Kelompok 4
Nama Anggota:
Penyusuan memiliki konsekuensi hukum mahram antara anak dan perempuan yang
menyusui dan anak-anaknya di mana antara saudara sesusuan tidak boleh menikah
begitu juga dengan ibu susuannya. Seluruh madzhab sepakat tentang sahihnya hadits
yang berbunyi :
يحرم من الر ضا ع ما يحرم من النسب
Apa yang diharamkan karena susuan sama dengan apa yang diharamkan karena
nasab.
Berdasarkan hadits ini, maka setiap wanita yang haram dikawini karena hubungan
nasab, haram pula dikawini karena hubungan persusuan.
Lanjutan…
Bank adalah sebuah institusi yang melakukan kerja berupa penyimpanan dengan
pinjam-meminjam.
Adapun Air susu ibu (ASI) adalah susu yang diproduksi oleh manusia untuk
konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat
mencerna makanan padat agar pertumbuhan dan perkembangan bayi bisa
optimal.
Bank ASI adalah lembaga yang khusus mengumpulkan ASI dari ibu pendonor atau
dari ibu yang memberikan ASI karena ada imbalan khusus. Bank ASI menjual ASI
yang sudah terkumpul untuk para ibu yang ingin memberikan ASI tersebut kepada
anak-anaknya.
Faktor Munculnya Bank Asi
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal
tersebut adalah pada boleh tidaknya menjual ASI manusia yang telah diperah.
Karena proses pengambilan ASI tersebut melalui perahan.
1. Imam Malik dan Imam Syafi'i membolehkannya, sedangkan Abu Hanifah
tidak membolehkannya. Alasan mereka yang membolehkannya adalah
karena ASI itu halal untuk diminum maka boleh menjualnya seperti susu sapi
dan sejenisnya.
2. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa hukum asal dari ASI itu sendiri
adalah haram karena dia disamakan seperti daging manusia. Maka karena
daging manusia tidak boleh memakannya maka tidak boleh menjualnya,
adapun ASI itu dihalalkan karena dharurah bagi bayi, sebagaimana qawaid
fiqih :
ُِ َحظُ ْو َرا
ت ْ ح ْالم َّ َا
ُُ لض ُر ْو َر ُُة تُ ِب ْي
Darurat itu bisa membolehkan yang dilarang.
Hukum Mendirikan Bank ASI
Continue
Padahal Islam menganjurkan kepada manusia untuk selalu menjaga nasabnya.
Lanjutan… Kaidah ushul juga menyebutkan bahwa :[18]
ِح َ ب ْال
ُ ِمصَال ُِ ن ج َْل
ُْ ار اَ ْولَى ِم َّ
ُِ الض َر ُُ د َْف
ع
Menolak kemadharatan lebih utama dari pada menarik kemaslahatan.
Hal ini jelas, karena akan menambah masalah. Kaitannya dengan pembahasan
kita yaitu, ketiadaan ASI bagi seorang bayi adalah suatu kemudaratan, maka
memberi bayi dengan ASI yang dijual di bank ASI adalah kemudaratan pula.
Maka apa yang tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali kemudaratan.
Sebagian Ulama Kontemporer Membolehkan
Bank ASI.
Sebagian ulama kontemporer membolehkan pendirian bank ASI ini, diantara mereka
adalah Dr. Yusuf al-Qardhawi. Mereka beralasan :
1. Bahwa kata kata radha'(menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap
puting payudara dan meminum ASI-nya. Maka oleh karena itu meminum ASI
bukan melalui menghisap payudara tidak disebut menyusui, maka efek dari
penyusuan model ini tidak membawa pengaruh apa-apa di dalam hukum nasab
nantinya.
2. Yang menimbulkan adanya saudara sesusu adalah sifat "keibuan", yang
ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya,
tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan
kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah
persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan
yang lain mengikutinya.
3. Alasan yang dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi
ketentuan berapa kali penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan
ibu susu memilki ikatan yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si
bayi hanya menyusu kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa
pengaruh di dalam hubungan darah
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam
Masa Kini, Cet. V, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h. 120.
Abdul Qadim, Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan
Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003, h. 234
Abdurrahman, Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 1998, h. 75.