PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selain Al-Qur'an dan Hadis, Ijtihad merupakan sumber ajaran dalam agama
Islam. Ijtihad dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, seperti yang sering tersurat
dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-
Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah. Contoh Ijtihad di zaman Rosul dalam
kasus pada Umar bin Khattab yang mencium isterinya pada saat berpuasa, dan beliau
menganggap puasanya itu telah batal, kemudian beliaupun mempertanyaakan hal
tersebut kepada Rasulallah SAW, kemudian Rasulullah menjawab pertanyaan beliau
dengan mengqiyaskan hal tersebut dengan praktek kumur-kumur pada saat berpuasa,
sehingga beliau menarik suatu kesimpulan bahwa puasanya itu tidak batal dan
Rasulullah pun menyuruh beliau meneruskan puasanya (HR.Ad-Damiri dari Umar bin
Khattab).
Dari kasus seperti ini berarti pada masa Rasulullah telah diberlakukan yang
namnya Ijtihad, adapula yang berpendapat bahwa strategi perang yang muncul dari
buah fikir Nabi merupakan suatu hasil Ijtihad, namun setelah Nabi wafat para
sahabatlah yang memilki peran untuk berijtihad saat terjadi sebuah problematika yang
tidak terdapat dalam nas al-qur’an maupun as-sunnah, meskipun sering terjadi
perbedaan pendapat atas permasalahan yang terjadi, akan tetapi sebelum Nabi wafat
beliau pernah bersabda bahwa apapun hasil Ijtihad seseorang, apabila dilakukan
secara maksimal itu akan mendapatkan pahala dari Allah SWT (HR. Imam Bukhori,
Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Bagaimana perkembangan Ijtihad?
3. Bagaimana hukum berijtihad?
4. Apa saja syarat-syarat berijtihad?
5. Bagaimana kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
6. Apa saja dasar-dasar Ijtihad?
1
7. Apa saja bentuk-bentuk Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam?
8. Apa saja macam-macam Ijtihad?
9. Apa pengertian Mujtahid dan syarat-syaratnya?
10. Bagaimana tingkatan Mujtahid?
11. Apa saja persoalan Ijtihad?
12. Apa saja sebab-sebab Ijtihad ditutup?
13. Bagaimana perbedaan metode Ijtihad pada masa Rosulallah, sahabat, tabi’in dan
pasca tabi’in?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dalam penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad.
2. Untuk mengetahui perkembangan Ijtihad.
3. Untuk mengetahui hukum berijtihad.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat berijtihad.
5. Untuk mengetahui kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam.
6. Untuk mengetahui dasar-dasar Ijtihad.
7. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam.
8. Untuk mengetahui macam-macam Ijtihad.
9. Untuk mengetahui pengertian Mujtahid dan syarat-syaratnya.
10. Untuk mengetahui tingkatan Mujtahid.
11. Untuk mengetahui persoalan Ijtihad.
12. Untuk mengetahui sebab-sebab Ijtihad ditutup.
13. Untuk mengetahui perbedaan metode Ijtihad pada masa Rosulallah, sahabat,
tabi’in dan pasca tabi’in.
2
BAB II
A. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal bahasa Arab “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang berarti
mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau
bekerja secara optimal. Secara istilah, Ijtihad berarti mencurahkan segenap tenaga dan
pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum Islam (syara’) dari
suatu kasus yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW. Orang
yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid.
1. Menurut Abu Zahrah, Ijtihad bermakna pengarahan kemampuan seorang ahli fiqh
akan kemampuannya dalam upaya mengistinbatkan hukum yang berhubungan
dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya.
2. Ijitihad menurut Hanafi adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk
menemukan hukum agama (Syara') melalui salah satu dalil syara' dan dengan
cara-cara tertentu.
3. Pengertian Ijtihad Menurut Yusuf Qardlawi adalah mencurahkan semua
kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan kata ijtihad hanya terhadap
masalah-masalah penting yang memerlukan banyak perhatian dan tenaga.
4. Menurut Al-Amidi, Pengertian Ijtihad ialah mencurahkan semua kemampuan
untuk mencari hukum syara' yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak
mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
5. Imam al-Gazali mengungkapkan, Pengertian Ijtihad merupakan upaya maksimal
seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syarak.
6. Menurut para sahabat pengertian Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul, baik
melalui suatu nash, yang disebut "qiyas" (ma'qul nash) maupun melalui maksud
dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut "maslahat".
7. Pengertian Ijtihad menurut Mayoritas Ulama Ushul ialah pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian
1
M. Arifin Hamid, 2011. HUKUM ISLAM Perspektif Keindonesiaan. Makassar: PT Umitoha Ukhuwah
Grafika.
3
tingkat zhann mengenai sesuatu hukum syara', ini menunjukkan bahwa fungsi
ijtihad yaitu untuk mengeluarkan hukum syara' amaliy statusnya zhaanny. Dengan
demikian Ijtihad tidak berlaku dibidang akidah dan akhlak.
8. Adapun Minoritas Ulama Ushul, Pengertian Ijtihad adalah pengerahan segala
kekuatan untuk mencari hukum sesuatu peristiwa dalam nash Al-quran dan Hadits
shahih.
Bila penelusuran itu tanpa diiringi oleh dalil syara’ maka itu bukanlah suatu
ijtihad. Ulama-ulama terdahulu bila memecahkan suatu pokok permasalahan yang
tidak mendapatkan rujukan dalam Al-Qur’an ataupun As-sunnah, maka mereka akan
menggunkan ijtihad dengan metode yang berbeda, ada yang menggunakan qiyas atau
istihsan, maslahah mursalah. Akan tetapi para ulama memandang Ijtihad dan Qiyas
ada yang berpendapat bahwa ijtihad lebih luas dari pada qiyas, setiap ada qiyas tentu
terdapat ijtihad, tetapi belum tentu setiap ada ijtihad terdapat qiyas. Berbeda dengan
pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan
yang signifikan.
B. Perkembangan Ijtihad
Permulaan diberlakukannya ijtihad ini menjadi sebuah ikhtilaf dikalangan
ulama, apakah ijtihad itu dimulai pada masa Nabi masih hidup ataukan pada masa
sahabat, bila kita menganalisis beberapa pendapat para ulama2:
1. Menurut Jumhurul Ulama; ijtihad dimulai pada masa Nabi dengan argumen pada
firman Allah Swt yang berbunyi:
4
Adapula dari hadits Nabi yang mengatakan Nabi pernah berijtihad
dalam kasus strategi perang, hukum mencium isteri pada saat berpuasa
diqiyaskan kepada hukum berkumur-kumur pada saat berpuasa (studi kasus Umar
Bin Khattab).
2. Golongan aliran kalam Asyariyah dan Mu'tazilah mengatakan bahwa Nabi tidak
pernah melakukan Ijtihad dan semua pernyataanya itu sesuai dengan wahyu
dengan argumen :
a. Firman Allah Q.S.An-najm; 3-4
ِ ِ ِ
َ ُ)إ ْن ُه َو إال َو ْح ٌي ي٣( َو َما َيْنط ُق َع ِن اهْلََوى
)٤( وحى
"dan tiada ia berbicara dari hawa nafsunya, tetapi tidak lain dari wahyu yang
diwahyukan" (segala yang diucapkan nabi adalah wahyu)
b. Nabi selalu menemukan ketentuan suatu hukum dari wahyu Allah jika sudah
turun, dan jika belum turun, beliau tidak berani untuk memutuskan suatu
masalah hingga wahyu diturunkan.
c. Nabi tidak memberi jawaban ketika pertanyaan itu ayatnya belum turun.
d. Ijtihad adalah buah karya akal yang kemungkinan sekali untuk menemui
kesalahan, sedangkan Nabi sendiri memiliki sifat ma'shum.
e. Ijtihad boleh berlaku jika nash-nya tidak ada dalam al-qur'an maupun as-
shunnah, selagi Nabi masih hidup maka semua problematika bisa ditanyakan
kepadanya, dan hukum ijtihad di sini dilarang selama Nabi masih hidup.
f. Sebagian ulama berpendapat mengenai kedua pendapat diatas dengan
pernyataan bahwa nabi hanya berijtihad dalam masalah duniawi saja, tidak
kepada hukum syara'.
C. Hukum Berijtihad
Orang yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mencapai tingkat
faqih (orang yang mencapai derajat terutama dibidang keilmuan). Adapun sebagian
ulama mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib artinya seorang mujtahid wajib
melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' ketika hal-hal yang
berkaitan dengan syara' tidak menetapkannya secara jelas dan pasti, maka disini
peranan ijtihad dihukumi wajib, sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur'an:
5
“Maka ambil i'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (Q.S.
Al-Hasr; 2), dalam ayat ini mengandung makna perintah untuk mengambil sebuah
ibarat, berarti konsekuensi logisnya Allah memerintahkan kita untuk berijtihad.
D. Syarat-syarat Berijtihad
Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam sangat bergantung pada kecakapan dan
keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihad yang berbeda hukum yang
dihasilkan antara satu ulama dengan ulama yang lain. Oleh karena itu, tidak semua
orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa
syarat yang harus dimiliki seseorang mujtahid yaitu3:
1. memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
2. memiliki pemahaman tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh
(sejarah) secara mendalam.
3. memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
4. memiliki keluhuran akhlak yang mulia.
3
DR.H.Nasrun Haroen, MA. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
6
Rasulullah Saw juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad "sesuai
dengan kemampuan dan ilmunya", kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan
mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia akan
mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis yang artinya:
“Dari Amr bin Ash, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seorang hakim
berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka
ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
F. Dasar-dasar ijtihad
Adapun landasan dasar ijtihad adalah4:
1. Al-Qur’an
4
DR.M.Abdurrahman. 1999. Pergeseran Pemikiran Hadits. Jakarta: Paramadina
7
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-qur’an yang diturunkan itu hanya
sebatas kepada Nabi, sehingga setelah beliau wafat, tapi atas peristiwa yang
pernah terjadi kepada Mu’adz bin Jabal dan kemudian dilegitimasi oleh nabi
mengisyaratkan bahwa peranan rasio dalam ijtihad sangat urgen. Dengan catatan
tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan as-shunnah.
8
bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan
menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka
tidakkah kamu mau berhenti?" (Al-Maa’idah ayat 90-91)
3. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada
kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at
Islam.Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar atas kerugian kepada
pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.
H. Macam-macam ijtihad
Ada beberapa sudut pandang yang juga berbeda mengenai macam-macam
ijtihad, diantaranya5:
1. Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman ada tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan dan memilih hukum yang
terkandung dalam nash (Al-Qurán dan Hadits) dikarenakan adanya definisi
implisit yang berbeda dalam nash.
b. Ijtihad qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum atas suatu
kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash, juga tidak
ada ijma’ sebelumnya. Dalam hal ini, mujtahid menetapkan hukum suatu
kejadian berdasarkan kejadian lain yang telah ada nash-nya dengan mencari
kesamaan dalam Íllat (sebab) hukumnya. Metoda qiyas dan istihsan, yang akan
7
dibahas pada sub-bab selanjutnya, merupakan contoh ijtihad qiyasi.
c. Ijtihad istilahi, yaitu ijtihad untuk menggali, menemukan, dan merumuskan
hukum yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash, juga tidak ada
ijma’ sebelumnya. Namun berbeda dengan ijtihad qiyasi, dasar pegangan dalam
jenis ijtihad ini hanyalah jiwa hukum syara’ itu sendiri yang bertujuan untuk
mewujudkan kemashlahatan ummat.
2. Dari sisi hasil yang dicapai, Al-Syatibi membagi ijtihad dalam dua bentuk, yaitu:
a. Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang dapat dipandang sebagai penemuan hukum.
Umumnya merupakan ijtihad yang dihasilkan oleh satu atau lebih pakar.
b. Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang tidak dapat dipandang sebagai cara
dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini dilakukan oleh orang-orang
5
Amir Syarifuddin. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
9
yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat yang
ditentukan dan disepakati.
3. Dilihat dari sisi pelaksanaannya, ijtihad memiliki dua bentuk, yaitu:
a. Ijtihad fardi atau ijtihad perorangan, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya satu
orang. Ijtihad ini bisa dilakukan oleh setiap muslim jika masalah yang menjadi
objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah masyarakat yang
sederhana. Sebaliknya, jika masalah yang dihadapi memerlukan kajian dari
berbagai disiplin ilmu, maka yang mungkin melakukan ijtihad hanya mujtahid
kamil, yang ilmunya dapat melingkupi seluruh bidang hukum.
b. Ijtihad jama-i atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan bersama-sama.
Misalnya, untuk menentukan hukum tentang “bayi tabung”. Meski dilakukan
secara kolektif, hasil dari ijtihad ini tidak sama dengan ijma’ (kesepakatan
ulama) karena hanya berskala lokal.
1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-
hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
2. Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
1. Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan
menyeluruh.
6
Satria Efendi. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
10
1. Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa
yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.
2. Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan
hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan
menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan
tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya ketika
terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya,
mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan
keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan Sunnah yang
diperlukan.
3. Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun
Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah
ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal.
5. Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta
jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia,
dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad
dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci).
6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-
uslub.
11
kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid. Di bawah ini diuraikan masing
masing tingkatan itu secara berurutan serta kedudukannya dalam fatwa, yaitu 7:
1. Mujtahid Mustaqil
Tingkatan pertama adalah Mujtahid Mustaqil (independen, mandiri). Untuk
mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh persyaratan ijtihad yang telah
disebutkan. Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas mengkaji
ketetapan hukum langsung dari al-Quran dan Sunnah, melakukan qiyas,
mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menetapkan dalil istihsan dan
berpendapat dengan dasar Saddudz Dzara’i. Dengan kata lain, mereka berwenang
menggunakan seluruh metode istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman, tidak
mengekor kepada mujtahid lain. Mereka merumuskan metodologi ijtihadnya
sendiri dan menerapkannya pada masalah-masalah furu’(cabang). Pendapatnya
kemudian disebarluaskan ke seluruh masyarakat.
2. Mujtahid Muntasib
Mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat
imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang (furu’),
meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang
hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.
3. Mujtahid Madzhab
Mereka mengikuti imamnya baik dalam ushul maupun dalam furu’ yang
telah jadi. Peranan mereka terbatas melakkanistinbath hukum terhadap masalah-
masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Menurut Madzhab Maliky,
tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab. Tugas mereka dalam
ijtihad adalah menerapkan ‘illat-‘illat fiqhy yang telah digali oleh para
pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai di masa lampau.
Mujtahid dalam tingkatan ini tidak berhak melakukan ijtihad terhadap masalah-
masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhabnya, kecuali dalam
lingkup terbatas. Yaitu, dalam hal istinbath ulama terdahulu (sabiqun) didasarkan
pada pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi dengan tradisi dan kondisi
masyarakat dari ulama mutaakhkhirin. Sekiranya ulama sabiqun itu menyaksikan
7
Zahrah , Abu Muhammad. 2000. Ushul al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus
12
kenyataan yang disaksikan ulama sekarang, niscaya kan mencabut pendapatnya
itu.
13
6. Tingkatan Muhafizh
Tingkatan muhafizh tergolong tingkatan muqallid, hanya saja mereka
mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Tugas mereka
bukannya melakukan tarjih, akan tetapi mengetahui pendapat yang diunggulkan
beserta urutan tingkatan tarjih sesuai dengan hasil garapan mujtahid murajjih.
Dengan mengenali hasil tarjih dari mujtahid-mujtahid murajjih,
mujtahid muhaffizh dapat memberikan penilaian di antara mereka.
14
1) Imam Abu Hanifah, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah, Qiyas,
dan Istihsan, Menurut beliau " Seandainya tidak ada riwayat, niscaya
saya berbicara dengan qiyas"
2) Imam Malik, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah,Amal Ahli
Madinah (Ijma' dalam artian umum), Maslahat Mursalah, Qiyas dan
Syaddu Al-Zari'ah, Syar'u Manqoblana.
3) Imam Syafi'i, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah,Ijma' dan
Qiyas, Istihsab. menurut beliau Ijtihad yang menggunakan metode
Qiyas, kalau sudah benar maka bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil)
yang sah.
4) Imam Hanbali, metode Ijtihadnya; Al-Qur'an, As-Sunnah, Fatwa
sahabat (Ijma), hadits mursal, Qiyas, Syaddu' adzdzara'i.
3. Fungsi dan Lapangan Ijtihad
Imam Syafi'i penyusun pertama Ushul Fiqh dalam kitabnya Al-Risalah
ketika menggambarkan betapa sempurnanya Al-qur'an, dan beliau yakin
bahwa semua permasalahan yang terjadi itu dapat di jawab oleh al-qur'an, dan
dalam hal ini diperlukan peranan ijtihad untuk memahaminya.dan dalam dunia
hadits menurut beliau disini peranan ijtihad di perlukan pula, mengingat
tingkatan-tingkatan hadits yang berbeda. Yang jelas bahwa lapangan ijtihad
adalah problematika yang hukum tidak dijelaskan dalam Al-qur'an ataupun
adanya ketidak pastian(dilalah). Masalah dalam lapangan ijtihad :
a. Masalah Aqliyyah atau Nazhariyyah (Aqidah)
b. Masalah Syar'iyyah.
4. Kebenaran hasil Ijtihad
Ketetapan hukum yang daimbil oleh mujtahid semata-mata adalah
hukum Allah sesuai dengan Q.S.Al-An'am; 57 yang berbunyi:
15
bahwa yang betul dalam hasil ijtihad itu hanya satu, sedangkan yang lainnya
salah.menurutnya bahwa yang melakuka ijtihadnya salah itu terbebaskan dari
dosa. sesuai dengan Firman Allah swt yang berbunyi:
Hasil yang dapat dicapai oleh seorang Mujtahid bersifat Zhanni, hanya
merupakan dugaan yang kuat yang dicapai dari hasl ijtihadnya. Menurut
Salam Madzkur bahwa hasil dari Mujtahid itu mengikat pada dirinya serta
orang yang meminta fatwa kepadnya. Menurut Ibnu Subki bagi orang awam/
belum mencapai tingkatan mujtahid, ia harus mengikuti pendapat mujtahid
sesuai dengan tempat ia meminta fatwa.
Setelah periode ijtihad dan masa keemasan fiqh islam berakhir dunia
ijtihad mengalami kemunduran yang disebabkan masing-masing madzhab
yang sudah terbentuk melegitimasi pendapatnya, dan mengklaim bahwa
pendapatnyalah yang paling benar. Sehingga memunculkan suatu perpecahan
dan hambarnya rasa toleransi sesamanya. Sehingga lambat laun perjalanan
waktu pintu ijtihad di tutup. Dalam literature fiqh tidak menjelaskan siapa
ulama yang menutup pintu ijtihad itu sendiri, dan masa seperti ini berlangsung
hingga abad ke- 13 H, dan pada fase ini disebut sebagai Periode taklid dan
tertutupnya pintu Ijtihad.
16
1. Truth Claim yang terjadi dikalangan mujtahid pada masa itu yang melegitimasi
konklusi yang dikeluarkan adalah yang paling benar.
2. Ijtihad yang dilakukan terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih
mengedepankan rasio, sedangkan yang namnya ijtihad itu harus diimbangi oleh
literature Al-qur’an dan As-shunnah (ketakutan para mujtahid keluar dari jalur
Al-qur’an dan As-Shunnah dalam mencari problem solver).
M. Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan pasca
tabi’in
17
‘illah kasus-kasus yang mereka hadapi dengan kasus-kasus yang yang terdapat
ketentuan ketentuan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah. Metode ini
belakangan dikenal dengan istilah al-qiyas. Apabila metode ini tidak dapat
diterapkan karena mereka tidak menemukan kesamaan kasus yang mereka hadapi
dengan yang terdapat dalam nashsh Al-quran dan Sunnah, maka mereka
menggunakan metode mashlahah alam menetapkan hukum.
9
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in an’ Rabb al-‘Alamin, juz 1, (hlm. 85-86)
10
Rahman, Dahlan. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta. Amzah (hlm. 341)
18
berpandangan bahwa paratawanan adalah orang-orang yang yang memusuhi
islam dan Rasulullah karena itu, sebagai imbalannya mereka harus di bunuh.
Lebih dari itu, Ibnu Rawahah berpendapat, mereka-mereka seharusnya di
bakar dalam kobaran api yang membara, mereka tidak pantas di beri
ampun.Rasulullah berlalu begitu saja setelah mendengar pendapat para
sahabat itu.Ribuan pertanyaan mendekam di benak para sahabat pendapat
siapakah yang di setujui Rasulullah.
Rasulullah datang dan bersabda: Hari ini, kalian dalam keadaan
miskin, maka salah satu dari tawanan sama sekali tidak boleh di lepaskan
kecuali telah membayar tebusan atau di potong lehernya. Keesokan harinya
sahabat Umar mengunjungi Rasulullah yang saat itu bersama Abu Bakar.
Umar melihat butir butir air mata mengalir membasahi pipi mereka
berdua.Saat Umar bertanya penyebab tangisan itu, Rasulullah menjawab: Aku
menangis karena para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad
beliau) dari para tawanan, padahal telah di jelaskan bahwa hampir saja azhab
turun pada mereka”.
Kebijakan Rasulullah agar tidak melepaskan tawanan perang kecuali
dengan membayar tebusan merupakan hasil ijtihad.Rasulullah
mempertimbangkan keadaan para sahabat yang kala itu mengalami
kemiskinan. Oleh karnanyaAllah menegor Rasulullah atas keputusan yang
telah di ambilnya, firman Allah :
19
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang kamu ambil....... ” (Al-Anfal:67-68).
Kisah di atas menunjukkan bahwasanya nabi juga berijtihad ketika ada
suatu masalah yang tidak ada nash syarih dalam Al-Qur’an tetapi meskipun
demikian ulama’ masih berbeda pendapat tentang bolehnya nabi berijtihad.
Menurut pendapat Imam Ibnu Hazim tidak boleh nabi berijtihad secara
muthlaq bahkan dia berkata: Sesungguhnya orang yang menyangka nabi
berijtihad, sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada
para nabi dalam masalah yang terjadi di masanya.
11
Saiban,Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Malang: Kutub Minar
20
sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan
Zaid Ibnu Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas
di Makkah, Amr bin Ash di Mesir, dan sebagainya. Pada priode ini umat
islam pecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur.
Perpecahan ini membawa dampak pada perbedaan pendapat dalam
menetapkan hukum Islam.Khawarij dan Syiah hanya menerima hadist dari
sahabat tertentu dan menolak yang lain, sementara itu kelompok jumhur
bisa menerima setiap hadist shahih yang di riwayatkan oleh perawi yang
tsiqah dengan tanpa membeda bedakan antara para sahabat yang ada.
Sebagai akibat dari perbedaan sikap ini maka muncullah fatwa-fatwa yang
berbeda di antara masing masing kelompok. Ciri lain yang menandai
priode ini adalah munculnya madrasah Ahlu Al Ru’yi dan Ahlu Hadist
yang masing masing mempunyai spesifikasi dalam menetapkan hukum
islam.Ahlu Al Ra’yi lebih mengutamakan pada penggunaan rasio dalam
menetapkan suatu hukum, sementara itu Ahlu Al Hadist lebih banyak
mengutamakan riwayat hadist di banding rasio.
Eksistensi ahli Al-Ra’yu di Irak(dengan tokohnya Ibrahim Al-
Nukha’iy)dan ahli Al Hadist di Hijaz (dengan tokohnya Sa’ad bin Al-
Musayyab), berpengaruh besar terhadap sistem penerapan metode ijtihad
dalam ber istinbatkan hukum Islam. Hal ini dapat di lihat dari sistem
penerapan metode ijtihad masing-masing yaitu.Hal ini dapat di lihat dari
sistem penerapan metode ijtihad masing- masing yaitudengan metode
ini,mereka tidak sampai keluar daripemahaman nash secara tekstual.
b. Kalangan Ahlu Al Ra’yi
Dalam metode ijtihad, mereka selalu menggunakan teori istishlah
dan teori qiyas dengan patokan dan aturan yang sangat jelas, hanya saja
belum sampai di bukukan,baik metode ijtihadnya dalam bentuk ilmu
ushul- fiqih maupun hasil ijtihadnya dalam bentuk fiqih. Mereka para ahli
Al Ra’yi berijtihad tidak terbatas pada lingkup peristiwa yang sudah terjadi
saja, tetapi melangkah sampai pada peristiwa yang di asumsikan bakal
terjadi. Pada priode ini perbedaan pendapat di antar Ahli hadist dan Ahli
Ra’yi, antara sesama kelompok ahli al ra’yi sendiri sangat luas
dibandingkan dengan perbedaan yang terjadi di masa sahabat, sehingga
banyak bermunculan para mujtahid yang menjadi mufti di berbagai negara
21
islam, baik dari kalangan ahlu Al Ra’yi maupun ahli Al Hadist, seperti di
Madinah,Basrah, Kufah, Yaman, Mesir dan lain-lainnya.Para mujtahid
tersebut memberi fatwa kepada penduduk dan meriwayatkan hadist dari
Nabi SAW. Bahkan setiap penduduk bisa sangat mudah bertanya langsung
kepada para mufti tentang berbagai masalah.
c. Ijtihad pasca imam-imam mazhab
Pada periode ini disebut periode taqlid, karena para ulama telah
lemah semangatnya,mereka lemah kembali kepada hukum tasyri’ yang
asasi guna menarik hukum nash Al Qur’an dan Al Sunnah dan lemah
semangatnya untuk menginstinbatkan hukum yang tidak ada nashnya,
dengan salah satu dalil syara’. Para ulama pada periode ini terbiasa
mengikuti hukum yang telah ditentukan oleh para imam mujtahid pada
masa lampau beserta ushul fiqihnya.Periode taqlid ini di mulai sejak
pertengahan abad ke empat hijriyah, bersamaan dengan muncul berbagai
faktor yang menimpa umat islam.
22
Ma’kul) sebagai landasan berpikirnya. Didalam kitabnya Qanun Al
Ta’wil, Al Gazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang
menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam
membahas sesuatu. Ketika Al-Gazali membahas dalil-dalil pokok (yang
utama) untuk ijma’ ia menempuh tiga jalan.sebagai berikut.
12
Khallaf. Abdu Al-Wahab. 2005. Sejarah Hukum Islam. Yogyakarta: Marja
23
BAB III
SIMPULAN
24
10. Ulama ahli Ushul Fiqh membagi ahli fiqh kepada tujuh tingkatan.
Empat tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke
dalam kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid.
11. Beberapa persoalan ijtihad yaitu, kekosongan mujtahid, metode ijtihad, fungsi dan
lapangan ijtihad, kebenaran hasil Ijtihad, dan kekuatan hasil Ijtihad.
12. Sebab-sebab Ijtihad ditutup adalah Truth claim dan Ijtihad yang dilakukan
terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih mengedepankan rasio.
13. Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan pasca
tabi’in, yaitu di masa Rosul “Sesungguhnya orang yang menyangka nabi berijtihad,
sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada para nabi dalam
masalah yang terjadi di masanya.” Periode para sahabat, di kenal dengan sebutan
priode fatwa dan penafsiran terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak
muncul kasus-kasus baru yang belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Periode
tabi’in tebagi kedalam kalangan ahli hadis, kalangan ahli ra’yi dan kalangan pasca
imam-imam madzhab.
25