Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Selain Al-Qur'an dan Hadis, Ijtihad merupakan sumber ajaran dalam agama
Islam. Ijtihad dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, seperti yang sering tersurat
dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-
Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah. Contoh Ijtihad di zaman Rosul dalam
kasus pada Umar bin Khattab yang mencium isterinya pada saat berpuasa, dan beliau
menganggap puasanya itu telah batal, kemudian beliaupun mempertanyaakan hal
tersebut kepada Rasulallah SAW, kemudian Rasulullah menjawab pertanyaan beliau
dengan mengqiyaskan hal tersebut dengan praktek kumur-kumur pada saat berpuasa,
sehingga beliau menarik suatu kesimpulan bahwa puasanya itu tidak batal dan
Rasulullah pun menyuruh beliau meneruskan puasanya (HR.Ad-Damiri dari Umar bin
Khattab).
Dari kasus seperti ini berarti pada masa Rasulullah telah diberlakukan yang
namnya Ijtihad, adapula yang berpendapat bahwa strategi perang yang muncul dari
buah fikir Nabi merupakan suatu hasil Ijtihad, namun setelah Nabi wafat para
sahabatlah yang memilki peran untuk berijtihad saat terjadi sebuah problematika yang
tidak terdapat dalam nas al-qur’an maupun as-sunnah, meskipun sering terjadi
perbedaan pendapat atas permasalahan yang terjadi, akan tetapi sebelum Nabi wafat
beliau pernah bersabda bahwa apapun hasil Ijtihad seseorang, apabila dilakukan
secara maksimal itu akan mendapatkan pahala dari Allah SWT (HR. Imam Bukhori,
Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Bagaimana perkembangan Ijtihad?
3. Bagaimana hukum berijtihad?
4. Apa saja syarat-syarat berijtihad?
5. Bagaimana kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
6. Apa saja dasar-dasar Ijtihad?

1
7. Apa saja bentuk-bentuk Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam?
8. Apa saja macam-macam Ijtihad?
9. Apa pengertian Mujtahid dan syarat-syaratnya?
10. Bagaimana tingkatan Mujtahid?
11. Apa saja persoalan Ijtihad?
12. Apa saja sebab-sebab Ijtihad ditutup?
13. Bagaimana perbedaan metode Ijtihad pada masa Rosulallah, sahabat, tabi’in dan
pasca tabi’in?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dalam penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad.
2. Untuk mengetahui perkembangan Ijtihad.
3. Untuk mengetahui hukum berijtihad.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat berijtihad.
5. Untuk mengetahui kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam.
6. Untuk mengetahui dasar-dasar Ijtihad.
7. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam.
8. Untuk mengetahui macam-macam Ijtihad.
9. Untuk mengetahui pengertian Mujtahid dan syarat-syaratnya.
10. Untuk mengetahui tingkatan Mujtahid.
11. Untuk mengetahui persoalan Ijtihad.
12. Untuk mengetahui sebab-sebab Ijtihad ditutup.
13. Untuk mengetahui perbedaan metode Ijtihad pada masa Rosulallah, sahabat,
tabi’in dan pasca tabi’in.

2
BAB II

IJTIHAD DAN PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal bahasa Arab “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang berarti
mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau
bekerja secara optimal. Secara istilah, Ijtihad berarti mencurahkan segenap tenaga dan
pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum Islam (syara’) dari
suatu kasus yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW. Orang
yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid.

Adapun pengertian Ijtihad menurut para ahli diantaranya, yaitu1:

1. Menurut Abu Zahrah, Ijtihad bermakna pengarahan kemampuan seorang ahli fiqh
akan kemampuannya dalam upaya mengistinbatkan hukum yang berhubungan
dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya.
2. Ijitihad menurut Hanafi adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk
menemukan hukum agama (Syara') melalui salah satu dalil syara' dan dengan
cara-cara tertentu.
3. Pengertian Ijtihad Menurut Yusuf Qardlawi adalah mencurahkan semua
kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan kata ijtihad hanya terhadap
masalah-masalah penting yang memerlukan banyak perhatian dan tenaga.
4. Menurut Al-Amidi, Pengertian Ijtihad ialah mencurahkan semua kemampuan
untuk mencari hukum syara' yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak
mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
5. Imam al-Gazali mengungkapkan, Pengertian Ijtihad merupakan upaya maksimal
seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syarak.
6. Menurut para sahabat pengertian Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul, baik
melalui suatu nash, yang disebut "qiyas" (ma'qul nash) maupun melalui maksud
dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut "maslahat".
7. Pengertian Ijtihad menurut Mayoritas Ulama Ushul ialah pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian

1
M. Arifin Hamid, 2011. HUKUM ISLAM Perspektif Keindonesiaan. Makassar: PT Umitoha Ukhuwah
Grafika.

3
tingkat zhann mengenai sesuatu hukum syara', ini menunjukkan bahwa fungsi
ijtihad yaitu untuk mengeluarkan hukum syara' amaliy statusnya zhaanny. Dengan
demikian Ijtihad tidak berlaku dibidang akidah dan akhlak.
8. Adapun Minoritas Ulama Ushul, Pengertian Ijtihad adalah pengerahan segala
kekuatan untuk mencari hukum sesuatu peristiwa dalam nash Al-quran dan Hadits
shahih.

Bila penelusuran itu tanpa diiringi oleh dalil syara’ maka itu bukanlah suatu
ijtihad. Ulama-ulama terdahulu bila memecahkan suatu pokok permasalahan yang
tidak mendapatkan rujukan dalam Al-Qur’an ataupun As-sunnah, maka mereka akan
menggunkan ijtihad dengan metode yang berbeda, ada yang menggunakan qiyas atau
istihsan, maslahah mursalah. Akan tetapi para ulama memandang Ijtihad dan Qiyas
ada yang berpendapat bahwa ijtihad lebih luas dari pada qiyas, setiap ada qiyas tentu
terdapat ijtihad, tetapi belum tentu setiap ada ijtihad terdapat qiyas. Berbeda dengan
pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan
yang signifikan.

B. Perkembangan Ijtihad
Permulaan diberlakukannya ijtihad ini menjadi sebuah ikhtilaf dikalangan
ulama, apakah ijtihad itu dimulai pada masa Nabi masih hidup ataukan pada masa
sahabat, bila kita menganalisis beberapa pendapat para ulama2:
1. Menurut Jumhurul Ulama; ijtihad dimulai pada masa Nabi dengan argumen pada
firman Allah Swt yang berbunyi:

Artinya: “ ....... Maka ambil i'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai


pandangan” (Q.S. Al-Hasr; 2).
2
M.Ali Hasan, 1995. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada

4
Adapula dari hadits Nabi yang mengatakan Nabi pernah berijtihad
dalam kasus strategi perang, hukum mencium isteri pada saat berpuasa
diqiyaskan kepada hukum berkumur-kumur pada saat berpuasa (studi kasus Umar
Bin Khattab).
2. Golongan aliran kalam Asyariyah dan Mu'tazilah mengatakan bahwa Nabi tidak
pernah melakukan Ijtihad dan semua pernyataanya itu sesuai dengan wahyu
dengan argumen :
a. Firman Allah Q.S.An-najm; 3-4

ِ ِ ِ
َ ُ‫)إ ْن ُه َو إال َو ْح ٌي ي‬٣( ‫َو َما َيْنط ُق َع ِن اهْلََوى‬
)٤( ‫وحى‬
"dan tiada ia berbicara dari hawa nafsunya, tetapi tidak lain dari wahyu yang
diwahyukan" (segala yang diucapkan nabi adalah wahyu)
b. Nabi selalu menemukan ketentuan suatu hukum dari wahyu Allah jika sudah
turun, dan jika belum turun, beliau tidak berani untuk memutuskan suatu
masalah hingga wahyu diturunkan.
c. Nabi tidak memberi jawaban ketika pertanyaan itu ayatnya belum turun.
d. Ijtihad adalah buah karya akal yang kemungkinan sekali untuk menemui
kesalahan, sedangkan Nabi sendiri memiliki sifat ma'shum.
e. Ijtihad boleh berlaku jika nash-nya tidak ada dalam al-qur'an maupun as-
shunnah, selagi Nabi masih hidup maka semua problematika bisa ditanyakan
kepadanya, dan hukum ijtihad di sini dilarang selama Nabi masih hidup.
f. Sebagian ulama berpendapat mengenai kedua pendapat diatas dengan
pernyataan bahwa nabi hanya berijtihad dalam masalah duniawi saja, tidak
kepada hukum syara'.

C. Hukum Berijtihad
Orang yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mencapai tingkat
faqih (orang yang mencapai derajat terutama dibidang keilmuan). Adapun sebagian
ulama mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib artinya seorang mujtahid wajib
melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' ketika hal-hal yang
berkaitan dengan syara' tidak menetapkannya secara jelas dan pasti, maka disini
peranan ijtihad dihukumi wajib, sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur'an:

5
“Maka ambil i'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (Q.S.
Al-Hasr; 2), dalam ayat ini mengandung makna perintah untuk mengambil sebuah
ibarat, berarti konsekuensi logisnya Allah memerintahkan kita untuk berijtihad.

D. Syarat-syarat Berijtihad
Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam sangat bergantung pada kecakapan dan
keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihad yang berbeda hukum yang
dihasilkan antara satu ulama dengan ulama yang lain. Oleh karena itu, tidak semua
orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa
syarat yang harus dimiliki seseorang mujtahid yaitu3:
1. memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
2. memiliki pemahaman tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh
(sejarah) secara mendalam.
3. memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
4. memiliki keluhuran akhlak yang mulia.

E. Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam


Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an
dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan hukumnya tidak ditemukan dalam al-
Qur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw yang Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad Saw ketika
mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu
perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan
menurut Kitabullah (al-Qur’an). ”Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah
engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu
saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya
lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz
menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi
ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.”Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt.
yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang
disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)

3
DR.H.Nasrun Haroen, MA. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

6
Rasulullah Saw juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad "sesuai
dengan kemampuan dan ilmunya", kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan
mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia akan
mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis yang artinya:
“Dari Amr bin Ash, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seorang hakim
berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka
ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

F. Dasar-dasar ijtihad
Adapun landasan dasar ijtihad adalah4:
1. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, dan


orang-orang yang memegang kekuasaan (Ulil Amri) diantara kamu, kemudian bila
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah
(jiwa Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Jiwa As-Shunnah)....” (Q.S. An-Nisa : 59).
2. As-Shunnah
As-Shunnah merupakan proses pengambilan hukum setelah Al-Qur’an,
seperti halnya dialog yang terjadi antara sahabat Mu’adz bin Jabal dengan nabi
tantang proses pengambilan hukum yang tidak terdapat dalam nash al-qur’an
maupun as-shunnah.

3. Dalil Aqly (Rasio)

4
DR.M.Abdurrahman. 1999. Pergeseran Pemikiran Hadits. Jakarta: Paramadina

7
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-qur’an yang diturunkan itu hanya
sebatas kepada Nabi, sehingga setelah beliau wafat, tapi atas peristiwa yang
pernah terjadi kepada Mu’adz bin Jabal dan kemudian dilegitimasi oleh nabi
mengisyaratkan bahwa peranan rasio dalam ijtihad sangat urgen. Dengan catatan
tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan as-shunnah.

G. Bentuk-bentuk Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam


Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum
terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.
1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu
perkara atau hukum.Contoh ijma’ di masa sahabat nabi adalah kesepakatan untuk
menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran- lembaran terpisah menjadi
sebuah mushaf al-Qur’an yang seperti kita saksikan sekarang ini.
2. Qiyas
Qiyas berarti mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak
tercantum dalam al-Qur’an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya
dalam al-Qur’an dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas
adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, vodka,
wisky, topi miring, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter
dengan khamr, yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’an diharamkan,
sebagaimana firman Allah Swt. yang berbunyi:

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,


berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah

8
bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan
menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka
tidakkah kamu mau berhenti?" (Al-Maa’idah ayat 90-91)
3. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada
kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at
Islam.Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar atas kerugian kepada
pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.

H. Macam-macam ijtihad
Ada beberapa sudut pandang yang juga berbeda mengenai macam-macam
ijtihad, diantaranya5:
1. Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman ada tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan dan memilih hukum yang
terkandung dalam nash (Al-Qurán dan Hadits) dikarenakan adanya definisi
implisit yang berbeda dalam nash.
b. Ijtihad qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum atas suatu
kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash, juga tidak
ada ijma’ sebelumnya. Dalam hal ini, mujtahid menetapkan hukum suatu
kejadian berdasarkan kejadian lain yang telah ada nash-nya dengan mencari
kesamaan dalam Íllat (sebab) hukumnya. Metoda qiyas dan istihsan, yang akan
7
dibahas pada sub-bab selanjutnya, merupakan contoh ijtihad qiyasi.
c. Ijtihad istilahi, yaitu ijtihad untuk menggali, menemukan, dan merumuskan
hukum yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash, juga tidak ada
ijma’ sebelumnya. Namun berbeda dengan ijtihad qiyasi, dasar pegangan dalam
jenis ijtihad ini hanyalah jiwa hukum syara’ itu sendiri yang bertujuan untuk
mewujudkan kemashlahatan ummat.
2. Dari sisi hasil yang dicapai, Al-Syatibi membagi ijtihad dalam dua bentuk, yaitu:
a. Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang dapat dipandang sebagai penemuan hukum.
Umumnya merupakan ijtihad yang dihasilkan oleh satu atau lebih pakar.
b. Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang tidak dapat dipandang sebagai cara
dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini dilakukan oleh orang-orang

5
Amir Syarifuddin. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

9
yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat yang
ditentukan dan disepakati.
3. Dilihat dari sisi pelaksanaannya, ijtihad memiliki dua bentuk, yaitu:
a. Ijtihad fardi atau ijtihad perorangan, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya satu
orang. Ijtihad ini bisa dilakukan oleh setiap muslim jika masalah yang menjadi
objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah masyarakat yang
sederhana. Sebaliknya, jika masalah yang dihadapi memerlukan kajian dari
berbagai disiplin ilmu, maka yang mungkin melakukan ijtihad hanya mujtahid
kamil, yang ilmunya dapat melingkupi seluruh bidang hukum.
b. Ijtihad jama-i atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan bersama-sama.
Misalnya, untuk menentukan hukum tentang “bayi tabung”. Meski dilakukan
secara kolektif, hasil dari ijtihad ini tidak sama dengan ijma’ (kesepakatan
ulama) karena hanya berskala lokal.

I. Mujtahid dan Syarat-syaratnya


Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid
berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad. 6 Imam al Ghazali menyatakan
mujtahid mempunyai dua syarat :

1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-
hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.

2. Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).

Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila


mempunyai dua sifat:

1. Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan
menyeluruh.

2. Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-


tujuan syari`at tersebut.

Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu :

6
Satria Efendi. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

10
1. Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa
yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.

2. Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan
hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan
menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan
tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya ketika
terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya,
mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan
keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan Sunnah yang
diperlukan.

3. Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun
Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah
ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal.

4. Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukan-kedudukannya, sehingga


fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` itu.

5. Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta
jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia,
dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad
dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci).

6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-
uslub.

7. Alim dalam ilmu ushul fiqh.

8. Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan hukum-hukum,


sebab memahami nash-nash dan menerapkannya kepada peristiwa-peristiwa
tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap tujuan-tujuan ini.
J. Tingkatan Mujtahid
Ulama ahli Ushul Fiqh membagi ahli fiqh kepada tujuh tingkatan. Empat
tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke dalam

11
kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid. Di bawah ini diuraikan masing
masing tingkatan itu secara berurutan serta kedudukannya dalam fatwa, yaitu 7:
1. Mujtahid Mustaqil
Tingkatan pertama adalah Mujtahid Mustaqil (independen, mandiri). Untuk
mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh persyaratan ijtihad yang telah
disebutkan. Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas mengkaji
ketetapan hukum langsung dari al-Quran dan Sunnah, melakukan qiyas,
mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menetapkan dalil istihsan dan
berpendapat dengan dasar Saddudz Dzara’i. Dengan kata lain, mereka berwenang
menggunakan seluruh metode istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman, tidak
mengekor kepada mujtahid lain. Mereka merumuskan metodologi ijtihadnya
sendiri dan menerapkannya pada masalah-masalah furu’(cabang). Pendapatnya
kemudian disebarluaskan ke seluruh masyarakat.  
2. Mujtahid Muntasib
Mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat
imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang (furu’),
meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang
hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.

3. Mujtahid Madzhab
Mereka mengikuti imamnya baik dalam ushul maupun dalam furu’ yang
telah jadi. Peranan mereka terbatas melakkanistinbath hukum terhadap masalah-
masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Menurut Madzhab Maliky,
tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab. Tugas mereka dalam
ijtihad adalah menerapkan ‘illat-‘illat fiqhy yang telah digali oleh para
pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai di masa lampau.
Mujtahid dalam tingkatan ini tidak berhak melakukan ijtihad terhadap masalah-
masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhabnya, kecuali dalam
lingkup terbatas. Yaitu, dalam hal istinbath ulama terdahulu (sabiqun) didasarkan
pada pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi dengan tradisi dan kondisi
masyarakat dari ulama mutaakhkhirin. Sekiranya ulama sabiqun itu menyaksikan

7
Zahrah , Abu Muhammad. 2000. Ushul al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus

12
kenyataan yang disaksikan ulama sekarang, niscaya kan mencabut pendapatnya
itu.

Fungsi dan peranan mujtahid madzhab pada hakekatnya meliputi dua hal:


a. Secara murni mengambil kaidah-kaidah yang telah dipakai para imam
pendahulunya, serta semua kaidah fiqhiyah yang bersifat umum yang
merumuskan dari ‘illat-‘illat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar
tersebut.
b. Menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-
kaedah tersebut.
Tingkatan inilah yang melahirkan “al-Fiqh al-Madzhaby” (aliran fiqh) dan
meletakkan asas-asas bagi perkembangan madzhab-madzhab, serta mengeluarkan
ketentuan-ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhab-
madzhab tersebut. Mujtahid-mujtahid pada tingkatan ini pula yang meletakkan
asas-asas tarjih dan muqayasah (perbandingan) di antara pendapat ulama guna
menilai shahih atau dha’ifnya suatu pendapat. 
4. Mujtahid Murajjih
Mereka tidak melakukan istinbath terhadap hukum-hukumj furu’ yang
belum sempat ditetapkan oleh ulama terdahulu dan belum diketahui hukum-
hukumnya. Yang mereka lakukan hanyalah mentarjih (menggunggulkan) di antara
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamn dengan alat tarjih yang telah
dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian
pendapat atas pendapat lain karena dipandanganya kuat dalilnya atau karena
sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat masa itu atau alasan-alasan lain,
sepanjang tidak termasuk ke dalam kategori melakukan kegiatan sitinbath baru
yang independen ataupun mengikuti metode istinbath imamnya.
5. Mujtahid Muwazin
Tingkatan kelima yang disebutkan oleh Ibnu Abidin adalah
tingkatan mujtahid Muwazin, yang membanding-bandingkan antara beberapa
pendapat dan riwayat. Yang mereka lakukan, misalnya, menetapkan bahwa qiyas
yang dipakai dalam pendapat ini lebih mengena dibanding penggunaan qiyas
padapendapat lain. Atau, pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat
dalilnya.

13
6. Tingkatan Muhafizh
Tingkatan muhafizh tergolong tingkatan muqallid, hanya saja mereka
mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Tugas mereka
bukannya melakukan tarjih, akan tetapi mengetahui pendapat yang diunggulkan
beserta urutan tingkatan tarjih sesuai dengan hasil garapan mujtahid murajjih.
Dengan mengenali hasil tarjih dari mujtahid-mujtahid murajjih,
mujtahid muhaffizh dapat memberikan penilaian di antara mereka.

K. Beberapa Persoalan Ijtihad


1. Kekosongan Mujtahid
Al-Zarkasy berpendapat dalam kitabnya Al-Bahr; bahwa ada suatu
masa kekosongan Mujtahid (Mujtahid Muthlaq sekaliber Imam Madzhab)
karena setiap zaman tidak memilki kualitas Mujtahid sekaliber beliau. Namun
Golongan ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh ada masa
kekosongan Mujtahid, karena ijtihad sendiri hukumnya fardhu kifayah dan
secara tidak langsung kita sudah tidak menegakan hukum termaksud. Namun
sering diperbincangkna masalah Ijtihad, apakah mungkin ijtihad muthlaq
masih terbuka? dalam hal ini banyak terjadi ikhtilaf dikalangan ulama,
menurut Madzhab Syafi' dan sebagian Madzhab Hanafy mengatakan bahwa
Ijtihad mutklaq masih terbuka, argumen beliau bahwa ijtihad untuk semua
tingkatan Mujtahid masedangkan sebagian ulama yang lainyya menutup keras
pintu ijtihad muthlaq.
2. Metode Ijtihad
Beberapa metode Ijtihad8, yaitu:
a. Istihsan
b. Maslahah Mursalah
c. Istishhab
d. 'Adat/U'rf
e. Madzhab Shahabi (Fatwa sahabat secara perorangan)
f. Syar'u Man Qoblina (Syari'at sebelum kita) Metode Ijtihad yang ditempuh
oleh Imam madzhab:
8
Thaha Jabir, Adabul Ikhtilaf Fil Islam, dalam terjemah Abd.Fahmi, Gema Insani Press, Jakarta,
1991.

14
1) Imam Abu Hanifah, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah, Qiyas,
dan Istihsan, Menurut beliau " Seandainya tidak ada riwayat, niscaya
saya berbicara dengan qiyas"
2) Imam Malik, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah,Amal Ahli
Madinah (Ijma' dalam artian umum), Maslahat Mursalah, Qiyas dan
Syaddu Al-Zari'ah, Syar'u Manqoblana.
3) Imam Syafi'i, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah,Ijma' dan
Qiyas, Istihsab. menurut beliau Ijtihad yang menggunakan metode
Qiyas, kalau sudah benar maka bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil)
yang sah.
4) Imam Hanbali, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah, Fatwa
sahabat (Ijma), hadits mursal, Qiyas, Syaddu' adzdzara'i.
3. Fungsi dan Lapangan Ijtihad
Imam Syafi'i penyusun pertama Ushul Fiqh dalam kitabnya Al-Risalah
ketika menggambarkan betapa sempurnanya Al-qur'an, dan beliau yakin
bahwa semua permasalahan yang terjadi itu dapat di jawab oleh al-qur'an, dan
dalam hal ini diperlukan peranan ijtihad untuk memahaminya.dan dalam dunia
hadits menurut beliau disini peranan ijtihad di perlukan pula, mengingat
tingkatan-tingkatan hadits yang berbeda. Yang jelas bahwa lapangan ijtihad
adalah problematika yang hukum tidak dijelaskan dalam Al-qur'an ataupun
adanya ketidak pastian(dilalah). Masalah dalam lapangan ijtihad :
a. Masalah Aqliyyah atau Nazhariyyah (Aqidah)
b. Masalah Syar'iyyah.
4. Kebenaran hasil Ijtihad
Ketetapan hukum yang daimbil oleh mujtahid semata-mata adalah
hukum Allah sesuai dengan Q.S.Al-An'am; 57 yang berbunyi:

Maksudnya bahwa hukum yang dapat dicapai oleh mujtahid adalah


hukum Allah dalam lisan mujtahid. Karena mujtahid menginterpretasiakan
ayat-ayat yang dinggap memilki sifat multi interpretasi. Menurut Al-Anbari

15
bahwa yang betul dalam hasil ijtihad itu hanya satu, sedangkan yang lainnya
salah.menurutnya bahwa yang melakuka ijtihadnya salah itu terbebaskan dari
dosa. sesuai dengan Firman Allah swt yang berbunyi:

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas


usahanya......” (Q.S.Al-Baqarah; 286)
5. Kekuatan Hasil Ijtihad

Hasil yang dapat dicapai oleh seorang Mujtahid bersifat Zhanni, hanya
merupakan dugaan yang kuat yang dicapai dari hasl ijtihadnya. Menurut
Salam Madzkur bahwa hasil dari Mujtahid itu mengikat pada dirinya serta
orang yang meminta fatwa kepadnya. Menurut Ibnu Subki bagi orang awam/
belum mencapai tingkatan mujtahid, ia harus mengikuti pendapat mujtahid
sesuai dengan tempat ia meminta fatwa.

Setelah periode ijtihad dan masa keemasan fiqh islam berakhir dunia
ijtihad mengalami kemunduran yang disebabkan masing-masing madzhab
yang sudah terbentuk melegitimasi pendapatnya, dan mengklaim bahwa
pendapatnyalah yang paling benar. Sehingga memunculkan suatu perpecahan
dan hambarnya rasa toleransi sesamanya. Sehingga lambat laun perjalanan
waktu pintu ijtihad di tutup. Dalam literature fiqh tidak menjelaskan siapa
ulama yang menutup pintu ijtihad itu sendiri, dan masa seperti ini berlangsung
hingga abad ke- 13 H, dan pada fase ini disebut sebagai Periode taklid dan
tertutupnya pintu Ijtihad.

L. Sebab-sebab pintu ijtihad ditutup


Adapun sebab-sebab Ijtihad ditutup adalah:

16
1. Truth Claim yang terjadi dikalangan mujtahid pada masa itu yang melegitimasi
konklusi yang dikeluarkan adalah yang paling benar.

2. Ijtihad yang dilakukan terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih
mengedepankan rasio, sedangkan yang namnya ijtihad itu harus diimbangi oleh
literature Al-qur’an dan As-shunnah (ketakutan para mujtahid keluar dari jalur
Al-qur’an dan As-Shunnah dalam mencari problem solver).

M. Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan pasca
tabi’in

Sebagaimana diketahui, pada masa Rasulullah sumber hukum islam


adalah Alquran dan Sunnah. Namun demikian, ijtihad pada kenyataannya telah
tumbuh sejak masa-masa awal islam, yakni pada zaman nabi Muhammad, dan
kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa
generasi selanjutnya hingga kini dan yang akan datang. Banyak riwayat yang
menjelaskan betapa Rasulullah memberikan wewenang kepada pada sahabat
beliau untuk melakukan ijtihad. Salah satu yang paling sering diungkapkan dalam
kitab-kitab usul fiqih ialah kisah pengutusan Mu’az bin jabal ke yaman. Dalam
riwayat tersebut disebutkan bahwa Rasulullah memuji Mu’az ketika ia
menjelaskan metode ijtihad, dimana sumber hukum secara berturut-turut ialah
Alqur’an, sunnah, dan ar-ra’y (penalaran hukum). Dalam hal ini ia berkata:
“ajtahid ra’yi” (saya berijtihad menggunakan nalar saya).

Wewenang untuk berijtihad yang diberikan Rasulullah kepada sahabat itu,


ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang
timbul setelah wafatnya beliau. Akan tetapi, pada masa Rasulullah, ijtihad yang
dilakukan para sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk
mendapat pengesahan, ataupun mendapat koreksi dari Rasulullah, jika ternyata
hasil ijtihad mereka keliru. Setelah Rasulullah wafat, sejalan dengan perluasan
wilayah islam dan banyak pemeluk islam yang berlatar belakang budaya dan
kebiasaan yang beragam, para sahabat banyak menemukan kasus-kasus hukum
yang sama sekali tidak disebutkan ketentuan hukumnya didalam Alquran maupun
sunnah. Kenyataan ini disikapi para sahabat untuk menerapkan pengalaman
ijtihad yang mereka praktikan pada masa Rasulullah yaitu dengan menggunakan
ra’y. Metode yang ditempuh dalam penggunaan ra’y ini ialah, meneliti persamaan

17
‘illah kasus-kasus yang mereka hadapi dengan kasus-kasus yang yang terdapat
ketentuan ketentuan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah. Metode ini
belakangan dikenal dengan istilah al-qiyas. Apabila metode ini tidak dapat
diterapkan karena mereka tidak menemukan kesamaan kasus yang mereka hadapi
dengan yang terdapat dalam nashsh Al-quran dan Sunnah, maka mereka
menggunakan metode mashlahah alam menetapkan hukum.

Sahabat yang paling tekenal menggnakan ar-ra’yi melalui metode qiyas


dan mashlahah adalah umar bin khattab. Diantara hasil ijtihad umar yang
kemudian membuatnya terkenal dengan ijtihad melalui metode mashlahah ialah,
tidak memberikan hak menerima zakat kepada muallaf, dan tidak memotong
tangan pencuri pada musim paceklik. 9

Penggunaan ar-ra’yi kemudian semakin berkembang, terutama setelah


lewat masa sahabat dan dimulainya masa tabi’in dan sesudahnya, sehingga
banyak ditemukan mujtahid yang menggunakan ar-ra’y di berbagai daerah islam
seperti Madinah, Makkah, Basrah, Kufah, Syam, Mesir, Andalus, Yaman, dan
Bghdad. Nama-nama para mujtahid yang terkenal antara lain Abu Hanifah, Malik
bin Anas, Muhammad bin idris asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, yang
belakangan dikenal sebagai pendiri madzhab masing-masing. Akan tetapi, metode
ijtihad untuk menemukan hukum tidak lagi hanya terbatas pada qiyas dan
mashlahah, tetapi beragam, seperti; istihsan, ‘urf, ijma’ ahl al-Madinah, istishhab,
syar’u man qablana dan lain-lain. 10

Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan


pasca tabi’in, yaitu:

1. Ijtihad pada masa Rasulullah


Ketika Rasulullah di hadapkan tawanan perang Badar. Rasulullah
meminta pendapat para sahabat, hukuman apa yang pantas di ganjar pada
mereka. Muncul beberapa pendapat dari sahabat. Abu Bakar sebagai sahabat
yang paling bersahaja, berpendapat agar mereka di biarkan hidup dengan di
bebani pajak keamanan. Abu Bakar berharap mereka mau bertaubat sehingga
dapat menunjang kekuatan kaum muslimin dalam melawan kekufuran. Umar

9
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in an’ Rabb al-‘Alamin, juz 1, (hlm. 85-86)
10
Rahman, Dahlan. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta. Amzah (hlm. 341)

18
berpandangan bahwa paratawanan adalah orang-orang yang yang memusuhi
islam dan Rasulullah karena itu, sebagai imbalannya mereka harus di bunuh.
Lebih dari itu, Ibnu Rawahah berpendapat, mereka-mereka seharusnya di
bakar dalam kobaran api yang membara, mereka tidak pantas di beri
ampun.Rasulullah berlalu begitu saja setelah mendengar pendapat para
sahabat itu.Ribuan pertanyaan mendekam di benak para sahabat pendapat
siapakah yang di setujui Rasulullah.
Rasulullah datang dan bersabda: Hari ini, kalian dalam keadaan
miskin, maka salah satu dari tawanan sama sekali tidak boleh di lepaskan
kecuali telah membayar tebusan atau di potong lehernya. Keesokan harinya
sahabat Umar mengunjungi Rasulullah yang saat itu bersama Abu Bakar.
Umar melihat butir butir air mata mengalir membasahi pipi mereka
berdua.Saat Umar bertanya penyebab tangisan itu, Rasulullah menjawab: Aku
menangis karena para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad
beliau) dari para tawanan, padahal telah di jelaskan bahwa hampir saja azhab
turun pada mereka”.
Kebijakan Rasulullah agar tidak melepaskan tawanan perang kecuali
dengan membayar tebusan merupakan hasil ijtihad.Rasulullah
mempertimbangkan keadaan para sahabat yang kala itu mengalami
kemiskinan. Oleh karnanyaAllah menegor Rasulullah atas keputusan yang
telah di ambilnya, firman Allah :

Artinya: “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia


dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini. Kamu menghendaki harta
benda duniawi sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu Allah
maha perkasa lagi bijak sana. Jika sekiranya tidak ada ke tetapan yang telah

19
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang kamu ambil....... ” (Al-Anfal:67-68).
Kisah di atas menunjukkan bahwasanya nabi juga berijtihad ketika ada
suatu masalah yang tidak ada nash syarih dalam Al-Qur’an tetapi meskipun
demikian ulama’ masih berbeda pendapat tentang bolehnya nabi berijtihad.
Menurut pendapat Imam Ibnu Hazim tidak boleh nabi berijtihad secara
muthlaq bahkan dia berkata: Sesungguhnya orang yang menyangka nabi
berijtihad, sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada
para nabi dalam masalah yang terjadi di masanya.

2. Ijtihad Pada Masa Sahabat

Periode para sahabat, di kenal dengan sebutan priode fatwa dan


penafsiran terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak muncul kasus-
kasus baru yang belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Untuk memberikan
kejelasan hukum, para sahabat memberi fatwa atau keputusan dengan cara
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, sekalipun yang menjadi sumber
tetap adalah Al-Qur’an dan Hadist. Jika dalam realitas sosial terjadi kasus
yang ketentuan hukumnya tidak di temukan di dalam kedua sumber hukum
tersebut,mereka mengadakan musyawarah. Jika diperoleh kesepakatan
pendapat, maka terjadilah Ijma’ sahabat, sekalipun hanya bisa belaku pada
masa Abu Bakar.Jika kesepakatan itu tidak mungkin di capai, mereka
melakukan ijtihad dengan beberapa teori. Seperti teori qiyas,istislah,sadz
zari’ah,yang ruang lingkupnya pembahasannya di batasi pada kasus-kasus
yang benar terjadi.11

3. Ijtihad Pada Masa Tabi’in


a. Kalangan Ahli Al-Hadist
Mereka hanya melakukan penyelesaiyan kasus-kasus riel yang
sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, tanpa memproyeksikan
problem yang belum pernah terjadi untuk di carikan status hukumnya,
sehingga pada masa tabi’in ini (generasi sepeninggalan sahabat), ijtihad
terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negeri yang berada
bibawah kekuasaan dinasti Amamiyah. Guru-guru mereka adalah para

11
Saiban,Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Malang: Kutub Minar

20
sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan
Zaid Ibnu Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas
di Makkah, Amr bin Ash di Mesir, dan sebagainya. Pada priode ini umat
islam pecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur.
Perpecahan ini membawa dampak pada perbedaan pendapat dalam
menetapkan hukum Islam.Khawarij dan Syiah hanya menerima hadist dari
sahabat tertentu dan menolak yang lain, sementara itu kelompok jumhur
bisa menerima setiap hadist shahih yang di riwayatkan oleh perawi yang
tsiqah dengan tanpa membeda bedakan antara para sahabat yang ada.
Sebagai akibat dari perbedaan sikap ini maka muncullah fatwa-fatwa yang
berbeda di antara masing masing kelompok. Ciri lain yang menandai
priode ini adalah munculnya madrasah Ahlu Al Ru’yi dan Ahlu Hadist
yang masing masing mempunyai spesifikasi dalam menetapkan hukum
islam.Ahlu Al Ra’yi lebih mengutamakan pada penggunaan rasio dalam
menetapkan suatu hukum, sementara itu Ahlu Al Hadist lebih banyak
mengutamakan riwayat hadist di banding rasio.
Eksistensi ahli Al-Ra’yu di Irak(dengan tokohnya Ibrahim Al-
Nukha’iy)dan ahli Al Hadist di Hijaz (dengan tokohnya Sa’ad bin Al-
Musayyab), berpengaruh besar terhadap sistem penerapan metode ijtihad
dalam ber istinbatkan hukum Islam. Hal ini dapat di lihat dari sistem
penerapan metode ijtihad masing-masing yaitu.Hal ini dapat di lihat dari
sistem penerapan metode ijtihad masing- masing yaitudengan metode
ini,mereka tidak sampai keluar daripemahaman nash secara tekstual.
b. Kalangan Ahlu Al Ra’yi
Dalam metode ijtihad, mereka selalu menggunakan teori istishlah
dan teori qiyas dengan patokan dan aturan yang sangat jelas, hanya saja
belum sampai di bukukan,baik metode ijtihadnya dalam bentuk ilmu
ushul- fiqih maupun hasil ijtihadnya dalam bentuk fiqih. Mereka para ahli
Al Ra’yi berijtihad tidak terbatas pada lingkup peristiwa yang sudah terjadi
saja, tetapi melangkah sampai pada peristiwa yang di asumsikan bakal
terjadi. Pada priode ini perbedaan pendapat di antar Ahli hadist dan Ahli
Ra’yi, antara sesama kelompok ahli al ra’yi sendiri sangat luas
dibandingkan dengan perbedaan yang terjadi di masa sahabat, sehingga
banyak bermunculan para mujtahid yang menjadi mufti di berbagai negara

21
islam, baik dari kalangan ahlu Al Ra’yi maupun ahli Al Hadist, seperti di
Madinah,Basrah, Kufah, Yaman, Mesir dan lain-lainnya.Para mujtahid
tersebut memberi fatwa kepada penduduk dan meriwayatkan hadist dari
Nabi SAW. Bahkan setiap penduduk bisa sangat mudah bertanya langsung
kepada para mufti tentang berbagai masalah.
c. Ijtihad pasca imam-imam mazhab

Pada periode ini disebut periode taqlid, karena para ulama telah
lemah semangatnya,mereka lemah kembali kepada hukum tasyri’ yang
asasi guna menarik hukum nash Al Qur’an dan Al Sunnah dan lemah
semangatnya untuk menginstinbatkan hukum yang tidak ada nashnya,
dengan salah satu dalil syara’. Para ulama pada periode ini terbiasa
mengikuti hukum yang telah ditentukan oleh para imam mujtahid pada
masa lampau beserta ushul fiqihnya.Periode taqlid ini di mulai sejak
pertengahan abad ke empat hijriyah, bersamaan dengan muncul berbagai
faktor yang menimpa umat islam.

Pengebab terhentinya gerakan ijtihad, ada empat faktor yang


menyebabkannya:

1) Daulah islamiyah terbagi bagi dalam sejumlah kerajaan, dimana para


rajanya, penguasanya, dan rakyatnya saling bermusuhan.
2) Para imam-imam mujtahid terbagi bagi menjadi beberapa golongan.
3) Umat islam aga’ mengabaikan prosedur pembuatan dan pengaturan
perundang undangan.
4) Para ulama’ banyak yang menderita penyakit moral, yang
menghalangi mereka untuk menjadi mujtahid.

Meskipun terdapat beberapa faktor yang menghalangi mereka


untuk melakukan ijtihad mutlaq, dan mengeluarkan hukum syara’ dari
sumbernya yang pertama, namun semangat ulama’ untuk menekuni
bidang tasyri’ di wilaya mereka yang terbatas, masih berlangsung.
Contohnya saja imam Ghazali.Pemikiran Al Gazali menyesuaikan dengan
landasan pemikiran Al Gazali,bahwa sebagai seorang muslim tetap
mendasri pemikiran-pemikiran kepada pokok ajaran islam, yaitu Al
Qur’an dan Hadist. Disamping itu juga ia mempergunakan akal (Al

22
Ma’kul) sebagai landasan berpikirnya. Didalam kitabnya Qanun Al
Ta’wil, Al Gazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang
menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam
membahas sesuatu. Ketika Al-Gazali membahas dalil-dalil pokok (yang
utama) untuk ijma’ ia menempuh tiga jalan.sebagai berikut.

1) Berpegang pada Al Qur’an 


2) Berpegang pada pendapat Rasulullah SAW, bahwa umat tidak akan
bersepakat pada kesalahan (kesesatan),
3) Berpegang teguh pada ma’nawi.12

12
Khallaf. Abdu Al-Wahab. 2005. Sejarah Hukum Islam. Yogyakarta: Marja

23
BAB III

SIMPULAN

Berdasarkan beberapa tujuan dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan


sebagai berikut.

1. Ijtihad merupakan pencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara


sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum Islam (syara’) dari suatu kasus
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW.
2. Permulaan diberlakukannya ijtihad menjadi sebuah ikhtilaf
dikalangan ulama, menurut Jumhurul Ulama; ijtihad dimulai pada masa Nabi
dengan argumen pada firman Allah Swt Q.S. Al-Hasr; 2.
3. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib
artinya seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara' ketika hal-hal yang berkaitan dengan syara' tidak menetapkannya
secara jelas dan pasti.
4. Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam sangat bergantung pada
kecakapan dan keahlian para mujtahid, diantara syaratnya yaitu memiliki ilmu
pengetahuan yang luas dan mendalam.
5. Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah
al-Qur’an dan hadis, sehingga hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis.
6. Adapun landasan dasar ijtihad yaitu al-qur’an, as-sunnah dan dalil
aqly/ rasio.
7. Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan
sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu ijma’, qiyas, dan maslahah
mursalah.
8. Macam-macam Ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan
pedoman yaitu, ijtihad bayani, qiyasi dan istilahi. Dari sisi hasil yang dicapai ada
Ijtihad yang mu’tabar dan ijtihad yang ghairu mu’tabar. Dilihat dari sisi
pelaksanaannya yaitu ijtihad fardhi/perorangan atau jama’i/kolektif.
9. Mujtahid ialah orang yang berijtihad, syaratnya yaitu adil dan
mengetahui dan menguasai ilmu syara’.

24
10. Ulama ahli Ushul Fiqh membagi ahli fiqh kepada tujuh tingkatan.
Empat tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke
dalam kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid.
11. Beberapa persoalan ijtihad yaitu, kekosongan mujtahid, metode ijtihad, fungsi dan
lapangan ijtihad, kebenaran hasil Ijtihad, dan kekuatan hasil Ijtihad.
12. Sebab-sebab Ijtihad ditutup adalah Truth claim dan Ijtihad yang dilakukan
terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih mengedepankan rasio.
13. Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan pasca
tabi’in, yaitu di masa Rosul “Sesungguhnya orang yang menyangka nabi berijtihad,
sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada para nabi dalam
masalah yang terjadi di masanya.” Periode para sahabat, di kenal dengan sebutan
priode fatwa dan penafsiran terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak
muncul kasus-kasus baru yang belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Periode
tabi’in tebagi kedalam kalangan ahli hadis, kalangan ahli ra’yi dan kalangan pasca
imam-imam madzhab.

25

Anda mungkin juga menyukai