Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH EPIDEMIOLOGI

DIFTERI

DISUSUN OLEH:
ALIFA PUTRI MAHARANI
SITI AZZURA HAYATI

DOSEN PEMBIMBING :
BUDI ARIANTO. PS, SKM,M.Kes

POLTEKKES KEMENKES ACEH


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN AJARAN 2018/2019
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN..........................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
1. Latar Belakang..........................................................................................1
2. Epidemiologi...............................................................................................2
3. Etiologi.......................................................................................................4
4. Masa Inkubasi.............................................................................................5
5. Sumber dan Cara Penularan......................................................................6
6. Cara Penanggulangan................................................................................8
7. Kesimpulan..............................................................................................10
8. Saran........................................................................................................11
9. Daftar Pustaka....................................................................................................12
1. LATAR BELAKANG

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.
Penularan Difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau
penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab
penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana
temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita Difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus Difteri dapat
berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, Difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada
daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak,
Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di
Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin Difteri ditemukan dan
imunisasi terhadap Difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman Difteri menurun
dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit Difteri mulai jarang dijumpai.
2. EPIDEMIOLOGI

Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an
terjadi peningkatan insidensi kasus Difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program
imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun
2000-an epidemic Difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.
Sebelum era vaksinasi, Difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak
mulai diadakannya program imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian
akibat Difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian
di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM),
Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di
Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun.
Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus Difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%),
sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994
terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih. Dari
tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus Difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance
System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal
terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki,
dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic. Difteri tetap endemik
di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur,
Asia Tenggara, dan Afrika. Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang
dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin
anak atau dosis booster toksoid Difteri.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang,
Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien Difteria,
terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun.
Berdasarkan suatu KLB Difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien
sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun. Khusus provinsi Sumatera Selatan,
selama tahun 2003-2009 penemuan kasus Difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada
tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan
merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus Difteri pada tahun 2008.
Meskipun Difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini
adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-anak.
Epidemiologi Distribusi Frekuensi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak
yang belum diimunisasi. Penderita Difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, Difteri merupakan penyebab umum dari kematian
bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi
berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi,
kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100
kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit Difteri mulai jarang
dijumpai. Vaksin imunisasi Difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem
kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksin Difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit Difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu.
Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system
kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk
terjangkit penyakit Difteri.
Trias Epidemiologi Difteria
Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae.
Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak –anak berusia 2 sampai 5 tahun. Pada
orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah.
Agent
Corynebacterium diphtheria
Environment
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena
itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

3. ETIOLOGI
Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru
metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi (Dahlan, 2007).
Dengan pewarnaan, bakteri bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri ini tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana,
tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-telluritatau media Loeffler.

Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan bakteri
diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium
fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk
koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat (Sudoyo, 2006).

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang

dapat memproduksi toksin, yaitu:

a. Gravis Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis
eritrosit.
b. Mitis Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
c. Intermediate Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis
gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak.
Semua jenis bakteri ini bias memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda. Sebagian besar
jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate
yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non- toksigenik,
setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian
bakteriofag.

Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in
vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/ memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bias diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan non virulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara: 1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun
1949, dan masih dipakai sampai sekarang, walaupun sudah dimodifikasi. 2. Polymerase chain pig
inoculation test (PCR) 3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu
3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil
difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium
serosis. Basil dapat membentuk :  Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna
putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.  Eksotoksin
yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan
gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum
lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu per lima puluh ml toksin dapat membunuh marmot dan
kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa
inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati pada pemanasan suhu 60°C selama 10
menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering
(Sumarmo, 2008).

4. MASA INKUBASI

Kuman Difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas
bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada
atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila
bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara
(laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan
pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan
yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi Difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan lebih
mudah untuk mengklasifikasikan Difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
a. Anterior nasal Difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup
ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh
antitoksin dan terapi antibiotik.
b. Pharyngeal dan Difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil.
Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat,
pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan
penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher
anterior bersama dengan limfadenopati.
c. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk
demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas, koma, dan kematian.
Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam
atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari
konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.

5. SUMBER DAN CARA PENULARAN

Cara penularan penyakit Difteri melalui cara penularan tidak langsung, antara lain merupakan
salah satu jenis airborne diseaase, bakteri terpercik terbawa dalam droplet ketika penderita atau karier
bersin, batuk atau berbicara. Sedangkan cara lain dapat terbawa beberapa peralatan, seperti ketika droplet
terbawa saluran pemanas atau pendingin ruangan dalam gedung atau disebarkan melalui kipas angin ke
seluruh bangunan atau kompleks bangunan.

Secara epidemiologis, diketahui bahwa sumber penyakit Difteri atau disebut juga reservoir adalah
manusia (baik penderita maupun karier). Menurut data di negara endemis Difteri 3%-5% individu sehat
mengandung bakteri Difteri di tenggorokan mereka.

Faktor host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya adalah umur, jenis kelamin,
status imunisasi, status gizi dan staus sosial ekonomi, juga perilaku.
a. Umur: Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya penyakit. Hal ini
berhubungan dengan kerentanan yang ada pada host yang dipengaruhi faktor umur. Ada
beberapa penyakit yang dominan menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu atau
sebaliknya ada yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut usia. Menurut sejarah
Difteri masih merupakan penyakit utama yang menyerang masa anak-anak, populasi yang
dipengaruhi adalah usia dibawah 12 tahun. Bayi akan mudah terserang penyakit Difteri antara
usia 6 – 12 bulan setelah imunitas bawaan dari ibu melalui transplasenta menurun.
Penyakit Difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak. Sementara menurut data
CDC’s National Notifiable Diseases Surveillance System, mayoritas kasus Difteri (77%)
berusia antara 15 tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang tidak
divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi kasus Difteri pada anak-anak
menurun secara drastis. Bahkan pada saat ini Difteri telah bergeser pada populasi remaja dan
dewasa.
b. Status Imunisasi : Sebagaimana kita mafhum, faktor imunitas sangat berpengaruh pada
timbulnya suatu penyakit, termasuk Difteri. Sistem imunitas yang terbentuk pada tubuh
seseorang ada yang didaptkan secara alamiah atau buatan. Terbentuknya tingkat imunitas di
kelompok masyarakat sangat mempengaruhi timbulnya penyakit di masyarakat, dengan
terbentuknya imunitas kelompok, anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar
atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh agen infeksi tersebut. Akibatnya bisa terjadi
pergeseran umur rata-rata kejadian infeksi ke umur yang lebih tua.
c. Faktor status gizi dan sosial ekonomi : Faktor sosial yang terkait erat dan berkontribusi
besar dalam penyebaran Difteri adalah kemiskinan yang terkait dengan aspek kepadatan
hunian dan rendahnya hygiene sanitasi kulit. Keadaan gizi yang memburuk menurunkan daya
tahan terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi sakit. Sementara berkurangnya
antibodi dan sistem imunitas akan mempermudah tubuh terserang infeksi seperti; pilek, batuk
dan diare.
d. Faktor Perilaku: Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya
penularan atau penyebaran penyakit Difteri adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila
batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain, membuang
ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela, mencuci alat makan dengan
bersih, memakai alat makan.
6. CARA PENANGGULANGAN
1. Isolasi Penderita
Penderita Difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung
menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
2. Imunisasi
Imunisasi termasuk pencegahan primer. Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT
(Difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (Difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah
dasar.
Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah satunya
adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I Difteri yaitu untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan dan kematian akibat penyakit Difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I Difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin dan alat
suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk menentukan
prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif
berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

3. Pencarian dan kemudian mengobati karier Difteria

Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat
imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
4. Penanganan Pada Penderita
1. Isolasi
Penderita diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan usap tenggorok negatif 2 kali berturut-
turut (Soedarmo et al., 2002). Penderita tetap bersifat menular hingga basil-basil Difteri tidak berhasil
dibiakkan dari tempat infeksi; jika hasil negatif, penderita sudah bisa di bebaskan dari isolasi (Nelson,
1992).
2. Pengobatan
- Antitoksin
Antitoksin diberikan segera setelah dinyatakan diagnosis Difteri. Dengan pemberian antitoksin di
hari pertama, angka kematian penderita kurang dari 1%. Jika penundaan lebih dari hari ke-6,
angka kematian bisa meningkat sampai 30%. Dosis serum anti Difteri (ADS) ditentukan secara
empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung dengan berat badan
penderita, berkisar antara 20.000-120.000 KI (Soedarmo et al., 2002).
- Antibiotik :
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin. Corynebacterium diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai
agen in vitro, termasuk penisilin, eritromicin, klindamisin, rifampin dan tetrasiklin. Penisilin dan
eritromisin merupakan obat yang dianjurkan; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin
untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah eritomisin yang diberikan
secara oral atau parental (40-50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 gr/24 jam). Terapi diberikan selama
14 hari. Beberapa penderita dengan Difteri kulit diobati selama 7-10 hari. Lenyapnya organisme
harus didokumentasi sekurangkurangnya 2 biakan berturutturut dari hidung dan tenggorok (atau
kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. Pengobatan eritromisin diulangi jika
hasil biakan positif (Nelson, 2000).

A. Penanganan Pada Kontak


Adapun penanganan kontak menurut Nelson (2000) yaitu:
1. Seluruh kontak serumah/kontak erat lainnya dipantau secara ketat untuk sakitnya selama 7
hari.
2. Usap hidung, tenggorok
3. Profilaksis antimikroba tanpa memandang status imunisasi, dengan menggunakan eritomisin
(40-50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 gr/24 jam) selama 7-10 hari.
4. Vaksinasi toksoid Difteri.
B. Penanganan Pada Carrier
Adapun penanganan carrier yaitu:
1. Profilaksis antimikroba selama 7-10 hari.
2. Vaksinasi Difteri toksoid, diberikan segera jika belum di booster dalam 1 tahun.
3. Isolasi sekurang-kurangnya 2 kali pembiakan berturut-turut yang diambil berselang 24 jam
sesudah penghentian terapi negatif (Nelson, 2000).
KESIMPULAN
1. Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.

2. Penyebab penyakit Difteri adalah Corynebacterium diphtheria

3. Gejala penyakit difteria :


a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan,
demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat,tampak lemah, nafas berbau,
timbul pembengkakan kelenjar leher.
c. Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak bisa bersuara,
sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit
tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher
d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip
sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya

4. Masa inkubasi Difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari)

5. Cara penularan penyakit Difteri melalui cara penularan tidak langsung, antara lain merupakan
salah satu jenis airborne diseaase, bakteri terpercik terbawa dalam droplet ketika penderita atau
karier bersin, batuk atau berbicara. Sedangkan cara lain dapat terbawa beberapa peralatan, seperti
ketika droplet terbawa saluran pemanas atau pendingin ruangan dalam gedung atau disebarkan
melalui kipas angin ke seluruh bangunan atau kompleks bangunan.

6. Secara epidemiologis, diketahui bahwa sumber penyakit Difteri atau disebut juga reservoir adalah
manusia

7. Faktor host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya adalah umur, jenis kelamin,
status imunisasi, status gizi dan staus sosial ekonomi, juga perilaku.

8. Pencegahan penyakit difteria yaitu dengan imunisasi (PD31).


SARAN

1. Disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib
pada anak

2. Orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus
dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

3. Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman
yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit.

4. Menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam
lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah.

5. Makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

6. Sedangkan untuk perawat, penderita dengan difteri harus diberikan isolasi dan baru dapat
dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria
2x berturut-turut. Gunakan prosedur terlindungi infeksi jika melakukan kontak langsung dengan
anak (APD).
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit, 2003, Jakarta,
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005,Jakarta
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa
(Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007, Jakarta.
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5
Profil,2004,
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV. Infomedika, Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Garut. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 5, April 2008.
P. Resty, Clarissa. Corynebacterium diphtheriae.
Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.2010
Prosedur kerja surveilans faktor risiko penya kit menular dalam intensifikasi pemberantasan penya kit
menular terpadu berbasis wilayah, khusus faktor risiko lingkungan dan perilaku penyakit ISPA,
Malaria, TBC, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Hepatitis B, Dirjen PPM&PL,
Depkes RI. 2004.
Putranto, Rudi Hendro. 2014. Corynebacterium diphtheriae: Diagnosis Laboratorium Bakteriologi.
Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Sari, Siska Damayanti. 2013. Penyelidikan Epidemiologi KLB Difteri Di Kecamatan Tanjung Bumi
Kabupaten Bangkalan Tahun 2013. Dinas Kesehatan kabupaten bangkalan : Jurnal 2013
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya. Erlanggga: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai