Anda di halaman 1dari 11

IJTIHAD

KELOMPOK 11:
RAMADHAN (2130103152)
ABI MANYU (2130103156)
DWI ARIANTO (2130103149)
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan)
dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
… ‫ون ِإاَّل ُج ْه َدهُ ْم‬ َ ‫… َوالَّ ِذ‬
َ ‫ين اَل يَ ِج ُد‬
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-
Taubah:79)

Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada
pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang
berarti “usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya
upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan
atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya
upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir
B.DASAR HUKUM
IJTIHAD
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya
ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya

Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:

َ ِ‫ون بِاهَّلل ِ َو ْاليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬


‫ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َس ُن‬ َ ُ‫ين آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَِإ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا ِ َوال َّرسُو ِل ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمن‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
‫تَْأ ِوياًل‬

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah
peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang
disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan
hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan ‘illatnya seperti dalam praktik qiyas
(analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud
mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu
C. FUNGSI IJTIHAD
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:
a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-
Qur’an dan sunah.
c. Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial dengan
ajaran-ajaran Islam.
d. Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah-masalah
seperti berikut ini:
1. Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.
2. Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan bangsa.
3. Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam masyarakat
D. MACAM MACAM
IJTIHAD
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu
yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan
akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahi, atau setidak-tidaknya mendekati
syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitab Al-Muwafakat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.[14]
Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.[15]
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad Fardi, menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para iman
mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
2. Ijtihad Jama’i, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam masalah
tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan
ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu
E.SYARAT SYARAT IJTIHAD
• Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid
(orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
• 1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan
tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia
membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
• 2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus
menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabian
membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis.
Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.
[17]
• Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan
cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis.
• Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah manshyur kesahihannya,
seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan lain-lain.
F.TINGKATAN MUJTAHID
• Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy
syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil mazhab, dan mujtahid muqayyad.
• a. Mujtahid Fisy Syar’i
• Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya
diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-
mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain.
Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i
antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.
• b. Mujtahid Fil Masa’il
• Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan
kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam
Al Gazali merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.
c. Mujtahid Fil Mazhab

Mujtahid yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. Akan tetapi, mereka cukup mengikuti
salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama
maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan adalah mujtahid
fil mazhab Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.

d. Mujtahid Muqayyad

Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf
dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih
utama di antara pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat
dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An
Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i
G.OBJEK IJTIHAD

Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa
dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang
qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
َّ ‫َوَأقِي ُموا ا‹‹ل‬
….َ‫صاَل ةَ َوآ‹تُوا ا‹‹ل َّز َكاة‬
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya
(tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.[22]
Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya,
derajat para perawinya, dan lain-lain.
H. HUKUM MELAKUKAN IJTIHAD

Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan
pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus
mengamalkan hasil dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum
Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera
dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui
kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau
ada orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil
ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’

Anda mungkin juga menyukai