Oleh :
MERRYLINDA PERMATA (1710912420013)
MINATI WIDIYASTUTI (1710912420014)
KELOMPOK 4
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah-Nyalah sehingga kelompok 4 dapat menyelesaikan
tugas Makalah ini tepat pada waktunya.
Segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan agar dapat
membuat makalah yang lebih baik dimasa mendatang.
Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Definisi lahan basah dapat diartikan sebagai kawasan dimana air merupakan
faktor utama yang mengendalikan lingkungan maupun tumbuhan dan satwa
yang berasosiasi di dalamnya. Lahan basah tersebut adalah daerah-daerah
rawa, payau, lahan gambut atau perairan, baik yang bersifat alami maupun
buatan, tetap ataupun sementara, dengan perairannya yang tergenang
ataupun mengalir, tawar, agak asin ataupun asin, termasuk daerah-daerah
peraitran laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air
surut.
Indonesia sebagai salah satu negara memiliki kawasan lahan basah yang
sangat luas dan berkepentingan dalam pengelolaan kawasan lahan basah
secara lestari dan berkelanjutan, berbagai strategi dan kebijakan pengelolaan
lahan basah secara nasional telah diterbitkan untuk memandu dan
mengarahkan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan basah secara
bijaksana bagi seluruh pemangku kepentingan.
Menurut data WHO (2015) Penyakit demam berdarah dengue pertama kali
dilaporkan di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya
menyebar ke berbagai negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang
mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit endemik pada
lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi terjadinya kasus DBD.
Jumlah kasus di Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1,2
juta kasus ditahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013
dilaporkan terdapat sebanyak 2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus
merupakan DBD berat. Perkembangan kasus DBD di tingkat global semakin
meningkat, seperti dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni dari
980 kasus di hampir 100 negara tahun 1954-1959 menjadi 1.016.612 kasus di
hampir 60 negara tahun 2000-2009 (WHO, 2015).
Sepanjang 2017 dari Januari hingga Oktober, tercatat sudah ada 45 kasus
demam berdarah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Belum ada korban
meninggal dunia. Meski begitu, bukan berarti demam dengue akibat gigitan
nyamuk Aedes Aegypti itu bisa diremehkan. Sebab, Dinas Kesehatan
Banjarbaru mencatat, lonjakan terjadi pada bulan Maret dengan 12 kasus. Atau
pada masa peralihan musim hujan ke kemarau. Serupa dengan November,
dimana musim kemarau juga sudah mendekati akhir. Hujan dengan intensitas
sedang dan tinggi mulai sering terjadi. Kasus tertinggi terjadi pada Maret.
Rinciannya, di Landasan Ulin tercatat 12 kasus DBD, Liang Anggang tiga kasus,
Cempaka enam kasus, Banjarbaru Utara delapan kasus, dan terbanyak di
Banjarbaru Selatan dengan 16 kasus (Prokal, 2018).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hasil analisa kasus Demam Berdarah Dengue sebagai salah
satu penyakit di wilayah lahan basah daerah Banjarbaru, Kalimantan Selatan?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk menganalisa kasus Demam Berdarah Dengue sebagai salah
satu penyakit di wilayah lahan basah daerah Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
D. MANFAAT
1. Bagi Institusi Pendidikan
2. Bagi Mahasiswa
ANALISA
2. Lingkungan
a. Lingkungan Biologi
Nyamuk Aedes Aegypti pada perkembangannya mengalami metamorfosis
lengkap, mulai dari telur-larva-pupa-dewasa. Telur nyamuk Aedes Aegypti
berukuran kurang lebih 50 mikron, berwarna hitam berbentuk oval seperti
terpedo. Bila berada di dalam air dengan suhu 20-40 ⁰C akan menetas menjadi
larva instar I dalam waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum larva instar I akan
terus berkembang menjadi instar II, III dan IV yang kemudian menjadi nyamuk
dewasa dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan dan perkembangan nyamuk
Aedes Aegypti dari mulai telur hingga menjadi nyamuk dewasa memerlukan
waktu 7-14 hari. Nyamuk jantan lebih cepat menetas bila dibandingkan dengan
nyamuk betina. Larva nyamuk Aedes Aegypti lebih banyak ditemukan
berturut-turut pada bejana yang terbuat dari logam, tanah liat, semen dan
plastik. Lingkungan biologi yang mempengaruhi tempat perindukan adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman di pekarangan yang mempengaruhi
kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah.
Analisis : Di daerah lahan basah di Kalimantan Selatan, tepatnya Banjarbaru,
terjadinya kasus DBD mungkin diseebabkan oleh banyaknya rawa, hutan dan
taman di pemukiman, lahan gamut dan bekas galian tambang. Daerah berair
tersebut dapat menjadi wadah nyamuk untuk berkembang biak.
3. Perilaku
4. Pelayanan Kesehatan
DBD termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan
wabah, maka sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular serta Peraturan Menteri Kesehatan No.560 Tahun 1989,
setiap penderita termasuk tersangka DBD harus segera dilaporkan selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam oleh unit pelayanan kesehatan (rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta dan lain-lain).
(Depkes RI, 2015). Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat
kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah
dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit
dan pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu dalam mendapatkan
pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan
dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
http://kalsel.prokal.co/read/news/12242-gawat-banjarbaru-selatan-tertinggi-
kasus-dbd.html