Anda di halaman 1dari 7

SYOK ANAFILAKTIK

A. DEFINISI
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.103.
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan
permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7, hal 144).
Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau
cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).

B. ETIOLOGI
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun
melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti
makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang
dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
a. Anafilaksis (melalui IgE)
1) Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)
2) Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
3) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
4) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)

b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)


Zat pelepas histamin secara langsung :
1) Obat (opiat, vankomisin, kurare)
2) Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
3) Obat lain (dekstran, flouresens)
4) Aktivasi komplemen
5) Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
6) Bahan dialisis
7) Modulasi metabolisme
8) Asam asetilsalisilat
9) Antiinflamasi nonsteroid

C. PATOFISIOLOGI
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi
baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak
dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan
serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator
gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan,
mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus,
edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi
mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular.
( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung
melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi
anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan /
suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik
(seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan
dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor
pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming
precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh
reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru
yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama.
Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini
akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan
IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami
degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin,
serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan
mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi
hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena dapat
dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya
memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula
proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh
enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi
prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of
Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses
terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat
anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung
mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine
oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses
ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama
seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu,
obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas
otot : d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan
dapat berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan
sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi
usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi
intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus,
epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat
dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan
oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat
meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula
disebabkan oleh PAF.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
a. Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
b. Pernapasan :
1) Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
2) Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
3) Lidah : edema
4) Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
c. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok,
aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
d. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai
darah, peristaltik usus meninggi.
e. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
f. Mata : gatal, lakrimasi
g. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan
beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a. Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas
alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya
reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan
datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari
dosis initial.

b. Kadar komplemen dan antibody


Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi
anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini
penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar Ig
E nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.
c. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen
imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang
disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat
menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik ) pada pelepasan histamin.
d. Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada
RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut
diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan
dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-
Ig E. ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .

F. PENATALAKSANAAN
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan
lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat
masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai
maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah
berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis
epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau
sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di
bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang
torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut
dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di
perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :
a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan
memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular,
tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan
kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran
napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai
untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang
diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan
edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.
Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup
sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi
hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg
dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid
dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan
maupun pada kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti
pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan
salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9%
diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan
dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15
menit.

b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl
0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan
koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak
saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau
yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan
ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular dan
pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini
selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian
cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat
merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan
cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4
mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit
(dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum
10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara
endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum
panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000
). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin
absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta
(beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan
menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat.
Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine akan
memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid secara
intravena.
b) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara
kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya
penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan
dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin.
c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan
napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak
bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk
mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar
bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan intravena
dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini
diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)

G. KOMPLIKASI
Komplikasinya meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I. Greenberg,
Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)

Anda mungkin juga menyukai