Anda di halaman 1dari 43

1

HUBUNGAN PERILAKU DAN LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL DENGAN


KEBERADAAN JENTIK NYAMUK AEDES AEGYPTI DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS WAY HALIM KOTA BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019

PROPOSAL

Oleh
LUCI ANDRIANI
NPM. 18410032P

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
TAHUN 2019
2

BAB I

PENDHULUAN

A. Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue yang berasal dari genus Flavivirus dari

keluarga Flaviviridae dan ditularkan melalui nyamuk terutama Aedes aegypti

dan Aedes albopictus yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis

(INFODATIN, 2016).
Menurut WHO dalam penelitian yang dilakukan Sari (2017) kasus DBD

tertinggi di daerah Asia berada di Indonesia, Myanmar, Bangladesh, dan

India. Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di

34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal dunia.

Jumlah tersebut lebih tinggi dari tahun 2014, yaitu sebanyak 100.347

penderita dan sebanyak 907 meninggal. Angka kesakitan demam berdarah

dengue (DBD) di Indonesia sendiri cenderung mengalami peningkatan dari

tahun 1968-2015 (KEMENKES, 2016).


Demam Berdarah Dengue masih menjadi permasalahan kesehatan baik di

wilayah perkotaan maupun wilayah semi-perkotaan. Perilaku vektor dan

hubungannya dengan lingkungan, seperti iklim, pengendalian vektor,

urbanisasi, dan lain sebagainya mempengaruhi terjadinya wabah demam

berdarah di daerah perkotaan. Belum ada prediksi yang tepat untuk

menunjukkan kehadiran dan kepadatan vektor (terutama Aedes Aegypti di

lingkungan perkotaan dan semi perkotaan). Penyebaran dengue dipengaruhi


3

faktor iklim seperti curah hujan, suhu dan kelembaban. Kelangsungan hidup

nyamuk akan lebih lama bila tingkat kelembaban tinggi, seperti selama

musim hujan (Nazril, 2013).


Kelembaban yang tinggi dengan suhu berkisar antara 28-320C membantu

nyamuk Aedes bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Pola penyakit

di Indonesia sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Tingginya angka kejadian DBD juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan

penduduk. Peningkatan jumlah kasus DBD dapat terjadi bila kepadatan

penduduk meningkat. Semakin banyak manusia maka peluang tergigit oleh

nyamuk Aedes aegypti juga akan lebih tinggi (Suryani, 2018).


Penyakit ini dapat menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian

dalam waktu singkat. Sampai saat ini, belum ada obat atau vaksin untuk

DBD. Semua tempat mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit ini sebab

nyamuk penularnya (Aedes aegypti) tersebar luas di seluruh tanah air, kecuali

pada daerah yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas

permukaan laut (Lutfiana, 2012).

Pada tahun 2018, sampai pertengahan bulan Desember tercatat

penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641

diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan

tahun sebelumnya, yakni tahun 2016 dengan jumlah penderita sebanyak

112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita

(Kemenkes, 2018).

Ada peningkatan signifikan dalam kasus DBD untuk periode Januari

2014 dengan Januari 2018. Pada Januari 2014 jumlahnya mencapai 227
4

kasus, sedangkan Januari 2018 ada 537 kasus. Januari 2014 lalu di Kabupaten

Pringsewu 45 kasus dan untuk Januari 2018 yang tertinggi dari Kota Bandar

Lampung sebanyak 134 kasus (Aldi, 2018).

Kota Bandar Lampung merupakan daerah endemis DHF atau demam

berdarah (DBD), setiap tahun jumlah kasus selalu tinggi dimana Incidence

rate tahun 2012 260,5 /100.000 penduduk dan meningkat menjadi 305 per

100.000 penduduk pada tahun 2018. Kecamatan yang mempunyai kasus

DBD terbanyak adalah Kecamatan Way halim dengan Kasus 143, dengan

menyumbang angka AR 0,13% dan CFR 11,11% dan terdapat 1 orang

meninggal karena DBD,. pada tahun 2018 menyumbang angka AR 0,18%

dan CFR 18,6% dan terdapat 1 orang meninggal karena DBD (profil

Kesehatan Kota Bandar Lampung , 2018).

Penyakit DBD sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku

manusia, karena masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan

kegiatan PSN sehingga membuat tempat perindukan nyamuk semakin

banyak. Dengan kondisi iklim yang tidak stabil dan curah hujan yang tinggi

pada musim penghujan merupakan saranan untuk tempat perkembangbiakan

nyamuk Aedes aegypti yang cukup potensial. Angka bebas jentik di Indonesia

pada tahun 2016 sebesar 80,2% dan menurun pada tahun 2017 sebesar 76,2%

dan di tahun 2018 sebesar 79,3%. Naik turunnya angka bebas jentik di

Indonesia setiap tahunya belum mencapai target Nasional yang sudah di

tetapkan.
5

Penelitan Marwanti (2018) Hasil analisis multivariat menunjukkan

bahwa interaksi antara faktor lingkungan rumah dengan pendidikan rendah

meningkatkan risiko kejadian demam berdarah Dengue (OR=2,87 95% CI

1,218 – 6,791) setelah dikontrol oleh variabel konfounder umur. Proporsi

kejadian demam berdarah yang dapat diakibatkan oleh adanya interaksi antara

pendidikan dan faktor lingkungan sebesar 5,4%.

Puskesmas Wayhalim masih masuk dalam kategori Wilayah yang

endemis DBD sehingga hal ini sangat perlu diwaspadai dikarenakan

rendahnya ABJ memungkinkan banyak peluang untuk proses transmisi Virus.

Rendahnya angka bebas jentik di Puskesmas Wayhalim mempengaruhi

tingginya angka kesakitan kejadian DBD yaitu sebesar 114 kasus penyakit,

sehingga kondisi peningkatan jumlah kasus kejadian DBD yan dihubungkan

dengan rendahnya angka bebas jentik perlu untuk diteliti untuk mencari

penyebab mengapa angka kejadian DBD terus meningkat di Puskesmas

Wayhalim.

ABJ yang nialinya selalu rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor

terutama perilaku penduduk dalam hal menampung air untuk keperluan sehari

– hari, masyarakat yang menapung air tidak hanya pada satu tempat

terkadang lupa untuk membersihkan bak penampungan air yang

memungkinkan nyamuk Aedes Aegypti berkembangbiak untuk bertelur.

Menurut Dumai et.al, faktor kebiasaan menggantung pakaian, pengetahuan,

serta kondisi TPA dan kebersihan lingkungan berhubungan dengan kejadian

DBD.
6

Pengetahuan tentang penyakit DBD serta pencegahannya menjadi hal

yang penting diketahui oleh masyarakatterutama dalam lingkup keluarga.

Pengetahuan merupakan salah satu domain dari perilaku kesehatan, dimana

pengetahuan menjadi dasar terbentuknya tindakan/upaya pencegahan terkait

DBD (Notoatmodjo, 2014). Pada penelitian yang dilakukan Sari, et al (2017)

menyatakan terdapat hubungan antara pengetahuan PSN-DBD Ibu Rumah

Tangga dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.

Menurut penelitian yang dilakukan Hadi (2015) penggunaan obat

nyamuk/antinyamuk (repellent) dapat menurunkan keberadaan jentik.

Penelitian ini didukung penelitian yang dilakukan Nahumarury (2016)

tentang hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang pemberantasan

sarang nyamuk aedes aegyptiterhadap keberadaan larva di Kelurahan Kassi-

Kassi Kota Makassar menunjukkan hubungan yang signifikan, artinya

terdapat hubungan antara pengetahuan (p=0,015), sikap (p=0,001) dan

tindakan (p=0,000) dengan keberadaan larva. Penelitian Yeyen (2016)

didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara sikap tentang 3M dengan

keberadaan jentik nyamuk aedes aegypti. Lebih dari separuh responden

mempunyai sikap positif tentang 3M yaitu sebesar 58,8%. Sikap merupakan

salah satu indikator perubahan perilaku mengenai PSN terhadap diri sendiri,

keluarga dan lingkungan

Oleh beberapa sebab diatas peneliti tertarik untuk mengambil penelitian

yang berjudul hubungan perilaku dan lingkungan tempat tinggal dengan


7

keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas Way

Halim Kota Bandar Lampung tahun 2019

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah ada hubungan perilaku dan lingkungan tempat tinggal dengan

keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas Way

Halim Kota Bandar Lampung tahun 2019?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan perilaku dan lingkungan tempat tinggal

dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Wilayah Kerja

Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung tahun 2019.


2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi keberadaan jentik nyamuk

Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar

Lampung tahun 2019.


b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perilaku (pengetahuan dan

sikap) dan lingkungan tempat tinggal (Tempat penyimpanan air bersih

dan Genangan air diwadah terbuka) di Wilayah Kerja Puskesmas Way

Halim Kota Bandar Lampung tahun 2019.


c. Untuk mengetahui hubungan perilaku (pengetahuan dan sikap) dan

lingkungan tempat tinggal (Tempat penyimpanan air bersih dan

Genangan air diwadah terbuka) dengan keberadaan jentik nyamuk

Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar

Lampung tahun 2019.

D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
8

Sebagai sumber informasi serta bahan bacaan dan dapat dijadikan sebagai

bahan pengembangan materi dalam pembelajaran khususnya tentang

hubungan perilaku (pengetahuan dan sikap) dan lingkungan tempat

tinggal (Tempat penyimpanan air bersih dan Genangan air diwadah

terbuka) dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.


2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan di wilayah kerja dinas

kesehatan Kota Bandar Lampung dalam rangka meningkatkan upaya

pencegahan dan pengendalian penyakit demam berdarah dimasa yang

akan datang.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan Cross

Sectional, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan perilaku

(pengetahuan dan sikap) dan lingkungan tempat tinggal (Tempat

penyimpanan air bersih dan Genangan air diwadah terbuka) dengan

keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Sasaran dalam penelitian adalah

seluruh masyarakat yang ada di wilayah kerja Puskesmas Way halim.

Penelitian akan dilakukan di Wilayah kerja puskesmas Way Halim Kota

Bandar Lampung . Penelitian ini akan dilaksanakan setelah proposal disetujui.

Pengumpulan data dengan rekam medis, analisis data secara univariat

(distribusi frkeuensi) dan bivariat (uji chi square).


9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Nyamuk Aedes Aegypti


1. Klasifikasi Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk merupakam salah satu di antara serangga yang sangat penting di
dunia kesehatan. Nyamuk termasuk dalam subfamily Culicinae, family

Culicidae (Nematocera: Diptera) merupakan vektor atau penular utama

dari penyakit-penyakit arbovirus (demam berdarah, chikungunya, demam

kuning, encephalitis, dan lain-lain), serta penyakit-penyakit nematode

(filariasis), riketsia, dan protozoa (malaria). Di seluruh dunia terdapat

lebih dari 2500 spesies nyamuk, meskipun sebagian besar dari spesies-

spesies nyamuk ini tidak berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus)

dan penyakit-penyakit lainnya. Jenis-jenis nyamuk yang menjadi vector

utama, biasanya adalah Aedes spp, Culex spp, Anopheles spp, dan

Mansonia spp (Subekti, 2018).


2. Morfologi Aedes Aegypti

Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan

ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna

dasar yang hitam dan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya


10

terutama pada kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas

sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lira (lyre-form) yang putih

pada punggungnya (mesonotum). Nyamuk Aedes aegypti berukuran kecil

(4 – 13 mm) dan rapuh. Kepala mempunyai probosis halus dan panjang

yang melebihi panjang kepala. Pada nyamuk betina probosis dipakai

sebagai alat untuk menghisap darah, sedangkan pada nyamuk jantan

untuk menghisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuhtumbuhan,

buah-buahan dan juga keringat. Di kiri kanan probosis terdapat palpus

yang terdiri atas 5 ruas dan sepasang antena yang terdiri atas 15 ruas.

Antena pada nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk

betina jarang (pilose). Sebagian besar toraks yang tampak (mesonotum),

diliputi bulu halus. Bulu ini berwarna putih/kuning dan membentuk

gambaran yang khas untuk masing-masing spesies. Sayap nyamuk

panjang dan langsing, mempunyai vena yang permukaannya ditumbuhi

sisik-sisik sayap (wing scales) yang letaknya mengikuti vena. Pada

pinggir sayap terdapat sederatan rambut yang disebut fringe. Abdomen

berbentuk selinder dan terdiri atas 10 ruas. Dua ruas yang terakhi

berubah menjadi alat kelamin. Nyamuk mempunyai 3 pasang kaki

(hexopoda) yang melekat pada toraks dan tiap kaki terdiri dari 1 ruas

femur, 1 ruas tibia dan 5 ruas tarsus (Subekti, 2018).

3. Penyebaran Nyamuk Aedes aegypti


Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter hingga 100

meter. Namun secara pasif karena terbawa angin atau kendaraan nyamuk
11

ini dapat terbang lebih jauh lagi. Nyamuk ini bisa berkembangbiak pada

ketinggian ± 1000 meter di atas permukaan air laut (Rahayu, 2013).

4. Tempat berkembangbiak nyamuk Aedes aegypti

Tempat perindukan nyamuk biasanya berupa genangan air yang

tertampung disuatu tempat atau bejana. Nyamuk Aedes tidak dapat

berkembang-biak digenangan air yang langsung bersentuhan dengan

tanah. Macam-macam tempat penampungan air:

a. Tempat penampungan air (TPA), untuk keperluan sehari-hari

seperti: drum, bak mandi/WC, tempayan, ember dan lain-lain

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari

seperti: tempat minuman burung, vas bunga, ban bekas, kaleng bekas,

botol bekas dan lain-lain

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang

batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan

bambu dan lain-lain (Kemenkes RI, 2013).

5. Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti


Menurut Gandasuhada dkk (1988) dalam Subekti (2018) , Dalam

meneruskan keturunannya, nyamuk Aedes aegypti L. betina hanya kawin

satu kali semumur hidupnya. Nyamuk termasuk dalam kelompok

serangga yang mengalami metamorphosis sempurna dengan bentuk siklus

hidup berupa telur, larva (beberapa instar), pupa dan dewasa.


a. Stadium Bertelur

Tempat bertelur yang disukai nyamuk Aedes aegypti betina

adalah genangan air atau daun pepohonan yang lembab. Nyamuk


12

betina meletakan telurnya di dinding tempat penampuangan air atau

barang-barang yang memungkinkan tergenang di bawah permukaan

air. Telur akan diletakan berpencar (pada nyamuk Aedes Order

Anopheles) atau dijejerkan dalam satu baris (contoh nyamuk Culex)

yang bisa mencapai 100 - 300 telur (Makateni dan Atjo, 2014).

b. Stadium Larva
Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas yakni memiliki

siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Tubuh larva ini

langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada

waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan

permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira

setiap ½-1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva

nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari (Rendy,

2013).
c. Stadium Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk bengkok dengan
bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan

dengan bagian perutnya sehingga tampak seperti tanda baca „koma‟.

Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung

selama 2-4 hari. Pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar

dengan permukaan air saat nyamuk dewasa akan melengkapi

perkembangannya dalam cangkang pupa untuk persiapan munculnya

nyamuk dewasa, (Achmadi, 2011).

d. Nyamuk Dewasa
Nyamuk Ae. aegypti jantan menghisap sari bunga sedangkan

nyamuk aedes betina menghisap darah manusia (antropofilik). Waktu


13

yang diperlukan untuk perkembangan telur mulai dari menghisap

darah sampai dikeluarkannya telur bervariasi antara 3 – 4 hari yang

biasa disebut siklus gonotropik (gonotropik cycle). Nyamuk betina

biasa menggigit pada siang hari dengan puncak aktifitas pada pukul

09.00 – 10.00 dan sore hari pada pukul 16.00 – 17.00. Nyamuk Ae.

Aegypti ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang kali (multiple

bites). Setelah menggigit nyamuk ini hinggap di tempattempat gelap

dan lembab di dalam atau di luar rumah menunggu prose pematangan

telurnya. Pada saat prose pematangan telur selesai maka nyamuk

aedes ini akan meletakkan telurnya sedikit di atas permukaan air dan

akan menetas sekitar 2 hari setelah terendam air. Sekali bertelur

nyamuk ini bisa menghasilkan telur sebanyak sekitar 100 butir telur

dan dapat bertahan pada suhu -2ºC sampai 42ºC (Rahayu, 2013).

B. Faktor yang berhubungan dengan timbulnya penyakit


Epidemiologi berguna untuk mengidentifikasi cara pencegahan dan

penanganan penyakit pada populasi. Menurut Bustan (2008) dalam Erviana

(2014) dalam Tosepu (2016), epidemiologi merupakan suatu studi yang

mempelajari tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-

faktor yang mempengaruhinya sebagai upaya untuk penegahan dan

perencanaan kesehatan. Menurut studi epidemiologi, dalam menangani suatu

penyakit tidak hanya melihat faktor distribusi, frekuensi, dan determinan,

namun perlu dianalisis lebih luas berdasarkan agen, pejamu, serta lingkungan.
14

Ketiga komponen tersebut dikenal dengan nama segitga epidemiologi

(epidemiology triangle).
John Gordon dalam Tosepu (2016) menggambarkan interaksi tiga

faktor utama yang mempengaruhi terjadinya suatu penyakit atau masalah

kesehatan. Ketiga komponen tersebut adalah agen (agent), pejamu (host), dan

lingkungan (evironment), yang biasa disebut dengan segitiga epidemiologi

(triangle epidemiology). Dalam memprediksi suatu penyakit atau amasalah

kesehatan perlu dilakukan analisis dan pemahaman dari masing-masing

komponen. Dalam melakukan interaksi, agen dan pejamu berhubungan

langsung dengan lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, ekonomi, maupun

biologis.
1. Agent
Agent pada penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk

dapat menular kembali virus denguenya saat nyamuk ini sudah hinggap

atau menggit penjamu yang sudah positif terkena penyakit demam

berdarah dengue dan selanjutnya hinggap pada pejamu yang sehat dan

secara tidak langsung nyamuk Aedes aegypti sudah menularkan virusnya

(Tosepu, 2016).
2. Pejamu (Host)
Penjamu pada penyakit demam berdarah dngue adalah manusia.

Pejamu terkena demam berdarah diakibatkan oleh gigitan nyamuk yang

dikenal dengan nama Aedes aegypti. Gejala-gejala yang timbul saat

pejamu terkena demam berdarah dengue adalah demam, lesu, nyeri perut,

dan ruam pada badan (Tosepu, 2016).


3. Lingkungan (Evironment)
Lingkungan yang kotor merupakan salah satu tempat

berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Tempat yang menjadi sarang


15

nyamuk Aedes aegypti seperti selokan yang kotor, kaleng bekas yang

tergenang air, tempat penampungan air tang tidak ditutup, dan bak mandi

yang jarang dibersihkan. Penularan virus dengue dapat dicegah dengan

cara 3M plus, yaitu menguras, mengubur, menutup, dan memantau.

Selain itu, tempat-tempat yang digunakan untuk membuang sampah

harus selalu dibersihkan agar nyamuk tidak mudh berkembangbiak

(Tosepu, 2016).

C. Keberadaan jentik nyamuk


Keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti di suatu wilayah merupakan

indikator terdapatnya populasi nyamuk Ae. aegypti di wilayah tersebut.

Menurut Depkes RI (2013), apabila Angka Bebas Jentik (ABJ) < 95% atau

House Indeks (HI) > 5%, berarti di tempat tersebut terdapat populasi nyamuk

penular DBD. Tingginya tingkat kepadatan nyamuk Ae. aegypti akan

meningkatkan resiko penularan virus dengue. Selama jentik yang ada di

tempat-tempat perindukan tidak diberantas, akan muncul nyamuk-nyamuk

baru yang menetas dan penularan virus dengue akan terulang kembali.
Hasil penelitian Budiman (2016) di Kecamatan Nanggulan Kabupaten

Kulon Progo, menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi pemberantasan

sarang nyamuk adalah sikap (p = 0,009) Contingency coefficient (p = 0,391)

korelasi cukup, dan tindakan (p = 0,009) Contingency coefficient (p = 0,391)

korelasi cukup, hasil penelitian dengan uji Chi-Squaredi desa non endemis

faktor yang mempengaruhi pemberantasan sarang nyamuk adalah sikap (p =

0,011) Contingency coefficient (p = 0,422)korelasi cukup, dan tindakan (p =


16

0,040) Contingency coefficient (p = 0,365) korelasi cukup, di temukan fakta

lebih baik desa non endemis.


Untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk Ae. aegypti di suatu

wilayah, dilakukan survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara

pemeriksaan terhadap semua tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100

(seratus) rumah yang diperiksa dengan mata telanjang untuk mengetahui ada

tidaknya jentik. Metode Survei jentik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara

yaitu:
1. Single larva

Survei ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat

genangan air yang ditemukan jentik untuk dilakukan identifikasi lebih

lanjut.

2. Visual

Survei ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di

setiap tempat genangan air tanpa melakukan pengambilan jentik. Dalam

program Pengendalian DBD Depkes RI, survei jentik yang biasa

digunakan adalah secara visual. Jentik Ae. Aegypti di dalam air dapat

dikenali dengan ciri-ciri antara lain selalu bergerak aktif dan mempunyai

ukuran 0,5-1 cm (Depkes, 2015).

Gerakannya naik turun dari bawah ke atas permukaan air secara

berulang-ulang. Gerakan ini dilakukan untuk bernafas. Jika terkena

cahaya jentik akan bergerak menjauhi sumber cahaya. Pada waktu

istirahat posisi jentik berada tegak lurus dengan permukaan air. (Depkes,

2015).
17

D. Ukuran Kepadatan Jentik Nyamuk Ae. Aegypti


Ada beberapa indikator untuk jentik nyamuk Ae.aegypti yaitu: Angka Bebas

Jentik (ABJ), House Indeks (HI), Container Index (CI) dan Breteau Index

(BI).
Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Ae. aegypti
tersebut adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2013, WHO, 2011):
a. Angka Bebas Jentik (ABJ)
Angka Bebas Jentik adalah persentase antara rumah/bangunan yang tidak

ditemukan jentik terhadap seluruh rumah/bangunan yang diperiksa.


Jumlah rumah/bangunan yang tidakditemukan jentik
ABJ = x 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

b. House Index (HI)


House Index (HI) adalah persentase antara rumah/bangunan di mana

ditemukan jentik terhadap seluruh rumah/bangunan yang diperiksa.

Jumlah rumah/bangunan yang tidakditemukan jentik


HI = x 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

c. Container Index (CI)


Container Index (CI) adalah persentase antara kontainer yang ditemukan

jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa.


Jumlah container dengan jentik
CI = x 100%
Jumlah container yang diperiksa

d. Breteau Index (BI)


Breteau Index (BI) adalah jumlah kontainer yang positif jentik per seratus

rumah/bangunan yang diperiksa.


Jumlah container yang positif
BI = x 100%
Jumlah container yang diperiksa

Dalam program Pengendalian Penyakit DBD, indikator yang dipakai

untuk menentukan bebas atau tidaknya suatu wilayah dari DBD adalah

ABJ. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2013), menetapkan


18

bahwa ABJ yang dianggap aman untuk penularan penyakit DBD adalah >

95% (dari 100 rumah yang diperiksa yang mempunyai jentik tidak boleh

lebih dari 5%) atau House Index (HI) < 5% (Depkes RI, 2015). Angka CI

di atas 10% sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD, angka BI di

atas 50% sangat potensial bagi penyebaran penyakit DBD. ABJ dan

House Index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu

wilayah (Depkes RI, 2013, 2015).


E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik

Nyamuk Ae. Aegypti


Hendrik L. Blum dalam penelitiannya di Amerika Serikat (1974) yang
dikutip dalam Notoatmodjo (2012), menyimpulkan bahwa status kesehatan,

baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh

empat faktor, yaitu: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan

(karakteristik individu). Keempat faktor tersebut selain berpengaruh langsung

kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status

kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut

secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu

faktor saja yang berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka

status kesehatan akan tergeser di bawah optimal.


a. Pengetahuan
Pengetahuan masyarakat akan mempengaruhi keberadaan jentik

nyamuk Ae. aegypti karena pengetahuan mempunyai efek terhadap

perubahan perilaku penduduk. Terbentuknya perilaku baru pada

seseorang dimulai dari seseorang tahu terlebih dahulu terhadap stimulus

yang berupa materi atau objek di luarnya sehingga menimbulkan

pengetahuan baru pada seseorang tersebut, selanjutnya menimbulkan


19

respon batin dalam bentuk sikap seseorang terhadap objek yang diketahui

itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari

sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu

berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau

objek tadi. Seseorang akan melakukan pemberantasan sarang nyamuk

(PSN) apabila mereka mengetahui tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan

dan bahaya-bahaya yang akan datang (Notoatmodjo, 2012).


Namun demikian, dalam kenyataan stimulus yang diterima oleh

seseorang dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang

dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu

terhadap makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan

(practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap

(Notoatmojo, 2012). Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmojo (2012),

mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di

dalam diri orang tersebut telah terjadi beberapa proses berurutan antara

lain: (1) awarness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek); (2) interest

(merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut, di sini sikap

orang tersebut sudah mulai timbul; (3) evaluation (menimbang-nimbang)

terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti

sikap orang tersebut sudah lebih baik lagi; (4) trial, di mana orang telah

mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

stimulus; (5) adoption, di mana orang tersebut telah berperilaku baru

sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.


20

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan

bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut.


Pengetahuan responden tentang penyakit DBD, vektor/nyamuk

penular, cara pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan faktor yang

mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti sangat diperlukan

untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan jentik nyamuk Ae.

aegypti sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah. Kurangnya

pengetahuan akan berpengaruh pada tindakan yang akan dilakukan.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rendy (2013) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan

responden dengan keberadaan jentik nyamuk Ae. Aegypti di kelurahan

sawah lama (p value 0,001).


b. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek yang manifestasinya tidak

dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau

aktivitas akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu

perilaku. Sikap adalah suatu kecenderungan untuk berespon (secara

positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu

(Notoatmodjo, 2007b). Azwar (2015), mengatakan bahwa sikap yang

diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung

terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut lebih berupa

predisposisi perilaku yang akan direalisasikan apabila kondisi situasi

memungkinkan.
21

Menurut Notoatmodjo (2012), sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen

pokok yaitu: (1) kepercayaan atau keyakinan, ide, konsep terhadap objek,

yakni bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang

terhadap objek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap

objek, yaitu bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek; (3)

kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap merupakan komponen

yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Ketiga komponen

tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam

menentukan sikap yang utuh tersebut, pengetahuan, pikiran, keyakinan

dan emosi memegang peranan penting. Menurut Azwar (2015), faktor-

faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap dapat dibedakan menjadi

faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jenis kelamin,

umur, pendidikan, pengalaman pribadi dan emosi. Faktor eksternal

meliputi media massa, institusi pendidikan, institusi agama dan

masyarakat.
Sikap seseorang dalam upaya mencegah penyakit infeksi dengue

merupakan hal yang sangat penting, karena setelah seseorang memiliki

pengetahuan dan pengalaman mengenai penyakit infeksi dengue, maka

seseorang akan memiliki keyakinan dan melakukan upaya tindakan.


c. Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku adalah respon atau reaksi

konkret seseorang terhadap stimulus atau objek. Suatu sikap belum

otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk

terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor


22

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah

fasilitas.
Sikap anggota keluarga yang sudah positif untuk menguras,

menutup tempat penampungan air (TPA) dan mengubur barang bekas

dalam rangka PSN DBD harus didukung dengan fasilitas yang memadai

yaitu: sikat, tutup TPA, cangkul atau sekop dan sumber air bersih yang

cukup. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan

(support) dari pihak lain, misalnya suami, istri, orang tua atau mertua dan

anggota keluarga lainnya.


Notoatmodjo (2012), juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak di dalam individu itu

sendiri (keturunan dan motivasi) dan sebagian dari luar individu yaitu

faktor lingkungannya.
Lewrence Green (1980) dalam Mubarak (2012), menjelaskan

bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni: (1) faktor

predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang

mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri

seseorang atau masyarakat, antara lain: pengetahuan, sikap, tradisi dan

kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi dan sebagainya; (2) faktor

pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan

atau mendukung seseorang atau masyarakat untuk mewujudkan perilaku

yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan bagi masyarakat; (3) faktor penguat (reinforcing factors),

meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap
23

dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, undang-undang,

peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang

terkait dengan kesehatan. Keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti sebagai

salah satu indikator besarnya resiko penularan penyakit DBD di

masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas.


Terkait dengan keberadaan jentik nyamuk Ae. aegypti, faktor

perilaku yang berpengaruh terutama adalah kebiasaan masyarakat dalam

melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue

(PSN DBD) dan menggantung pakaian bekas di sembarang tempat di

dalam rumah. PSN DBD adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan

kepompong nyamuk penular DBD (Ae. aegypti) di tempat-tempat

perkembangbiakannya. Penelitian Presti (2011), di Kecamatan

Tembalang Kota Semarang, bahwa ada hubungan bermakna antara

kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD (OR = 2,923,

95% CI = 1,142 - 7,482).


d. Lingkungan
Habitat vektor mempelajari hubungan antara vektor dan lingkungannya

atau mempelajari bagaimana pengaruh lingkungan terhadap vektor.

Lingkungan ada 2 macam, yaitu lingkungan fisik dan biologi.

1) Lingkungan fisik
Lingkungan fisik ada bermacam-macam misalnya tata rumah, jenis

kontainer, ketinggian tempat dan iklim.


a) Jarak antara rumah
Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk yang jarak terbangnya

pendek yaitu rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter. Apabila

rumah penduduk saling berdekatan maka nyamuk dapat dengan


24

mudah berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya kemudian

berkembang biak. Berbagai penelitian penyakit menular

membuktikan bahwa kondisi perumahan yang berdesak-desakan

dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang

penyakit (Depkes RI, 2013).


b) Ketinggian tempat
Ketinggian merupakan faktor penting yang membatasi

penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Variasi ketinggian tempat

berpengaruh terhadap syarat-syarat ekologis yang diperlukan

oleh vektor penyakit. Pada wilayah dengan ketinggian di atas

1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Ae.

aegypti karena pada ketinggian tersebut suhu terlalu rendah

sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk (Depkes,

2013).

c) Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik,

yang terdiri dari: suhu udara, kelembaban udara, curah hujan

dan kecepatan angin


(a) Suhu udara
Suhu udara berpengaruh langsung terhadap aktivitas dan

kemampuan vektor. Kecepatan perkembangan nyamuk

tergantung dari kecepatan proses metabolisme yang

sebagian diatur oleh suhu. Virus dengue umumnya endemik

di wilayah tropis. Rata-rata suhu optimum untuk


25

perkembangan nyamuk Ae. aegypti adalah berkisar 25°C -

27°C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila


suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C. Pada Suhu

udara berkisar antara 27°C-30°C rata-rata umur populasi

nyamuk akan berkurang. Pada suhu lebih dari 35°C proses

fisiologis nyamuk akan melambat (lestari, 2017 WHO,

2011).
(b) Kelembaban nisbi
Kelembaban udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan

keadaan rumah menjadi basah dan lembab yang

memungkinkan berkembang biaknya kuman atau bakteri

penyebab penyakit. Kelembaban yang baik berkisar antara

40 % - 70%. Untuk mengukur kelembaban udara digunakan

hidrometer, yang dilengkapi dengan jarum penunjuk angka

relatif kelembaban.
(c) Curah hujan
Hujan berpengaruh terhadap kelembaban nisbi udara dan

tempat perindukan nyamuk juga bertambah banyak.


(d) Kecepatan angin
Kecepatan angin secara tidak langsung berpengaruh pada

kelembaban dan suhu udara, disamping itu angin

berpengaruh terhadap arah penerbangan nyamuk. Meskipun

kondisi iklim dari suatu daerah berpengaruh terhadap vektor

penyakit.
2) Lingkungan Biologi
Nyamuk Ae. aegypti dalam perkembanganya mengalami

metamorfosis lengkap yaitu mulai dari telur-larva-pupa- dewasa.

Telur Ae. aegypti berukuran lebih kurang 50 mikron, berwarna hitam


26

berbentuk oval menyerupai torpedo dan bila terdapat dalam air

dengan suhu 20-40 ºC akan menetas menjadi larva instar I dalam

waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum larva instar 1 akan

berkembang terus menjadi instar II, instar III dan instar IV,

kemudian berubah menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu

antara 2-3 hari. Pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ae.

aegypti sejak dari telur sampai nyamuk dewasa memerlukan waktu

7-14 hari dan nyamuk jantan lebih cepat menetasnya bila

dibandingkan nyamuk betina. Larva nyamuk Ae. aegypti lebih

banyak ditemukan berturut-turut pada bejana yang terbuat dari

metal, tanah liat, semen, dan plastik. Lingkungan biologi yang

mempengaruhi penularan DBD terutama adalah banyaknya tanaman

hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban dan

pencahayaan didalam rumah. Adanya kelembaban yang tinggi dan

kurangnya pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang

disenangi nyamuk untuk hinggap beristirahat.


a) Keberadaan barang bekas yang dapat menampung air
Pencegahan demam berdarah yang paling efektif dan

efisien sampai saat ini adalah kegiatan Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus, yaitu : 1) Menguras,

adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat

penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat

penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain

2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat


27

penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain

sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang

barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat

perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah (Menkes,

2014).

b) Keberadaan jentik nyamuk


Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya

merupakan pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk

tidak berkembang tidak dapat berkembang biak. Pada dasarnya

PSN ini dapat dilakukan dengan:


(a) Menguras bak mandi dan tempat-tempat

penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali,. Ini

dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa perkembangan

telur agar berkembang menjadi nyamuk adalah 7-10 hari.


(b) Menutup rapat tempat penampungan air seperti

tempayan, drum, dan tempat air lain dengan tujuan agar

nyamuk tidak dapat bertelur pada tempat-tempat tersebut.


(c) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum

burung setidaknya seminggu sekali.


(d) Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari

barang-barang bekas terutama yang berpotensi menjadi

tempat berkembangnya jentik-jentik nyamuk, seperti sampah

kaleng, botol pecah, dan ember plastik.


(e) Munutup lubang-lubang pada pohon terutama

pohon bambu dengan menggunakan tanah.


28

(f) Membersihkan air yang tergenang di atap rumah

serta membersihkan salurannya kembali jika salurannya

tersumbat oleh sampah-sampah dari daun.


c) Cegah gigitan nyamuk
Menurut Depkes (2015) mencegah gigitan nyamuk dengan cara:
(a) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di

tempat air yang sulit dikuras atau sulit air dengan

menaburkan bubuk temephos (abate) atau altosoid 2-3 bulan

sekali dengan takaran 1 gram abate untuk 10 liter air atau 2,5

gram altosoid untuk 100 liter air. Abate dapat di

peroleh/dibeli di Puskesmas atau di apotek.

(b) Mengusir nyamuk dengan obat anti nyamuk.

(c) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat

nyamuk gosok.

(d) Memasang kawat kasa di jendela dan di ventilasi

(e) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam

kamar.

(f) Gunakan sarung kelambu waktu tidur.

3) Lingkungan Sosial
Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan kurang

memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan

menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan

TPA, kebiasaan membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi

masyarakat khususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk,

maka akan menimbulkan resiko terjadinya transmisi penularan


29

penyakit DBD di dalam masyarakat. Kebiasaan ini akan menjadi

lebih buruk dimana masyarakat sulit mendapatkan air bersih,

sehingga mereka cenderung untuk menyimpan air dalam tandon bak

air, karena TPA tersebut sering tidak dicuci dan dibersihkan secara

rutin pada akhirnya menjadi potensial sebagai tempat perindukan

nyamuk Ae. aegypti.

F. Pemberantasan Nyamuk Aedes aegypti


1. Pengendalian larva
Pengendalian larva nyamuk yang efektif dapat dilakukan dengan cara
memberi bahan atau zat yang bermanfaat membunuh larva pada tempat-

tempat yang dicurigai sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk.

Metode pengendalian larva nyamuk tersebut biasanya dikenal dengan

nama larvasida. Larvasida dikelompokkan berdasarkan cara kerja bahan

tersebut pada larva yaitu;


a. Sebagai racun perut.
b. Larvasida kontak.
c. Agen permukaan.
d. Agen alami.
e. Pengatur pertumbuhan
2. Pengendalian Nyamuk Dewasa
Untuk membasmi nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan cara foging,

namun upaya ini hanya mampu mengurangi jumlah populasi nyamuk

dalam jangka waktu pendek. Kemampuan nyamuk betina untuk

memproduksi telur dalam jumlah banyak dapat mengembalikan jumlah

populasi nyamuk dalam jumlah seperti semula (.


Usaha yang paling efektif dilakukan untuk mengurangi populasi nyamuk

Aedes aegypti adalah memberantas tempat perindukan nyamuk dengan

tiga M (menutup, menguras, dan mengubur barang bekas yang dapat

menampung air). Untuk membunuh larva nyamuk dilakukan dengan


30

menggunakan insektisida abate. Cara penggunaan bubuk abate adalah

ditaburkan pada tempat penampungan air (Subekti, 2018).

G. Penelitian Terkait

Nama (Tahun) Judul Hasil Penelitian


Widodo (2012) Faktor-Faktor Yang Penelitian ini
Berhubungan Dengan menemukan, variabel
Kejadian Demam yang berhubungan
Berdarah Dengue (Dbd) dengan kejadian DBD di
Di Kota Mataram Kota Mataram pada
Provinsi Nusa Tenggara Tahun 2012 adalah
Barat Tahun 2012 variabel pekerjaan (OR
bekerja=2,04 ;
95%CI=1,032-4,015 ;
OR bersekolah=3,80 ;
95%CI=1,281-11,302)
dan penggunaan kassa
nyamuk (OR=0,42 ;
95%CI=0,218-0,810).
Tamza (2013) Hubungan Faktor Hasil analisis bivariat
Lingkungan Dan menunjukkan variabel
Perilaku Dengan yang menunjukkan
Kejadian Demam dengan kejadian DBD di
Berdarah Dengue wilayah Kelurahan
(Dbd)Di Wilayah Perumnas Way
Kelurahan Perumnas HalimKOta Bandar
Way Halim Kota Lampung adalah
Bandar Lampung Keberadaan Jentik
Aedes aegypti Praktik
(p=0,050 OR=5,586),
praktik menguras TPA
(p=0,000 OR=16,346),
kebiasaan menggantung
pakaian (p=0,001
OR=6,600), pemasangan
kawat kasa pada fentilasi
(p=0,038 OR=4,753),
penggunaan obat
nyamuk (p=0,000
OR=0,147).
Nurbayani (2013) Faktor Risiko Kejadian Hasil penelitian
Malaria di Wilayah berdasarkan variabel
Kerja Puskesmas analisis bivariat yang
Mayong Kabupaten memiliki hubungan
31

Jepara dengan kejadian malaria


adalah: keberadaan
semak (OR = 4,63, 95%
CI = 1,69-12,7),
keberadaan sawah (OR
= 3,11, 95% CI (1,043
-9.281), pengetahuan
(OR = 3.03, 95% CI =
1.174 hingga 7.831),
kebiasaan tidak
menggunakan kelambu
(OR = 3.03, 95% CI =
1.107 hingga 8.323), dan
kebiasaan menggantung
pakaian (OR = 3, 11,
95% CI = 1.188 hingga
8.147).

Ekaputra (2013) Analisis faktor-faktor Hasil analisis


yang berhubungan menunjukkan
dengan keberadaan ABJ=87,1%. Variabel
jentik Aedes aegypti di yang berhubungan
Puskesmas III Denpasar dengan keberadaan
Selatan jentik adalah perilaku
(PR=17,89, 95%CI:
4,99-64,11) dan
kesehatan lingkungan
(PR=7,08, 95%CI:
2,4820,23). Analisis
multivariate
menunjukkan bahwa
variable perilaku lebih
berpengaruh (PR=11,60,
95%CI: 2,98-45,13).
Faktor pengetahuan dan
sikap tidak berhubungan
secara statistik. Dapat
disimpulkan bahwa
upaya perubahan
perilaku yang
mendukung PSN DBD
masih diperlukan.
Hidayati (2017) Analisis faktor-faktor Hasil dari penelitian ini
yang berhubungan adalah terdapat kolerasi
dengan keberadaan yang signifikan antara
jentik Aedes aegypti di tempat
32

Puskesmas III Denpasar perkembangbiakan


Selatan nyamuk Aedes aegypti
jenis TPA (P value =
0,000), keberadaan tutup
(p value = 0,000), jenis
TPA lain ( P value =
0,023) dengan
keberadaan jentik Aedes
aegypti. Kebersihan TPA
tidak memiliki korelasi
yang signifikan dengan
keberadaan jentik Aedes
aegypti ( P value =
1,000). Sementara, tidak
terdapat hubungan
antara kepadatan jentik
Aedes aegypti dan
resiko penularan DBD
dengan kasus DBD di
Kelurahan Rajabasa
Raya, Kecamatan
Rajabasa Bandar
Lampung.
Rendy (2013) hubungan Faktor Hasil penelitian
Perilaku dan Faktor menunjukkan bahwa
Lingkungan dengan 55% rumah responden
Keberadaan Larva ditemukan larva Aedes
Nyamuk AedesAegypti aegypti. Faktor-faktor
di Kelurahan Sawah yang berhubungan
Lama Tahun 2013 dengan keberadaan larva
Aedes aegypti dalam
penelitian ini yaitu
pengetahuan (p value
0,001), sikap (p value
0,004), praktek
menguras tempat
penampungan air (p-
value 0,013), praktek
menyingkirkan barang-
barang bekas yang dapat
menjadi tempat
penampungan air (p
value 0,032), jenis
tempat penampungan air
(p-value 0,007).
Sedangkan faktor-faktor
33

yang tidak berhubungan


dengan keberadaan larva
Aedes aegypti dalam
penelitian ini yaitu
praktek menutup tempat
penampungan air (p
value 0,099) dan
ketersediaan tutup pada
tempat penampungan air
(p value 0,621). Faktor
yang paling dominan
dengan keberadaan larva
Aedes aegypti adalah
pengetahuan.

H. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan visualisasi hubungan antara variable untuk lebih

menjelaskan sebuah fenomena yang diciptakan oleh pakar atau ilmuwan

yang sudah baku dan sudah diakui (Wibowo, 2014). Kerangka teori dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :


Kerangka Teori

Host:
Umur
Jenis kelamin
Pengetahuan
Sikap
Status perkawinan
Gaya hidup
Perilaku

Agent :
DBD
Jentik nyamuk aides aiqipty
34

Environment :
Lingkungan biologis
Lingkungan fisik
Lingkungan sosial ekonomi
Faktor Laingkungan Tempat Tinggal :
Suhu
Kelembapan Udara
Genangan Air Diwadah Terbuka (Breeding Place)
Tempat penyimpanan air bersih

Gambar 2.1

Sumber : Widoyono (2011)

I. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah visualisasi hubungan antara berbagai variable yang

dirumuskan oleh peneliti sesudah membaca teori yang ada dan menyusun

teorinya sendiri yang akan digunakan sebagai landasan penelitian (Wibowo,

2014). Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka penulis membuat kerangka

konsep sebagai berikut

Gambar 2.2
Kerangka konsep

Pengetahuan

Sikap Keberadaan Jentik


Tempat Ae. Aegypti
penyimpanan air
bersih
Genangan Air
J. Hipotesis
Diwadah Terbuka
35

Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan

pembuktian untuk menegaskan apakah dapat terima atau harus ditolak.

Hipotesis juga merupakan suatu pernyataan tentang hubungan yang

diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris .

Ha :
a. Ada hubungan pengetahuan dengan keberadaan jentik nyamuk

Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar

Lampung tahun 2019.


b. Ada hubungan sikap dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes

aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung

tahun 2019.
c. Ada hubungan tempat penyimpanan air bersih dengan jentik

nyamuk Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way Halim Kota

Bandar Lampung tahun 2019.


d. Ada hubungan genangan air diwadah terbuka dengan keberadaan

jentik nyamuk aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way Halim

Kota Bandar Lampung tahun 2019.

Ho :

1. Tidak ada hubungan pengetahuan dengan keberadaan jentik

nyamuk Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way Halim Kota

Bandar Lampung tahun 2019.


2. Tidak ada hubungan sikap dengan keberadaan jentik nyamuk

Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar

Lampung tahun 2019.


36

3. Tidak ada hubungan tempat penyimpanan air bersih dengan

keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way

Halim Kota Bandar Lampung tahun 2019.


4. Tidak ada hubungan genangan air diwadah terbuka dengan

keberadaan jentik nyamuk aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Way

Halim Kota Bandar Lampung tahun 2019.

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif

yaitu jenis penelitian yang memberlakukan kualifikasi pada variable-variabel

nya, menguraikan distribusi variable secara numerik (memakai angka absolut

berupa frekuensi dan nilai relative berupa persentase) serta kemudian menguji
37

hubungan antar variabel dengan menggunakan formula statistik (Wibowo,

2014). Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui hubungan

perilaku dan lingkungan tempat tinggal dengan keberadaan jentik nyamuk

aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar

Lampung Tahun 2019.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim

Kota Bandar Lampung.


2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan setelah proposal di setujui

C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan pendekatan cross

sectional yaitu suatu penelitian yang mempelajari hubungan antara variabel

independen dan dependen (Riyanto, 2017). Rancangan penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui apakah ada Hubungan perilaku dan lingkungan

tempat tinggal dengan keberadaan jentik nyamuk aedes aegypti di Wilayah

Kerja Puskesmas Way Halim Kota Bandar Lampung Tahun 2019.

D. Populasi & Sampel

1. Populasi
Menurut Riyanto (2017) populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian. Jadi, populasi penelitian dapat disimpulkan sebagai subjek

penelitian yang mengenainya dapat diperoleh dari data yang

dipermasalahkan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala

keluarga yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Way Halim Kota

Bandar Lampung yang berjumlah 1.935 kepala keluarga.


2. Sampel
38

Menurut (Sugiyono, 2014) sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang di miliki oleh populasi tersebut. Dimana pada penelitian

ini sampel yang digunakan adalah jumlah kepala keluarga yang beraa di

wilayah Puskesmas Wayhalim Bandar Lampung . Penemuan besarnya

sampel peneliti menggunakan rumus sebagai berikut :

N
n=
1+ N ( d 2)

n =Jumlah Sampel

N= Total Populasi

d =Presentasi ketepatan yang direncanakan (95%)

Jadi besar sampel yang akan diambil adalah :

1935
n= = 1935/5,8375 = 331,4
1+1935( 0.05)2

jadi sampel yang akan diambil sebanyak 332 responden

3. Tekhnik sampling
Teknik sampling yang digunakan pada kontrol dan kasus adalah

non random sampling dengan teknik purposive sampling yaitu

pengambilan sampel yang berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu

seperti sifat-sifat populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui

sebelumnya (Notoatmodjo, 2012). Ciri khusus sengaja dibuat oleh

peneliti agar sampel yang diambil nantinya dapat memenuhi kriteria-

kriteria yang mendukung atau sesuai dengan penelitian.


B. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu atau bagian dari individu atau objek yang dapat

diukur (Swarjana, 2015) dalam penelitian ini menggunakan variabel:


39

1. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang mengalami perubahan sebagai

akibat dari perubahan variabel independen. Oleh karena itu variabel ini

juga dikenal sebagai variabel terikat atau variabel tergantung. Variabel

dependen (terikat) pada penelitian ini adalah keberadaan jentik


2. Variabel Independen

Variabel independen adalah variabel yang menyebabkan adanya suatu

perubahan terhadap variabel yang lain. Akibat perubahan yang

ditimbulkannya, maka variabel ini disebut sebagai variabel

independen atau variabel bebas. Variabel independen (bebas) pada

penelitian ini adalah perilaku dan lingkungan.

C. Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran Variabel


Definisi operasional yang terkait dalam penelitian ini adalah :

45
Tabel 3.1
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

No Variabel Definisi Alat Cara Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur
Dependent Keberadaan jentik Lembar observasi 0= ada jentik Nominal
Keberadaan nyamuk di tempat ceklis (jika terdapat
jentik nyamuk penampungan air, jentik dalam
1 seperti di bak mandi, pot salah satu
berisi air tempat
penampungan
air)
1=
Tidak ada jentik
(jika tidak
terdapat jentik
dalam salah satu
tempat
penampungan
air)

(Menkes, 2014)
Independen
Pengetahuan Ordinal
2 Hasil tau terhadap Kuesione Mengisi 0= kurang
keberadaan jentik r lembar (jika Nilai
40

nyamuk yang kuesioner ≤50%)


menyebabkan DBD 1= baik (jika
nilai >50%)

(Budiman,
2013)
Sikap Respon masyarakat Kuesioner Mengisi 0: positif (jika Ordinal
khususnya kepala kuesioner nilai >
keluarga tentang mean/median)
keberadaaan jentik
nyamuk DBD 1: negatif
(jika nilai <
mean/median)
(Budiman,
2013)
penyimpa Keadaan lingkungan Kuesioner Mengisi 0: baik (jika Ordinal
rumah tempat kuesioner tempat
nan air Penyimpanan air bersih penyimpanan
bersih yang di gunakan sehari-
tertutup dan
hari
tidak terdapat
jentik )

1: tidak baik
(jika tempat
penyimpanan
tidak tertutup
dan terdapat
jentik )

Wadah air Terdapat wadah air Kuesioner Mengisi 0: tidak ada Ordinal
terbuka di daerah kuesioner (jika tidak
terbuka lingkungan rumah yang terdapat benda
terdapat jentik nyamuk
benda tempat
menggenangn
ya air )

1:ada (jika
terdapat benda
benda tempat
menggenangn
ya air )

D. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengisian lembar

kuesioner secara langsung, kemudian data langsung dikumpulkan pada hari

itu juga. Pedoman pengukuran keikutsertaan ini yaitu suatu daftar untuk
41

mengecek sasaran pernyataan, yang dalam pengisian tinggal memberi tanda

checklist () pada pilihan yang cocok (Sugiyono, 2018).

E. Alat Ukur

Alat ukur/Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data. Karena berupa alat, maka pada penelitian ini

instrumen yang digunakan berupa kuesioner (angket tertutup) yaitu:

Kuesioner untuk hubungan perilaku dan lingkungan tempat tinggal dengan

keberadaan jentik nyamuk aedes aegypti di wilayah Kerja puskesmas way

halim kota bandar lampung tahun 2019

F. Pengolahan Data
Dalam suatu penelitian, pengolahan data merupakan salah satu langkah

yang penting ini disebabkan karena data yang diperoleh langsung dari

penelitian masih merupakan data mentah belum memberikan informasi

apapun dan belum siap untuk disajikan. Untuk memperoleh penyajian data

sebagai hasil yang berarti dan kesimpulan yang baik, diperlukan pengolahan

data (Hastono, 2016).

Beberapa teknik pengolahan data yaitu :

1. Editing
Tahapan ini dilakukan dengan memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan pada saat dilakukan ditahap pengumpulan

data. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka penulis melakukan

editing dengan cara :


a) Mengkoreksi kejelasan pengisian jawaban yang dilakukan oleh

responden, pertanyaan telah terisi semua dan jelas, mudah terbaca


42

sehingga dapat dimasukkan dalam tabel pegolahan.


b) Mengoreksi kembali pertanyaan yang dibuat bersangkut paut atau

relevan dan konsisten dengan tujuan dari penelitian yang dibuat.


c) Semua data yang sudah dikoreksi kemudian dimasukkan ke tabel

pengolahan.
2. Coding
Merupakan kegiatan pemberian kode kategorik (angka 0 dan 1) terhadap

data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat

penting karena pengolahan dan analisa data menggunakan program

komputer.
3. Processing
Data yang telah dimasukkan diperiksa kembali untuk memastikan bahwa

data telah bersih dari kesalahan, baik pada waktu pengkodean maupun

dalam waktu membaca kode, sehingga siap untuk dianalisa. Data – data

yang telah berbentuk angka kemudian di tabulasi dengan bantuan

program komputer.
4. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry

apakah ada kesalahan atau tidak (Hastono, 2016).

G. Teknik Analisis Data


1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi

variabel dependen dan variabel independent.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubunngan antara variabel

independen dan variabel dependen. Analisis bivariat dilakukan dengan

chi square (X2) untuk mengetahui pengaruh variabel terikat dengan

variabel bebas untuk menginterpresikan besar pengaruh dinyatakan


43

dengan Crude Odds Ratio (OR) dengan menggunakan Confidence

Interval (CI) sebesar 95%. Berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan

program komputer menggunakan SPSS 20 dapat dilihat kemaknaan

hubungan antara 2 variabel (Hastono, 2007), yaitu :

a. Jika probabilitas (p value ) ≤ 0,05 maka

bermakna/signifikan, berarti ada hubungan yang bermakna antara

variabel independen dengan variabel dependen atau hipotesis (Ho)

ditolak.
b. Jika probabilitas (p value) > 0,05 maka tidak

bermakna/signifikan, berarti tidak ada hubungan yang bermakna

antara variabel independen dengan variabel dependen, atau hipotesis

(Ho) diterima.

Anda mungkin juga menyukai