, suku kata tersebut adalah berbentuk mashdar yaitu dari kata “Ittaba’a-Yattabi’u-Ittiba” yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengan kata Ittiba’ tersebut diantaranya adalah Iqtifa’ ( menelusuri jejak), Qudwah (bersuri tauladan), Uswah (berpanutan). Jadi secara bahasa Ittiba’ bisa didefinisikan yaitu mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejak dan mengiringnya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani, dan mencontoh. Sedangkan menurut istilah Ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Dikatakan oleh Ibnu Khuwaizi Mandad yaitu “Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya maka engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti)”. Sedangkan Ittiba’ menurut istilah syar’i yaitu meneladani dan mencontoh Nabi Saw., didalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan didalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal seperti amalan yang beliau amalkan dan disertai dengan niat dan kehendak padanya. Macam-macam Ittiba’ yaitu pertama Ittiba’ kepada Alloh dan Rasul-Nya sifatnya wajib dan yang kedua Ittiba’ keselain Alloh dan Rasul-Nya sifatnya haram. Ittiba’ kepada Nabi Saw., didalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi Saw. Ittiba’ kepada Nabi baik itu didalam perkataan, perbuatan, perkara yang dilaksanakan atau ditinggalkan dan lain sebagainya. Ittiba’ kepada Nabi Saw., adalah salah satu inti dan pondasi dasar agama Islam, juga merupakan syari’at paling agung yang diterima dan diketahui dengan pasti. Dalil-dalil syar’i yang shohih yang menjelaskan dan menegaskan hal ini sangat banyak diantaranya adalah firman Alloh Swt., dalam surat al- Hasyr ayat tujuh dan an-Nisa ayat 80 (ayat Al-Qur’an dan artinya bisa dilihat didalam Al- Qur’an dan terjemh). Hukum untuk Ittiba’ yaitu mubah bahkan dianjurkan oleh ulama fiqh dalam mengamalkan syari’at Islam. Muttabi’ adalah orang yang mengikuti ada dua macam Muttabi’ yaitu pertama Muttabi’ yang tidak ikut-ikutan yaitu orang yang mampu menjelaskan bagaimana jalan pikiran para Imam mujtahid dalam mengistimbatkan hukum dan menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah jadi Muttabi’ ini ikut tetapi tetap berfikir dan yang kedua Muttabi’ yang awam yaitu mereka yang tidak mampu menjelaskan perbedaan pendapat para Imam Mujtahid dan tidak ikut-ikutan mereka hanya menerima tuntunan bimbingan dan penjelasan agama. Adapun manfa’at dan hikmah dari Ittiba’ yaitu pertama memudahkan seseorang dalam melaksanakan perintah Alloh jika ia bukan seorang mujtahid, kedua agar dapat memahami secara baik ajaran agama dan semua peraturan-peraturan yang ada, dan yang ketiga merupakan faktor penting untuk kesempurnaan beramal. B. Taqlid Taqlid’ adalah suku kata dari bahasa arab, suku kata tersebut adalah berbentuk mashdar yaitu dari kata “Qalada-Yuqalidu-Taqlidan” yang berarti Mengalungi, Meniru, Mengikuti. Para ahli ushul fiqh mengartikan Talqid sebagai berikut “Attaqlid huwa akhoda qoululgoiro min goiri ma’rifatun dalilatun” yang artinya yaitu “Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya”. Dari definisi diatas ada dua hal penting yang harus diperhatikan yang pertama adalah menerima atau mengikuti perkataan seseorang, dan yang kedua perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu terma Ijtihad tidak selalu dihadap- hadapkan secara vis a vis dengan taqlid, sebagaimana dipahami kaum modernis. Pandangan ini meluruskan pemahaman yang sudah terlanjur meluas, terutama setelah dihembuskan oleh para pembaharu di Mesir abad ke-19 yang kemudian diikuti hingga sekarang di Indonesia, yaitu ajakan untuk melakukan Ijtihad dan memberantas Taqlid. Sebab, menurut pembaharu ini Ijtihad dan Taqlid selalu diperhadapkan secara konfrontatif, tidak pernah dicoba untuk dihbungkan sama sekali. Akibatnya tidak sedikit orang yang sebenarnya muqollid tetapi berani dengan lantang mengajak Ijtihad dan memberantas Taqlid. Jika dipahami secara profesional, maka sesungguhnya taqlid dan ijtihad adalah sebuah rangkaian. Antara taqlid dan ijtihad itu ada interval yang bisa dimasuki oleh orang yang melakukan ijtihad sekaligus taqlid. Kendati taqlid (dan atau bermadzhab) juga tidak lepas dari kritik karena sifatnya yang melemahkan semangat belajar umat misalnya, namun eksistensi pola beragama menggunakan berMadzhab tidak dapat serta merta dihilangkan. Macam-macam taqlid yang pertama ada taqlid yang dibolehkan yaitu mengikuti pendapat orang lain bagi orang awam dan hanya terbatas pada masalah furu’ yang kedua yaitu taqlid yang dilarang taqlid ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu a). Taqlid buta yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak tanpa memperhatikan ajaran qur’an dan sunnah. b). Taqlid terhadap orang yang tidak diketahui keahliannya. c). Taqlid terhadap orang yang memperoleh dalil tapi bertentangan dengan ajaran Islam. Ada beberapa masalah yang dibolehkan serta tidak dalam bertaqlid yaitu: A). Taqlid dalam masalah furu’ taqlid ini boleh tapi harus mengetahui dalil;mu’tazilah , boleh dalam masalah ijtihadiyah, dan wajib jika akan mengakibatkan kesulitan. B). Taqlid dalam masalah ushul dan aqidah menurut mayoritas ulama tidak diperbolehkan, namun harus mengetahui dalil-dalilnya secara global). Menurut pendapat Kiai Muchith Muzadi, bahwa setidaknya ada empat tingkatan orang yang disebut Muqallid yaitu: a. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengerti dalil-dalil, argumentasi (hujjah) dan metode yang dipergunakan oleh tokoh yang diikuti. b. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengetahui dalil yang dipergunakan secara fragmentaris dan sporadis (sepotong-sepotong) saja. c. Mengikuti pendapat tokoh tertentu, hanya dengan kepercayaan bahwa pendapat yang diikuti itu adalah benar, sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW., tanpa mengetahui dalil-dalil, argumentasi, metoda, dan lain sebagainya. d. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dengan mengikuti pelajaran atau pengajuan yang diterimanya dai kiai, ulama, ustadz atau gurunya dipesantren, di madrasah, di sekolah, di kursus atau ceramah atau di majalah dan sebagainya. Mereka yakin atas kemampuan dan kejujuran para pengajar itu. Pendapat para Imam madzahibilarba’ah dalam hal bertaqlid yaitu sebagai berikut: a. Imam Hanafi; melarang bertaqlid atau mengikuti perkataannya tanpa mengetahui sumbernya b. Imam Malik; membolehkan jika tahu dalil dan sesuai dengan Al-Qur’an dan As- Sunnah, tidak boleh taqlid jika sebaliknya c. Imam Syafi’i; membolehkan d. Imam Ahmad bin Hambal; melarang bertaqlid Dengan demikian, Islam adalah agama yang mengafirmasibertingkatnya lapis kaum muslimin. Islam, oleh karena itu bukan diperuntukan hanya pada elit orang muslim belaka, namun juga kalangan bawah yang tidak tahu menahu apapun tentang Ijtihad, maka yang terjadi adalah pembeban diluar kemampuan manusia. Padahal, Alloh SWT., telah berfirman: “Layukallifullohunafsan illa wus’aha”. Alloh SWT., tidak membebani seseorang kecuali yang dimampuinya. C. Talfiq Dalam pembendaharaan bahasa Arab Talfiq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda / mencampur / menggabungkan satu persoalan dengan persoalan lain. Menurut peristilahan Ulama ushul fiqh, Talfiq dimaksudkan sebagai nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan kepada pendapat dari berbagai madzhab. Misalnya seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, karena pertama, mengikuti pendapat madzhab Hanafiyah yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan dan kedua, mengikuti madzhab Malikiyah yang tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan tersebut. Atau contoh lain seseorang berwudhu dengan memakai air musta’mal dan kemudian shalat dengan membaca fatihah tanpa basmalah. Karena yang pertama mengikuti pendapat Imam Malik yang membolehkan memakai air musta’mal dan kedua mengikuti pendapat Abu Hanifah dan Maliki yang mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari surah Fatihah. Pada dasarnya, talfiq dibolehkan selama tujuan melaksanakan semata-mata mengikuti mengikuti pendapat yang lebih kuat argumentasinya, yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan analisa masing-masing pendapat tersebut. Namun bila talfiq hanya sekedar untuk mencari keringanan saja dan mengumpulkan dalam suatu perbuatan atau hukuman tertentu saja hal ini tidak dibenarkan bahkan ada pendapat ulama yang mengharamkannya. Hukum dalam bertalfiq dilarang karena memilih yang ringan dan cenderung hawa nafsu; (Imam Ghazali, Ibnu Hazim, Ibnu Abdillah). dan ada membolehkan mengambil yang ringan-ringan dari berbagai madzhab hanya untuk kemaslahatan; (Ibnu Abdi Salam, Ibnu Humam al-Hanafi) mayoritas ulama’ membolehkan dalam hal-hal juz’i dan dibolehkan juga dalam suatu keadaan khusus atau keadaan yang sangat darurot dan tidak terus menerus. Sumber / Referensi Harisudin, Noor, M. 2019. Pengantar Ilmu Fiqh. Surabaya. Pena Salsabila PowerPoint