Anda di halaman 1dari 21

Konsep Sehat dan Sakit Menurut Islam

Sakit dan penyakit merupakan suatu peristiwa yang selalu menyertai hidup manusia sejak jaman
Nabi Adam. Kita memahami apapun yang menimpa manusia adalah takdir, sakit pun merupakan
takdir. Lantas kalau sakit merupakan takdir, kalau kita sakit kenapa harus mencari sehat
/kesembuhan? Lantas bua apa dan apa manfaat berobat? Dari sinilah landasan kita berpijak
dalam memahami sehat, sakit, obat dan upaya pengobatan.

SEHAT SAKIT PANDANGAN ALQURAN


Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku
telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua
Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit
yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua
yang menyembah Allah.
(Al Quran Surah Al Anbiyaa’ [21]:83-84)

Ayat diatas mengisahkan Nabi Ayub yang ditimpa penyakit, kehilangan harta dan anak-anaknya.
Dari seluruh tubuhnya hanya hati dan lidahnya yang tidak tertimpa penyakit, karena dua organ
inilah yang dibiarkan Allah tetap baik dan digunakan oleh Nabi Ayub untuk berzikir dan
memohon keridhoan Allah, dan Allah pun mengabulkan doanya, hingga akhirnya Nabi Ayub
sembuh dan dikembalikan harta dan keluarganya.

Dari sini dapat diambil pelajaran agar manusia tidak berprasangka buruk kepada Allah, tidak
berputus asa akan rahmat Allah serta bersabar dalam menerima takdir Allah. Karena kita sebagai
manusia perlu meyakini bahwa apabila Allah mentakdirkan sakit maka kita akan sakit, begitu
pula apabila Allah mentakdirkan kesembuhan, tiada daya upaya kecuali dengan izin-Nya kita
sembuh.

(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku. Dan Tuhanku,
yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu. Dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan Aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku
(kembali). Dan yang Amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (Al
Quran surah Asy Syu’araa’ [26]: 78 – 82)

KONSEP SAKIT
Di hadapan Allah, orang saki bukanlah orang yang hina. Mereka justru memiliki kedudukan
yang sangat mulia.

“Tidak ada yang yang menimpa seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan
(kronis), kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia tertusuk
karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya.:
(Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari)

Bahkan Allah menjanjikan apabila orang yang sakit apabila ia bersabar dan berikhtirar dalam
sakitnya, selain Allah menghapus dosa-dosanya.
“Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah hapuskan
dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon
menggugurkan daunnya.”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

“Jika kamu menjenguk orang sakit, mintalah kepadanya agar berdoa kepada Allah untukmu,
karena doa orang yang sakit seperti doa para malaikat.”
(HR. Asy-Suyuti)

KONSEP SEHAT
Nabi Muhammad SAW lewat sunnahnya memberi perhatian yang serius terhadap kesehatan
manusia. Sunnah Nabi menganggap keselamatan dan kesehatan sebagai nikmat Allah yang
terbesar yang harus diterima dengan rasa syukur.

Firman Allah dalam Al Quran Surah Ibrahim [14]:7


Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Bentuk syukur terhadap nikmat Allah melalui kesehatan ini adalah senantiasa menjaga kesehatan
sesuai dengan sunnatullah.

Rasulullah bersabda. “Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyaka manusia yaitu
kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas).

Pentingnya Menjaga Kesehatan menurut Islam

Dua anugerah membuat banyak orang merugi, yaitu kesehatan dan kesempatan. (HR al-Bukhari).
Gunakan dengan baik lima hal sebelum lima yang lain: masa mudamu sebelum engkau tua;
sehatmu sebelum engkau sakit; kayamu sebelum engkau jatuh miskin; masa senggangmu
sebelum engkau sibuk; hidupmu sebelum engkau mati. (HR al-Hakim)
Meski filosofi yang sering dilontarkan dalam agama adalah: “Untuk apa kesehatan?” tidak
berarti agama sama sekali tidak berbicara mengenai “Bagaimana hidup sehat?”.

Ada beberapa riwayat Hadis yang mengandung ajaran-ajaran hidup sehat. Misalnya, sabda
Rasulullah ?, “Lakukanlah bepergian, maka kalian sehat.” (HR Ahmad). “… dan berpuasalah
kalian, maka kalian sehat.” (HR ath-Thabarani). “Orang yang tidur dalam keadaan tangannya
berbau lemak, lalu ia terkena sesuatu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR
ad-Darimi).

Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam
menerapkan pola makan yang sehat. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam memakan kurma
dengan mentimun. (HR al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah melarang tidur setelah makan (HR
Abu Nuaim). Rasulullah menganjurkan mengawali berbuka dengan kurma, jika tidak ada maka
dengan air. (HR at-Tirmidzi) Rasulullah memerintahkan makan malam meskipun dengan
setelapak kurma. (HR at-Tirmidzi).

Ada beberapa ulama yang secara khusus menulis ajaran kesehatan dalam Islam, misalnya Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam ath-Thibb an-Nabawi. Ibnu Muflih al-Maqdisi dalam al-‫آ‬dâb asy-
Syar’iyah, secara panjang lebar mengurai pola hidup sehat yang diterapkan oleh Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wasallam Begitu pula asy-Syami dalam kitab sejarah Subulul-Hudâ wa-
Rasyad, secara khusus menulis judul “Sejarah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam
Menjaga Kesehatan”. Juga, Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmiddin, tidak jarang menyinggung
hikmah-hikmah kesehatan yang terdapat dalam ajaran-ajaran Islam.

Pola hidup sehat ada tiga macam: yang pertama, melakukan hal-hal yang berguna untuk
kesehatan; yang kedua, menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatan; yang ketiga,
melakukan hal-hal yang dapat menghilangkan penyakit yang diderita. Semua pola ini dapat
ditemukan dalilnya dalam agama, baik secara jelas atau tersirat, secara khusus atau umum, secara
medis maupun non medis (rohani).
Allah berfirman:
َ‫ْال ُمس ِْرفِين‬ ُّ‫ي ُِحب‬ ‫ََل‬ ُ‫ِإنَّه‬ ‫تُس ِْرفُوا‬ ‫َو ََل‬ ‫َوا ْش َربُوا‬ ‫َو ُكلُوا‬
Artinya: … makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’raf [7]: 31)

Menurut mufasir kontemporer, semacam as-Sa’di, ayat tersebut mencakup perintah menjalani
pola hidup sehat dalam bentuk melakukan dan menghindari, yakni mengonsumsi makanan yang
bermanfaat untuk tubuh, serta meninggalkan pola makan yang membahayakan. Makan dan
minum sangat diperlukan untuk kesehatan, sedangkan berlebih-lebihan harus ditinggalkan untuk
menjaga kesehatan.

As-Sa’di juga menganggap larangan Allah dalam QS al-Baqarah: 95, “Walâ tulqû bi-aydîkum
ilat-tahlukah (dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan)” merupakan
prinsip umum yang bisa juga dijadikan dalil bagi kesehatan. Seorang Muslim dilarang
melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya, termasuk di dalamnya adalah mengonsumsi
atau melakukan hal-hal yang berbahaya bagi kesehatan.

Tuntunan kesehatan fisik dalam agama tentu saja dibangun di atas pondasi kesehatan rohani,
karena ajaran agama bukanlah teori-teori kedokteran. Contoh-contoh yang disebutkan di atas
semuanya memiliki landasan moral, tak murni tuntunan medis.

Dalam pandangan agama, kesehatan merupakan kemaslahatan duniawi yang harus dijaga selagi
tidak bertentangan dengan kemaslahatan ukhrawi atau kemaslahatan yang lebih besar.
Kesehatan, kedokteran dan semacamnya sudah menyangkut kepentingan umum yang dalam
pandangan Islam merupakan kewajiban kolektif (fardu kifayah) bagi kaum Muslimin.

Sebagai gejala jasmani murni, sehat dan sakit, boleh dibilang tidak secara langsung berkaitan
dengan agama. Dalam pandangan agama, sehat belum tentu lebih baik daripada sakit, begitu pula
sebaliknya. Sehat dan sakit merupakan dua kondisi yang sama-sama memiliki potensi untuk
mendapat label baik atau buruk. Jika manusia bisa mendapat pahala atau dosa dari kondisi
sehatnya, maka ia juga bisa mendapatkan pahala atau dosa dari kondisi sakitnya. Di situlah
sebetulnya fokus pandangan agama mengenai sehat dan sakit. Selebihnya dari itu, merupakan
pengembangan dari prinsip-prinsip moral seperti telah disebutkan di atas.

Pada dasarnya, agama sangat menganjurkan kesehatan, sebab apa yang bisa dilakukan oleh
seseorang dalam keadaan sehat lebih banyak daripada yang apa yang bisa dilakukannya dalam
keadaan sakit. Manusia bisa beribadah, berjihad, berdakwah dan membangun peradaban dengan
baik, jika faktor fisik berada dalam kondisi yang kondusif. Jadi, kesehatan fisik, secara tidak
langsung, merupakan faktor yang cukup menentukan bagi tegaknya kebenaran dan terwujudnya
kebaikan.

Namun demikian, posisi kesehatan tetap sebagai sarana, bukan tujuan. Tujuan agama adalah
tegaknya kebenaran dan terwujudnya kebaikan itu sendiri. Maka, oleh karena itu, dalam sabda-
sabda Rasulullah dapat dengan mudah kita temukan janji-janji manis untuk orang-orang yang
sakit: bahwa penyakit merupakan penghapus dosa dan mesin pahala yang besar.

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa orang meninggal karena sakit perut
atau terkena wabah thaun, maka ia syahid. Orang yang sabar saat kedua matanya buta, maka ia
mendapat surga (HR al-Bukhari), dan lain sebagainya. Tapi, hal ini sama sekali tidak bisa
diartikan bahwa Islam menganjurkan sakit perut, sakit mata, dan seterusnya. Yang dianjurkan
adalah sikap tabah dan rela terhadap takdir ketika penyakit-penyakit tersebut menyerangnya.
Sebab, misi agama adalah mengajak manusia agar menjadikan setiap kondisi dalam hidupnya
sebagai sarana untuk mendulang kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah, baik dalam
kondisi sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, kuat maupun lemah, dan seterusnya.

Selain itu, janji pahala tersebut, bisa dipahami sebagai paradigma Islam dalam membesarkan hati
orang-orang yang berada dalam kondisi sengsara agar ia tidak putus asa, sebagaimana Islam juga
senantiasa memberikan peringatan dan menyalakan lampu kuning untuk orang-orang yang
berada dalam kondisi sehat-sejahtera, agar ia tidak terlena.

Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa agama mengajarkan hidup sehat, meskipun di balik
itu, yang jauh lebih ditekankan oleh agama adalah bagaimana menggunakan kesehatannya itu
untuk sesuatu yang baik. Kondisi terbaik yang paling diimpikan oleh agama bagi kehidupan
masyarakat adalah kebaikan dalam kesehatan. Selebihnya dari itu, kesehatan boleh hilang asal
kebaikan tetap terjaga, dalam kondisi apapun.

sumber : http://manggisankita.blogspot.com/2010/06/pentingnya-menjaga-kesehatan-
menurut.html

Konsep Sehat, Perspektif Islam 20 September 2010 06:37:00 Diperbarui: 26 Juni 2015 13:06:55
Dibaca : 7,699 Komentar : 9 Nilai : 0 Konsep sehat dan kesehatan merupakan dua hal yang
hampir sama tapi berbeda. Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalahsuatu keadaan seimbang
yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha
mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977), sehat adalah suatu keadaan di mana
seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda
suatu penyakit dan kelainan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)pun mengembangkan defenisi
tentang sehat. Pada sebuah publikasi WHO tahun 1957, konsep sehat didefenisikan sebagai suatu
keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor
keturunan dan lingkungan yang dimiliki. Sementara konsep WHO tahun 1974, menyebutkan
Sehat adalah keadaan sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan. Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional Ulama
tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai ketahanan “jasmaniah, ruhaniyah dan sosial” yang
dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-
Nya, dan memelihara serta mengembangkannya. Kesehatan Islam Kedua konsep tersebut
ditinjau dari perspektif Islam yang mengacu dalam kitab suci Al Quran. Islam sangat
memperhatikan kondisi kesehatan sehingga dalam Al Quran dan Hadits ditemui banyak referensi
tentang sehat. Misalnya HaditsBukhari yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,Rasulullah bersabda.
“Dua nikmat yang sering tidak diperhatikan oleh kebanyakan manusia yaitu kesehatan dan waktu
luang.” Kosa kata “sehat wal afiat” dalam Bahasa Indonesia mengacu pada kondisi ragawi dan
bagian-bagiannya yang terbebas dari virus penyakit. Sehat Wal Afiat ini dapat diartikan sebagai
kesehatan pada segi fisik, segi mental maupun kesehatan masyarakat. Menurut Dian Mohammad
Anwar dari Foskos Kesweis (Forum Komunikasi dan Studi Kesehatan Jiwa Islami Indonesia),
pengertian kesehatan dalam Islam lebih merujuk kepada pengertian yang terkandung dalam kata
afiat. Konsep Sehat dan Afiat itu mempunyai makna yang berbeda kendati tak jarang hanya
disebut dengan salah satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang
terkandung dalam kata yang tidak disebut.Dalam kamus bahasa arab sehat diartikan sebagai
keadaan baik bagi segenap anggota badan dan afiat diartikan sebagai perlindungan Allah SWT
untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipudaya. Perlindungan Allah itu sudah barang
tentu tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi orang-orang yang mematuhi petunjuk-
Nya. Dengan demikian makna afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia
sesuai dengan tujuan penciptaannya. Sesuai dengan Sunnah Nabi inilah maka umat Islam
diajarkan untuk senantiasa mensyukuri nikmat kesehatan yang diberikan oleh Allah SWT.
Bahkan bisa dikatakan Kesehatan adalah nikmat Allah SWT yang terbesar yang harus diterima
manusia dengan rasa syukur. Bentuk syukur terhadap nikmat Allah karena telah diberi
nikmatkesehatan adalah senantiasa menjaga kesehatan. Firman Allah dalam Al Quran, “Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Surah Ibrahim [14]:7). Sebagai seorang Muslim,
keyakinan atas kondisi sehat seseorang terkait takdir pula. Meski sudah berperilaku sehat,
apabila Allah mentakdirkan ia sakit maka seseorang akan menderita kesakitan. Apabila
seseorang ditakdirkan oleh Allah untuk sehat maka sehatlah ia. Janji Allah SWT dalam Surah
Asy Syu’araa’ [26]: 78 – 82: “(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang
menunjuki Aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu. Dan apabila
aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan
menghidupkan aku (kembali). Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada
hari kiamat”. Sedangkan berdasarkan Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi SAW
bersabda: Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya itu digunakan untuk mengobatinya,
maka dapat memperoleh kesembuhan atas izin Allah SWT (HR. Muslim). Bahkan Allah SWT
tidak akan menurunkan penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: Allah SWT tidak menurunkan
sakit, kecuali juga menurunkan obatnya (HR Bukhari). Terkait dengan takdir, didalam Al Quran
dikisahkan tentang Nabi Ayub yang ditimpa serangan penyakit pada hampir seluruh organ
tubuhnya. Bagian tubuh yang tersisa dari serangan penyakit ketika itu adalah lidah dan hatinya.
Pada saat terkena penyakit, Nabi Ayub pun kehilangan anak-anaknya dan harta benda yang
dimilikinya sehingga menambah berat penderitaannya. Dengan lidah dan hati yang tersisa,
seakan Allah SWT memberi jalan kepada Nabi Ayub untuk berzikir dengan lidahnya dan berdoa
dalam hati memohon doa agar diridhoi untuk hidup sehat kembali. Akhirnya, dikisahkan Nabi
Ayub pun sembuh seperti sediakala danharta beserta keluarganya dikembalikan. Kisah Nabi
Ayub dalam Al Quran terdapat pada Surah Al Anbiyaa’ [21]:83-84, “Dan (ingatlah kisah) Ayub,
ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami
kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu
rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.
Menurut Aswadi Syuhadak dari UIN Sunan Ampel Surabaya, indikasi sakit, sembuh dan sehat
dalam bahasa Al-Qur’an, secara berurutan dapat didasarkan pada kata maradl, syifa’ dan salim.
Kata maradl dan syifa’ secara berdampingan diungkapkan dalam QS.al-Syu`ara’ [26/47]: 80
“Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku“. Pada ayat ini tampak dengan jelas bahwa
term sakit-maradl dikaitkan dengan manusia, sedangkan syifa’ maupun kesembuhan yang
diberikan pada manusia adalah disandarkan pada Allah SWT. Kandungan makna demikian ini
juga mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa setiap ada penyakit pasti ada obatnya, dan
apabila obatnya itu sesuai penyakitnya akan memperoleh kesembuhan, dan kesembuhannya itu
adalah atas izin dari Allah SWT. Kata salim, lanjut Aswadi Syuhadak, dapat dijadikan rujukan
bahwa makna kesehatan menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam diri manusia, baik jasmani
maupun ruhani, lahir maupun batin, baik tauhid rububiyah (insaniyah) maupun uluhiyah
(ilahiyah) sejak dari awal kehidupan hingga di hari kebangkitan. Istilah kesehatan jasmani dalam
kajian ini lebih difokuskan pada perilaku amal shalih dan bukan sekedar berorientasi pada bentuk
jasadiyah, badaniyah maupun harta kekakayaan, tetapi sekali lagi bahwa kesehatan jasmani di
sini lebih mengarah pada amal perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai ruhaniyah uluhiyah
maupun rububiyyah. Kesehatan amaliyah inilah yang dapat bertahan hingga hari kebangkitan.
Sedangkan kesehatan jasadiyah, badaniyah maupun ekonomi dapat dipahami sebagai raga, alat
atau media yang dapat dimanfaatkan dalam mencapai kebersihan amal dengan melalui
pertimbangan tauhid rububiyah maupun uluhiyah. Boleh jadi jasad, raga, alat dan media tidak
permanen, melainkan bisa bergeser, berubah dan rusak, demikian pandangan Aswadi Syuhadak.
Dengan demikian, anjuran terhadap umat Islam dalam menjaga kesehatan terkait dengan perilaku
sehat (health behavior) dan perilaku sakit (illness behavior). Teori-teori yang dikembangkan oleh
para antropolog kesehatan mengartikan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan
kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi. Sedangkan
perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit agar memperoleh kesembuhan (Solita Sarwono, 1993: 31-36). Dalam konteks
masyarakat muslim modern, masalah kesehatan telah menjadi urusan publik maka terkait dengan
kebijakan negara. Upaya mewujudkan perilaku sehat warga masyarakat dalam perspektif
kebijakan kesehatan antara lain: kebijakan penurunan angka kesakitan dan kematian dari
berbagai sebab dan penyakit; kebijakan peningkatan status gizi masyarakat berkaitan dengan
peningkatan status sosial ekonomi masyarakat; kebijakan peningkatan upaya kesehatan
lingkungan terutama penyediaan sanitasi dasar yang dikembangkan dan dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup; Kebijakan dalam mengatasi masalah
kesehatan masyarakat melalui upaya peningkatan pencegahan, penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan terutama untuk ibu dan anak; dan kebijakan peningkatan kemampuan
masyarakat untuk hidup sehat.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yantigobel/konsep-sehat-perspektif-
islam_55002634a33311537350fd85

Pengertian Kesehatan Menurut WHO

Pengertian Kesehatan menurut wikipedia adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sedangkan
Pengertian Kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 menyebutkan
bahwa pengertian kesehatan adalah sebagai “suatu keadaan fisik, mental, dan sosial
kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan”

Pada tahun 1986, WHO, dalam Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan, mengatakan bahwa
pengertian kesehatan adalah “sumber daya bagi kehidupan sehari-hari, bukan tujuan hidup
Kesehatan adalah konsep positif menekankan sumber daya sosial dan pribadi, serta kemampuan
fisik.

Pengertian Kesehatan Menurut Undang-Undang

Dalam Undang-Undang ini yang pengertian kesehatan adalah:

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang
dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berguna.

Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang
memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.

Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri
ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal
yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain.

Definisi yang bahkan lebih sederhana diajukan oleh Larry Green dan para koleganya yang
menulis bahwa pendidikan kesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang
untuk mempermudahadaptasi sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan.

Data terakhir menunjukkan bahwa saat ini lebih dari 80 persen rakyat Indonesia tidak mampu
mendapatjaminan kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan,
seperti Akses, Taspen, dan Jamsostek.

Golongan masyarakat yang dianggap ‘teranaktirikan’ dalam hal jaminan kesehatan adalah
mereka dari golongan masyarakat kecil dan pedagang. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini
menjadi lebih pelik, berhubung dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait
beberapa kelompok manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri

Aspek-Aspek Kesehatan

Pada dasarnya kesehatan itu meliputi empat aspek, antara lain :


Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya
keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh berfungsi normal
atau tidak mengalami gangguan.

Jangan sampai ketinggalan postingan-postingan terbaik dari Ilmu Pengetahuan. Berlangganan


melalui email sekarang juga:

Home » Materi Keperawatan » Pengertian Kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia


(WHO) | Sehat menurut DEPKES RI | Konsep sehat menurut Parkins (1938)

Pengertian Kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) | Sehat menurut


DEPKES RI | Konsep sehat menurut Parkins (1938)

Pengertian Kesehatan menurut wikipedia adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa,
dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.

Pengertian Kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948


menyebutkan bahwa pengertian kesehatan adalah sebagai “suatu keadaan fisik,
mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan”

Pengertian Kesehatan menurut Undang-Undang adalah


1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
4. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan.
5. Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berguna

Sehat menurut DEPKES RI. Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu
mutlak dan universal karena ada faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang
mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Setiap pengertian saling
mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks
pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran,
dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang
konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan
sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio
budaya. UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa: Kesehatan adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai
satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di
dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan.

Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis
antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya.
Sementara menurut White (1977), sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang
pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tanda-tanda
suatu penyakit dan kelainan.

Menurut Dian Mohammad Anwar dari Foskos Kesweis (Forum Komunikasi dan
Studi Kesehatan Jiwa Islami Indonesia), pengertian kesehatan dalam Islam lebih
merujuk kepada pengertian yang terkandung dalam kata afiat. Konsep Sehat dan Afiat
itu mempunyai makna yang berbeda kendati tak jarang hanya disebut dengan salah
satunya, karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang terkandung
dalam kata yang tidak disebut. Dalam kamus bahasa arab sehat diartikan sebagai
keadaan baik bagi segenap anggota badan dan afiat diartikan sebagai perlindungan
Allah SWT untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipudaya. Perlindungan
Allah itu sudah barang tentu tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi orang-
orang yang mematuhi petunjuk-Nya. Dengan demikian makna afiat dapat diartikan
sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.

Kesehatan bersifat menyeluruh dan mengandung empat aspek. Perwujudan dari


masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut:

1. Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau
tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ
tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.

2. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan


spiritual.

• Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.

• Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan


emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.

• Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur,
pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni
Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan
seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang
menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.

3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang


lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau
kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan
menghargai.

4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam
arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap
hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa
(siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini
tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif
secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti,
misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan,
atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.
Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis
dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal
(psikologis, intelektual, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, social,
dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya.

SUMBER :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesehatan
http://www.scribd.com/doc/8343666/Konsep-Sehat
http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit menurut.html
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/09/20/konsep-sehat-perspektif-islam/

Tahun Baru Islam, Sejarah dan Maknanya

Tahun baru Islam, sejarah dan maknanya diperingati setiap tanggal 1 Muharram oleh kaum
Muslimin. Biasanya diadakan kegiatan perayaan yang melibatkan masyarakat dari berbagai usia,
baik laki-laki maupun wanita. Pergantian tahun mengingatkan manusia untuk berbenah diri
(muhasabah) sejauh mana bekal yang disiapkan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian,
selalu mencerminkan akhlak mulia, memiliki semangat baru untuk merancang dan menjalani
kehidupan ke arah yang secara lebih baik.

Sejarah dan makna tahun baru Islam, keduanya berhubungan erat dengan waktu yang terus
berputar. Manusia yang beruntung adalah yang menggunakan waktunya dengan melakukan amal
sebanyak dan sebaik mungkin. Detik, menit, jam dan hari yang dimiliki orang sukses adalah
proses perjalanan demi menggapai keberhasilan. Sedangkan mereka yang melalaikan waktu dan
potensi adalah termasuk orang-orang yang merugi.

Sejarah Tahun Baru Islam

Sejarah digunakannya sistem perhitungan tahun baru Islam bermula di masa Umar bin Al-
Khattab r.a. atau 6 tahun pasca wafatnya Nabi SAW. Salah satu riwayat menyebutkan yaitu
ketika khalifah mendapat surat balasan yang mengkritik bahwa suratnya terdahulu dikirim tanpa
angka. Beliau lalu bermusyawarah dengan para shahabat dan singkat kata, mereka pun berijma’
untuk menjadikan momentum di mana terjadi peristiwa hijrah Nabi saw. sebagai awal mula
perhitungan tahun dalam Islam.

Sebelum mengembangkan kalender Islam atau kalender Hijriah, masyarakat Arab mengenali
tahun dengan menamainya menggunakan peristiwa penting yang terjadi di tahun tersebut.
Misalnya sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan nama “Tahun Gajah”,
karena pada tahun tersebut terjadi penyerangan terhadap Ka’bah oleh pasukan yang
menggunakan gajah sebagai kendaraan perangnya.

Sedangkan sistem kalender qomariyah berdasarkan peredaran bulan konon sudah dikenal oleh
bangsa Arab sejak lama. Demikian juga nama-nama bulannya serta jumlahnya yang 12 bulan
dalam setahun. Bahkan mereka sudah menggunakan bulan Muharram sebagai bulan pertama dan
Dzulhijjah sebagai bulan ke-12 sebelum masa kenabian. Dengan kata lain, nama-nama bulan
dalam kalender Hijriah bukanlah nama-nama baru, melainkan nama-nama bulan yang memang
telah dipergunakan sebelumnya dalam sejarah tahun baru Islam.

Penggunaan tahun qomariyah juga sesuai firman Allah, “Dialah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
(Yunus: 5).

Jika pada kalender Masehi sebuah hari dimulai tepat pukul 00.00, maka pada kalender Hijriah
memiliki konsep bahwa sebuah hari dimulai pada saat matahari terbenam. Atas dasar prinsip ini
pula periode 1 tahun dalam kalender Hijriah 11 hari lebih pendek daripada periode 1 tahun
kalender Masehi. Meski secara konsep dasar berbeda, kalender Islam memiliki beberapa
kesamaan dengan penghitungan kalender Masehi, di antaranya adalah jumlah bulan (yakni 12
bulan) dan jumlah hari dalam seminggu (yakni 7 hari).

Adapun jumlah hari dalam sebulan kalender Hijriah dihitung berdasarkan siklus sinodik bulan.
Karena ketidakstabilan siklus sinodik tersebut, bulan-bulan pada penghitungan kalender tidak
memiliki jumlah hari yang sama. Jumlah hari dalam sebulan pada kalender Hijriah berkisar
antara 29 – 30 hari; sehingga total hari dalam 1 tahun kalender Islam 354-355 hari. Berikut
adalah nama-nama bulan pada kalender Hijriah dan keterangan jumlah harinya:

 Muharram (30 hari).


 Safar (29 hari).
 Rabiul Awal (30 hari).
 Rabiul Akhir (29 hari).
 Jumadil Awal (30 hari).
 Jumadil Akhir (29 hari).
 Rajab (30 hari).
 Sya’ban (29 hari).
 Ramadhan (30 hari).
 Syawal (29 hari).
 Dzulkaidah (30 hari).
 Dzulhijjah (29 atau 30 hari)

Sejarah tahun baru Islam berkaitan erat dengan peristiwa hijrah yang menjadi momentum di
mana umat Islam secara resmi keberadaannya secara hukum internasional, memiliki sistem
undang-undang formal, punya pemerintahan resmi dan bisa duduk sejajar dengan
negara/kerajaan lain dalam percaturan dunia internasional. Sejak itu juga hukum Islam mulai
berlaku, seperti qishash dan hudud seperti memotong tangan orang yang mencuri,
merajam/mencambuk pezina, hukum waris dan banyak lagi.

Makna Tahun Baru Islam

Makna tahun baru Islam menjadi satu pelajaran yang seolah tertinggalkan. Tertutupi oleh hingar
bingar perayaan tahun baru Masehi yang memang sudah tradisi untuk dirayakan secara meriah.
Terkesan membosankan, tapi faktanya hal itulah yang dibutuhkan agar nilai-nilainya tetap
terjaga dengan baik. Semangat baru yang dijadikan landasan bagi umat dan tokoh Islam dalam
memperbaiki kualitas diri.

Perhitungan tahun baru Islam berawal dari peristiwa ketika kaum Muslimin membuat satu
keputusan besar untuk mengubah nasib, yaitu hijrah. Kata hijrah secara bahasa artinya
berpindah. Berarti upaya perubahan nasib manusia. Semangat untuk tidak diam dan selalu
berusaha mencapai cita-cita. Mencoba melakukan lompatan untuk perubahan yang lebih baik.
Sekalipun ikhtiar tersebut berat, berisiko, dan harus meninggalkan kebiasaan lama yang mungkin
berat.

Makna tahun baru Islam yang pertama adalah mengingatkan kembali pada peristiwa hijrah
sehingga meningkatkan kepercayaan kaum muslim akan kebenaran ideologi dan aqidah yang
dianut. Tidak mempedulikan segala macam gangguan yang bertujuan menggoda iman. Saat itu
Rasulullah saw. sangat percaya akan kesuksesan hijrah, dakwah dan sampainya beliau di
hadapan para sahabatnya di Madinah, meskipun beliau akan melalui ancaman dan kesulitan
besar dalam perjalanannya.

Makna tahun baru Islam yang kedua adalah mengenalkan kepada generasi muda akan momen
kepahlawan dari generasi muda sahabat dalam momen hijrah dan sejarah Islam. Perjuangan yang
dilakukan Rasul dan para sahabatnya selama melakukan perjalanan itulah yang menjadi makna
tahun baru Islam hendaknya diresapi betul agar perjalanan penuh pengorbanan itu sendiri
menjadi sebuah pelajaran hidup bagi umat manusia.

Makna tahun baru Islam yang ketiga adalah menegaskan kembali pentingnya menerapkan akhlak
mulia dalam kehidupan yang bersumber dari Al Quran. Hijrah dari suka minum minuman keras
ke arah meninggalkan minum alkohol. Hijrah dari perbuatan judi ke arah meninggalkan main
judi. Hijrah dari kebiasaan sering berzina ke arah meninggalkan zina. Hijrah dari perbuatan
mencuri dan korupsi ke arah meninggalkan pencurian. Hijrah dari suka memakai narkoba ke arah
meninggalkan narkoba. Intinya meninggalkan kebiasaan melanggar larangan-Nya menjadi taat
melaksanakan perintah Allah Taala.

Untuk melengkapi artikel tentang tahun baru Islam, sejarah dan maknanya, tanggal 1 Muharram
merupakan satu dari empat bulan haram dalam kalender Hijriyah. Maka sudah sepantasnya umat
muslim di seluruh penjuru dunia untuk berbenah diri menjadi manusia yang lebih baik lagi dari
tahun sebelumnya.
Sesuai namanya, tahun baru ini, adalah tahun baru untuk penanggalan umat Islam.
Berbeda dengan umat lain, yang penanggalannya ditandai dengan kelahiran sang
pembawa ajaran, seperti tahun Masehi ditandai dengan kelahiran Nabi Isa. Tetapi
tahun baru Islam ditandai dengan sebuah peristiwa heroik. Yakni, peristiwa
hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.
Lahirnya, penanggalan itu, didasarkan pada kebutuhan, ketika itu, Umar bin Khatab yang
menjadi kepala pemerintahan, merasa kesulitan untuk mencatatkan agenda kenegaraan karena
ada beberapa versi yang digunakan, seperti menggunakan dasar penanggalan tahun gajah,
tahun masehi, dll.

Maka, berdasarkan hasil Musyawarah dan atas saran dari Ali bin Thalib karamallahu wajhahu,
maka Khalifah Umar Ibnu al-Khattab pun, akhirnya menetapkan 1 Muharram sebagai tahun
baru Islam.

Lalu, apa makna Muharram itu bagi kita semua?

Pertama, untuk menghindari kultus individu, maka penentuan tahun baru itu bukan didasarkan
pada kelahiran, tetapi pada peristiwa, ini menunjukkan Islam sebagai agama yang progresif,
bergerak maju, tidak stagnan, dia bergerak dari satu peristiwa ke peristiwa lain, sesuai
kebutuhan zaman, kebutuhan tempat dan kebutuhan manusia pada saat itu.

Kedua, Hijrah itu sendiri artinya berpindah, bisa jadi berpindah dari satu tempat ketempat lain,
atau berpindah dari suatu peristiwa ke peristiwa lain, atau berpindah dari perilaku satu ke
perilaku lain, menuju pada hal yang lebih baik dari sebelum perpindahan. Jadi, jika umat Islam
stagnan pada satu kondisi, apakah perilaku, kondisi, dan wilayah dan tidak menunjukkan
perubahan pada sesuatu yang lebih baik, maka sesungguhnya dia telah meninggalkan ruh,
hijrah itu sendiri.

Ketiga, Muharram itu sendiri, artinya yang diharamkan atau sangat dihormati. Pada bulan
haram itu, -umat Islam memiliki empat bulan Haram-, umat Islam diharamkan untuk berperang,
pada bulan itu, genjatan senjata dilakukan, dengan kata lain semangat Muharram adalah
semangat perdamaian. Sehingga mereka yang mengenal esensi tahun hijriah yang dimulai pada
1 Muharram, adalah mereka yang memiliki kesadaran akan perdamaian, sebagai kasih sayang
pada seluruh umat manusia, menjadikan kehadirannya sebagai berkah bagi alam semesta.

Keempat, inti dari seluruh ajaran Islam, dalam konteksnya hijriah, adalah perubahan pada
sesuatu yang menuju pada kebaikan, pada kemajuan dan kemanfaatan bagi seluruh manusia,
pada seluruh alam semesta dengan semangat damai sejahtera penuh kasih sayang, sehingga
tujuan Allah menurunkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamien -rahmat bagi alam
semesta- itu dapat diwujudkan oleh para pemeluknya... Wallahu A'lam bish-shawab.

Kekeliruan dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

Dec 17, 2009Muhammad Abduh Tuasikal, MScAmalan91 Komentar

Sebentar lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram. Seperti kita ketahui bahwa perhitungan
awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan
Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak
di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah
dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan
salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala
berikut.

‫الدينُ ْالقَ ِي ُم فَ ََل ت َْظ ِل ُموا‬


ِ َ‫ض ِم ْن َها أ َ ْر َب َعةٌ ُح ُر ٌم ذَلِك‬
َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫َّللاِ َي ْو َم َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫ب‬ َ ‫َّللاِ اثْنَا َعش ََر‬
ِ ‫ش ْه ًرا فِي ِكت َا‬ َّ َ‫ور ِع ْند‬
ِ ‫ش ُه‬ ُّ ‫ِإ َّن ِعدَّة َ ال‬
َ ُ‫فِي ِه َّن أَ ْنف‬
‫س ُك ْم‬

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi,
penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan
matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari
situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun
menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung
berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari
sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,

‫ ثََلَثَةٌ ُمت ََوا ِل َياتٌ ذُو ْالقَ ْعدَةِ َوذُو‬، ‫ ِم ْن َها أَ ْر َب َعةٌ ُح ُر ٌم‬، ‫ش ْه ًرا‬
َ ‫سنَةُ اثْنَا َعش ََر‬
َّ ‫ ال‬، ‫ض‬ َ ‫ت َواْل َ ْر‬ َّ ‫ار َك َه ْيئَتِ ِه َي ْو َم َخلَقَ ال‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ َ‫الز َمانُ قَ ِد ا ْستَد‬
َّ
َ‫ش ْعبَان‬ َّ
َ ‫ض َر الذِى بَيْنَ ُج َمادَى َو‬ َ ‫ َو َر َجبُ ُم‬، ‫ْال ِح َّج ِة َوال ُم َح َّر ُم‬
ْ

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya
berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab
Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan
(4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah
mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun
meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan
daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu
sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai
para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan,
”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram,
dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar,
dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‫صَلَة ُ اللَّ ْي ِل‬ َ ‫صَلَةِ بَ ْعدَ ْالفَ ِري‬
َ ‫ض ِة‬ َ ‫َّللاِ ْال ُم َح َّر ُم َوأ َ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬ َّ ‫ش ْه ُر‬
َ َ‫ضان‬ َ ‫أ َ ْف‬
ِ ‫ض ُل‬
َ ‫الصيَ ِام بَ ْعدَ َر َم‬

”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat
malam.”[5]

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan
disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah
Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau
rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan
pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana
pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut
Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini
menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang
menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya
masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan
disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah
bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan,
maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada
hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram
memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan
pembuka tahun.”[7]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan
Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”

Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan
pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan
pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya
bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain
pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa
bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.

Menyambut Tahun Baru Hijriyah

Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah
dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka
mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi
dengan perayaan atau pun amalan?

Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi
dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru
Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama
Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,

َ َ‫َيرا ً ل‬
‫سبَقُ ْونَا إِلَ ْي ِه‬ ْ ‫لَ ْو َكانَ خ‬

“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita
melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai
bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera
melakukannya.[10]

Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun
baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam
menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali
tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.

Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah

Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun

Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar
lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan
do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.

Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu
sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan
Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]

Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun

Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun
Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan
adalah berikut ini.

َ ِ‫سنَةُ ال ُم ْست َ ْقبِلَةُ ب‬


َ‫ َجعَل‬، ‫ص ْو ٍم‬ َّ ‫ َوا ْفتَتَ َح ال‬، ‫ص ْو ٍم‬
َ ِ‫اضيَةَ ب‬ َّ ‫ َوأ َ َّو ِل يَ ْو ٍم ِمنَ ال ُم َح َّر ِم فَقَدْ َخت ََم ال‬، ‫الح َّج ِة‬
ِ ‫سنَةَ ال َم‬ ِ ‫آخ َر يَ ْو ٍم ِم ْن ذِي‬ِ ‫ام‬
َ ‫ص‬ َ ‫َم ْن‬
ً‫سنَة‬
َ ‫ي‬
َ‫ْن‬ ‫س‬
ِ ‫م‬ْ َ
‫خ‬ ٌ ‫ة‬ َ ُ‫هللاُ لَه‬
‫ار‬ َ ‫ف‬‫ك‬َ

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal
dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa
dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan
kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:


1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan
gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang
pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang
meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]

Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits
yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan
puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.

Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah

Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i,
mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati
tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang
tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para
sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah
sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal
perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫شبَّهَ ِبقَ ْو ٍم فَ ُه َو ِم ْن ُه ْم‬


َ َ‫َم ْن ت‬

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]

Penutup

Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya.


Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula
kematian.

Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun
semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ش َج َرةٍ ث ُ َّم َرا َح َوت ََر َك َها‬ ٍ ‫َما ِلى َو َما ِللدُّ ْنيَا َما أَنَا فِى الدُّ ْنيَا ِإَلَّ ك ََرا ِك‬
َ َ‫ب ا ْست‬
َ َ‫ظ َّل تَحْ ت‬

“Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di
dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu
meninggalkannya.”[14]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa
hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
Semoga Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di wisma MTI (secretariat YPIA), 30 Dzulhijah 1430 H.

www.rumaysho.com

[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawas,
Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H.

[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679

[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.

[4] Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.

[5] HR. Muslim no. 2812

[6] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

[7] Lihat Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub.

[8] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at
Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H.

[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah,
cetakan kedua, tahun 1420 H.

[10] Idem

[11] Lihat Majalah Qiblati edisi 4/III.

[12] Hasil penelusuran di http://dorar.net

[13] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana
dalam Irwa’ul Gholil no. 1269

[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if
Sunan At Tirmidzi

[15] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi.


Read more https://rumaysho.com/719-kekeliruan-dalam-menyambut-awal-tahun-baru-
hijriyah.html

Anda mungkin juga menyukai