Anda di halaman 1dari 11

IJTIHAD

Dosen Pengampu : Dr.Hj. Daharmi Astuti,Lc.,M.Ag

Kelomok 5 :

1. Fahmi Syawal (222410102)


2. Mulyaningsih Ariyani (222410085)
3. Windi Fatika Sari (222410088)
Ijtihad

Secara bahasa, ijtihad (‫ا ٌد‬4َ‫جْ تِه‬4ِ‫ )ا‬berasal dari akar kata juhd yang bermakna kemampuan, upaya sungguh-
sungguh. Dan berasal dari kata bahasa arab jahd yang artinya kesulitan. Dengan demikian kata ijtihad
secara bahasa berarti mencurahkan kemampuan. Baik kata tersebut terbentuk dari kata juhd
(kemampuan) maupun kata jahd (kesulitan), karena seseorang yang mencurahkan segala
kemampuannya pasti juga mendapat kesulitan.
Menurut al-Jurjani dalam al-Ta’rifat, kata ijtihad secara istilah berarti usaha keras seorang ahli fikih
(faqih) untuk memperoleh dugaan kuat hukum syara. Lengkapnya, ijtihad adalah mengerahkan seluruh
kemampuan secara maksimal dalam mengungkapkan kejelasan hukum Islam yang dimaksudkan untuk
menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.
• Dalil Al-Qur’an yang mengenai Ijtihad

‫هّٰللا‬
ُ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرس ُْو َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّد ْوه‬
‫ك َخ ْي ٌر َّواَحْ َس ُن تَْأ ِو ْياًل‬ َ ِ‫اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرس ُْو ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُ ْو َن بِاهّٰلل ِ َو ْاليَ ْو ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Hukum Melakukan Ijtihad
Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria ijtihad:
1. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
2. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan
terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Fardhu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada lagi
mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat.
4. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
5. Hukumnya haram terhadap ijtihad pada nash yang telah ditetapkan secara qat’i karena bertentangan dengan syara’. Agar
tidak terjadi kekacauan dan terlalu bebas dalam melakukan ijtihad dan tidak mengubah syara’ seperti kewajiban shalat
lima waktu, zakat dan hukum syara’ lainnya yang telah disepakati.

 
Syarat-Syarat Ijtihad
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap orang dapat melakukan ijtihad. Hanya
orang-orang memiliki syarat tertentulah yang mampu berijtihad. Syarat umumnya ada tiga yakni Islam,
baligh dan berakal. Berikut merupakan syarat-syarat ijtihad:
1. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya, sehingga memungkinkan dia menguasai pengertian
susunan kata-katanya. Hal ini karena objek pertama bagi orang yang berijtihad ialah pemahaman
terhadap nas-nas al-Qur’an dan hadis yang berbahasa Arab. Sehingga ia dapat menetapkan aturan-aturan
bahasa dalam pengambilan hukum darinya.
2. Mengetahui Al-Qur’an, Mengetahui hukum-hukum yang dibawa oleh al-Qur’an beserta ayat-ayatnya
dan mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat tersebut. Sehingga apabila terjadi suatu peristiwa, ia
dapat menunjuk ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis.
3. Mengetahui hadis- hadis Nabi ‫ ﷺ‬yaitu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariah
sehingga ia dapat mendatangkan hadis-hadis yang diperlukan dengan mengetahui keadaan
sanadnya.
4. Mengetahui Ijma’, Mengetahui masalah-masalah yang telah disepakati (ijma’) dan yang masih
diperselisihkan.
5. Mengetahui tentang tujuan ditetapkannya hukum bagi manusia untuk dapat membawa
kemashlahatan manusia.
6. Faham benar dari perkiraannya, Mengetahui tentang batasan-batasan agar terjaga dari kekeliruan
dalam analisis dan berfikir. Dan Faham cara merumuskan hukum (istinbat).
7. Niat dan I’tiqadnya benar, Hanya semata-mata karena Allah dalam rangka menegakkan agama
yang benar.
Macam Macam Ijtihad
Dawalibi membagi menjadi 3 bagian yang sebagaimananya sesuia dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqad yaitu:
1. ijtihad Al-Bayani, Yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dan nas.
2. Ijtihad Al-Qiyasi, Yaitu ijtihad terdapat dalam permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan
menggunakan metode Qiyas.
3. Ijtihad Al- Istihah, Yaitu ijtihad terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan
ra’yu berdasarkan kaidah istilah.
Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu al Hakim dengan mengemukakan
beberapa alasan diantaranya Jami’ Wal Mani, menurutnya ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja yaitu:
a. Ijtihad Al-Aqliy, Yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pads akal, tidak menggunakan dalil syara’. Contohnya menjaga
kemudhratan hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan dan lain-lain.
b. Ijtihad Syari’, Yaitu ijtihad didirikan pada cara, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’,qiyas,istishan,istislah,istishab dll.
CONTOH IJTIHAD PADA PERSOALAN
ZAMAN KINI
Salah satu contoh ijtihad dalam kehidupan zaman sekarang, para ulama melakukan ijtihad dalam proses
penentuan 1 Ramadhan dan juga 1 Syawal. Mereka akan berdiskusi untuk menentukan dan menetapkan 1
Ramadhan dan 1 Syawal berdasarkan perhitungan serta hukum Islam yang ada sebelumnya.
Dan juga terdapat ijtihad para ulama dalam penetapan hukum bunga bank, Bunga bank perbankan di
Indonesia masih tetap menjadi perdebatan di kalangan umat Islam dengan status hukum: haram mutlak,
dapat dibenarkan, atau status hukum yang lain. Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai 2 (dua)
organisasi Islam terbesar di Indonesia berusaha memberikan status hukum bunga bank. Analisis dalam
artikel ini difokuskan pada pola ijtihad yang dilakukan oleh kedua organisasi Islam tersebut. Hasil analisis
menunjukkan bahwa NU melakukan ijtihad Jama’I dalam menetapkan hukum bunga bank dengan tetap
menyandarkan pendapat ulama (Syafi’iyah). NU berpendapat bahwa bunga adalah riba baik sedikit atau
banyak, ada kategori ad’afan muda’afah atau tidak.
PENDAPAT ULAMA KLASIK DAN
KONTEMPORER MENGENAI IJTIHAD
A. Kehujjahan Ijtihad Menurut Ulama Klasik
Aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh para tabi’in / dinasti Umayyah ada dua cara. Pertama, mereka tidak takut
untuk mengutamakan pendapat seorang sahabat daripada sahabat yang lainnya, bahkan pendapat seorang
tabi’in atas pendapat seorang sahabat. Kedua, mereka sendiri melakukan pemikiran asli, bahkan pada masa
inilah pembentukan hukum yang sesungguhnya dimulai.
Periode Abbasiyah disebut juga periode kematangan dan kesempurnaan fiqh atau masa pembukuan sunnah dan
munculnya Imam-imam Madzhab (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali).
Berkembangnya madzhab-madzhab tersebut, seharusnya membuat hukum Islam lebih fleksibel, dinamis,
karena kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat akan memunculkan alternatif ketentuan hukum (dari
hasil ijtihad), yang pada akhirnya hukum Islam akan lebih adaptif dan akomodatif terhadap setiap perubahan
yang terjadi di masyarakat.
B. Hujjah Ijtihad Menurut Ulama Kontemporer
Ada suatu ungkapan oleh Yusuf Qardhawi bahwa; “Adalah suatu hal yang berlebihan dan juga merupakan
sifat pura-pura tidak mengenal realita, apabila seorang mengatakan bahwa karya-karya lama telah memuat
jawaban-jawaban atas setiap persoalan yang baru muncul, sebab setiap zaman itu memiliki problem dan
kebutuhan yang berbeda.” (Qardhawi, 1994).
Kesimpulan

● Ijtihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan secara maksimal dalam mengungkapkan


kejelasan hukum Islam yang dimaksudkan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang muncul. Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nash tidak dijumpai
hukum yang akan diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh melakukan ijtihad
sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama. Mayoritas ulama fiqih dan ushul, diperkuat
oleh at-Taftazani dan ar-Ruhawi mengatakan, “ijtihad tidak boleh dalam masalah qat’iyyat dan
masalah akidah”.

Anda mungkin juga menyukai