Anda di halaman 1dari 18

BBM FAKTOR RISIKO PENYAKIT WILAYAH LAHAN BASAH

Oleh :
MERRYLINDA PERMATA (1710912420013)
MINATI WIDIYASTUTI (1710912420014)

KELOMPOK 4

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


MAHASISWA ALIH JENJANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2018
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah-Nyalah sehingga kelompok 4 dapat menyelesaikan
tugas Makalah ini tepat pada waktunya.

Selama menyusun makalah ini, kelompok telah mendapatkan bantuan


dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
kelompok menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya pada
semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

Segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan agar dapat
membuat makalah yang lebih baik dimasa mendatang.

Banjarbaru, Februari 2018

Kelompok 4
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Definisi lahan basah dapat diartikan sebagai kawasan dimana air merupakan
faktor utama yang mengendalikan lingkungan maupun tumbuhan dan satwa
yang berasosiasi di dalamnya. Lahan basah tersebut adalah daerah-daerah
rawa, payau, lahan gambut atau perairan, baik yang bersifat alami maupun
buatan, tetap ataupun sementara, dengan perairannya yang tergenang
ataupun mengalir, tawar, agak asin ataupun asin, termasuk daerah-daerah
peraitran laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air
surut.

Indonesia sebagai salah satu negara memiliki kawasan lahan basah yang
sangat luas dan berkepentingan dalam pengelolaan kawasan lahan basah
secara lestari dan berkelanjutan, berbagai strategi dan kebijakan pengelolaan
lahan basah secara nasional telah diterbitkan untuk memandu dan
mengarahkan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan basah secara
bijaksana bagi seluruh pemangku kepentingan.

Di Indonesia, lahan basah utama diklasifikasikan sebagai Rawa, Hutan


mangrove, Terumbu karang, Padang lamun, Danau, Muara, Sungai, Sawah,
Tambak dan Kolam garam. Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah
komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan
hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antar-komponen dan di dalam tiap
komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi tertentu,
dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada
skala ekosistem (Notohadiprawiro, 2017).
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang tergolong Arthropod - Borne Virus, genus Flavivirus, dan family
Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama
Aedes aegypti (infodatin, 2016). Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun
dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Munculnya penyakit ini
berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes RI,
2016).

Menurut data WHO (2015) Penyakit demam berdarah dengue pertama kali
dilaporkan di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya
menyebar ke berbagai negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang
mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada
lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD.
Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1,2
juta kasus ditahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013
dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus
merupakan DBD berat. Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin
meningkat, seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari
980 kasus di hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus di
hampir 60 negara tahun 2000-2009 (WHO, 2015).

Menurut Soedarto (2015) Indonesia adalah daerah endemis DBD dan


mengalami epidemik sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan dengan
banyaknya genangan air bersih yang menjadi sarang nyamuk, mobilitas
penduduk yang tinggi dan cepatnya trasportasi antar daerah, menyebabkan
sering terjadinya demam berdarah dengue. Indonesia termasuk dalam salah
satu Negara yang endemik demam berdarah dengue karena jumlah
penderitanya yang terus menerus bertambah dan penyebarannya semakin
luas (Sungkar, 2015).
DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis termasuk di Indonesia,
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dilaporkan pertama kali di Surabaya
pada tahun 1968 dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang

diantaranya meninggal dunia (Depkes RI, 2015). Kemenkes RI (2016) mencatat


di tahun 2015 pada bulan Oktober ada 3.219 kasus DBD dengan kematian
mencapai 32 jiwa, sementara November ada 2.921 kasus dengan 37 angka
kematian, dan Desember 1.104 kasus dengan 31 kematian. Dibandingkan
dengan tahun 2014 pada Oktober tercatat 8.149 kasus dengan 81 kematian,
November 7.877 kasus dengan 66 kematian, dan Desember 7.856 kasus
dengan 50 kematian.
(Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017)

Sepanjang 2017 dari Januari hingga Oktober, tercatat sudah ada 45 kasus
demam berdarah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Belum ada korban
meninggal dunia. Meski begitu, bukan berarti demam dengue akibat gigitan
nyamuk Aedes Aegypti itu bisa diremehkan. Sebab, Dinas Kesehatan
Banjarbaru mencatat, lonjakan terjadi pada bulan Maret dengan 12 kasus. Atau
pada masa peralihan musim hujan ke kemarau. Serupa dengan November,
dimana musim kemarau juga sudah mendekati akhir. Hujan dengan intensitas
sedang dan tinggi mulai sering terjadi. Kasus tertinggi terjadi pada Maret.
Rinciannya, di Landasan Ulin tercatat 12 kasus DBD, Liang Anggang tiga kasus,
Cempaka enam kasus, Banjarbaru Utara delapan kasus, dan terbanyak di
Banjarbaru Selatan dengan 16 kasus (Prokal, 2018).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hasil analisa kasus Demam Berdarah Dengue sebagai salah
satu penyakit di wilayah lahan basah daerah Banjarbaru, Kalimantan Selatan?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk menganalisa kasus Demam Berdarah Dengue sebagai salah
satu penyakit di wilayah lahan basah daerah Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

D. MANFAAT
1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat diharapkan menjadi literature tambahan bagi


mahasiswa tentang penyyakit di wilayah lahan basah : Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan pengembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan
khususnya pada mata kuliah BBM Faktor Risiko Penyakit di Wilayah Lahan
Basah.

2. Bagi Mahasiswa

Memberikan informasi yang bermanfaat bagi mahasiswa kesehatan


masyarakat untuk menambah tingkat pengetahuan mengenai Demam
Berdarah Dengue sebagai penyakit di wilayah lahan basah.
BAB II

ANALISA

A. Analisa Hubungan Teori Blum dengan Kejadian Demam Berdarah


Dengue di Wilayah Lahan Basah di Kalimantan Selatan

Menurut Hendrik L. Blum faktor – faktor yang mempengaruhi status


kesehatan antara lain : genetik, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan.
4 faktor ini saling mempengaruhi satu sama lainnya. Apabila dihubungkan
dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD), faktor lingkungan yang
kurang baik seperti pembuangan sampah, penyediaan sarana penampungan
air bersih akan mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti
khususnya jentik nyamuk. Sedangkan perilaku berperan pula dalam lingkaran
hidup nyamuk Aedes aegypti terutama dalam pemutusan rantai kehidupan
(daur hidup) atau peningkatan perkembangan nyamuk Aedes aegypti, penular
penyakit DBD.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yudhastuti dan Vidiyani


(2015) mengenai hubungan kondisi lingkungan, kontainer, dan faktor perilaku
masyarakat dengan keberadaan nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis DBD
di Surabaya didapatkan hasil bahwa kondisi lingkungan dan jenis kontainer
yang digunakan mempunyai hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk
Aedes aegypti. Selain itu faktor perilaku masyarakat yaitu pengetahuan (91,4%
kurang baik) dan tindakan (51% kurang baik) masyarakat dalam mengurangi
kepadatan jentik Aedes aegypti mempunyai hubungan dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti. Sedangkan sikap masyarakat yang baik (89%) tidak ada
hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.

Adapun menurut kelompok kami, kaitan kejadian Demam Berdarah Dengue


jika dikaitkan dengan teori Blum adalah sebagai berikut :
1. Genetik
Keturunan (genetik) pada manusia merupakan faktor yang telah ada dalam
diri manusia yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit
keturunan seperti diabetes melitus dan asma bronehial.
Sedangkan pada nyamuk sendiri sebagai agent penyakit, studi epidemiologis
menunjukkan adanya perbedaan suseptibiltas terhadap DBD pada berbagai
populasi etnis. Pada epidemi dengue di Kuba tahun 1981 dan 2001, keturunan
Afrika terlihat relatif protektif terhadap DBD/ SSD, tetapi tidak terhadap DD.
Penelitian di Brazil juga menunjukkan bahwa etnis AfroBrazil dan keturunan
Afrika protektif terhadap DBD dengan odds ratio (OR) 0,28 dan 0,13. Di Haiti,
pada tahun 1994-1999, tidak ada kasus DBD/SSD walaupun terdapat sirkulasi
intensif 3 serotipe virus dengue. Di Afrika, walaupun terdapat sirkulasi
sporadis virus dengue, belum pernah dilaporkan terjadi epidemi DBD. Semua
data tersebut mendukung hipotesis bahwa faktor genetik, seperti mutasi dan
polimorfi sme, ikut memengaruhi suseptibiltas seseorang terhadap DBD.
Analisis : Jika tia musim hujan, dimana cuaca berubah atau iklim berubah, dapat
mengakibatkan daya tahan seseorang menurun. Hal ini dapat meningkatkan
risiko terkena DBD.

2. Lingkungan
a. Lingkungan Biologi
Nyamuk Aedes Aegypti pada perkembangannya mengalami metamorfosis
lengkap, mulai dari telur-larva-pupa-dewasa. Telur nyamuk Aedes Aegypti
berukuran kurang lebih 50 mikron, berwarna hitam berbentuk oval seperti
terpedo. Bila berada di dalam air dengan suhu 20-40 ⁰C akan menetas menjadi
larva instar I dalam waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum larva instar I akan
terus berkembang menjadi instar II, III dan IV yang kemudian menjadi nyamuk
dewasa dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan dan perkembangan nyamuk
Aedes Aegypti dari mulai telur hingga menjadi nyamuk dewasa memerlukan
waktu 7-14 hari. Nyamuk jantan lebih cepat menetas bila dibandingkan dengan
nyamuk betina. Larva nyamuk Aedes Aegypti lebih banyak ditemukan
berturut-turut pada bejana yang terbuat dari logam, tanah liat, semen dan
plastik. Lingkungan biologi yang mempengaruhi tempat perindukan adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman di pekarangan yang mempengaruhi
kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah.
Analisis : Di daerah lahan basah di Kalimantan Selatan, tepatnya Banjarbaru,
terjadinya kasus DBD mungkin diseebabkan oleh banyaknya rawa, hutan dan
taman di pemukiman, lahan gamut dan bekas galian tambang. Daerah berair
tersebut dapat menjadi wadah nyamuk untuk berkembang biak.

b. Lingkungan Sosial Ekonomi

Pendapatan keluarga, aktifitas sosial, kepadatan hunian, bencana alam,


kemiskinan dan kondisi rumah adalah faktor-faktor yang ikut berperan di
dalam penularan DBD. Semakin baik tingkat pendapatan keluarga, semakin
mampu keluarga itu untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam hal
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Semakin sering seseorang
beraktifitas secara massal di dalam ruangan (arisan, sekolah dll) pada waktu
puncak aktifitas nyamuk Aedes aegypty menggigit, semakin besar risiko orang
tersebut untuk tertular dan menderita penyakit DBD. Hunian yang padat akan
memudahkan penularan DBD dari satu orang ke orang lainnya. Bencana alam,
akan menyebabkan higiene dan sanitasi yang buruk dan memperbanyak
tempat yang dapat menampung air, yang dapat digunakan oleh nyamuk
sebagai tempat bersarang. Kondisi rumah yang lembab, dengan pencahayaan
yang kurang ditambah dengan saluran air yang tidak lancar mengalir,
disenangi oleh nyamuk penular DBD, sehingga risiko menderita DBD pun
semakin besar.
Analisis : Kondisi penduduk Banjarbaru yang tingkat kepadatan penduduknya
cukup padat, bekerja dan menempuh pendidikan dengan aktivvitas yang cukup
tinggi semkin membuat berisiko tertular dan menderita DBD. Lingkungan
perumahan dan perkantoran yang mepet dan padat juga membuat risiko
menderita DBD bertambah.

3. Perilaku

Perilaku kesehatan (Health Behavior) menurut Notoatmodjo (2010) adalah


respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-
sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan)
seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan. Dengan
kata lain perilaku adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang baik yang
dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable)
yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari
penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari
penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Oleh sebab itu
perilaku kesehatan ini pada garis besarnya dikelompokkan menjadi dua yakni :
a. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab
itu perilaku ini disebut perilaku sehat (health behavior) yang mencakup
perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam mencegah atau
menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah atau
penyebab masalah (perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan
meningkatnya kesehatan.
b. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Oleh
karena itu perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health
seeking behavior).
Analisis : Adapun kejadian Demam Berbarah Dengue yg terjadi di wilayah lahan
basah Kalimantan Selatan menurut kelompok kami adalah perilaku membiarkan
penampungan air yang tidak diberi penutup, yang memungkinkan menjadi
wadah nyamuk untuk berkembang biak.

4. Pelayanan Kesehatan
DBD termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan
wabah, maka sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular serta Peraturan Menteri Kesehatan No.560 Tahun 1989,
setiap penderita termasuk tersangka DBD harus segera dilaporkan selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam oleh unit pelayanan kesehatan (rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta dan lain-lain).
(Depkes RI, 2015). Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat
kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah
dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit
dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu dalam mendapatkan
pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan
dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.

Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat


sangat besar perananya. sebab di puskesmaslah akan ditangani masyarakat
yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Peranan Sarjana
Kesehatan Masyarakat sebagai manager yang memiliki kompetensi di bidang
manajemen kesehatan dibutuhkan dalam menyusun program-program
kesehatan. Utamanya program-program pencegahan penyakit yang bersifat
preventif sehingga masyarakat tidak banyak yang jatuh sakit.

Analisis : Keterlambatan dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat dapat


memperparah keadaan penderita DBD. Hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh
kurangnya pengetahuan keluarga pasien atau hambatan lain.

B. REKOMENDASI (BELUM DIGAWI)


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Amrul Hasan (2017). Hubungan Pemberantasan Sarang Nyamuk


Demam Berdarah Dengue dan Pencegahan Gigitan Nyamuk
(Aedes Aegipty) Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kota Bandar Lampung Tahun 2017. Tesis Program Pasca
Sarjana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Arsin A.A. & Wahihuddin (2016), Faktor-Faktor Y ang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota
Makassar, Jurnal Kedokteran Yarsi, 12, pp. 23- 33.
Awinda Roose (2017). Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan
Dengan Kejadian Penyakit DBD di Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru Tahun 2017. Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes. RI, (2015)
Kajian Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue, ed.
Wahono, T, D.
Bhisma Murti (2017). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Boesri, H. & Boewono, D.T. (2015), Situasi Nyamuk Aedes Aegypti
dan Pengendaliannya di Daerah Endemis Demam Berdarah
Dengue di kota Salatiga, Media Litbang Kesehatan, XVIII, ,
pp. 78-82.
Cendrawirda (2015). Hubungan Faktor Individu Anak, Faktor Sosio
Demografi Keluarga dan Faktor Lingkungan Dengan
Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Anak di Kota
Tembilahan Kabupaten Indra Giri Hilir Provinsi Riau Tahun
2015. Tesis Program Pasca Sarjana Program Studi
Epidemiologi Komunitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.

Darjito E., Yuniarno S., Wibowo C., Suprasetya,D.L.A., Dwiyanti,H.


(2015), Beberapa Faktor R esiko Y ang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Penyakit Demam B erdarah D engue
(DBD) di K abupaten B anyumas, Media Litbang
Kesehatan, Volume XVIII, Nomor 3, pp. 126-136.
Depkes RI (2015). Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Depkes RI (2015). Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (KLB) Penyakit Menular dan Keracunan, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
Depkes RI (2016). Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (KLB), Keputusan Menkes Nomor:
949/Menkes/SK/VIII/2004, Depkes RI, Jakarta.
Depkes RI (2016). Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti,
Buletin Harian (News Letter), Edisi Rabu 10 Maret 2004,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Depkes RI (2016). Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP), Panduan
Praktis, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Erliyanti (2015). Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dan Karakteristik
Individu Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di
Kota Metro Tahun 2015. Tesis Program Pasca Sarjana,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Hastono SP (2017). Analisa Data Kesehatan. Basic Data Analysis for


Health Research Training. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Indonesia.

http://kalsel.prokal.co/read/news/12242-gawat-banjarbaru-selatan-tertinggi-
kasus-dbd.html

Matelda Rumantora (2015). Faktor – Faktor Yang Berhubungan


Dengan Kasus Chikungunya pada KLB Di Dusun
Mentumbang Desa Harapan Mulia Kabupaten Kanyong
Utara Tahun 2015. Tesis Program Pasca Sarjana (FETP).
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Mulia Idris Rambey (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan
Perilaku Masyarakat Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk
Demam Berdarah dengue di Kota Jambi Tahun 2016. Tesis
Program Pasca Sarjana, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Muslim A, (2015), Faktor Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Infeksi Virus Dengue (Studi Kasus Di Kota
Semarang), Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia,
Volume 3 Nomor1 April 2004, pp. 8-12.
Nawangsih, E,N (2015), Diagnosis Demam Berdarah Dengue, Medika
Kartika, Volume 3 Nomor 2, Oktober 2005, pp. 101-110.
Sitio, A. (2015), Hubungan Perilaku Tentang PSN dan Kebiasaan
Keluarga Dengan Kejadian DBD di Kecamatan Medan
Perjuangan Kota Medan 2008, Tesis, Universitas
Diponegoro, 2015.
Siusan & Susanto, D.H. (2016), Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah
Dengue di Jakarta, Meditek, Volume 14 Nomor 38, pp. 19-
29.
Soedarmo S.S.P. (2017), Demam B erdarah (Dengue) Pada Anak,
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Sri Soewasti S, M. Sudomo, Imam Waluyo (2017). Aspek-aspek Ekologi
dan Sosial Dalam Penanggulangan Emerging Infectious
Disease, Buletin Penelitian Kesehatan, 25 (3&4): 61-72.
Sukanto S (2016). Studi Karakteristik Wilayah Dengan Kejadian DBD di
Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap Tahun 2016.
Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Suroso T. (2015), Situasi Epidemiologi Dan Program Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue di Indonesia dalam seminar
kedokteran tropis, Kajian KLB Demam Berdarah Dari Biologi
Molekuler Sampai Pemberantasannya, Pusat Kedokteran
Tropis, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Suroso, Thomas, dkk (2016). Pencegahan dan Penaggulangan
Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue.
Depkes RI. Jakarta.
Sutomo (2015), Analisis Situasi Demam Dengue/Demam Berdarah
Dengue di Indonesia Tahun 1968-2003. Ditjen P2M-PL,
Depkes RI, Jakarta
Syarif Usman (2015). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar
Lampung Tahun 2015. Tesis Program Pasca Sarjana, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Teguh Widiyanto (2017). Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap


Kejadian DBD di Kota Purwokerto Jawa Tengah Tahun 2017.
Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Wibisono,B,H (2015), Studi epidemiologis demam berdarah dengue
pada orang dewasa, Medika, 21, pp. 767-775.
Widodo, N.P (2015) Penyelidikan KLB Demam Chikungunya di Kota
Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2015. Laporan
Proyek Lapangan. Program Pasca Sarjana (FETP). Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Widodo, N.P (2016) Analisis Situasi Masalah Kesehatan di Kota
Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2015. Laporan
Proyek Lapangan. Program Pasca Sarjana (FETP). Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Yudhastuti R & Vidiyani A, (2015), Hubungan Kondisi Lingkungan,
Kontainer Dan Perilaku M asyarakat D engan K eberadaan
J entik N yamuk A edes Aegypti di Daerah Endemis
Demam Berdarah Dengue Surabaya, Jurnal Kesehatan
Lingkungan, volume 1, No.2, januari 2015, pp. 170 – 182.
Zaeri (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku
Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Kecamatan Kedaton Kota Bandar Lampung
Tahun 2016. Tesis Program Pasca Sarjana, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai