Menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBI) : # Desas-desus: kabar angin, percakapan orang banyak (yang belum tentu benar dan tidaknya serta tidak diketahui sumbernya). # Gosip: -pembicaraan non formal atau cerita tentang kehidupan pribadi orang lai n, yang bersifat tidak umum atau bahkan tidak benar # Isu: kabar yang tidak jelas asal-usulnya dan tidak terjamin kebenarannya; kaba r angin; desas-desus. # rumor: merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, rumour. Menurut Oxford Adva nced Leraner's Dictionary of Current English artinya general talk, gossip, hears ay, (statement, report, story) which cannot be verified and is of doubtful accur acy. Maknanya sama, tapi orang sering menyebut isu dengan berbagai "baju": kabar angi n, desas-desus, dan rumor. Ada pula yang mengatakan isu sama dengan gosip. Padah al, Padahal penyebutan isu itu sendiri sebenarnya salah kaprah. "Kalau mengacu k e bahasa Inggris, isu 'kan artinya topik atau pokok persoalan," Isu dalam bahasa aslinya tidak ada sangkut pautnya dengan desas-desus atau selentingan yang nota bene mengandung konotasi ketidakpastian. Sementara itu dalam artikelnya di Majalah Matra Myra Sidharta, psikolog dan peng amat masalah sosial, mencoba memberi batasan antara gosip, desas-desus (kabar an gin atau kabar burung), dan isu. "Desas-desus bisa jadi gosip, tetapi gosip tida k bisa menjadi kabar angin," tulisnya. Menurut Sarlito, berbagai istilah di atas esensinya sama: kabar yang belum jelas kebenarannya. Sedangkan Dr. Paulus Wirutomo, Ketua Program Studi Sosiologi Faku ltas Pascasarjana Universitas Indonesia, menyebutnya sebagai berita yang sumber serta isinya belum jelas. "Isinya bisa benar, bisa pula salah," jelas Paulus. Tidak transparan Kita tinggalkan saja perdebatan soal perbedaan makna berbagai istilah tadi, dan lebih baik kita serahkan urusan definisi itu pada para ahli bahasa. Yang pasti, ketiganya sering kali membuat petaka orang yang menjadi sasaran ataupun orang la in yang tak tahu menahu duduk permasalahannya. Meski tidak selalu dimaksudkan untuk membuat kekacauan, tapi isu bisa menjadi se njata pamungkas yang akan mengacaubalaukan sistem kemasyarakatan suatu bangsa. B ahkan di pasar modal, suka atau tidak suka, isu atau sering disebut rumor merupa kan price sensitive information. Dengan begitu rumor bisa menyebabkan masyarakat pemodal mengalami disorientasi, kebingungan, atau kepanikan yang bisa membuat p engambilan keputusan sebuah investasi keliru. Sementara di kalangan selebriti, kabar seperti itu dikemas atau diberi baju bern ama gosip. Ada yang bilang gosip sebagai "digosok makin sip". Ketika seorang sel ebriti sudah terpanah oleh gosip, posisinya bak buah simalakama. Jika diam, bisa ditafsirkan sebagai pembenaran terhadap gosip yang melanda dirinya. Kalau diban tah, persoalan sering malah jadi melebar. Masih ingat dengan gosip yang melanda artis Dessy Ratnasari?ato yang lainnya. Pada tingkatan lain, ramalan pun bisa berubah menjadi rumor. Tapi ramalan masih berguna sebab bisa memberikan harapan. tapi tentunya ramalan yg bener donk dan s esuai agama. Perlu diingat, harapan membuat manusia terus hidup dan bersemangat. Pertanyaannya, mengapa energi isu bisa sedemikian perkasanya, terutama akhir-akh ir ini, sampai sanggup mempengaruhi berbagai keadaan dalam kehidupan masyarakat? Sebenarnya hal itu karena faktor informasi yang tidak transparan. "Semua orang b utuh informasi. Itu adalah sifat dasar manusia. Kalau tidak memperoleh lewat jal ur resmi, ia akan mencari informasi dari sumber lain." Sumber lain itulah yang m enyebabkan tumbuhnya isu. "Ketika 'otoritas formal' terpinggirkan, isu berperan penting menjadi pemegang ' otoritas substansial'. Sementara itu ketika terjadi kegelapan dalam proses komun ikasi publik, maka bisik-bisik pun lebih didengar dan dipercaya oleh khalayak." Dalam kolomnya di Majalah Gatra, Afan Gaffar mengemukakan dua hal penyebab kecen derungan isu berkembang kuat dalam masyarakat kita. Pertama, sistem politik kita memang tak memungkinkan terjadinya transparansi dalam berbagai hal. Kedua, terc iptanya kecenderungan berkaitan dengan kebiasaan dan budaya politik kita. Demokr asi yang berjalan dalam sistem politik Indonesia memang belum memberikan peluang bagi masyarakat untuk membicarakan sesuatu secara terbuka dan transparan. Di sisi lain, diskusi publik yang menandai setiap kebijaksanaan publik dalam seb uah demokrasi tak terjadi sebagaimana mestinya. Tak jarang, lahirnya suatu kebij aksanaan didahului gosip-gosip tertentu, dan ternyata gosip itu menjadi kenyataa n. Akibatnya, masyarakat lebih percaya pada gosip ketimbang pada informasi resmi yang dikeluarkan secara formal pula. Rasa cemas juga merupakan salah satu penyebab mengapa orang mudah menelan rumor. Akarnya adalah ketidakpastian dalam berbagai kehidupan yang dialaminya. Ingatan manusia tak sempurna Benang merah dari beberapa pendapat tersebut memang soal kepastian. "Sepanjang s ejarah manusia mendambakan aneka kepastian dalam hidupnya." Sebagian besar kepas tian itu diraih melalui tindakan mempercayai sesuatu. Masalah timbul manakala li ngkungan sehari-hari sudah tidak menyediakan sesuatu yang bisa dipercayai. Masya rakat akan dilanda krisis kepercayaan! Inilah yang terjadi dalam masyarakat seka rang ini. Ketidakpastian dalam berbagai segi kehidupan akan menimbulkan ketegangan, dan or ang yang tegang cenderung panik. Dalam kepanikan, rasionalitasnya hilang dan des as-desus dianggapnya sebagai kebenaran. Dalam kondisi yang serba tidak jelas itu , rumor menjadi katup pelepasan dari situasi ketidakpastian. Dalam masyarakat Indonesia, ketidakpastian sebenarnya sudah mengakar. Jika menol eh ke belakang, selama ini bibit-bibit ketidakpastian sudah melekat dalam kehidu pan masyarakat. Betapa sering kita menemui ketidakkonsistenan informasi dalam ti ket transportasi umum, misalnya. Dikatakan tiket sudah habis, setelah duduk tern yata masih banyak kursi kosong. Yang lebih parah adalah penggunaan kata-kata ter tentu agar kesannya lebih halus dan sopan. Gejala euphemism, seperti tercermin d alam ungkapan "disesuaikan" ataupun "diamankan" dari para pejabat, justru semaki n menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap mereka. Perjalanan isu tak jauh dari gambaran di atas. Kadar kepastian informasi bisa ca cat atau bertambah utuh, tergantung siapa yang menyebarkannya. Perlu diingat, ma kin samar beritanya makin mudah juga menyebabkan macam-macam emosi negatif pada orang yang terlibat. Rumor juga bisa dikatakan sebagai indikasi bahwa ada sesuatu yang salah dalam ma syarakat. "Kalau yang bermunculan rumor politik, berarti terjadi ketidakstabilan politik dalam masyarakat." Emha menegaskan, gosip merupakan refleksi dari keterbatasan pengetahuan. Sebuah gosip bisa muncul dan memanas, sangat berbanding sejajar dengan ketidakpastian i nformasi. "Semakin tinggi ketidakpastian, semakin tinggi kadar dan kuantitas gos ip. Ketidapastian ini juga berlapis-lapis," papar Emha. Isu lebih gampang membakar masyarakat kurang terdidik. "Umumnya mereka tak cukup kritis dicekoki dengan informasi yang ngawur dan tidak logis. Sedikit saja ada berita yang membangkitkan sentimen kesukuan atau agama, mereka gampang bereaksi, " kata Indria Samego, peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kalau me nengok sejarah ke belakang, memang banyak isu bernuansakan SARA yang mengakibatk an pergolakan rakyat kelas bawah. Kerusuhan di Banjarmasin dan Situbondo, misaln ya. Isu ekonomi dan politik campur aduk Isu, sebenarnya fenomena manusiawi. Itulah sebabnya, "Isu bisa berhembus di bida ng kehidupan apa pun. Politik, ekonomi, atau sosial. Dari yang berskala besar sa mpai tingkat keluarga." Di tengah fakta saling ketergantungan dan hubungan timba l balik kehidupan antarmanusia dan antarmasyarakat dalam era globalisasi dan era informasi, isu yang dihembuskan di suatu bidang kehidupan pasti membuahkan peng aruh pada bidang kehidupan lainnya. Perbaiki komunikasi Kepanikan dan kerusuhan akibat tidak rasionalnya pemikiran massa merupakan dampa k dari tersebarnya isu. Dengan berkembangnya teknologi informasi, isu bisa menye bar tidak saja dari mulut ke mulut tapi melalui selebaran, telepon, faksimili, s erta Internet. Banyak tujuan yang dibebankan di pundak isu. Entah untuk diri si penyebar atau sekelompok orang tertentu. Bisa untuk menjatuhkan seseorang atau s ekadar teror, seperti isu bom beberapa bulan yang lalu. Di atas kertas, yang bertanggung jawab atas dampak isu adalah si pencetus isu. M asalahnya, dalam praktik sangat sulit mencari siapa pencetus isu. "Yang lebih pe nting, fenomena isu niscaya ditangkap atau dipersepsikan sebagai pertanda berkec amuknya dua faktor tadi, yakni krisis kepercayaan dan keterhambatan komunikasi a spirasi, yang berlangsung kronis di tengah kehidupan publik sehari-hari." Jika s udah begitu, sekadar upaya represif untuk menemukan dan menghukum pencetus isu t idak akan menghilangkan fenomena isu. Sarlito lebih melihat bukan pada siapa pelempar isu. Akibat isu lebih penting. I a kemudian memberi contoh sebuah dongeng. Di suatu desa, ada anak kecil yang usi l. Suatu hari ia berteriak-teriak, "Macan ... macan ... macan!" Rakyat pun berbo ndong-bondong ingin menolong anak kecil itu. Tapi apa yang terjadi? Macan ternya ta tidak ada, sementara anak kecil tadi malah tertawa-tawa sembari berkata, "Ter tipu kalian ....". Kali kedua masyarakat masih percaya. Namun, ketika anak kecil itu benar-benar bertemu dengan macan, teriakannya tidak digubris masyarakat lag i. Alhasil, matilah si anak usil diterkam macan. Menarik pula belajar dari cara penanganan meredam isu yang berhasil. Ketika Sudo no Salim diisukan meninggal, segera ia tampil di muka publik dan disorot oleh sa lah satu stasiun TV swasta. "Saya ndak mati to!" ujarnya waktu itu, sambil menek ankan bahwa uang nasabah benar-benar aman. Juga kasus lemak babi. Indofood seger a mengundang ulama dari Al-Washliyah dan Majelis Ulama Indonesia ke pabriknya un tuk melihat proses pembuatan mie. Mereka pun disuguhi mie cepat saji itu. Tak lu pa wartawan pun diundang. Langkah efektif serupa diterapkan pula oleh Nestle. Agar isu tak mudah berkembang, mau tak mau harus ada perbaikan cara berkomunikas i. "Informasi yang selama ini disampaikan ke publik tak didasarkan pada kejujura n, melainkan pada kepentingan." Dalam bahasa Paulus, "Untuk memperoleh kepercaya an masyarakat, pihak-pihak yang menjadi kiblat kehidupan masyarakat haruslah kon sisten. Tentu melalui tindakan-tindakan yang jelas." Yang tak kalah pentingnya, kaum elite ikut dilibatkan. "Susah untuk menghimbau masyarakat tanpa merangkul k aum ini," tambah Paulus. Bila masyarakat mendengar adanya imbauan, selama pengimbau sendiri tidak konsist en dengan tindakannya, yang terjadi ibarat berteriak-teriak di padang gurun. Pih ak pengimbau harus jelas dan konsisten dalam tindakannya. "Yang jelas transparan si. Kalau informasi itu transparan, dibom isu seberapa pun banyaknya masyarakat tak akan terpengaruh," tegas Sarlito. Kalau rasa percaya pada sumber resmi sanga t tinggi, akan sangat sulit bagi masuknya desas-desus yang tak menentu, tulis Dr . Djamaluddin Ancok dalam Majalah Tiara. Kepastian hukum juga perlu diperhatikan mengingat hukum merupakan aturan yang mengikat masyarakat dalam suatu negara. Pertanyaannya skrg, apakah kita pernah mengalami ato dilanda isu, gosip, dan rum or2? jgn buat isu n gosip baru ya...hehehehehe