Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
PENYAKIT DIFTERI

DISUSUN OLEH

1. CIMELDA DOUW (1807010448)


2. ADELSI DAPA NGAILO (1807010149)
3. RYSKA SINTYA SEPTIANI (1807010236)
4. RENI BOIMAU (1807010037)
5. ANANDA NDAPATAKA (1807010249)
6. MARIA ROGE (1807010424)
7. SITTI FARADILLAH (1807010243)
8. YULIANA DEDE (1807010129)
9. SHEREN NESIMNASI (1807010)
10. YUNIKA ()

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2019 - 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karna atas
berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat mengerjakan tugas Surveilans
Epidemiologi tentang Surveilans Difteri dengan tepat waktu.Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi untuk
menyumbangkan materi dan pikiran. Kami meminta kepada para pembaca agar
biasa memberikan kritik dan saran kepada kami.

Kami berharap, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi pembaca mengenai surveilans penyakit difteri.

Kami meminta maaf kepada pembaca apabila ada kesalahan kata dalam
penulisan makalah ini.

Kupang, 21 September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................
Daftar Isi..........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................
A. Latar Belakang......................................................................
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Definisi Operasional
B. Tujuan Surveilans Difteri
C. Kegiatan Surveilans Difteri
D. Alur Pelaporan Surveilans Difteri
E. Form Surveilans Difteri
BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium
diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada
tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan
juga pada kulit.
Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae.
Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah,
melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala
berupa infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri
tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5o C), dan ditemui
adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau
laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat.
Sebanyak 94% kasus Difteri mengenai tonsil dan faring. Pada keadaan
lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas, stridor dan
pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian
biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung,
serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal. Apabila tidak diobati dan penderita
tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %, sedangkan
dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%, (CDC Manual for the Surveilans
of Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian Difteri ratarata 5 – 10%
pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun) (CDC
Atlanta, 2016).
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat
sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-
negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di
Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus
SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6%
dari total kasus SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada
tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015
dan 591 pada tahun 2016).
Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada
tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016
menjadi 100 Kabupaten/ Kota. Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada
tahun 1940an, maka secara global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus
Difteri menurun lebih dari 90%. Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun
1976 dan diberikan 3 kali, yaitu pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan. Selanjutnya
Imunisasi lanjutan DT dimasukkan kedalam program Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk semakin meningkatkan perlindungan
terhadap penyakit Difteri, imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke
dalam program imunisasi rutin pada usia 18 bulan sejak tahun 2014, dan
imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak sekolah dasar.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu surveilans difteri?


2. Apa tujuan dilakukan surveilans difteri?
3. Bagaimana kegiatan surveilans difteri?
4. Bagaimana form dari surveilans difteri?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu surveilans penyakit difteri.


2. Untuk mengetahui tujuan surveilans difteri.
3. Untuk mengetahui sumber data surveilans difteri.
4. Untuk mengetahui jejaring kerja surveilans difteri.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Definisi Operasional


Difteri merupakan penyakit bakteri akut yang menyerang faring, laring, tonsil,
hidung, terkadang menyerang selaput lendir atau kulit, konjungtiva, dan vagina
(Chin, 2000). Difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya kejadian luar biasa (KLB) dimana munculnya satu kasus difteri sudah
dikategorikan sebagai KLB.
Difteri juga adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae, yang dapat menghasilkan eksotoksin bila diinsersi Corynephage
yang membawa gen diphtheria toxin (dtx). Corynebacterium ulcerans dan
Corynebacterium pseudotuberculosis juga dapat menghasilkan eksotoksin dan
menyebabkan penyakit yang mirip difteri (diphtheria - like diseases).
 Surveilans difteri adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit Difteri
serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan serta penularan
penyakit Difteri untuk memperoleh dan memberikan informasi guna
mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan Difteri secara
efektif dan efisien.
 Kasus observasi difteri adalah seseorang dengan gejala adanya infeksi
saluran pernafasan atas dan pseudomembran
 Suspek difteri adalah seseorang dengan gejala faringitis, tonsilitis,
laringitis, trakeitis atau kombinasinya disertai demam atau tanpa demam
dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah
berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.

B. Tujuan Surveilans Difteri


Tujuan surveilans difteri yaitu :
1. Melakukan deteksi dini kasus difteri
2. Melakukan Penyelidikan Epidemiologi setiap suspek difteri untuk
mencegah difteri yang lebih luas
3. Menyediakan informasi epidemiologis untuk memonitor tindakan
pencegahan dan penanggulangan serta penyebaran kasus difteri
disuatu wilayah
4. Sebagai evaluasi keberhasilan program imunisasi
C. Kegiatan Surveilans Difteri
Kegiatan surveilans meliputi beberapa hal sebagai berikut :
1. Deteksi dini kasus dan pencatatan
Penemuan kasus dilaksanakan di semua fasilitas pelayanan
kesehatan baik tingkat primer sampai tingkat rujukan akhir, baik
pemerintah maupun swasta.
Setiap kasus observasi difteri dirujuk ke rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan dan secara bersamaan dinas kesehatan
kab/kota mengkonsultasikan ke ahli untuk mengakkan diagnosis
menggunakan Form DIF-6. Apabila secara klinis ahli mendiagnosis
sebagai suspek difteri, maka kasus suspek difteri tersebut harus
mendapatkan perawatan sesuai dengan protokol tatalaksana kasus
difteri dan diambil spesimennya sebleum diberikan antibiotik.
Selanjutnya dinkes kab/kota bersama dengan puskesmas setempat
melakukan pelacakan terhadap suspek kasus difteri(Form DIF-1) da
dinkes kab/kota melaporkan hasil pelacakan epidemiologi (Form
DIF-1) ke dinkes provinsi.

2. Identifikasi kontak erat


Kontak erat adalah semua orang yang pernah kontak dengan kasus
suspek difteri sejak 10 hari sebelum timbul gejala sakit menelan
sampai 2 hari setelah pengobatan (masa penularan). Kategori kontak
erat adalah :
 Kontak erat satu rumah : tidur satu atap
 Kontak erat satu kamar di asrama
 Kontak erat teman satu kelas, guru, teman bermain
 Kontak erat satu ruang kerja
 Kontak erat tetanngga,kerabat, pengasuh yang secara teratur
mengunjungi rumah
 Petugas kesehatan di lapangan dan di RS
 Pendamping kasus selama dirawat

3. Pelaporan dan umpan balik


Semua unit pelapor baik pemerintah maupun swasta, wajib
melaporkan kasus difteri secara berjenjang. Pelaporan kasus difteri
dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Pelaporan 24 jam
Puskesmas dan Rumah Sakit melaporkan kasus observasi
difteri ke dinkes kab/kota dalam kurun waktu 1x24 jamsejak
laporan diterima menggunakan form W1 melalui mekanisme
pelaporan yang ditentukan oleh dinkes kab/kota. Selanjutnya
dinkes kab/kota atau dinkes provinsi mengkonsultasikan ke
tim ahli provinsi dalam kurun waktu 1x24 jam sejak lapora
diterima menggunakan dorm DIF-6.
Dinas kesehatan provinsi melaporkan kasus suspek difteri
yang telah diverifikasi oleh tim ahli provinsi ke pusat dalam
kurun waktu 1x24 jam sejak laporan diterima menggunakan
form W1 melalui email
b) Pelaporan mingguan
Dinkes kab/kota melaporkan setiap kasus suspek difteri ke
dinkes provinsi paling lambat setiap hari Kamis di setiap
minggunya menggunakan form W2 dan melampirkan form
DIF-1.
Dinkes provinsi melaporkan setiap kasus suspek difteri ke
pusat paling lambat setiap hari Jumat di setiap minnggunya
dengan melampirkan form W2 dan form DIF-1 melalui
email.
c) Pelaporan bulanan
Dinkes kab/kota merekap setiap kasus suspek difteri yang
sudah tercatat di form DIF-1 ke formulir list kasus difteri
kabupaten (form DIF-3) dan kemudian melaporkan ke
dinkes provinsi paling lambat setiap tanggal 5 di setiap
bulannya.
Dinkes provinsi merekap setiap kasus suspek difteri yang
bersumber dari form DIF-3 masing-masing kab/kota ke
formulir list kasus difteri provinsi (form DIF-3) dan
kemudian melaporkan ke pusat paling lambat setiap tanggal
15 di setiap bulannya melalui email.

4. Analisis data
Analisis data dalam surveilans difteri dilakukan dengan tujuan
untuk :
 Evaluasi pelaksanaan surveilans difteri
 Mengetahui besar masalah difteri di suatu wilayah tertentu
 Memahami pola penyebaran dan gambaran epidemiologi
difteri
 Memantau keberhasilan upaya pencegahan dan
penanggulangannya yang telah dilakukan
 Menentukan strategi intervensi serta menyusun rencana
upaya pencegahan dan penanggualangan lebih lanjut.
Analisis data kasus difteri tingkat provinsi dan kabupaten
dilakukan menurut variabel waktu, tempat dan orang.
5. Pemeriksaan dan jejaring laboratorium
Dalam kegiatan surveiilans difteri pemeriksaan laboratorium
diperlukan untuk menentukan klasifikasi kasus. Spesimen kontak
erat dapat diperiksa jika diperlukan sesuai kajian epidemiologi.
Jejaring Laboratorium Difteri dibedakan atas:
 Laboratorium Pemeriksa untuk pemeriksaan kultur kasus
dan kontak.Laboratorium ini melakukan pemeriksaan kultur
Corynebacterium diphtheriae dari tersangka/ suspect difteri
dan kontak erat yg telah ditentukan oleh petugas surveilans.
Untuk kasus indeks kemudian dirujuk ke laboratorium
rujukan nasional untuk dilakukan test toxigenic (Elek tes)
Laboratorium pemeriksa ini adalah semua laboratorium di
Indonesia (BBLK, B/BTKLPP, Laboratorium provinsi,
Laboratorium RS atau Laboratorium lainnya) yang dapat
melakukan pemeriksaan kultur.
 Laboratorium Nasional Rujukan Regional merupakan
laboratorium untuk pemeriksaan kultur dan isolasi
Corynebacterium diphtheriae, uji toksigenitas dengan PCR
dan Elek test, serologi serta pemeriksaan sekuensing/
ribotyping pada kasus, termasuk untuk kasus yang telah
diberikan terapi antibiotik. Laboratorium ini melakukan
pemeriksaan kultur dan test toxigenic/ Elek test, PCR dari
tersangka/suspect difteri yg telah di tentukan oleh petugas
surveilans, serta mengeluarkan hasil resmi dari pemeriksaan
tersebut.

6. Monitoring dan evaluasi surveilans difteri


Monitoring dilakukan di setiap tahap kegiatan surveilans
epidemiologi difteri mulai penemuan kasus, pelacakan dan tindak
lanjut untuk mengetahui :
 Sensitifitas penemuan kasus suspek difteri
 Kualitas pengambilan dan pengiriman spesimen
 Kualitas pelacakan kasus dan kontak erat
 Kualitas pemberian keoprofilaksis terhadap kontak erat
 Kualitas tatalaksana kasus
 Kualitas program pelaksanaan imunisasi
 Kualitas pencatatan dan pelaporan

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui keberhasilan intervensi


yang sudah dilakukan dan identifikasi dini daerah risiko tinggi
untuk diintervensi lebih lanjut, dapat dilakukan 3-6 bulan
sekali. Dalam evaluasi melibatkan lintas program (imunisasi,
surveilans,promkes,perencanaan) dan lintas sektor (rumah
sakit, klinisi, pemda, bapeda,dll).

Kegiatan surveilans tersebut (nomor 1-6) dilaksanakan di semua tingkatan


administrasi Pemerintah yaitu Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota dan juga di
Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai berikut :

1. Nasional
Kegiatan Pokok :
a. Pencatatan dan pelaporan
• Melakukan entri data kasus individu dari Dinas Kesehatan Provinsi
yang dilaporkan ke Ditjen P2P.
b. Pengolahan, analisa data, dan rekomendasi.
• Setiap bulan dilakukan analisa dan penyajian data untuk mengetahui
adanya peningkatan atau penurunan kasus menurut variabel
epidemiologi berdasarkan wilayah kejadian.
c. Umpan balik
Memberikan hasil kajian minimal setiap bulan kepada provinsi.
d. Diseminasi Informasi
Memberikan hasil kajian berdasarkan data epidemiologi minimal 3 bulan
sekali kepada lintas program dan sektor terkait
e. Dukungan logistik buffer pusat dan pembiayaan operasional

2. Provinsi
Kegiatan Pokok:
a. Menyediakan dukungan logistik
(APD, media transport spesimen, Anti difteriserum/ADS dan
eritromisin) serta biaya operasional (Penyelidikan Epidemiologi,
Monev, dll).
b. Pencatatan dan pelaporan
• Melakukan kompilasi daftar kasus individu dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang dilaporkan ke Ditjen P2P (Subdit surveilans)
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalia Difteri Edisi I/2017
c. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.
• Setiap bulan dilakukan analisa dan penyajian data untuk mengetahui
adanya peningkatan atau penurunan kasus menurut variable
epidemiologi berdasarkan wilayah kejadian.
d. Umpan balik
Memberikan hasil kajian minimal setiap 3 bulan kepada pihak terkait:
1) Kabupaten/Kota
2) Lintas Program dan Lintas Sektor Terkait.
3. Kabupaten/Kota
Kegiatan Pokok:
a. Menyediakan dukungan logistik (APD, media transport spesimen, Anti
difteri serum/ ADS dan eritromisin) serta biaya operasional
(Penyelidikan Epidemiologi, Monev, dll).
b. Penenemuan kasus
•Setiap minggu petugas Dinas kesehatan Kabupaten/Kota mengunjungi
rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan secara
aktif kasus Difteri (kegiatan diintegrasikan dengan Surveilans AFP dan
PD3I lainnya).
c. Pencatatan dan pelaporan
•Melakukan kompilasi daftar kasus individu dari Puskesmas dan Rumah
Sakit yang dilaporkan secara berjenjang ke Ditjen P2P cq.Subdit
surveilans.
d. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.
• Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mengetahui adanya
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
e. Umpan Balik
Memberikan hasil kajian minimal setiap 3 bulan kepada pihak terkait:
1. Puskesmas
2. Rumah Sakit
3. Lintas Program dan Lintas Sektor terkait.

4. Tingkat Puskesmas
Kegiatan Pokok:
a. Penemuan kasus
• Kasus Difteri dapat ditemukan di pelayanan statis (puskesmas dan
RS) maupun kunjungan lapangan di wilayah kerja Puskesmas.
b. Pengambilan dan pengiriman specimen
Setiap suspek Difteri harus dilakukan konfirmasi laboratorium.
Pengambilan sampel Difteri dilakukan oleh petugas kesehatan terlatih.
c. Pencatatan dan Pelaporan
• Setiap suspek Difteri dilaporkan sebagai KLB dalam waktu 1 x 24
jam menggunakan format W1 dan dicatat pada format daftar kasus
individu dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota.
d. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.
• Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mengetahui adanya
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalia Difteri Edisi I/2017
5. Rumah Sakit
Kegiatan Pokok:
a. Penemuan kasus
1. Suspek Difteri dapat ditemukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya yang merawat kasus di rumah sakit.
2. Setiap suspek difteri yang ditemukan di Rumah Sakit dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui telpon/SMS
b. Menyediakan ruang isolasi untuk perawatan
c. Menyediakan logistik APD (Masker bedah, penutup kepala, sarung
tangan dan gaun), obat-obatan
d. Melakukan pengambilan specimen laboratorium
e. Pencatatan dan Pelaporan
Setiap kasus Difteri yang ditemukan dicatat kedalam format daftar kasus
individu (format terlampir) dan dibuat rekapitulasi pada formulir STP
RS kemudian ke dua format tersebut dilaporkan setiap bulan ke Dinas
kesehatan Kabupaten/kota.

D. Alur Pelaporan Surveilans Difteri


E. Form Surveilans Difteri
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteri adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae, yang dapat menghasilkan eksotoksin bila
diinsersi Corynephage yang membawa gen diphtheria toxin (dtx).
Corynebacterium ulcerans dan Corynebacterium pseudotuberculosis juga
dapat menghasilkan eksotoksin dan menyebabkan penyakit yang mirip
difteri (diphtheria - like diseases).
Kelompok risiko tinggi penyakit difteri terutama adalah anak-anak
(golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia. Dewasa ini di era vaksinasi
terjadi perubahan epidemiologi dimana penyakit difteri juga dapat terjadi
pada orang dewasa. Kejadian epidemi atau peningkatan kasus difteri dapat
terjadi pada suatu daerah yang sebelumnya sudah dinyatakan terbebas dari
difteri. Faktor resiko yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi adalah
sebagai berikut: adanya penderita difteri atau carier yang datang dari
daerah endemik difteri, terjadinya penurunan cakupan imunisasi, dan
terdapat perubahan virulensi bakteri.

B. Saran

1. Melakukan penyuluhan secara rutin, tidak hanya ketika sudah terjadi kasus,
tetapi dilakukan secara berkelanjutan
2. Memberikan pelatihan kepada petugas kesehatan di tingkat Puskesmas dan
bidan desa pelatihan surveilans, pelatihan pelaporan kronologi kasus,
pelatihan manajemen cold chain, dan pelatihan evaluasi medis
3. Membuat pola pengawasan konsumsi eritromisin bagi kontak erat sehingga
tidak ada yang drop out.
4. Melakukan pengawasan kepada kontak erat dalam mencari gejala dan
tanda difteri selama 7 hari.
DAFTAR PUSTAKA

 Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Difteri. In : RI DK, editor. Jakarta : Pusat Data dan Informasi;2017.
 Keputusan Menteri Kesehatan RI. No : 1116/MENKES/SK/VIII/2003.
Pedoman Penyelengggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
(Jakarta: Menkes RI. 2007).
 Keputusan Menteri Kesehatan RI. Pedoman Surveilans dan
Penanggulangan Difteri. Edisi 2018.

Anda mungkin juga menyukai