PEMBAHASAN
1
Sunardi, Ayah Beri Aku ASI, Cet I (Solo: Aqwa Medika, 2008), hal. 48.
2
Cholil Uman, Agama Menjawab Tentang Masalah Abad Modern, Cet 2 (Surabaya: Ampel
Suci, 1994) hal.51
3
http://jawharie.blogspot.co.id
tersebut. Yang dikhawatirkan bahwa wanita itu saudara sepersusuan. Hal ini bisa
menyebabkan haramnya pernikahan.4
4
Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, Cet I (Bandung: Pustaka Setia,
2010) hal. 235.
5
Muhyiddin Rida, Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi. (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar,
2009) hal. 178
bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus
melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang
saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi atas
penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan
kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.6
6
http://wiwinciamis.blogspot.co.id/2015/11/makalah-bank-asi-dan-bank-sperma.html
7
Muhyiddin Rida, Wanita dalam. hal. 179
8
http://wiwinciamis.blogspot.co.id/2015/11/makalah-bank-asi-dan-bank-sperma.html
a. Haruskah Lewat Menghisap Puting Susu?
Kalangan yang membolehkan mengatakan bahwa bayi yang diberi
minum ASI dari bank ASI, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita
yang air susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air
susu, tidak terjadi penyusuan, karena harus lewat penghisapan puting susu
ibu.
Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, beliau mengatakan bahwa
sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang
menyusui dengan mulutnya. Dalam fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan
bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan
botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, atau dimakan
bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam
mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian
itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.9 Dalilnya adalah firman
Allah SWT: “Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara
perempuanmu sepersusuan…‘ (QS An-Nisa’:23)
Menurut Ibnu Hazim, proses memasukkan puting susu wanita di dalam
mulut bayi harus terjadi sebagai syarat dari penyusuan.
Sementara itu, bagi mereka yang mengharamkan Bank ASI, tidak ada
kriteria menyusu harus dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru
yang menjadi kriteria adalah meminumnya, bukan cara meminumnya. Dalil
yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang
menyebutkan bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.
“Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat
kenyangnya menyusu”. (HR Bukhari dan Muslim).
9
Muhyiddin Rida, Wanita dalam. hal. 181
b. Haruskah Ada Saksi?
Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang
mengakibatkan kemahraman, maka harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-
Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama lainnya mengatakan tidak perlu ada
saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.
Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang
diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-
laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari
satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka
penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang
menyusui dengan anak bayi tersebut. Sehingga tidak perlu ada yang
dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para
bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan
itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-
ragu, tidak ada saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu
hukum. Pendeknya, bila tidak ada saksinya, maka tidak akan
mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam
masalah penyusuan. Yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi
mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu dari bank susu,
maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang menyumbangkan
air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam
tingkat yang sangat luas. Agar tidak terjadi kekacauan, maka para ulama
lainnya memfatwakan bahwa Bank ASI menjadi haram hukumnya.
Sehingga masalah ini tetap menjadi titik perbedaan pendapat dari dua
kalangan yang berbeda pandangan. Wajar terjadi perbedaan ini, karena
ketiadaan nash yang secara langsung membolehkan atau mengharamkan
bank ASI. Nash yang ada hanya bicara tentang hukum penyusuan,
sedangkan syarat-syaratnya masih berbeda. Dan karena berbeda dalam
menetapkan syarat itulah makanya para ulama berbeda dalam menetapkan
hukumnya.10
10
http://wiwinciamis.blogspot.co.id/2015/11/makalah-bank-asi-dan-bank-sperma.html
ibu dimintai pertanggunganjawab (al-mas`uliyyah) di hadapan Allah SWT. atas
kehidupan anaknya.
Berdasarkan zahir ayat 233 surat al-Baqarah tersebut menunjukkan bahwa
seorang ibu wajib menyusui anaknya. Pendapat ini diungkapkan oleh Mazhab
Maliki. Sementara itu, menurut jumhur fuqaha perintah untuk menyusui bagi
seorang ibu yang terkandung dalam ayat tersebut adalah sunnah (dianjurkan).11
Berpijak pada jumhur di atas bahwa menyusui adalah anjuran bagi seorang ibu,
artinya ketika seorang ibu tidak mau menyusui anaknya maka boleh menyerahkan
anak tersebut terhadap orang lain untuk disusui.12 Mengenai kebolehan mencari ibu
susuan untuk memberikan ASI kepada bayinya, sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat
233. Ayat tersebut menunjukkan bolehnya menyusui anak pada wanita lain dan
juga boleh memberikan upah kepada orang yang menyusukan tersebut. Dalam QS.
Thalaq ayat 6 memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang
menyusukan dan menjelaskan tentang kebolehan menyusukan kepada perempuan
lain apabila ada halangan pada diri seorang ibu.
Adapun masih perdebatanya ASI boleh di jual-belikan atau tidak masih menjadi
pro dan kontra sebab banyak pendapat yang masih mengharamkan adanya jual beli
ASI karena ASI disamakan dengan daging manusia. ASI juga dianggap
bukan harta benda yaitu tidak dibolehkan bagi kita mengambil manfaat dalam ASI,
hanya dibolehkan dalam keadaan darurat bagi bayi yang tidak bisa memperoleh
gizi dengan cara lain. Jadi apa yang tidak diperbolehkan mengambil manfaatnya
tidaklah dianggap bagian harta seperti babi dan narkotika. Selain itu, ASI juga tidak
dijual di pasar karena tidak dianggap bagian dari harta benda.
Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut. Pertama, tidak boleh menjual
ASI. Pendapat ini dikeluarkan oleh Madzhab Hanafi kecuali Abu Yusuf. Begitu
juga pendapat dari Syafi’iyah walaupun tergolong pendapat yang lemah. Hanabilah
11
https://duniaremaja2119.blogspot.co.id/2017/04/makalah-tentang-hukum-jual-beli-air.html
12
Ibid.
juga melarang jual beli ASI. Kedua, pendapat yang mengatakan bolehnya jual beli
ASI manusia. Masuk dalam golongan yang membolehkan jual beli ASI ini adalah
Abu Yusuf (pada susu seorang budak), Maliki dan Syafi'i, Khirqi dari Mazhab
Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga Mazhab Ibnu
Hazm.
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal
tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah.
Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam
Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan
mereka yang membolehkannya adalah karena ASI itu halal untuk diminum maka
boleh menjualnya seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah
memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri adalah haram karena dia
disamakan seperti daging manusia. Maka karena daging manusia tidak boleh
memakannya maka tidak boleh menjualnya.
Dalam kajian beberapa pihak-pihak banyak yang meneliti bahwa jual beli ASI
di bolehkan seperti contoh skripsi yang membahas tentang jual beli ASI yaitu:
”Tinjauan Hukum Islam terhadap jual Beli Air Susu Ibu (ASI),” oleh Lisa Ma’rifah,
(2008). Bahasan penelitian ini lebih menekankan pada aspek jual beli Air Susu Ibu
(ASI) yang dilakukan dengan cara memeras air susu dan bukan dengan cara
langsung menyusui lewat puting. Dalam hal ini menurut hukum Islam hal tersebut
bukanlah termasuk suatu proses penyusuan, karena tidak ada kontak secara
langsung antara bayi dan ibu. Praktik ini dipandang sah karena seluruh unsur-unsur
dalam jual beli telah terpenuhi, yakni menyangkut subyek akad, obyek akad, dan
nilai tukar pengganti.
13
http://jawharie.blogspot.co.id
14
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996). hal. 164
15
Supardan. Ilmu, Teknologi dan Etika. (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1991) hal. 23
sperma tetap kabur sehingga anak hasil inseminasi yang diperoleh dari Bank
Sperma lebih kabur statusnya dari anak zina. Sebab, sejelek-jelek anak zina masih
mungkin diketahui bapaknya (yang tidak sah menurut hukum), paling tidak hanya
dapat diketahui oleh ibu anak zina itu.16
Persoalan bank sperma dalam hukum Islam adalah bagaimana hukum onani
dalam kaitan dengan pelaksanaan pengumpulan sperma di bank sperma dan
inseminasi buatan. Secara umum Islam memandang melakukan onani merupakan
tergolong perbuatan yang tidak etis. Mengenai masalah hukum onani fuqaha
berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang
mengharamkan pada suatu hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-
hal tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh. Sayyid Sabiq mengatakan
bahwa Malikiyah, Syafi`iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang
dikemukakan adalah bahwa Allah swt. memerintahkan menjaga kemaluan dalam
segala keadaan kecuali kepada isteri dan budak yang dimilikinya. Sebagaimana
dalam Q.S al-Mu'minun ayat 5-7.
Hanabilah berpendapat bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena takut
zina, maka hukumnya menjadi wajib, kaidah usul :
اجب ُّ ا ِْرتِ َكابُ اَخ
ِ َف الض َُّر َري ِْن َو
“Mengambil yang lebih ringan dari suatu kemudharatan adalah wajib”
Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka onani hukumnya haram.
Ibnu Hazim berpendapat bahwa onani hukumnya makruh, tidak berdosa tetapi
tidak etis. Ali Ahmad Al-Jurjawy dalam kitabnya Hikmat Al-Tasyri` Wa
Falsafatuhu, telah menjelaskan kemadharatan onani mengharamkan perbuatan ini,
kecuali kalau karena kuatnya syahwat dan tidak sampai menimbulkan zina.
Agaknya Yusuf Al-Qardhawy juga sependapat dengan Hanabilah mengenai hal ini,
Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibnu Muhammad Al-Husainy juga
16
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah., hal. 164
mengemukakan kebolehan onani yang dilakukan oleh isteri atau ammahnya karena
itu memang tempat kesenangannya:
الر ُج ُل ِبيَ ِد ا ْم َرأَتِ ِه َجازَ ِِلَنَّ َها َم َح ُل ا ْستِ ْمت َا ِع ِه
َّ لَ ِوا ْست َْمنَى
“Seorang laki-laki dibolehkan mencari kenikmatan melalui tangan
isteri atau hamba sahayanya karena di sanalah (salah satu) dari tempat
kesenangannya.”
Tahap kedua setelah bank sperma berhasil mengumpulkan sperma dari
beberapa pendonor maka bank sperma akan menjualnya kepada pembeli dengan
harga tergantung kualitas spermanya, setelah itu agar pembeli sperma dapat
mempunyai anak maka harus melalui proses yang dinamakan inseminasi buatan
yang telah dijelaskan di atas. Hukum dan pendapat inseminasi buatan menurut
pendapat ulama` apabila sperma dari suami sendiri dan ovum dari istri sendiri
kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, asal keadaan kondisi suami
isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk
memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami isteri tidak berhasil
memperoleh anak, maka hukumnya boleh. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum
fiqh :
ت ُ ْا َ ْل َحا َجةُ ت َ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ الض َُّر ْو َرةِ َوالض َُّر ْو َرةِ تُبِ ْي ُح ْال َمح
ِ ظ ْو َرا
“Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam
keadaan terpaksa (emergency), dan keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan
melakukkan hal-hal yang terlarang.”
Selain kasus sperma dari suami ditanam pada rahim isteri, demi kehati-hatian
maka ulama mengharamkannya. Contoh sperma dari orang lain ditanam pada
rahim isteri. Diantara yang mengharamkan adalah Lembaga fiqih Islam OKI,
Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy, al-Ribashy
dan Zakaria Ahmad al-Barry dengan pertimbangan dikhawatirkan adanya
percampuran nasab dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Hal ini sesuai
dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia tentang masalah bayi tabung atau
inseminasi buatan.
Dengan demikian, hukum pendirian bank sperma bisa mubah jika bertujuan
untuk memfasilitasi suami isteri yang ingin menyimpan sperma suaminya di bank
tersebut, sehingga jika suatu saat nanti terjadi hal yang dapat menghalangi
kesuburan, isteri masih bisa hamil dengan cara inseminasi yang halal. Adapun jika
tujuan pendirian bank sperma adalah untuk mendonorkan sperma kepada wanita
yang bukan isterinya maka pendirian bank sperma adalah haram, karena hal yang
mendukung terhadap terjadinya haram maka hukumnya haram.17
17
http://chandrayuliasman.blogspot.co.id