Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

• METODOLOGI IJTIHAD
• ISTIHSAN
• URF
• MASLAHAH MURSALAH

DOSEN PENGAMPU: Ust Raihan ,BA

DISUSUN OLEH:

NAMA : MUHAMMAD FAIZ ISLAMI, RIZKI AIDIL AKBAR, WAHYU


FIRMANSYAH, SYAHRUL EFENDI

PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Program Studi Pendidikan Agama Islam


Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam
BAB I

PENDAHULUAN

Allah subhaanahu wa ta’alaa menciptakan dan membekali manusia dengan akal dan

kecerdikannya Semua potensi itu mengundang timbulnya ijtihad dan ikhtilaf secara lisan, imajinasi

dan pemikiran. Setiap permasalahan yang muncul akan memberikan peluang kepada manusia

untuk berpendapat dan mengeluarkan suatu kebijaksanaan.

Hal ini mengajarkan kita untuk selalu membuka pintu ijtihad,

sehingga proses pengadopsian kemaslahatan manusia dapat terus berjalan dalam

pembentukan produk hukum.

Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann untuk

mengerjakan sesuatu yang berat. Adapun definisi dari ijtihad secara istilah ialah proses penetapan

hukum syariat dengan menggunakan semua pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Para

ulama berijtihad untuk menciptakan solusi dalam pertanyaan hukum yang belum dijelaskan di

dalam Al-Quran dan hadis. Ijtihad memiliki tiga fungsi: mengembalikan ajaran Islam dari segala

jenis interpretasi yang kurang jelas, menghidupkan kembali nilai-nilai ajaran Islam agar mampu

menjawab tantangan zaman, dan memenuhi ajaran Islam yang sebelumnya diijtihadi oleh ulama

terdahulu. Syarat-syarat ijtihad meliputi pengetahuan tentang bahasa Arab, Al-Quran, Al-Sunnah,

dan metode formal yang diakui oleh kalangan ulama.

Ikhtilaf (beda pendapat) merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah swt.

Sesungguhnya segala kemakmuran yang ada di jagat raya ini termasuk tegaknya kehidupan tidak

akan terwujud bila manusia diciptakan dalam keadaan yang sama dalam segala hal, mulai dari

proses penciptaan sampai pada metode berpikir hasil ciptaan Allah itu (QS. Hud : 118-119). Imam
Al-Subkiy membagi ikhtilaf menjadi tiga jenis, pertama, menyangkut usul (pokok dan prinsip)

yaitu yang menyimpan dari kandungan Alqur’an dan tidak diragukan lagi merupakan tindakan

bid’ah dan sesat. Kedua, menyangkut perselisihan pendapat dan peperangan yang bisa menjadi

haram jika tidak menginginkan kemaslahan-kemaslahan. Ketiga, menyangkut masalah furu’

(cabang) seperti ikhtilaf dalam hal halal-haram atau sejenisnya.

A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Apa saja dasar-dasar hukum ijtihad?
3. Apa fungsi dari ijtihad?
4. Apa saja syarat-syarat mujtahid?
5. Apa saja macam-macam ijtihad?
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertioan dari ijtihad.
2. Mengetahui apa saja dasar-dasar hukum ijtihad.
3. Mengetahui fungsi dari ijtihad
4. Mengetahui apa saja syarat-syarat mujtahid.
5. Mengetahui apa saja macam-macam ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijthad berasal dari bahasa Arab yaitu ijtihada yang di ambil dari masdar
ghoiru mim yang artinya bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.[1] Jadi menurut bahasa ijtihad itu
ialah berusaha atau berupaya yang sungguh-sungguh. Perkataan ini tidak dipergunakan dalam
suatau yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan.
Sedangkan secara terminologi, banyak sekali para ulama’ yang mendefinisikan ijtihad.
Namun pada dasarnya ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbat) hukum
syara’ dari dalil terperinci dalam syariat.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan seorang faqih (pakar fiqih
islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dali syara’.
B. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu metode untuk istinbath hukum Islam. Dibolehkannya
ijtihad ini tentunya berdasarkan firman Allah atau hadits Rasullullah. Baik yang dinyatakan
dengan jelas maupun yang dinyatakan dengan isyarat, diantaranya yaitu firman Allah SWT
dalam surah An nisaa’ayat 105.
“Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi
diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad yaitu berupa qiyas. Dibolehkannya
ijtihad juga berdasarkan keterangan dari sunah, diantaranya yaitu:
Hadit yang diriwayatkan oleh Umar:

‫اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران و اذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر‬
Artinya: jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka itu mendapat dua,
dan bila dia salah mak dia mendapat satu pahala.
Dan hadits Muadz Bin Jabal ketika Rasulullah SAW. Mengutusnya ke Yaman unuk
menjadi Hakim. Yang artinya: Rasulullah SAW. Bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?”
ia menjawab “Dengan apa ayng ada dalam kitab Allah”. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu
tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?”. Dia menjawab “Aku memutuskan dengan apa
yang diputuskan Rasulullah”. Rasul Bertanya lagi “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan
Rasulullah?” Berkata Mu’adz “Aku berjihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda,
“Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”
C. Fungsi Ijtihad
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke
tingkat Hadis Mutawatir seperti hadis ahad, atau sebgai upaya memahami redaksi ayat atau
hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-perinsip hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, isithsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut
ini, yaitu pengembangan perinsip-perinsip hokum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah penting,
karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
Ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat sejak wafatnya Rasulullah SAW. Mereka
selalu berijtihad ketika mendapatkan masalah-masalah baru yang belum di jelaskan secara
jelas baik dalam Alquran dan Sunnah rasul.
D. Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat - syarat ijtihad tidak
lain dari berbicara syarat – syaratnya mujtahid begitu pula sebaliknya. Ada beberapa imam
yang menjelaskan syarat-syaratnya Ijtihad.
1. Imam Alghozali
Menurut Imam Al – ghozali didalam kitabnya al – musthofa mengatakan mujtahid
memiliki dua syarat :
a. Mengetahui dan menguasai ilmu syara’ dan dapat melihat dzon yang sesuai dengan
syar’i dengan mendahulukan apa yang wajib di dahulukan dan sebaliknya.
b. Hendaknya seseorang itu bersikap adil, menjauhi maksiat yang dapat mencemarkan
sifat dan sikap keadilannya karena ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat menjadi
pandangn atau tidak.
2. Imam Asy Syathiby
Beliau mengatakan seseorang dapat diterima ijtihadnya apabila memiliki dua
sifat, yaitu:
a. Mengerti dan faham akan tujuan-tujuannya sayriat dengan sepenuhnya, secara
keseluruhan.
b. Mampu melakukan istinbat berdasarkan kepahaman terhadap tujuan syariat tersebut.
3. Al Amidi dan Al Baidlawi
Menjelaskan seseorang dapat melakukan Ijtihad apabila ia memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Mengtahui apa yang ada pada uhan dari sifat-sifat yang wajib, Percaya pada rasul dan
apa yang dibawa olehnya, dari mukjizat-mukjizat dan ayat-ayat yang nyata. Sehinnga
pendapat dan hukum yang ia Dia sandarkan itu memang nyata dan benar. Dan tidak
disyaratkan baginya mengetahui ilmu kalam secara detail. Cukup mengetahu perkara
dengan global.
b. Hendaknay dia seorang yang pandai (Alim) dan bijaksana (Arif) tentang keseluruhan
hukum syariat dan pembagiannya.
Memang sulit menjadi seoarang mujtahid mutlak. Ada saja kelemahan seseorang
dibeberapa bidang. Agar seseorang mencapai tingkatan ijtihad yang sesungguhnya Ia
dituntut untuk mengerti makna ayat-ayat hukum daam Alquran baik secara bahasa maupun
secara syara’. Dan juga mengathui Hdits Ahkam atau hadits-hadits hukum serta mampu
memilih hadits mana yangs esuai dengan permasalahan yang ada.
Seorang Mujtahid memang seharusnya hafal akan Alquran dan Hadits yang
diperlukan serta mengettahu Nasikh dan Mansukhnya baik yang terdapat dalam Alquran
ataupun Assunnah.
Terlepas dari pendapat dari ulama’, maka dapat di simpulkan bahwa syarat-syarat
mujtahid atau ulama’ untuk melakukan ijtihad, yaitu:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran, baik
menurut bahasa maupun syaria’ah.
b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits hukum, baik menurut bahasa maupun
syari’ah.
c. Mengetahui nasakh dari Alquran dan Assunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan
hukum.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’, sehingga
ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’ ulama’.
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta menginstinbatnya, karena qiyas
merupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya.
g. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
h. Mengetahui maqashidu al syari’ah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun
juga syari’at itu berhubungan dengan maqashidu al syari’ah atau rahasia yang
disyariatkannya suatu hukum. [2]
G. Macam-macam Ijtihad
Dr. Dawalibi membagi Ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan
pendapat As- Syathibi dalam kitab Almuafaqat, yaitu:
a. Ijtihad Al Batani, yaitu ijtihad untuk menjelasakan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Al Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran
dan Assunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad Al Istishlah, yaitu ijtiha terhadap permasalan yang tidak terdapat dalam Alqura dan
Assunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah
Pembagian diatasa masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Taqiyyu Alhakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat di bagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
a. Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad yang didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’.
Mujtahid dibebasakan untuk berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
Misalnya, menjaga kemudharatan, hukuman jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain
sebagainya.
b. Ijtihad Syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’. Termasuk dalm pembagian ini
adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, urf, isttishab dan lain-lain.

[2] Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bndung: Pustaka Setia, 1999), 104-105.
A. Istihsan

Isitihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan


menurut istilah ulam ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntunan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum
kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), kerana terdapat dalil yang
mementingkan perpindahan.

Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :

Pertama : Aspek nyata ( Zhahir) yang menghendaki suatu hukum


tertentu.
Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.

Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi
analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’. Demikian
pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum) namun pada diri mujtahid terdapat dalil
yang menghendaki pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum) tersebut, dan
mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal
teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.3

B. Macam-Macam Istihsan
1. Istihsan Qiyasi

Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan ketentuan hukum
yang didasarkan kepada qiyas jali ( nyata ) kepada ketentuan hukum yang didasarkan
kepada qiyas khafi ( yang tersembunyi ), karena adanya alasan yang kuat untuk
mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksud disini adalah
kemaslahatan. Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut dengan istihsan
qiyasi4. Contoh dibawah ini akan lebih mendekatkan pemahaman kita kepada
pengertian Istihsan dalam bentuk yang pertama ini.

3A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
4 Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
Berdasarkan istihsan qiyasi yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman
burung buas, adalah suci dan halal diminum, seperti : sisa minuman burung gagakatau
burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti
anjing dan burung buas adalah najis dan haram untuk diminum, karena sisa minuman
tersebut telah bercampur dengan air liurnya, yaitu dengan meng-qiyaskan kepada
dagingnya. Sedangkan segi istihsannya bahwa jenis burung yang buas, meskipun
dagingnya haram tetapi air liur yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan
sisa minumannya. Karena ia minum dengan menggunakan paruhnya sedangkan paruh
adalah tulang yang suci. Adapun binatang buas maka ia minum dengan lidahnya yang
bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minumnya najis.5

Perbedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan air sisa
minuman binatang buas ini ditetapkan berdasarkan Istihsan qiyasi, yaitu mengalihkan
ketentuan hukum dari hukum yang berdasarkan qiyas jali (najis dan haram), kepada
hukum yang berdasarkan qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat
untuk itu, yaitu kemaslahatan.

Contoh lainnya Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses
pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi,
dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa
penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istishan
seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.6

2. Istihsan Istishna’i

Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan


hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang
bersifat khusus, istihsan dalam bentuk yang kedua ini disebut dengan istihsan
istishna’I. istihsan bentuk yang kedua ini terbagi menjadi beberapa macam yaitu
sebagai berikut :

1) Istihsan bi an-Nashsh

5 Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 134
6 M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 406
Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum
kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang
mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an maupun Sunnah.

Contoh istihsan bi an-Nashsh berdasarkan Nashsh Al-Qur’an adalah


berlakunya ketentuan wasiat setelah seseorang itu wafat, padahal menurut
ketentuan umum ketika orang yang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap
kartanya, karenanya telah beralih kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum
tersebut dikecualikan oleh Al-Qur’an, antara lain termaktub dalam surah an-Nisa’
(4) : 12 :

Sesudah dipenuhi wasiat yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya….7

Contoh istihsan bi an-Nash yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa
orang yang makan atau minum karena lupa, padahal menurut ketenutan umum,
makan dan minum membatalkan puasa, nyatanya ketentuan umum tersebut
dikecualikan berdasarkan hadits 8:

Dari Abu Hurairah RA, katanya, Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa yang
lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia
menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan
dan minum kepadanya”.

2) Istihsan Bi al-Ijma’

Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas


karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntunan
qiyas9. Sebagai contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istishna’ (
perburuhann/pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran
(obyek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan.

7 Kementrian agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Jawa Barat, Sygma creative media corp, 2014), an-Nisa’,
(12).
8 Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.200
9 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah sepanjang zaman,
maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi) yang dapat mengalahkan
dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan suatu dalil ke
dalil lain yang lebih kuat

3) Istihsan bi al-Urf

Istihsan bi al-Urf adalah pengecualian hukum dari prinsip syari’ah yang umum,
berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya ialah, menurut ketentuan umum
mentapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa
membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab, transaksi upah-
mengupah harus berdasarkan kejelasan pada obyek upah yang dibayar. Akan tetapi
melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku,
demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarkat dan terpeliharanya kebutuhan mereka
terhadap transaksi tersebut.10

4) Istihsan bi ad-Dharurah

Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan


yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk
meninggalkan dalil qiyas. Seperti contoh menghukumkan sucinya air sumur atau
kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan
umum, tidak mungkin mensucikan sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya.
Sebab ketika air sedang dikuras mata air akan terus mengeluarkan air yang kemudian
akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya
(timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat
tersebut, sehingga air akan tetap najis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi
keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah
dikuras.11

5) Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah

10 Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202


11 M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan ketentuan hukum
yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain
yang memenuhi prinsip kemaslhatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat
yang ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah
pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut
ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta orang yang dibawah pengampuan
tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya. Akan tetapi,
demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan
memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukkan untuk kebaikan,maka hartanya
akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat adalah
setelah ia wafat; tentu hal itu tidak menganggu kepentingan orang yang berwasiat
tersebut. Oleh karena itu, ketentuan umum yang berlaku dalam harta orang yang
dibawah pengampunan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.12

C. Kehujjahan Istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macam, jelaslah pada
hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena hukum-hukum
tersebut pada bagian pertama berasal dari qiyas khafi (tersembunyi) yang mengalhkan
terhadap qiyas jali (jelas).

Karena adanya beberapa faktor yang menenangkan hati para mujtahid yaitu dari
segi istihsan. Sedangkan bagian kedua dari istihsan, hukum-hukmnya antara lain berupa
dalil maslahat yang menuntut pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli (umum) dan ini
juga disebut dengan segi istihsan.

Hujjah Istihsan kebanyakan digunakan oleh kalangan ulama Hanafiyah, alasan


mereka ialah bahwa mencari dalil dengan istihsan hakikatnya merupakan Istidlal (mencari
dalil). Dengan dasar qiyas yang tersembunyi, yang lebih diungguli dari qiyas yang nyata.
Atau sebagai upaya mengunggulkan suatu qiyas dengan qiyas lain yang berlawanan dengan
berdasarkan suatu dalil yang bisa diandalkan atau merupakan Istidlal dengan jalan

12 Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203


mashlahah mursalah berdasarkan pengcualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum), semua
ini merupakan istidlal yang sahih.13

D. Perbedaan Istihsan dengan Qiyas

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama diatas, dapat
disimpulkan bahwa Istihsan adalah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus
tertentu yang berlawanan dengan qiyas ‘am. Dalam hal ini para ulama memberikan
beberapa contoh diantaranya :

1. Menurut qiyas, saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan kedepan pengadilan
haruslah orang-orang yang adil. Sebab dengan sifat adil itulah seseorang dapat dinilai
jujur atau tidaknya sehingga kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim.
Akan tetapi, seandainya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak menemukan
orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara umum
dipandang dapat dipercaya ucapnnya, sehingga dengan demikian dapat dicegah
timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap harta benda maupun manusia/ individu.

Demikian beberapa contoh istihsan yang pada intinya berkisar pada pencegahan
pemakaian qiyas secara berlebihan yang menjurus kearah yang tidak proporsional
(qabih).14

A. Pengertian ‘Urf

13 Abdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, (Toha Putra Group, 1994), h. 136
14 M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 403
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan dengan al-ma’ruf dengan arti
sesuatu yang dikenal.15 Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan
menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin,Al-Rahawi
dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam kitab Al-Aisbah wa al-Nazhair
berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun
sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara adat
dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa
adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘urf ialah kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam
perkataan atau perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat
mencakup seluruh jenis ‘urf. Tetapitidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau
kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat tidak
dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain, urf lebih umum daripada adat, sebab adat hanya
menyangkut perbuatan , sedangkan ‘urf menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.16
Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau adat itu sesuatu yang harus dikenali, diakui,
dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripannya dengan ijma’. Namun antara
keduanya terdapat beberapa perbedaaan yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diterima semua pihak. Sedangkan ‘urf
atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal oleh sebagian
orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu para
mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kepakatan ataupun
penolakannya. Sedangkan ‘urf atau adat yang mengakui adalah seluruh lapisan
manusia baik mujtahid atau bukan.
3. ‘Urf atau adat itu dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-orang
yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma’ tidak akan mengalami
perubahan.17

15Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) 387
16Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012) 148-149
17 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 389
B. Macam-Macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:
1. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. Al-urf al-lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau
ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah
yang dipahami dan terlintas dalampikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging
yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seorang mendatangi penjual daging, saya beli daging satu kilogram
pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat
setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah
perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain, sepertikebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentudalam
satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian
tertentudalamacara khusus..
2. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
a. Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh daerah.
Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki
mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalamharga jual, tanpa
akad sendiri,dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa
berat barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
Misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu padabarang
yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu,
tidak dapat dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masagaransi
terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku d kalangan
pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus di
bayar duluoleh kliennya. Urf al-khas seperti ini,menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa,
tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai perubahan situasi dan
kondisi masyarakat.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua yaitu al-‘urfal shahih
(kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a. Al-‘urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau
hadist) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa
madarat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini di anggapsebagaimas
kawin.
b. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,sepertipeminjam uang antara sesama
pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan
harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan
perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam,
penambahan utang sebanyak 10% tidaklah memberatkan, karena keuntngan
sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi,
praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam
pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh
saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibnu Hanbal). Selain itu
praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku di jaman jahiliyyah,
yang dikenal dengan sebutan ribal-nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).
Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini,menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam
kategori al-‘urf al-fasid.18
C. Kehujjahan ‘Urf
Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhjjah dengan ‘urf
danmenjadikannya sebagai sumber hukum fiqih,yaitu:

1. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abdullah bin Mas’ud :

18 Khairul Umam dkk, Ushul Fiqih –I (Bandung: Pustaka Setia. 1998) 160-164
.‫ن‬ َ ‫سنًافَ ُه َوعندَاللها َ ْم ٌر َح‬
ٌٌ ‫س‬ َ ‫ارا ُهالمسل ُمونَ َح‬
َ ‫َم‬

Yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin
dan di pandangnya baik adalah pula baik disisi Allah.

2. Sabda Nabi Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan ketika iamengadukan
suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil memberi nafkah:

. ٌ‫خذى من مال ابىسفيانمايليكوولدَكٌ بالمعروف‬


(ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut ‘urf).
Al Qurthuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdpat ‘urf dalam penetapan
hukum.
3. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa dengan
melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau terhindar dari mafsadat.
Sedang maslahat ada dalil syar’i sebagaimana menghilangkan kesusahan
merupakan tujuan syara’.19
Adapun alasan ulama yang memakai ‘urf dalam menentukan ‘urf antara lain:
1. Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan kebiasaan
orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan keluarga dalam
pembagian waris.
2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan, ternyata
dijadikan pedoman sampai sekarang.20

Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama
madzhab Hanafiyah dab Malikiyah.

Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah satu bentuk
istihsan itu adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf). Oleh ulama’ Hanafiyah,

19 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2007) 78-80
20 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) 162
‘urf itu di dahulukan atas qiyas kahfi khafi dan juga di dahulukan atas nash yang umun, dalam
arti umum, dalam arti ‘urf itu men-takhsis umum nash.

Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadist ahad.

Ulama’ Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan


ketentuan batansannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.21

D. Kaidah-kaidah ‘urf

1. ‫العادة محكمة‬
(adat itu dapat dijadikan hukum)

2. ‫ال ينكر تغيّر األحكم بتغير األزمنة واألمكن ٌة‬


(tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan tempat)

3. ‫المعروف عرفا كا المشروط شرطا‬


( yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat)

4. ّ ّ‫الثابت باالعرف كاالثابت باالن‬


ٌ‫اص‬
(yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui nash (nash atau
hadist)22

E. Syarat-Syarat ‘Urf

Para ulama yang menggunakan ‘urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan
hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk ‘urf tersebut,yaitu:

1. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.Syarat ini merupakan
kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang shahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara
umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar
hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik

21 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 399


22 Khaerul Umam, Ushul Fiqih-1, 168
dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat.
Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.
2. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada
dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan sebagian besar kalangannya. Dalam hal
ini al-Suyuthi mengatakan :

ّ ‫اطردَت فَإن لم‬


.‫يطرد فال‬ ّ ‫انّما تُعتَبَ ٌُر ال َعادٌَة ُ إذا‬
Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara umum.
Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.
Umpamanya : kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu
jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka suatu transaksi tidak apa-apa untuk
tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah
mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku.
Tetapi bila ditempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (ini
yang dimaksud dengan : kacau), maka dalam transaksi arus disebutkan mata uangnya.
3. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat
itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘urf itu harus ada sebelum
penetapan hukum. Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan. Dalam
hal ini ada kaidah yang mengatakan :

‫السابق دون متأ ّخ ٌر‬


ٌُ ‫ن‬ ٌُ ‫ل عليه األلفَا‬
ٌ ‫ظ إنما ه ٌو المقار‬ ٌُ ‫رف الَذى تَحم‬
ٌُ ُ‫الع‬
‘urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum) hanyalah datang
beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian.
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh : Orang yang melakukan akad nikah dan
pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil,
sedangkan ‘adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian
‘adat ditempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang terbiasa mencicil mahar.
Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadinya suatu perselisihan antara suami
istri tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang pada ‘adat yang sedang
berlaku (sesuai adat lama ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada
syarat dan kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan ‘adat yang
berlaku pada saat berlangsungnya akad nikah dan tidak menurut ‘adat yang muncul
kemudian.
4. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan
dengan prinsip yang pasti.
Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan ‘adat shahih;
karena kalau ‘adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan
prinsip syara’ yang pasti, maka ia termasuk ‘adat dan fasid yang telah disepakati ‘ulama
untuk menolaknya.23

23Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 400-402


. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.
Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab ‫صلَ َح‬ ْ َ‫ ي‬menjadi ‫ص ْلحا‬
َ – ‫صلُ ُح‬ ُ atau ‫صلَ َحة‬
ْ ‫ َم‬yang berarti
sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang
َ ‫ ُم ْرسِل – ا ِْرساَل – ي ُْر ِس ُل – ا َ ْر‬menjadi ‫سل‬
ditasrifkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: ‫س َل‬ َ ‫ ُم ْر‬yang
berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi maslahah
mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).24
Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:

ِ ‫ع ِن ْالخ َْل‬
‫ق‬ َ ‫ارعِ ِب َد ْف ِع ْال َمفَا ِس ِد‬
ِ ‫ش‬ ُ ‫علَى َم ْق‬
َّ ‫ص ْو ِد ال‬ َ َ‫اَ ْل ُم َحاف‬.
َ ُ ‫ظة‬
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.”
(lihat: Hasbi As-Siddiqi, Pengantar Hukum Islam, Juz I, halaman 236)
Menurut Imam Ar-Razi maslahah adalah sebagai berikut:
ُ ‫ارعُ ْال َح ِك ْي ُم ِل ِع َبا ِد ِه فِى حِ ْفظِ ِد ْي ِن ِه ْم َونُفُ ْو ِس ِه ْم َو‬
‫عقُ ْو ِل ِه ْم َونَ ْس ِل ِه ْم َواَ ْم َوا ِل ِه ْم‬ ِ ‫ش‬ َ َ‫ع ِن ْال َم ْنفَ َع ِة الَّ ِت ْي ق‬
َّ ‫صدَها َ ال‬ َ ‫ ِباَنَّ َها ِع َب‬.
َ ‫ارة‬
“Maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah)
kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta
bendanya.”(Lihat: Al Mahsul oleh Ar-Razi, juz II, halaman 434).
Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali:
ِ ‫ع ْن َج ْل‬
َ ‫ب َم ْنفَ َعة ا َ ْو دَ ْف ِع َم‬
‫ض َّرة‬ َ ‫ص ِل‬ َ ْ ‫ارة فِى‬
ْ ‫ال‬ َ ‫ي ِع َب‬ ْ ‫ا َ َّما ْال َم‬.
َ ‫صلَ َحةُ فَ ِه‬
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.” (lihat: Al-Mustafa oleh
Imam Al-Ghazali, Juz I, halaman 39).25
Adapun definisi lain mengenai maslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa, maslahan berarti
manfaat dan kebaikan, sedang mursalah berarrti lepas. Menurut istilah, masalahah mursalah ialah
kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang
menyuruh mengambil atau menolaknya.
Maslahah Mursalah itu yang mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya
atau dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang karenanya para sahabat
mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian di tangan
pemiliknya dan memungut pajak terhadap tanah itu, atau lainnya yang termasuk kemaslahatan

24 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 135.
25 Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 177.
yang dituntut oleh berbagai kebutuhan atau berbagai kebaikan namun belum disyariatkan
hukumnya dan tidak ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap pengakuan atau
pembatalannya.26
B. Macam-Macam Maslahah Mursalah
Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3 yaitu27 :
1. Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ dan dijadikan dasar dalam
penetapan hukum. Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan. Mengandung
kemaslahatan bagi manusia, yaitu untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun
rohani. Kemaslahatan ini melekat langsung pada kewajiban puasa ramadhan dan tidak dapat
dibatalkan oleh siapapun. Demikian juga kemaslahatan yang melekat pada kewajiban zakat,
yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar tebebas dari sifat kikir dan kecintaan yang berlebihan
pada harta, dan untuk menjamin kehidupan orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat
dibatalkan, sebab jika dibatalkan akan menyebabkan hilangnya urgensi dan relevansi dari
pensyariatan zakat.
2. Maslahah Mulghoh, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syari’ dan syari’ menetapkan
kemaslahatan lain selain itu. Misalnya adalah kemaslahatan perempuan menjadi imam bagi
laki-laki yang bertentangan dengan kemaslahatan yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan
perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Demikian juga kemaslahatan yang diperoleh oleh
seorang pencuri, ditolak oleh syar’i dengan mengharamkan pencurian, demi melindungi
kemaslahatan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan rasa aman bagi masyarakat.
3. Maslahah Mursalah, yaitu kamaslahatan yang belum tertulis dalam nash dan ijma’, serta tidak
ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan
ini dilepaskan oleh syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak
mengambilnya. Jika kemaslahatan itu diambil oleh manusia, maka akan mendatangkan
kebaikan bagi mereka, jika tidak diambil juga tidak akan mendatangkan dosa. Misalnya,
pencatatan perkawinan, penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban memiliki SIM bagi
pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’ ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu28:

26 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 116.
27 Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 141-142.

28 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 122.
1. Maslahah Dharuriyah, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia, harus
ada demi kemaslahatan mereka. Bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik
kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatannya tidak terwujud, baik di dunia maupun di
akhirat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara
pokok yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
a. Melindungi kemaslahatan agama.
Agama islam merupakan agama Allah karena itu perlu dipelihara dari hal-hal yang
merusak, baik dari segi ibadahnya atau akidahnya serta lain-lain yang membawa
kerusakannya.29 Yang dimaksud melindungi agama di sini adalah Allah memerintahkan
kaum muslim agar menegakkan syiar-syiar Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji,
memerangi (jihad) orang yang menghambat dakwah Islam dan lain sebagainya.
b. Melindungi jiwa
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk melindungi jiwa adalah kewajiban untuk berusaha
memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Dalam
melindungi jiwa ini juga diperlukan hukum yang mengikat, misalnya hukum qisash atau
mendiyat orang yang berbuat pidana agar manusia tidak sewenang-wenang membunuh
manusia.
c. Melindungi akal
Manusia merupakan sebaik-baik bentuk makhluk Allah yang diberikan akal. Oleh karena
itu harus dijaga. Diantara syari’at yang diwajibkan untuk melindungi akal adalah
kewajiban untuk meninggalkan minum khamr dan segala sesuatu yang memabukkan.
Begitu juga menyiksa orang yang meminumnya. Kaum muslimin disyariatkan agar selalu
menggunakan akalnya untuk memikirkan diri dan ciptaan Tuhannya, menuntut ilmu yang
bermanfaat dan lain sebagainya.
d. Melindungi keturunan
Dalam memelihara keturunan Islam, diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara
keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari berbuat zina. begitu juga
hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
e. Melindungi harta

29 Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II; Pengantar studi sejarah kebudayaan Islam dan pemikiran, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo persada, 1996), hlm. 41
Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk
menjauhi pencurian. Begitu juga pemotongan tangan pencuri laki-laki atau perempuan.
Dan juga larangan berbuat riba serta keharusan bagi orang yang mencuri untuk mengganti
harta yang telah dilenyapkannya.
2. Maslahah Hajjiyah
Maslahah Hajjiyah adalah:
‫س ِة َب ْل تَتَ َحقَّقُ ِبد ُْونِ َها َو ٰلك ِْن‬
َ ‫ص ْو ِل ْال َخ ْم‬
ُ ُ‫علَ ْي َها ت ِْلكَ ْاْل‬ ُ َّ‫ت الَّتِي َْل تَت ََوق‬
َ ‫ف‬ ِ ‫ص ُّرفَا‬ َ ْ ‫ع ِن‬
َ َّ ‫اْل ْع َما ِل َو الت‬ َ ٌ ‫ارة‬
َ ‫ي ِع َب‬ ِ ‫صا ِل ُح ْال َح‬
َ ‫اجيَّةُ فَ ِه‬ َ ‫ا َ ّما َ ْال َم‬
.ِ‫ق َو ْال َح َرج‬ َّ ‫صيَانَةً َم َع ال‬
ِ ِّ‫ضي‬ ِ
“Semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada
pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat
terhindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan”30
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah Hajjiyah adalah segala sesuatu yang
sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan.31
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya menimbulkan
kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat dan
bidang jinayat.
Dalam hal ibadah, islam memberikan rukhshah/keringanan bila seorang mukallaf
mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya diperbolehkan
seseorang tidak berpuasa dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan
jauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalat bila ia sedang dalam bepergian
jauh.
Dalam hal adat, dibolehkan berburu, memakan dan memakai yang baik-baik dan yang
indah-indah.
Dalam hal muamalat, dibolehkan jual beli pesanan dan jual beli secara salam, dibolehkan
seorang suami menalak isterinya apabila rumah tangga mereka benar-benar tidak mendapat
ketentraman lagi.

30 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 138
31 Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 143.
Dalam hal uqubat/jinayat, Islam menetapkan kewajiban membayar denda (bukan qisash)
bagi orang yang membunuh secara tidak sengaja, menawarkan hak pengampunan bagi orang tua
korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh anaknya, dan lain sebagainya.32
3. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah adalah:
.ِ‫ق َو َم َحا ِسنُ ْال َعا َدات‬ ِ ‫َض ْي َها ْال ُم ُر ْو َءة ُ َو َمك‬
َ ْ ‫َار ُم‬
ِ ‫اْل ْخ ََل‬ ِ ‫ع ِن ْاْلُ ُم ْو ِر الَّتِ ْي ت َ ْقت‬
َ ٌ ‫ارة‬ َ ‫ا َ َّما ْال َم‬
َ ‫صا ِل ُح الت َّ ْح ِس ْينِيَّةُ فَ ِه‬
َ َ‫ي ِعب‬
“Mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik
dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”33
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah tahsiniyah adalah tindakan atau sifat-sifat
yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam
bidang ibadah, adat dan muamalah.34
Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang
baik-baik ketika akan shalat, mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunnah
seperti shalat sunnah, puasa sunnah, bersedekah, dan lain-lain.
Dalam lapangan adat, misalnya bersikap sopan santun ketika makan dan minum, dan dalam
pergaulan sehari-hari, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tidak baik.
Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual barang-barang yang bernajis, tidak
memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi kebutuhannya.
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah adalah melarang
wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian yang seronok atau
perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan
masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga,
terutama oleh agama.
Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan
kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita yang baik
dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa mendatang.35
C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat36 :

32 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 139.
33 Ibid, hlm. 139
34 Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 143.
35 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 140.
36 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 119-121
1. Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau
di asumsikan. Yang dimaksudkan dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa
pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak bahaya.
Adapun sekedar dugaan bahwa pembentukan suatu hukum menarik suatu manfaat tanpa
mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, maka ini adalah berdasarkan atas
kemaslahatan yang bersifat dugaan. Misalnya larangan bagi suami untuk menalak isterinya
dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan.
Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut kami tidak mengandung
terhadap maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan
masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan
undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan.
2. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi atau
kemaslahaan khusus. Maksudnya ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum
pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia atau
menolak bahaya dari mereka., bukan untuk kemaslahatan individu dan sejumlah
perorangan yang merupakan minoritas dari mereka.
Oleh karena itu fatwa Imam Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki, seorang fiqh
Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas adalah salah. Beliau memberikan fatwa kepada
raja Andalusia yang berbuka puasa dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan bahwa
tidak ada kafarat baginya kecuali puasa dua bulan berturut-turut. Beliau mendasarkan
fatwanya bahwa kafarat adalah mencegah orang yang berbuat dosa dan menahannya
sehingga ia tidak kembali kepada perbuatan dosa serupa., dan tidak ada yang dapat
menahan sang raja ini dari hal itu kecuali puasa dua bulan. Adapun memerdekakan budak,
maka hal ini terlalu mudah baginya. Fatwa ini didasarkan pada kemaslahatan, tetapi hanya
khusus kepada raja, bukan bersifat umum. Karena sudah jelas bahwa kafarat bagi orang
yang berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan dengan sengaja adalah memerdekakan
seorang budak, kemudian barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka ia berpuasa
selama dua bulan berturut-turut, selanjutnya jika tidak sanggup maka ia memberikan
makanan kepada enam puluh orang miskin, tanpa membedakan antara seorang raja atau
fakir miskin yang berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan dengan sengaja. Jadi
kemaslahatan ini dibatalkan.
3. Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil syara’.Oleh karena itu tidak sah mengakui kemaslahatan yang menuntut
persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian warisan, karena hal itu
bertentangan dengan nash alqur’an.
D. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
ushul37 diantaranya:
1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah,
ulama-ulama hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan38:
a. Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan
kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak
diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
b. Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka
pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2. Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah.
Sedangkan maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
3. Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti
oleh Imam haromain. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan
karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b. Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan
tempat dan keadaan. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan
nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabaikan
banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum
syariat.

37 Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 141-142
38 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 116.
c. Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad
berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini
merupakan ijma’.39
Ibnu Al Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang yang berlebih-
lebihan dalam memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka menjadikan syari’at serba
terbatas, yang tidak mampu melaksanakan kemaslahatan hamba yang membutuhkan kepada
lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk menempuh berbagai jalan yang benar berupa jalan
kebenaran dan jalan keadilan. Dan diantara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas,
sehingga mereka memperbolehkan sesuatu yang menafi’kan syari’at Allah dan mereka
memunculkan kejahatan yang panjang dan kerusakan yang luas”.40

39 Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 139.


40 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 122.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Istihsan menurut istilah ulama malikiyah adalah untuk memberikan penekanan pada
pemahaman dalil melalui istina’ dan didasarkan pada keringanan agama karena hukum yang
bertentangan.
Maka istihsan oleh ulama hanafiyyah adalah untuk berpaling pada penentuan hukum
masalah dan meninggalkan yang lain karena bukti yang lebih spesifik dari syarah.
Maslahah Al Mursalah ialah yang Mutlaq imam Ar-Rozi mendefinisikan maslahah yaitu
perbuatan yang bermanfaat yang telah ditunjukkan oleh syari’ (Allah) kepada hambanya demi
memelihara dan menjaga agama nya, jiwanya, akalnya, ketuhanannya dan harta bendanya.
Menurut istilah ahli ushul, maslahah al mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak
disyariatkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan,
disamping tidak ada dalil yang menyalahkan dan membenarkan. Karenanya maslahah mursalah
itu disebut Mutlaq lantaran tidak ada dalil yang mnyatakan benar atau salah
U’rf merupakan istilah islam yang dimaknai sebagai adat istiadat kebiasaan. Urf terbagi
menjadi ucapan atau perbuatan dilihat dari segi objek menjadi umum atau khusus dari segi
cangkupannya, menjadi sah atau rusak dari segi keabsahan menurut syariat

Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan di masa akan datang

Anda mungkin juga menyukai