Anda di halaman 1dari 7

Mata Kuliah : Dosen

Pengampu:
Ushul Fiqih Ahmad Adri Riva’i, M.Ag

ITTIBA’,TAQLIQ,TALFIQ

Oleh :

Bagus Prasetia
12220213831
Yola Karimah Hersa
12220222654
Nabila Khairun Nisa
12220221443

PROGRAM STUDI S1
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum,
ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan
hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui
ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang
kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.

Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya
memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya
sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-
nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1. Apa yang dimaksud dengan taqlid, ittiba’ dan talfiq ?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq ?
3. Bagaimanakah pendapat ulama mengenai taqlid, ittiba, dan talfiq ?
4. Bagaimana contoh dari taqlid, ittiba, dan talfiq
BAB II

PEMBAHASAN

A. ‘ITTIBA

1. Pengertian ‘ittiba

Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau
fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau
menurut, sedangkan menurut istilah, ittiba adalah mengikuti semua yang
diperintahkan atau yang dilarang dan yang dibenarkan oleh rasulullah saw.
Salah satu ulama berpendapat bahwa ittiba adalah menerima atau mengikuti
pendapat atau perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau
perbuatannya itu.

2. Hukum ‘ittiba

Dari pengertian tersebut diatas, jelaslah yang dinamakan ittiba bukanlah


mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil
atau mengikuti alasan-alasan dinamakan muttabi.

Hukum ittiba' adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba adalah
perintah allah, sebagaimana firman allah:
. ‫ِاَّتِبُعْو ا َم ا ُأْن ِز َل ِإَلْيُك ْم ِم ْن َر ِّبُك ْم َو َال َتَّتِبُع ْو ا ِم ْن ُد ْو ِن ِه َأْو ِلَي اَء َقِلْيًال َم ا َت َذَّك ُرْو َن‬
)۳ : ‫(األعرف‬

Artinya. Ikuti apa yang diturunkan padamu dari nahanmu, dan janganlah kamu
ikuti selain dia sebagai pemimpin, sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.
(QS. Al-araf ayat 13).

Dalam ayat tersebut kita diperintahkan mengikuti perintah-perintah allah,


kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat
dalil yang merubahnya. Disamping itu juga ada sabda nabi muhammad saw :

Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan sunnah khulafaurrasyidin


sesudahku. (HR. Abu daud).
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-
Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya
membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan
bahwa boleh ittiba’ kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsatul
anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl ayat 43 :

‫َفْســَئُلْۤو ا َاْهَل الِّذْك ِر ِاْن ُكْنُتْم اَل َتْع َلُم ْو َن‬

artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan


jika kamu tidak mengetahuinya. ( An-nahl 43 )1
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl
al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan
Hadis serta bukan pengetahuan berdasarkan pengalaman semata. Berbeda
dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk berititba’.

3. Contoh ‘Ittiba

1
Ibnu manzhur, lisan al-arab jilid 8, hal 105
Rasulullah SAW melarang umat muslim untuk makan dan minum dalam
posisi berdiri, Maka kita sebagai umat muslim ber’ittiba. Hadits ini diceritakan
Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

‫َال َيْش َرَبَّن َأَح ٌد ِم ْنُك ْم َقاِئًم ا َفَم ْن َنِس َى َفْلَيْسَتِقْئ‬

Artinya: "Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil


berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan." (HR Muslim).

B. TAQLID

1. Pengertian Taqlid

Kata taqlid berasal dari kata Qallada, yuqallidu, taglidan, artinya meniru
menurut seseorang dan sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah
ilmu ushul fiqih ialah, “Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu
tidak mengetahui alasan perkataannya itu.”2
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni;

‫َقُبْو ُل َقْو ِل ْالَقاِئِل الَغْيِر ُد ْو َن ُحَّج ِتِه‬


“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”

Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para
ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari
semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil
perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan
Qiyas.

2. Hukum Taqlid
para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
a) Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-
Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui
kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia
mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.

2
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 195.
b) Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang
bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti.
Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
c) Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan
ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw.3

3. Contoh Taqlid

C. TALFIQ

1. Pengertian talfiq

Secara kebahasaan, kata talfiq adalah bentuk mashdar dari kata laffaqa,
yulaffiq, talfiqan, yang berarti “merapikan dua tepi yang berbeda”. Sedangkan
Menurut istilah ulama ushul al-fiqh, talfiq didefinsikan dengan :

‫َاْلَع َم ُل ِبُح ْك ِم ُم َؤ َّلٍف َبْيَن َم ْذ َهَبْيِن َأْو َأْكَثر‬

“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”

2. Hukum Talfiq

Para ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau


seseorang bertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk
meneliti fatwa-fatwa mereka.dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal
memfatwakanfatwa merekabila tidak diketahui alasan-alasannya. Nereka juga
memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata
bertentangan dengan Nash.
Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua itu
menghendaki agar semua orang muslim supaya menjauhi diri dari “taqlid”, dan
dengan sendirinya menghendaki supaya melakukan ijtihad, atau sekurang-
kurangnya ber-ittba’, hal yang demiikian kemungkinan besar akan membawa
kepada talfiq.

3
M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006), hal. 109-110.
Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq
adalah dalam perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha
muta’akhirin, adapun mereka yang fanatik pada mazhab, berfatwa bahwa
para qadhi berhak menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang
berpindah mazhab.
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat
muta’akhirin yang terkuat adalah pendapat yang membolehkan talfiq atau ber-
talfiq. Sedang perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut:

1. Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik


secara keseluruhan masalah, yakni dalam masalah berlainan, maupun dalam
satu bidang masalah saja.

2. Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang


di talfiqkan itu bukan dalam satu bidang masalah.

1. Contoh Talfiq

Misalkan seseorang berwudhu menurut rukun dari mazhab syafi’i


(Membasuh kedua tangan sampai siku-siku, Mengusap sebagian kepala atau
rambut yang ada di atas kepala, Membasuh kedua kaki sampai mata kaki,
Tartib,). sedangkan pembatalannya Ia menggunakan mazhab Hanafi (Berhadas,
Hilang akal, tertawa saat solat.).

Anda mungkin juga menyukai