Disusun oleh :
KELOMPOK 2
Antropologi Kesehatan
Antropologi Medis Mcelroy ahli ilmu antropologi medis (1996) telah mengenali tiga
perspektif di dalam ilmuan tropologi medis:
KONSEP KEBUDAYAAN
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi.
Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan
berarti para ahli Antropologi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut.
Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli
Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam
Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi
kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari:
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai
sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi,
kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas
untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Konsep-konsep kebudayaan yang
dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus
dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan
dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-
utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaan kesamaan. Bagaimana konsep
kebudayaan membantu dalam membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting
disini adalah kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya
hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis
lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa
memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk
mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka
yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya.
Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya
adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku
manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa dari manusia
untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar
karena mahluk lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia
sangat luar-biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk
beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.
Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu
ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan
perilaku mahluk lain yang tingkah lakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan,
semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri.
Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan.
Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak
termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan,
bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan,
tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok kelompoknya menyebabkan manusia
melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang
berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja,
langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan
berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan
menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga
tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang
ada tempat-tempat khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena
manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau
lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya.
Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut semut yang dikatakan
bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-
laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan
penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut
yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.
Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai
kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan
berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar. Suatu kebudayaan dapat
dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan
yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat.
Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di
suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk
tetangganya.
Oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini
cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola
kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut
diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola
inilah yang sering disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak
semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan
bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi
dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang
disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal
tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut
telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat. Pembatasan
kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu
kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-
cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-
pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan.
Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut
kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang
dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang
dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu
berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut
sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan
dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Contoh dari pembatasan
langsung misalnya ketika seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas
kedalam gereja. Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini.
Kalau si individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin dia
hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah
seorang wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan
di tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dalam
pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar
tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan
mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan
tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada orang yang
melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja dengan menggunakan
bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena tidak ada yang memahaminya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan kepribadian seseorang
dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi
tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan,
tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang
mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap
mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari
pendapat yang mayoritas. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan
berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat
pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini
terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-
sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat
untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat
dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan
berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat
menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang
dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka
anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah
serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi
manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan
mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada
lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok
masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika
dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut
bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks
pada masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut
mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah
dimengerti, tetapi bagi masrakat pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-
pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan
fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah
memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup
bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal
yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok
masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara
melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan
penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang
seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu
melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu
masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk
membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan
banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila
kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat
sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat
tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang
ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam
pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit. Kebiasaan-kebiasaan yang ada
dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap
lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat
yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang
sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu
masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan
dan argumen. Alasan–alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu
penelitian untuk menjelaskannya. Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus
selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya
orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu
keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak
selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu
untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri.
Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-
kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk
kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan
yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar
kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring
budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat
istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja
dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu
merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan
tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang
karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut. Siapa saja
dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat
itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap
masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara
berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda,
terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.
Ethnomedicine
Ethnomedicine mempunyai kaitan dengan sistem berbudaya dari menyembuh kan dan
parameter teori dari penyakit.Variasi dari konstruksi penuh arti ke seberang kultur dapat
dilihat untuk menghadapi tantangan reductionist epidemiologi dari biomedicine (Kleinman,
1980). Ethnomedicine merupakan cabang dari ethnobotani atau antropologi kesehatan yang
mernpelajari pengobatan tradisional, tidak hanya yang berhubungan dengan sumber-sumber
tertulis (contohnya pengobatan tradisional cina, Ayurveda) tetapi terutama pengetahuan dan
praktek yang secara oral diturunkan selama beberapa abad.
Antropologi Kesehatan adalah studi tentang fenomena medis Menurut Fabrega Antropologi
Kesehatan adalah studi yang menjelaskan:
1. Berbagai faktor, mekanisme dan proses yang rnemainkan peranan didalam atau
mempengaruhi cara-cara dimana individu individu dan kelompok-kelompok terkena
oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit.
2. Mernpelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan terhadap pola-
pola tingkahlaku. Dari defnisi-definisi yang dibuat oleh ahli-ahli antropologi
mengenai Antropologi Kesehatan seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Antropologi Kesehatan mencakup:
1) Mendefmisi secara koniprehensif dan interpretasi berbagai macam masalah
tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku manusia diniasa
lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa
mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut;
contohnya penyebab penyakit lepra atau kusta kareoa adanya perbuatan dosa
sehingga yang maha kuasa mengutuknya dengan penyakit ini
2) Partisipasi profesional mereka dalam program program yang bertujuan
menrperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang
hubungan antara gojala bio-sosial budaya dengan kesehatan, serta melalui
perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan meningkatkan
kesehatan yang lebih baik. Contoh, tubuh akan mengalami gangguan secara
sistematis akibat perubahan fungsi tubuh yang disebabkan oleh berbagai hal
seperti kuman penyakit, radiasi dan lain sebagainya. Keadaan ini di buktikan
dengan sains atau keilmuan.
Sumber :
http://papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf
Luigisha Augusti (1610711012)
Indah Nopiyanti (1610711023)
Mei Diana Arminiati (1610711033)
PENGERTIAN PENYAKIT
Terdapat berbagai jenis penyakit yang mengancam manusia. Penyakit ini boleh
disebabkan oleh kuman, bakteria, virus, racun, kegagalan organ berfungsi, dan juga oleh
penyakit baka/keturunan.
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang mempelajari aspek-
aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk sejarahnya) dari titik tolak pandangan
untuk memahami kedokteran (medical), sejarah kedokteran (medico-historical), hukum
kedokteran (medico-legal), aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalah-masalah
kesehatan manusia.
Weaver, (1968)
Antropologi Kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan yang menangani berbagai
aspek dari kesehatan dan penyakit.
Fabrga (1972)
Antropologi Kesehatan adalah studi yang menjelaskan berbagai faktor yaitu mekanisme dan
proses yang memainkan peranan didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu-
individu dan kelompok-kelompok terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit,
dan juga mempelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan terhadap pola-
pola tingkahlaku.
Lieban (1977)
Antropologi Kesehatan adalah studi tentang fenomena medis yang dipengaruhi oleh sosial
dan kultural, dan fenomena sosial dan kultural diterangi oleh aspek-aspek medis.
Faktor-faktor sosial dan kultural membantu menentukan etiologi penyakit dan penyebaran
melalui pengaruh mereka dalam hubungan antara populasi manusia dan lingkungan alamnya,
atau melalui pengaruh langsung pada kesehatan populasi.
Dalam pemahaman Lieban, kesehatan dan penyakit adalah pengukuran efektivitas dengan
dimana kelompok manusia menggabungkan sumber daya kultural dan biologikal,
menyesuaikan dengan lingkungan mereka. Lieban menyebutkan bahwa pada hakekatnya ada
empat macam area utama dalam atropologi kesehatan yaitu ekologi dan
epidemi, ethnomedicine, aspek medis dari sistem sosial, dan perubahan medis dan kultural.
Landy (1977)
Antropologi Kesehatan adalah studi mengenai konfrontasi manusia dengan penyakit dan
keadaan sakit, dan mengenai susunan adaptif (yaitu sistem medis dan obat-obatan) dibuat
oleh kelompok manusia untuk berhubungan dengan bahaya penyakit pada manusia sekarang
ini.
Landy juga menyatakan bahwa terdapat tiga generalisasi yang pada umumnya disetujui oleh
ahli antropologi, yaitu:
Menurut Landy, Masyarakat yang berbeda, dengan budaya yang berbeda, memiliki
pandangan yang berbeda pula terhadap kesehatan dan penyakit, dan juga berbeda ketika
memperlakukan si pasien.
Dalam definisi yang dibuat Foster/Anderson dengan tegas disebutkan bahwa antropologi
kesehatan studi objeknya yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia.
Menurut Foster/Anderson, Antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan
penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya.
Foster dan Anderson (1978), menyatakan bahwa antropologi kesehatan kontemporer dapat
ditemukan pada empat sumber daya yang berbeda yaitu Antropologi Fisik, Ethnomedicine,
Studi Personalitas dan Kultural, dan Kesehatan Publik Internasional.
Antropologi Kesehatan adalah sebuah studi tentang bagaimana faktor-faktor sosial dan
lingkungan mempengaruhi kesehatan dan kesadaran cara-cara alternatif tentang pemahaman
dan merawat penyakit.
McElroy dan Townsend yang mengambil pandangan sejarah juga menekankan pentingnya
adaptasi dan perubahan sosial dengan menyatakan bahwa sejumlah besar ahli antropologi
kesehatan kini berhubungan dengan kesehatan dan penyakit yang berkaitan dengan adaptasi
kelompok manusia sepanjang jarak geografis dan jangka waktu luas dari masa prasejarah ke
masa depan.
Kedua ahli ini menyepakati setidaknya enam sub-disiplin antropologis yang relevan dengan
Antropologi Kesehatan yaitu Antropologi Fisik, Arkeologi Pra-Historis, Antropologi
Kultural, Antropologi Ekologikal, Teori Evolusioner, dan Linguistik Antropologi.
Jauh sebelum apa yang disimpulkan ahli-ahli antropologi pada akhir abad 20, pada tahun
1924 W.H. R. River, seorang dokter, menyebutkan bahwa kepercayaan medis dan prakteknya
tidak dapat dipisahkan dari aspek budaya dan organisasi sosial yang lain. Ia menyatakan
“praktek medis primitif mengikuti dari dan membuat pengertian dalam syarat-syarat yang
mendasari kepercayaan medis. Ia juga menyatakan keberadaan 3 padangan dunia yang
berbeda (gaib, religi, dan naturalistik) dan menghubungkan sistem-sistem kepercayaan, dan
tiap-tiap pandangan memilki model perilaku medis yang sesuai.
Tugas utama ahli dari Antropologi Kesehatan adalah bagaimana individu di masyarakat
mempunyai persepsi dan beraksi terhadap ill dan bagaimana tipe pelayanan kesehatan yang
akan dipilih, untuk mengetahui mengenai budaya dan keadaaan sosial di komunitas tempat
tinggal. Antropologi Kesehatan dianggap sebagai ‘antropologi dari obat” (segi teori) dan
‘Antropologi dalam pengobatan’ (segi praktis atau terapan).
Pandangan ahli antropologi penyebab orang sakit ada dua hal yaitu:
Secara personalistik (secara personal) penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari
suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supanatural (mahluk gaib atau dewa),
mahluk yang bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk
manusia (tukang sihir attau tukang tenung). Orang yang sakit adalah korbanya, objek dari
agresi atau hukuman yang ditunjukan khusus kepadanya untuk alasan-alasan yang khusus
menyangkut dirinya saja. Kepercayaan tentang kausalitas penyakit yang bersifat personalistik
menonjol dalam data-data medis dan kesehatan yang tercatat dalam etnografi klasik tentang
masyarakat-masyarakat “primitif” (masyarakat yanng belum berkembang). Hal ini termasuk
kelompok-kelompok seperti penduduk-penduduk pribumi. Sebagian besar dari kelompok ini
(pada mulanya) relatif kecil, terisolir, buta askara, dan kurang kontak dengan peradaban
tinggi.
Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawatannya. Kusta
telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting)
dankaddala massolong (kusta yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa
kusta secara endemik telah berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat
tersebut.
2. Secara naturalistik
Secara naturalistik penyakit dijelaskan dengan istilah sistemik yang bukan pribadi.
Sistem-sistem naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena
unsur-unsur yang tetap dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh
(humor atau dosha), yindan yang berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi
individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini
terganggu, maka hasilnya adalah timbulnya penyakit. Walaupun prinsip keseimbangan dalam
sistem-sistem neuralistik dieksprresikan dalam berbagai cara, tulisan masa kini
mengungkapkan peran utama panas, dingin, sebagai ancaman pokok terhadap kesehatan.
Natural, nonsupranatural, dan empiris adalah istilah-istilah yang sejajar dengan predikat
“naturalistik” namun istilah “supranatural” dan “magical” kurang tepat karena keduanya,
membutuhkan sejumlah agen yang secara konseptual berbeda.
Istilah supranatural menunjukan kepada suatu tata kehudupan yang melewati batas alam
nyata atau alam semesta yang terlihat dan dapat diamati. Sistem-sistem etiologi personalistik
dan naturalistik sudah tentu tidaklah eksklusif satu sama lain. Etiologi-etiologi medis
personalistik merupakan bagiandari penjelasan yang lebih komperhensif, sedangkan etiologi-
etiologi naturalistik sebagian besar terbatas pada masalah penyakit. Dengan kata lain dalam
sistem personalistik, penyakit hanya merupakan suatu kasus khusus dalam penjelasan tentang
segala kemalangan. Penyakit bukan merupakan kategori yang terpisah dari kemalangan pada
umumnya.
Etiologi-etiologi yang naturalistik hanya terbatas pada penyakit-penyakit tertentu; mereka
tidak ada hubungannya dengan kekeringan, kegagalan perburuan, atau ganguan lain dalam
kehidupan. Dalam hal terdapatnya dikotomi panas-dingin, peranannya terbatas pada
penjelasan tentang penyakit dan bimbingan untuk pengobatanya. Masyarakat mendefinisikan
penyakit dalam cara yang berbeda-beda dan gejala-gejala yang diterima sebagai bukti adanya
penyakit dalam suatu masyarakat. Penyebab bersifat naturalistik
yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan),
kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas dingin
seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat
tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang
berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang
dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu
keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga
menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yg
sehat.
DAFTAR PUSTAKA
PERSEPSI SEHAT-SAKIT
Konsep Sehat
Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan
komunitas. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa orang Papua terdiri dari keaneka
ragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan perbedaan pemahaman
terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik dan etik. Sehat dilihat berdasarkan
pendekatan etik, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina
Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata
karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan
jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial
walaupun ada hubungan yang dekat diantara ketiganya;
3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal
emosi seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk
mengekspresikan emosi-emosi secara cepat;
4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan
dan praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi,
prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa
damai dalam kesendirian;
6) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan
pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin
menjadi sehat dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan
sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan
emosional(Dumatubun, 2002).
Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik yang
dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berarti bahwa:
merely the absence of disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini
jelasterlihat bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga
kondisimental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep
inidihubungkan dengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa
idekesehatan adalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-
peranansosial dalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970:12) dalam Kalangie
(1994:38).
Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan
pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep kebudayaan
mereka, ada pandangan yang berbeda dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini
karena adanya pengetahuan yang berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara
nyata akan terlihat bahwa seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih
dapat melakukan aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan
dirinya sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya dapat
menentukan sehat secara berbeda seperti pada kenyataan pendapat di bawah ini
sebagai berikut:
Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya
baik (sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun
psikis. Walaupun ia menyadari akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu
menimbulkan perasaan sakit, atau tidak dipersepsikan sebagai kelainan yang
memerlukan perhatian medis secara khusus, atau kelainan ini tidak dianggap sebagai
suatu penyakit. Dasar utama penetuan tersebut adalah bahwa ia tetap dapat
menjalankan peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa. Standard apa yang
dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat mengatakan
bahwa ia dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik berkurang sehingga
ia dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang menilai kesehatannya secara
subyektif, sesuai dengan norma dan harapan-harapannya. Inilah salah satu harapan
mengapa upaya untuk mengukur kesehatan adalah sangat sulit. Gagasan orang
tentang “sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan itu
dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan
harapanharapan(Dumatubun, 2002).
Konsep Sakit
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara
ilmiah dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing
penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman
secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit dilihat
secara “etik” yang dikutib dari Djekky (2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis
dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan,
jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu
terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena
subyektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang
mengidap hypo-chondriacal, ini disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat
tinggi dan takut terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada
tubuhnya, maka akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan fisik yang
nyata. Keluhanpsikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju
daripada kalangan masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional
memandang seseorang sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau
gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal
atau kehilangan kekuatannya sehingga harus tinggal di tempat tidur.
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep
kebudayaan masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di
bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat
tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin,
bahwa konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
1) Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari
suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib
atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat)
maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
2) Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang
sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model
keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalam tubuh
seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang menurut
usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan
sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit
(1986;63-70)
Sehat dapat di definisikan, kemampuan seseorang (individu) dalam
menggerakkan sumber daya baik fisik, mental maupun spiritual, untuk pemeliharaan
dan keuntungan dirinya sendiri di masyarakat dimanapun ia berada.WHO mengatakan
bahwa “Health is not everything, but without it, Everything is nothing”. Memang kita
perlu memelihara kesehatan kita masing-masing. Sehat dilihat berdasarkan
pendekatan etik, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina
Simmet (1992) adalah sebagai berikut:
1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena
perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada
hubungan yang dekat diantara ketiganya;
3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi
seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan
emosi-emosi secara cepat;
4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan
praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip
tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
6) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada
tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat
dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk
pemenuhan kebutuhan dasar dan emosional(Dumatubun, 2002).
2. PARADIGMA SAKIT
Paradigma sakit adalah cara pandang dalam upaya kesehatan yang
mengutamakan upaya kuratif dan rehabilitatif. Penanganan kesehatan
penduduk menekankan pada penyelenggaraan pelayanan di rumah sakit,
penanganan penduduk yang sakit secara individu dan spesialistis. Hal ini
menjadikan kesehatan sebagai suatu yang konsumtif. Sehingga
menempatkan sektor kesehatan dalam arus pinggir (sidestream)
pembangunan (Does Sampoerna, 1998).
Sumber :
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah
suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus objek yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. dari
batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
http://s1-
keperawatan.umm.ac.id/files/file/KONSEP%20SEHAT%20SAKIT%20KDK.doc
RESPON TERHADAP NYERI
REAKSI
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri.
Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan
reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum
Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon
fisiologis, apabila nyeri berlangsung terus menerus, maka sistem parasimpatis akan
bereaksi
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda
terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat
menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis.
Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam
aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Sumber :
Ebook konsep dan proses keperawatan nyeri