Anda di halaman 1dari 37

Makalah

“QBL 2 Antropologi Kesehatan”

Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah


Psikososial dan Budaya Dalam Keperawatan
Dosen Pengampu : Ns. Duma Lumban Tobing, M.Kep,Sp. Kep,J

Disusun oleh :
KELOMPOK 2

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2017
Ziya daturrahmah (1610711013)

Ulpa Susanti (1610711004)

Antropologi Kesehatan
Antropologi Medis Mcelroy ahli ilmu antropologi medis (1996) telah mengenali tiga
perspektif di dalam ilmuan tropologi medis:

1. Ethnomedicine mempunyai kaitan dengan sistem berbudaya dari menyembuhkan dan


parameter teori dari penyakit. Variasi dari konstruksi penuh arti ke seberang kultur
dapat dilihat untuk menghadapi tantangan reductionist epidemiologi dari biomedicine.
2. Perspektif ekologi medis adalah terkait dengan tegas dengan interaksi dari kondisi-
kondisi biologi dan konteks budaya. Dengan mempertimbangkan hubungan timbal
balik dari sistem ekologis, evolusi manusia, kesehatan dan penyakit, di mana
kesehatan mungkin dilihat sebagai ukuran dari adaptasi lingkungan, medis, ilmu gizi
hubungannya dengan antropologi dan aturan budaya.
3. Ilmu antropologi medis yang diterapkan mencari secara langsung mempengaruhi
kesehatan masyarakat dengan kepercayaan budaya mereka. Ilrnu antropologi medis
adalah suatu biocultural disiplin, dengan penekanan yang lebih besar pada
pemahaman pada proses dibanding pada obyektif berusaha untuk mengukur Dengan
penggunaan nya dari metoda yang kwalitatif, ilmu antropologi medis mencari untuk
menyediakan suatu ' perspektif orang dalam' (Skultans & Pengemudi Perahu Kecil,
2000), untuk memaharni hubungan antara kesehatan dan penyakit melalui/sampai
lensa yang budaya danjuga melihat di luar sifat yang etnosentris dari
biomedicineyangbarat modern
Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan
dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia,
baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari
disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada
dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran.
Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia
sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini
dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam
dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan
kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil
maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-
penelitian Antropologi Sosial Budaya.
Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam bentuk-
bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari atau
diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk hukum pada kelompok-
kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta
bentuk-bentuk perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari
sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.

KONSEP KEBUDAYAAN

Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi.
Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan
berarti para ahli Antropologi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut.
Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli
Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam
Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi
kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari:
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai
sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi,
kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas
untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Konsep-konsep kebudayaan yang
dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus
dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan
dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-
utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaan kesamaan. Bagaimana konsep
kebudayaan membantu dalam membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting
disini adalah kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya
hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis
lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa
memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk
mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka
yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya.
Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya
adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku
manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa dari manusia
untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar
karena mahluk lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia
sangat luar-biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk
beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.

1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia


juga dimiliki dengan cara belajar.

Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu
ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan
perilaku mahluk lain yang tingkah lakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan,
semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri.
Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan.
Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak
termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan,
bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan,
tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok kelompoknya menyebabkan manusia
melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang
berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja,
langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan
berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan
menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga
tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang
ada tempat-tempat khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena
manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau
lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya.

Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut semut yang dikatakan
bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-
laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan
penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut
yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.

2. Kebudayaan Milik Bersama Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan,


kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok
manusia.

Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai
kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan
berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar. Suatu kebudayaan dapat
dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan
yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat.
Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di
suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk
tetangganya.

3. Kebudayaan sebagai Pola Dalam setiap masyarakat

Oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini
cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola
kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut
diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola
inilah yang sering disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak
semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan
bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi
dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang
disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal
tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut
telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat. Pembatasan
kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu
kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-
cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-
pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan.

Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang


langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung.

Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut
kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang
dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang
dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu
berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut
sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan
dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Contoh dari pembatasan
langsung misalnya ketika seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas
kedalam gereja. Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini.
Kalau si individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin dia
hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah
seorang wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan
di tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dalam
pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar
tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan
mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan
tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada orang yang
melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja dengan menggunakan
bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena tidak ada yang memahaminya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan kepribadian seseorang
dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi
tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan,
tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang
mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap
mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari
pendapat yang mayoritas. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan
berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat
pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini
terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-
sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat
untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat
dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan
berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat
menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang
dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka
anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah
serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif

Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi
manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan
mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada
lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok
masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika
dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut
bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks
pada masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut
mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah
dimengerti, tetapi bagi masrakat pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-
pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan
fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah
memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup
bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal
yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok
masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara
melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan
penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang
seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu
melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu
masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk
membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan
banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila
kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat
sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat
tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang
ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam
pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit. Kebiasaan-kebiasaan yang ada
dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap
lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat
yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang
sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu
masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan
dan argumen. Alasan–alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu
penelitian untuk menjelaskannya. Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus
selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya
orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu
keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak
selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu
untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri.
Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-
kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk
kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan
yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar
kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring
budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat
istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja
dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu
merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan
tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang
karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut. Siapa saja
dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat
itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap
masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara
berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda,
terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.

Ethnomedicine

Ethnomedicine mempunyai kaitan dengan sistem berbudaya dari menyembuh kan dan
parameter teori dari penyakit.Variasi dari konstruksi penuh arti ke seberang kultur dapat
dilihat untuk menghadapi tantangan reductionist epidemiologi dari biomedicine (Kleinman,
1980). Ethnomedicine merupakan cabang dari ethnobotani atau antropologi kesehatan yang
mernpelajari pengobatan tradisional, tidak hanya yang berhubungan dengan sumber-sumber
tertulis (contohnya pengobatan tradisional cina, Ayurveda) tetapi terutama pengetahuan dan
praktek yang secara oral diturunkan selama beberapa abad.

Dalam ilmu pengetahuan, etnomedicine pada umumnya ditandai dengan pendekatan


antropologi yang kuat atau pendekatan biomedikal yang kuat, terutama dalam program
penemuan obat. Kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit, yang
merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak berasal dari
kerangka kedokteran modern, merupakan urutan langsung dari kerangka konseptual ahli-ahli
antropologi mengenai sistem medis non-barat Rivers, (Medicine, Magic, and Religion).
Sistem pengobatan asli adalah pranata pranata sosial yang harus dipelajari dengan cara yang
sarna seperti mempelajari pranata-pranata sosial umumnya, dan bahwa praktek-praktek
pengobatan asli adalah rasional bila dilihat dari sudut kepercayaan yang berlaku mengenai
sebab akibat. Setelah antropologi kesehatan berkembang, terutama dalam bidang-bidang yang
luas, konsep kesehatan internasional dan psikiatri lintas budaya (psikiatri transkultural),
kepentingan pengetahuan praktis maupun teoritis mengenai sistem pengobatan non-Barat
semakin tampak. Kultur dari kesehatan Menurut Lieban :

Antropologi Kesehatan adalah studi tentang fenomena medis Menurut Fabrega Antropologi
Kesehatan adalah studi yang menjelaskan:

1. Berbagai faktor, mekanisme dan proses yang rnemainkan peranan didalam atau
mempengaruhi cara-cara dimana individu individu dan kelompok-kelompok terkena
oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit.
2. Mernpelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan terhadap pola-
pola tingkahlaku. Dari defnisi-definisi yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi
mengenai Antropologi Kesehatan seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Antropologi Kesehatan mencakup:
1) Mendefmisi secara koniprehensif dan interpretasi berbagai macam masalah
tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku manusia diniasa
lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa
mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut;
contohnya penyebab penyakit lepra atau kusta kareoa adanya perbuatan dosa
sehingga yang maha kuasa mengutuknya dengan penyakit ini
2) Partisipasi profesional mereka dalam program program yang bertujuan
menrperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang
hubungan antara gojala bio-sosial budaya dengan kesehatan, serta melalui
perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan meningkatkan
kesehatan yang lebih baik. Contoh, tubuh akan mengalami gangguan secara
sistematis akibat perubahan fungsi tubuh yang disebabkan oleh berbagai hal
seperti kuman penyakit, radiasi dan lain sebagainya. Keadaan ini di buktikan
dengan sains atau keilmuan.

Sumber :

http://papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf
Luigisha Augusti (1610711012)
Indah Nopiyanti (1610711023)
Mei Diana Arminiati (1610711033)

1 Definisi Antropologi Kesehatan.


Antropologi Kesehatan adalah disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek
biologis dan sosio-budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi
antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan
penyakit pada manusia. Menurut Hasan dan Prasad, Antropologi Kesehatan adalah cabang
dari ilmu mengenai manusia yang mempelajari spek-aspek biologi dan kebudayaan manusia
(termasuk sejarahnya) dari titik tolak pandangan untuk memahami kedokteran (medical),
sejarah kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran (medico-legal), aspek sosial
kedokteran (medico-social) dan masalah-masalah kesehatan manusia (Hasan dan Prasad,
1952: 21-22).
Jika diumpamakan sebagai kewajiban, maka tugas utama ahli antropologi
kesehatan diantaranya: bagaimana individu di masyarakat mempunyai persepsi dan bereaksi
terhadap "ill" dan bagaimana tipe pelayanan kesehatan yang akan dipilih, untuk mengetahui
mengenai budaya dan keadaan sosial di lingkungan tempat tinggalnya.
Antropologi kesehatan ini tidak serta merta muncul dengan sendirinya, akan tetapi
antropologi kesehatan ini mempunyai akar. Anderson (2006 : 4) menyatakan antropologi
kesehatan kontemporer mempunyai 4 sumber :
 Perhatian ahli antropologi fisik terhadap topik-topik seperti evolusi, adaptasi, anatomi,
komparatif, tipe-tipe ras genetika, dan serologi.
 Perhatian etnografi tradisional terhadap pengobatan primitif, termasuk ilmu sihir dan
magis.
 Gerakan “kebudayaan dan kepribadian” pada akhir 1930-an dan 1940-an yang merupakan
kerjasama antara ahli-ahli psikiatri dan antropologi.
 Gerakan kesehatan masyarakat internasional setelah perang dunia II.
Untuk menjadi seorang ahli antropologi kesehatan tidaklah mudah, dibutuhkan
pegalaman, naluri dalam menyikapi masalah.
Ilmu antropologi memberi sumbangan bagi ilmu kesehatan. Anderson (2006 : 247)
menyatakan bahwa kegunaan antropologi bagi ilmu-ilmu kesehatan terletak dalam 3 kategori
utama :
a. Ilmu antropologi memberikan suatu cara yang jelas dalam memandang masyarakat
secara keseluruhan maupun para anggota individual mereka. Ilmu
antropologimenggunakan pendekatan yang menyeluruh atau bersifat sistem, dimana
peneliti secara tetap menanyakan, bagaimana seluruh bagian dari sistem itu saling
menyesuaikan dan bagaimana sistem itu bekerja.
b. Ilmu antropologi memberikan suatu model yang secara operasional berguna untuk
menguraikan proses-proses perubahan sosial dan buaya dan juga untuk membantu
memahami keadaan dimana para warga dari “kelompok sasaran” melakukan respon
terhadap kondisi yang berubah dan adanya kesempatan baru.
c. Ahli antropologi menawarkan kepada ilmu-ilmu kesehatan suatu metodologi
penelitian yang longgar dan efektif untuk menggali serangkaian masalah teoritis dan
praktis yang sangat luas, yang dihadapi dalam berbagai program kesehatan.
Begitu pula sebaliknya, menurut Anderson (2006 : 244) ilmu-ilmu kesehatan
menawarkan kepada ilmu antropologi berbagai bidang yang khusus, yang langsung
dapat dibandingkan dengan subjek-subjek tradisional seperti masyarakat rumpun dan
desa-desa. Antropologi kesehatan menimbulkan aspek positif sistem barat yaitu
 Tidak sekedar menyembuhkan penyakit, tapi juga dapat mensejahterakan
masyarakat.
 memberikan ketenangan dan dapat memulihkan kesehatan.
 Pasien dijauhkan dari efek-efek yang tidak diinginkan dari banyak obat
psikoteropik yang terbaru

2 Pengertian Rumah Sakit


Pengertian rumah sakit menurut WHO 1957
Rumah sakit yaitu suatu bagian menyeluruh, ( Integrasi ) dari organisasi dan medis,
berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun
rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan,
rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian biososial.
Sakit menjadi organisasi padat karya spesialis dan merupakan tempat dimana terjadi
proses pengubahan dari masukan menjadi luaran. Masukan utama adalah dokter, perawat
personil lainnya Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional
yang terorganisir serta sarana kedokteran yang parmanen menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit
yang diderita oleh pasien.
Adanya kemajuan teknologi disertai dengan penggunaan cara-cara baru dibidang
diagnostik dan terapeutik mengharuskan rumah sakit mempekerjakan berbagai profesi
kedokteran dan profesi lain sehingga rumah, prasarana, sarana peralatan dan sebagainya
merupakan bagian dari rumah sakit.
Sumber : koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antroplogi. Jakarta: Rineka
Cipta)
Haniah Rahmawati 1610711009

Kris Prihatin 1610711020

PENGERTIAN PENYAKIT

Penyakit adalah keadaan tidak normal pada badan yang menyebabkan


ketidakselesaan, disfungsi, atau tekanan/stres kepada orang yang berhubung rapat
dengannya. Kadang kala istilah ini digunakan secara umum untuk menerangkan kecederaan,
kecacatan, sindrom, simptom, keserongan tingkah laku, dan variasi biasa sesuatu struktur
atau fungsi, sementara dalam konteks lain boleh dianggap sebagai kategori yang boleh
dibedakan.

Terdapat berbagai jenis penyakit yang mengancam manusia. Penyakit ini boleh
disebabkan oleh kuman, bakteria, virus, racun, kegagalan organ berfungsi, dan juga oleh
penyakit baka/keturunan.

ANTROPOLOGI KESEHATAN MENURUT AHLI

Beberapa ahli telah memberikan definisi tentang Antropologi Kesehatan. Di bawah


ini dijelaskan dari masing-masing definisi Antropologi Kesehatan tersebut. Pemaparannya
diurutkan menurut tahun definisi tersebut dikeluarkan.

Hasan dan Prasad (1959)

Antropologi Kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang mempelajari aspek-
aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk sejarahnya) dari titik tolak pandangan
untuk memahami kedokteran (medical), sejarah kedokteran (medico-historical), hukum
kedokteran (medico-legal), aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalah-masalah
kesehatan manusia.

Weaver, (1968)

Antropologi Kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan yang menangani berbagai
aspek dari kesehatan dan penyakit.

Hochstrasser dan Tapp (1970)

Antropologi Kesehatan adalah pemahaman biobudaya manusia dan karya-karyanya, yang


berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan.

Fabrga (1972)

Antropologi Kesehatan adalah studi yang menjelaskan berbagai faktor yaitu mekanisme dan
proses yang memainkan peranan didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu-
individu dan kelompok-kelompok terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit,
dan juga mempelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan terhadap pola-
pola tingkahlaku.

Lieban (1977)

Antropologi Kesehatan adalah studi tentang fenomena medis yang dipengaruhi oleh sosial
dan kultural, dan fenomena sosial dan kultural diterangi oleh aspek-aspek medis.

Faktor-faktor sosial dan kultural membantu menentukan etiologi penyakit dan penyebaran
melalui pengaruh mereka dalam hubungan antara populasi manusia dan lingkungan alamnya,
atau melalui pengaruh langsung pada kesehatan populasi.

Dalam pemahaman Lieban, kesehatan dan penyakit adalah pengukuran efektivitas dengan
dimana kelompok manusia menggabungkan sumber daya kultural dan biologikal,
menyesuaikan dengan lingkungan mereka. Lieban menyebutkan bahwa pada hakekatnya ada
empat macam area utama dalam atropologi kesehatan yaitu ekologi dan
epidemi, ethnomedicine, aspek medis dari sistem sosial, dan perubahan medis dan kultural.

Landy (1977)

Antropologi Kesehatan adalah studi mengenai konfrontasi manusia dengan penyakit dan
keadaan sakit, dan mengenai susunan adaptif (yaitu sistem medis dan obat-obatan) dibuat
oleh kelompok manusia untuk berhubungan dengan bahaya penyakit pada manusia sekarang
ini.

Landy juga menyatakan bahwa terdapat tiga generalisasi yang pada umumnya disetujui oleh
ahli antropologi, yaitu:

1) penyakit dalam beberapa bentuk merupakan kenyataan universal dari kehidupan


menusia. Ini terjadi dalam keseluruhan waktu, tempat dan masyarakat,
2) kelompok manusia mengembangkan metode dan peran-peran yang teralokasi, sama
dengan sumber daya dan struktur mereka untuk meniru dengan atau merespon
penyakit,
3) kelompok manusia mengembangkan beberapa set kepercayaan, pengertian dan
persepsi yang konsisten dengan matriks budaya mereka, untuk menentukan atau
menyadari penyakit.

Menurut Landy, Masyarakat yang berbeda, dengan budaya yang berbeda, memiliki
pandangan yang berbeda pula terhadap kesehatan dan penyakit, dan juga berbeda ketika
memperlakukan si pasien.

Foster dan Anderson (1978)


Antropologi Kesehatan adalah disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis
dan sosio-budya dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan
penyakit pada manusia.

Dalam definisi yang dibuat Foster/Anderson dengan tegas disebutkan bahwa antropologi
kesehatan studi objeknya yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia.
Menurut Foster/Anderson, Antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan
penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.

Pokok-pokok perhatian kutup biologi yang dimaksud Foster/Anderson adalah:

1. Pertumbuhan dan perkembangan manusia,


2. Peranan penyakit dalam evolusi manusia,
3. Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba).

Sedangkan pokok perhatian pada kutup sosial-budaya meliputi:

1. Sistem medis tradisional (etnomedisin),


2. Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional mereka,
3. Tingkah laku sakit,
4. Hubungan antara dokter pasien,
5. Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat kepada
masyarakat tradisional.

Foster dan Anderson (1978), menyatakan bahwa antropologi kesehatan kontemporer dapat
ditemukan pada empat sumber daya yang berbeda yaitu Antropologi Fisik, Ethnomedicine,
Studi Personalitas dan Kultural, dan Kesehatan Publik Internasional.

Kelompok manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan manusia harus belajar


mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini
dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang sering memainkan peranannya dalam
mencetuskan penyakit. Penyakit adalah bagian dari lingkungan hidup manusia contohnya
adalah penyakit Kuru (lihat Foster/Anderson, hal 27-29).

McElroy dan Townsend (1985)

Antropologi Kesehatan adalah sebuah studi tentang bagaimana faktor-faktor sosial dan
lingkungan mempengaruhi kesehatan dan kesadaran cara-cara alternatif tentang pemahaman
dan merawat penyakit.
McElroy dan Townsend yang mengambil pandangan sejarah juga menekankan pentingnya
adaptasi dan perubahan sosial dengan menyatakan bahwa sejumlah besar ahli antropologi
kesehatan kini berhubungan dengan kesehatan dan penyakit yang berkaitan dengan adaptasi
kelompok manusia sepanjang jarak geografis dan jangka waktu luas dari masa prasejarah ke
masa depan.

Kedua ahli ini menyepakati setidaknya enam sub-disiplin antropologis yang relevan dengan
Antropologi Kesehatan yaitu Antropologi Fisik, Arkeologi Pra-Historis, Antropologi
Kultural, Antropologi Ekologikal, Teori Evolusioner, dan Linguistik Antropologi.

PANDANGAN PARA AHLI ANTROPOLOGI TERHADAP PENYAKIT

1. Antropologi kesehatan mempelajari sosio-kultural dari semua masyarakat yang


berhubungan dengan sakit dan sehat sebagai pusat dari budaya, di antaranya objek
yang menjadi kajian disiplin ilmu ini adalah:
penyakit yang berhubungan dengan kepercayaan (misfortunes),
2. beberapa masyarakat misfortunes disebabkan oleh kekuatan supranatural maupun
supernatural atau penyihir,
3. kelompok healers ditemukan dengan bentuk yang berbeda disetiap kelompok
masyarakat,
4. healers yang mempunyai peranan sebagai penyembuh,
5. perhatian terhadap suatu keberadaan sakit atau penyakit tidak secara individual,
terutama illness dan sickness pada keluarga ataupun masyarakat.

Jauh sebelum apa yang disimpulkan ahli-ahli antropologi pada akhir abad 20, pada tahun
1924 W.H. R. River, seorang dokter, menyebutkan bahwa kepercayaan medis dan prakteknya
tidak dapat dipisahkan dari aspek budaya dan organisasi sosial yang lain. Ia menyatakan
“praktek medis primitif mengikuti dari dan membuat pengertian dalam syarat-syarat yang
mendasari kepercayaan medis. Ia juga menyatakan keberadaan 3 padangan dunia yang
berbeda (gaib, religi, dan naturalistik) dan menghubungkan sistem-sistem kepercayaan, dan
tiap-tiap pandangan memilki model perilaku medis yang sesuai.

1. Ackerkencht, seorang dokter dan ahli antropologi, orientasi teoritisnya diungkapkan


dalam bentuk lima generalisasi yaitu:
studi signifikan dalam antropologi medis bukanlah sifat tunggal melainkan
konfigurasi budaya secara keseluruhan dai masyarakat dan temapt dimana pola medis
berada dalam totalitas tersebut,
2. ada begitu banyak pengobatan primitif,
3. bagian dari pola medis, seperti yang ada pada keseluruhan budaya, secara fungsional
saling berkaitan,
4. pengobatan primitif paling baik dipahami dalam kaitan kepercayaan dan definisi
budaya,
5. manifestasi pengobatan primitif yang bervariasi seluruhnya merupakan pengobatan
gaib.

Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog, perilaku


sehat (health behavior ), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan
antara illness dan disease, model penjelasan penyakit explanatory model ), peran dan karir
seorang yang sakit (sick role), interaksi dokter-perawat, dokter-pasien, perawat-pasien,
penyakit dilihat dari sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu
kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan.

Antropologi Kesehatan menjelaskan secara komprehensif dan interpretasi berbagai macam


masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku manusia dimasa lalu
dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada
penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Partisipasi profesional antropolog dalam
program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang
lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui
perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih
baik.

Tugas utama ahli dari Antropologi Kesehatan adalah bagaimana individu di masyarakat
mempunyai persepsi dan beraksi terhadap ill dan bagaimana tipe pelayanan kesehatan yang
akan dipilih, untuk mengetahui mengenai budaya dan keadaaan sosial di komunitas tempat
tinggal. Antropologi Kesehatan dianggap sebagai ‘antropologi dari obat” (segi teori) dan
‘Antropologi dalam pengobatan’ (segi praktis atau terapan).

Pandangan ahli antropologi penyebab orang sakit ada dua hal yaitu:

1. Secara personalistik (secara personal)

Secara personalistik (secara personal) penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari
suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supanatural (mahluk gaib atau dewa),
mahluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk
manusia (tukang sihir attau tukang tenung). Orang yang sakit adalah korbanya, objek dari
agresi atau hukuman yang ditunjukan khusus kepadanya untuk alasan-alasan yang khusus
menyangkut dirinya saja. Kepercayaan tentang kausalitas penyakit yang bersifat personalistik
menonjol dalam data-data medis dan kesehatan yang tercatat dalam etnografi klasik tentang
masyarakat-masyarakat “primitif” (masyarakat yanng belum berkembang). Hal ini termasuk
kelompok-kelompok seperti penduduk-penduduk pribumi. Sebagian besar dari kelompok ini
(pada mulanya) relatif kecil, terisolir, buta askara, dan kurang kontak dengan peradaban
tinggi.

Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawatannya. Kusta
telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting)
dankaddala massolong (kusta yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa
kusta secara endemik telah berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat
tersebut.

2. Secara naturalistik

Secara naturalistik penyakit dijelaskan dengan istilah sistemik yang bukan pribadi.
Sistem-sistem naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena
unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh
(humor atau dosha), yindan yang berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi
individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini
terganggu, maka hasilnya adalah timbulnya penyakit. Walaupun prinsip keseimbangan dalam
sistem-sistem neuralistik dieksprresikan dalam berbagai cara, tulisan masa kini
mengungkapkan peran utama panas, dingin, sebagai ancaman pokok terhadap kesehatan.
Natural, nonsupranatural, dan empiris adalah istilah-istilah yang sejajar dengan predikat
“naturalistik” namun istilah “supranatural” dan “magical” kurang tepat karena keduanya,
membutuhkan sejumlah agen yang secara konseptual berbeda.

Istilah supranatural menunjukan kepada suatu tata kehudupan yang melewati batas alam
nyata atau alam semesta yang terlihat dan dapat diamati. Sistem-sistem etiologi personalistik
dan naturalistik sudah tentu tidaklah eksklusif satu sama lain. Etiologi-etiologi medis
personalistik merupakan bagiandari penjelasan yang lebih komperhensif, sedangkan etiologi-
etiologi naturalistik sebagian besar terbatas pada masalah penyakit. Dengan kata lain dalam
sistem personalistik, penyakit hanya merupakan suatu kasus khusus dalam penjelasan tentang
segala kemalangan. Penyakit bukan merupakan kategori yang terpisah dari kemalangan pada
umumnya.
Etiologi-etiologi yang naturalistik hanya terbatas pada penyakit-penyakit tertentu; mereka
tidak ada hubungannya dengan kekeringan, kegagalan perburuan, atau ganguan lain dalam
kehidupan. Dalam hal terdapatnya dikotomi panas-dingin, peranannya terbatas pada
penjelasan tentang penyakit dan bimbingan untuk pengobatanya. Masyarakat mendefinisikan
penyakit dalam cara yang berbeda-beda dan gejala-gejala yang diterima sebagai bukti adanya
penyakit dalam suatu masyarakat. Penyebab bersifat naturalistik
yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan),
kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas dingin
seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat
tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang
berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang
dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu
keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga
menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yg
sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Saifudin (2005), antropologi kontemporer, suatu pengantar kritis mengenai


achmad paradigma, prenada media jakarta

Erson 2005, Antropologi kesehatan, UGM press

Erson 2005, Sosiologi kesehatan, UGM press

Foster Dan anderson, 2005, antropologi kesehatan, edt.


Ihza handika (1610711018)
Nada saskia (1610711028)

PERSEPSI SEHAT-SAKIT
 Konsep Sehat
Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan
komunitas. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa orang Papua terdiri dari keaneka
ragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan perbedaan pemahaman
terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik dan etik. Sehat dilihat berdasarkan
pendekatan etik, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina
Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata
karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan
jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial
walaupun ada hubungan yang dekat diantara ketiganya;
3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal
emosi seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk
mengekspresikan emosi-emosi secara cepat;
4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan
dan praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi,
prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa
damai dalam kesendirian;
6) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan
pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin
menjadi sehat dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan
sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan
emosional(Dumatubun, 2002).
Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik yang
dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berarti bahwa:
merely the absence of disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini
jelasterlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga
kondisimental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep
inidihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa
idekesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-
peranansosial dalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970:12) dalam Kalangie
(1994:38).
Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan
pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep kebudayaan
mereka, ada pandangan yang berbeda dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini
karena adanya pengetahuan yang berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara
nyata akan terlihat bahwa seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih
dapat melakukan aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan
dirinya sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya dapat
menentukan sehat secara berbeda seperti pada kenyataan pendapat di bawah ini
sebagai berikut:
Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya
baik (sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun
psikis. Walaupun ia menyadari akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu
menimbulkan perasaan sakit, atau tidak dipersepsikan sebagai kelainan yang
memerlukan perhatian medis secara khusus, atau kelainan ini tidak dianggap sebagai
suatu penyakit. Dasar utama penetuan tersebut adalah bahwa ia tetap dapat
menjalankan peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa. Standard apa yang
dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat mengatakan
bahwa ia dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik berkurang sehingga
ia dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang menilai kesehatannya secara
subyektif, sesuai dengan norma dan harapan-harapannya. Inilah salah satu harapan
mengapa upaya untuk mengukur kesehatan adalah sangat sulit. Gagasan orang
tentang “sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan itu
dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan
harapanharapan(Dumatubun, 2002).
 Konsep Sakit
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara
ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing
penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman
secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit dilihat
secara “etik” yang dikutib dari Djekky (2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis
dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan,
jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu
terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena
subyektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang
mengidap hypo-chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat
tinggi dan takut terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada
tubuhnya, maka akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan fisik yang
nyata. Keluhanpsikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju
daripada kalangan masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional
memandang seseorang sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau
gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal
atau kehilangan kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur.
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep
kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di
bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat
tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin,
bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
1) Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari
suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib
atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat)
maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
2) Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang
sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model
keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh
seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang menurut
usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan
sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit
(1986;63-70)
Sehat dapat di definisikan, kemampuan seseorang (individu) dalam
menggerakkan sumber daya baik fisik, mental maupun spiritual, untuk pemeliharaan
dan keuntungan dirinya sendiri di masyarakat dimanapun ia berada.WHO mengatakan
bahwa “Health is not everything, but without it, Everything is nothing”. Memang kita
perlu memelihara kesehatan kita masing-masing. Sehat dilihat berdasarkan
pendekatan etik, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina
Simmet (1992) adalah sebagai berikut:

1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena
perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada
hubungan yang dekat diantara ketiganya;
3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi
seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan
emosi-emosi secara cepat;
4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan
praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip
tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
6) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada
tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat
dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk
pemenuhan kebutuhan dasar dan emosional(Dumatubun, 2002).

A. Konsep Sehat-Sakit Menurut Budaya Masyarakat

Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan pengertian


profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat
erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah
sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari
berbagai aspek (6). Definisi WHO (1981): Health is a state of complete physical,
mental and social well-being, and not merely the absence of disease or infirmity.

WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik


jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Sebatas mana seseorang
dapat dianggap sempurna jasmaninya? Oleh para ahli kesehatan, antropologi
kesehatan dipandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada
aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama
tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia
yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh
budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang
tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar. Cara hidup dan gaya
hidup manusia merupakan fenomena yang dapat ikaitkan dengan
munculnyaberbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga
dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua
konsep penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik. Penyebab bersifat
Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan
(salah makan), kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga
kepercayaan panas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep
sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut
masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan
badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat
bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai
suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai
siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan
aktivitassehari-harisepertihalnyaorangyangsehat.

Konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan


oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia
(hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang
tenung). Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara
perawatannya. Kusta telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya istilah
kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta yang lumer),
merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah berada
dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat tersebut.

Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai-nilai budaya di Kabupaten


Soppeng, dalam kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala,Bgs.) di masyarakat
Bugis menunjukkan bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara ketat
karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat perkawinan orang-
orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya. Disebutkan bahwa bila
terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim saat istri sedang haid, mereka
(kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/kaddala. Ide yang bertujuan
guna terciptanya moral yang agung di keluargabaru, berkembang menuruti proses
komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep penderita kusta sebagai
penanggung dosa.

Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari ibu-bapak merupakan awal


derita akibat leprophobia. Rasa rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri
keluarga yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya menderita
kusta. Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi
seorang fanatik Islam dirasakan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat
berat. Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta. Pada
penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Provinsi Kalimantan Timur dan
Nusa Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur
menunjukkan bahwa anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan
berkeringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang
dewasa, seseorang dinyatakan sakit kalau sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa
berjalan, tidak enak badan, panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-
batuk, mual, diare.

Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara Barat menunjukkan


bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu jika
menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah-muntah, gatal,
luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak. Seorang pengobat
tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai
pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit
adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di
badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan,
tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja.
Pada penyakit batin tidak ada tanda-tanda di badannya, tetapi bisa diketahui
dengan menanyakan pada yang gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya lincah,
kuat bekerja, suhu badan normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang,
sorot mata cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit badan

Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat beberapa


daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa
sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang
menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandaidengan tingkah laku
rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika
lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau "kantong kering" (tidak
punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3
bagian yaitu :

1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia

2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.

3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.). Untuk mengobati


sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat-
obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga
kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun,
kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangannya tergantung kepada
kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit.
Beberapa contoh penyakit pada bayi dan anak sebagai berikut:

a. Sakit demam dan panas.


Penyebabnya adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk
angin. Pengobatannya adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu
putih yang dingin atau beli obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem
meskipun gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun. Penyakit tampek
(campak) disebut juga sakit adem karena gejalanya badan panas.
b. Sakit mencret (diare).
Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan
makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi,
encer, dan lain-lain. Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan
pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya (Bima Nusa
Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG), Oralit, pil Ciba
dan lain-lain. Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya proporsi campurannya
tidak tepat.
c. Sakit kejang-kejang
Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang
disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra
Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan
pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.
d. Sakit tampek (campak)
Penyebabnya adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat
panas terik, atau kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur
anak dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan
daun suwuk, yang menurut kepercayaan dapat mengisap penyakit
B. Masalah Sehat Sakit
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante
dariberbagaimasalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan
manusia, sosial budaya,perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya.
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan
kesehatan yang demikian yangmenjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya.
Tetapi datangnya penyakit merupakanhal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-
kadang bisa dicegah atau dihindari.
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal
karena ada faktor-faktor laindi luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama
faktor sosial budaya. Keduapengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu
hanya dapat dipahami dalamkonteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat,
biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran,dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan
telah mencoba memberikan pengertian tentang konsepsehat dan sakit ditinjau dari
masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakanproses yang
berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi
denganlingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya .
Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa:
Kesehatan adalahkeadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
hidup produktif secarasosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan
harus dilihat sebagai satu kesatuanyang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan
sosial dan di dalamnya kesehatan jiwamerupakan bagian integral kesehatan. Definisi
sakit: seseorang dikatakan sakit apabila iamenderita penyakit menahun (kronis), atau
gangguan kesehatan lain yang menyebabkanaktivitas kerja/kegiatannya
terganggu.Walaupun seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek,
tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia dianggap
tidak sakit.
Derajat kesehatan masyarakat yangdisebut sebagai psychosocio somatic health
well being, merupakan resultante dari 4 faktor yaitu :
 Environment atau lingkungan.
 Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan
sebagainya.
 Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Berdasarkan empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku
merupakan faktor yangpaling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi
rendahnya derajat kesehatan masyarakat.Tingkah laku sakit, peranan sakit dan
peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan
suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan
secara klinis), bergantung dari variabel-variabel tersebut dapatmenimbulkan reaksi
yang berbeda di kalangan pasien.

C. Paradigma Sehat Sakit


1. PARADIGMA SEHAT
Paradigma sehat merupakan cara pandang, pola pikir, atau model
pembangunan kesehatan yang bersifat holistik. Cara pandang ini
menekankan pada melihat masalah kesehatan yang dipengaruhi
olehbanyak faktor yang bersifat lintas sektor. Upayanya lebih diarahkan
pada peningkatan, pemeliharaan dan perlindungan kesehatan, bukan hanya
panyembuhan orang sakit atau pemulihan kesehatan. Dengan
diterapkannya paradigma ini, diharapkan mampu mendorong masyarakat
untuk bersikap mandiri dalam menjaga kesehatan mereka sendiri melalui
kesadaran yang lebih tinggi pada pentingnya pelayanan kesehatan yang
bersifat promotif dan preventif.

Faktor yang mendorong perlu adanya paradigma sehat :

a. Pelayanan kesehatan yang berfokus pada pelayanan orang sakit ternyata


tidak efektif
b. Konsep sehat mengalami perubahan, dimana dalam arti sehata
dimasukkan unsur sehat produktif sosial ekonomis.
c. Adanya transisi epidemiologi dari penyakit infeksi ke penyakit kronik
degenerative
d. Adanya transisi demografi, meningkatnya Lansia yang memerlukan
penangan khusus
e. Makin jelasnya pemahaman tentang faktor yang mempengaruhi
kesehatan penduduk.
Program kesehatan yang menekankan upaya kuratif adalah merupakan
“Health program for survival”, sedangkan yang menekankan pada upaya promotif
dan preventif merupakan “Health Program for human development”. Paradigma
sehat dicanangkan Depkes pada tanggal 15 September 1998.

Upaya pelayanan kesehatan yang menekankan upaya kuratif-rehabilitatif kurang


menguntungkan karena :

a. Melakukan intervensi setelah sakit


b. Cenderung berkumpul di tempat yang banyak uang.
c. Dari segi ekonomi lebih cost effective
d. Melakukan tindakan preventif dari penyakit, agar tidak terserang penyakit.

2. PARADIGMA SAKIT
Paradigma sakit adalah cara pandang dalam upaya kesehatan yang
mengutamakan upaya kuratif dan rehabilitatif. Penanganan kesehatan
penduduk menekankan pada penyelenggaraan pelayanan di rumah sakit,
penanganan penduduk yang sakit secara individu dan spesialistis. Hal ini
menjadikan kesehatan sebagai suatu yang konsumtif. Sehingga
menempatkan sektor kesehatan dalam arus pinggir (sidestream)
pembangunan (Does Sampoerna, 1998).

Hingga saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata masih


mengusung paradigma sakit. Umumnya, masyarakat baru mengunjungi
dokterketika sakit melanda. Padahal memelihara kesehatan wajib
dilakukan dalam keadaan apapun.

D. Perilaku Sehat Sakit.


PERILAKU SEHAT DAN PERILAKU SAKIT

Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan


adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus objek yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta
lingkungan. dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).


Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. oleh
sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek.
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila
sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari
penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan
sehat. perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis
dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan
supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). makanan dan minuman
dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi
sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab
menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan
penyakit. hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap
makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,
atau sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada
saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. tindakan atau perilaku ini dimulai
dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar
negeri.
a. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya, dan sebagainya. sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya. dengan perkataan lain, bagaimana seseorang
mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri,
keluarga, dan masyarakatnya.
Seorang ahli lain (Becker, 1979 : 214) membuat klasifikasi lain tentang
perilaku kesehatan ini.

b. Perilaku hidup sehat


Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. perilaku ini
mencakup antara lain :
1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). menu seimbang di sini dalam
arti kualitas (mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh), dan kuantitas
dalam arti jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh (tidak kurang,
tetapi juga tidak lebih).Secara kualitas mungkin di Indonesia dikenal dengan
ungkapan empat sehat lima sempurna.
2) Olahraga teratur, yang juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas dalam arti
frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. dengan sendirinya kedua
aspek ini akan tergantung dari usia, dan status kesehatan yang bersangkutan.
3) Tidak merokok. merokok adalah kebiasaan jelek yang mengakibatkan berbagai
macam penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok ini, khususnya di Indonesia
seolah-olah sudah membudaya. Hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa
merokok. bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja kita telah
merokok. inilah tantangan pendidikan kesehatan kita.
4) Tidak minum-minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minuman keras dan
mengkonsumsi narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya lainnya) juga
cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan sudah
mempunyai kebiasaan minuman keras ini.
5) Istirahat cukup. dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk
penyesuaian lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja keras dan
berlebihan, sehingga kurang waktu istirahat. hal ini dapat juga membahayakan
kesehatan.
6) Mengendalikan stres. Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya bermacam-
macam bagi kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntutan hidup yang keras
seperti diuraikan di atas. Kecenderungan stres akan meningkat pada setiap orang.
stres tidak dapat kita hindari, maka yang penting agar stres tidak menyebabkan
gangguan kesehatan, kita harus dapat mengendalikan atau mengelola stres dengan
kegiatan-kegiatan yang positif.
7) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya : tidak
berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyesuaian diri kita dengan
lingkungan, dan sebagainya

c. Perilaku sakit (illness behavior)


Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan
penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentangpenyebab dan gejala
penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya.

d. Perilaku peran sakit (the sick role behavior)


Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup
hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan
kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama
keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).
Perilaku ini mliputi :
1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
2) Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan penyembuhan
penyakit yang layak.
Mengetahui hak (misalnya : hak memperoleh perawatan, memperoleh
pelayanan kesehatan, dsb) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan
penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak
menularkan penyakit kepada orang lain, dan sebagainya).

Sumber :

Endra. 2005. Paradigma Sakit. (Online),


(http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/1012/1125, diakses 8
September 2014)
Soejoeti. 2005. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial
Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
PERAN DAN PERILAKU PASIEN
Risma Awalia Permana 1610711017

Tia Amelia Agustin 1610711031

Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah
suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus objek yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. dari
batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)


Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. oleh sebab
itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek.
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. perlu
dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu
orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang
seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). makanan dan minuman dapat memelihara
dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman
dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat
mendatangkan penyakit. hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap
makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan,
atau sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan. tindakan atau perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
a. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya, dan sebagainya. sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya. dengan perkataan lain, bagaimana seseorang
mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri,
keluarga, dan masyarakatnya.
b. Perilaku hidup sehat
Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. perilaku ini
mencakup antara lain:
1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). menu seimbang di sini
dalam arti kualitas (mengandung zat-zat gizi yang diperlukan tubuh), dan
kuantitas dalam arti jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh
(tidak kurang, tetapi juga tidak lebih). Secara kualitas mungkin di Indonesia
dikenal dengan ungkapan empat sehat lima sempurna.
2) Olahraga teratur, yang juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas
dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. dengan
sendirinya kedua aspek ini akan tergantung dari usia, dan status kesehatan
yang bersangkutan.
3) Tidak merokok. merokok adalah kebiasaan jelek yang mengakibatkan
berbagai macam penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok ini, khususnya di
Indonesia seolah-olah sudah membudaya. Hampir 50% penduduk Indonesia
usia dewasa merokok. bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja
kita telah merokok. inilah tantangan pendidikan kesehatan kita.
4) Tidak minum-minuman keras dan narkoba. Kebiasaan minuman keras dan
mengkonsumsi narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya lainnya) juga
cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk Indonesia dewasa diperkirakan
sudah mempunyai kebiasaan minuman keras ini.
5) Istirahat cukup. dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk
penyesuaian lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja keras
dan berlebihan, sehingga kurang waktu istirahat. hal ini dapat juga
membahayakan kesehatan.
6) Mengendalikan stres. Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya
bermacam-macam bagi kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntutan
hidup yang keras seperti diuraikan di atas. Kecenderungan stres akan
meningkat pada setiap orang. stres tidak dapat kita hindari, maka yang
penting agar stres tidak menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus dapat
mengendalikan atau mengelola stres dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
7) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya: tidak
berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyesuaian diri kita dengan
lingkungan, dan sebagainya

3. Perilaku sakit (illness behavior)


Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,
persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang: penyebab dan gejala penyakit,
pengobatan penyakit, dan sebagainya.

4. Perilaku peran sakit (the sick role behavior)


Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-
hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan
kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama
keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).
Perilaku ini mliputi:
1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
2) Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan penyembuhan penyakit
yang layak.
3) Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan
kesehatan, dsb) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya kepada
orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakit
kepada orang lain, dan sebagainya
Sumber :

Notoatmojo,Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta

http://s1-
keperawatan.umm.ac.id/files/file/KONSEP%20SEHAT%20SAKIT%20KDK.doc
RESPON TERHADAP NYERI

Rustiani Ayu Anggraeni 1610711005

Yesi L Sitanggang 1610711014

Noer Aeni Zam Zam Mia 1610711016

REAKSI
 Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri.
 Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan
reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum
 Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon
fisiologis, apabila nyeri berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan
bereaksi

A. RESPON FISIOLOGIS TERHADAP NYERI


a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
 Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
 Peningkatan heart rate
 Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
 Peningkatan nilai gula darah
 Diaphoresis
 Peningkatan kekuatan otot
 Dilatasi pupil
 Penurunan motilitas GI

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)


 Muka pucat
 Otot mengeras
 Penurunan HR dan BP
 Nafas cepatdan irregular
 Kelelahan dan keletihan
RESPON TINGKAH LAKU TERHADAP NYERI
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
 Pernyataan verbal (saya sakit, saya merasa nyeri )
 Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
 Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
 Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak
sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda
terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat
menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis.
Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam
aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:


1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinnkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
Contoh: sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat menjelaskan tentang nyeri yang
nantinya akan dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan begitu klien akan menjadi
lebih siap dengan nyeri yang nanti akan dihadapi.

2) Fase sensasi(terjadi saat nyeri terasa)


Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan
berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang
yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri
kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa
bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upay
pencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap
individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan
sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah,
vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan
perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus
melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena
belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-
kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat ( terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)


Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan
klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang,
maka respon akibat ((aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat
berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.

Sumber :
Ebook konsep dan proses keperawatan nyeri

Anda mungkin juga menyukai