Anda di halaman 1dari 9

1.

Pengertian Bioetika
Bioetik atau bioetika berasal dari bios yang artinya kehidupan dan ethos yang berarti
norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika atau bioetika medis merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan dari perkembangan dibidang biologi dan
ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro masa kini dan masa mendatang(Bertens,
2001).
Bioetika juga merupakan padangan lebih luas dari etika kedokteran karena begitu saling
mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidup. Bioetika merupakan genus,
sedangkan etika kedokteran merupakan Spesies.
Bioetika memiliki norma bioetika yang pada saat ini banyak yang tumpang tindih dengan
atau setidaknya dipengaruhi oleh norma hukum dan yang melatarbelakangi (finansial,
budaya, sosial).
Bioetik penting dalam sebuah tindakan medis, dimana terdapat permasalahan dalam
pembuatan keputusan klinis pada kasus konkrit. Sebab, ini bukan tindakan mudah,
apalagi ketika memikirkan situasi dilematis dan ancaman etikolegal. Ada tiga aspek yang
harus dipahami dalam sebuah keputusan klinik yaitu aspek medis, aspek etik, dan aspek
legal.

2. Kaidah Dasar Bioetik


Bertolak dari Childress dan Beauchamp yang memaparkan adanya 4 kaidah dasar moral
yaitu beneficence, non-maleficence, autonomy and justice yang kemudian ditinjau
melalui etika sehingga merupakan maxim(kaidah dasar) yang berlaku normatif ketika
dokter menghadapi kasus konkrit di Klinik.
Beneficence (Berbuat baik )
Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien
yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian berbuat
baik diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi
kewajiban. Beneficence memiliki ciri-ciri :

Mengutamakan Alturisme
Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan suatu keburukannya
Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
Meenerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti
yang orang lain inginkan
Memberi suatu resep

Non-Maleficence (Tidak berbuat merugikan)


Praktik kedokteran harus memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling
besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti.
Non-malficence mempunyai ciri-ciri:

Menolong pasien emergensi


Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak memandang pasien sebagai objek
Melindungi pasien dari serangan
Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
Tidak melakukan White Collar Crime
Mengobati secara proporsional
Mencegah pasien dari bahaya

Autonomy ( menghormati martabat manusia)


Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki
otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri) dalam konteks ini pasien yang
memiliki kedewasaan dan berkepribadian matang, dan kedua, setiap manusia yang
otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan.
Autonomy bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan
membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Autonomy mempunyai ciri-ciri:

Menghargai hak menentukan nasib sendiri


Berterus terang menghargai privasi
Menjaga rahasia pasien
Melaksanakan Informed Consent

Justice (Keadilan)
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham
kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan
jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak
ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.
Justice mempunyai ciri-ciri :

Memberlakukan segala sesuatu secara universal


Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
Menghargai hak sehat pasien
Menghargai hak hukum pasien

3. Lafal Sumpah Dokter


(Berdasarkan Rakernas Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Majelis Pertimbangan dan
Pembelaan tanggal 20 22 Maret 1993)

Bagi yang beragama Islam: Demi Allah, saya bersumpah


Bagi yang beragama Kristen & Katolik: Demi Allah saya berjanji
Bagi yang beragama Hindu: Oh Atah Parama Wisesa
Bagi yang beragama Budha: Nammo Sanghyang Adhi Budhaya

Semuanya:

Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan


Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila
sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter
Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang akan ketahui kepada orang lain
karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter
Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan ilmu kedokteran saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekali pun diancam
Saya akan menghormati setiap kehidupan insani, mulai dari saat pembuahan
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh
oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau
kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya dan bekas guru saya
penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan
Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
berdasarkan Pancasila
Saya ikrarkan sumpah ini sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan
kehormatan diri saya.

4. KODEKI
Kode etik kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam
Musyawarah Kerja Susila Kedokteran di Jakarta. Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI), mengalami penyempurnaan dalam Musyawarah Kerja Nasional Etika
Kedokteran ke-2 di Jakarta. Hasil perubahan ini diberlakukan untuk seluruh dokter di
Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Men.Kes.SK/X/1983
tanggal 28 Oktober 1983 untuk dokter umum dan SK Menteri Kesehatan No.
128/MENKES/SK/III/1981 untuk kedokteran gigi.
Terdapat pasal-pasal dalam KODEKI :
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk hidup
insani.
Pasal 11
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien
kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 12
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 13
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 14
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan lebih mampu melakukan.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 15
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 16
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, tanpa
persetujuannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 17
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 18
Setiap dokter hendaknya selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap
setia pada cita-citanya yang luhur.
PENUTUP
Pasal 19
Setiap dokter harus berusaha dengan baik sungguh-sungguh menghayati dan
mengamalkan dalam pekerjaan sehari-hari Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
hasil Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran II, demi untuk mengabdi pada
masyarakat, bangsa dan negara.

5. Profesionalisme

Profesional yang artinya bidang bekerja, berasal dari kata profesi yang artinya pekerjaan.
Seseorang yang memiliki pekerjaan dan mampu bekerja dengan baik dianggap
profesional.
Menurut Robin Downie (1990), ada 6 ciri profesional:
keterampilan atau keahlian berdasarkan pendidikan
menyediakan pelayanan yang didasari adanya hubungan khusus terhadap
orang yang dia beri layanan
tingkah laku yang tidak merugikan
jujur dan terbuka
hak dan kewajiban sesuai hukum dan etik
izin yang sah dari institusi profesi serta pengakuan dari masyarakat

Seorang yang profesional harus terdidik bukan hanya terlatih, artinya memiliki
kemampuan teoritis yang digunakan dalam pekerjaannya selain keterampilan teknis dan
dituntut terus menerus meningkatkan kemampuan dan keahliannya agar hasil
pekerjaannya menjadi lebih baik.
Kemudian ada profesionalisme yaitu ciri dari profesional. Dalam bidang kedokteran atau
medis, profesionalisme menuntut kondisi altruistis yaitu mengedepankan kepentingan
pasien dan berkomitmen penuh terhadap tujuan pengobatan yaitu mencari kesembuhan.
Jadi, dokter sepantasnya mengetahui betul kondisi pasien.
Menurut Bworne (1967), komponen utama dari profesionalisme dokter adalah empati
(memahami perasaan orang lain), bekerja dengan penuh kepedulian dengan memiliki
kecakapan kognitif (teoritis), keterampilan, dan kemampuan fisik yang prima.
Sikap profesional dokter yaitu:

sikap pribadi sebading dengan etika profesi


sikap bertanggung jawab
empati
sikap alturisme

Penilaian profesionalisme yaitu: hati-hati, bertanggung jawab, sesuai prioritas, pasien


merasa nyaman, menghormati keputusan pasien, dan melakukan rujukan.

Inti profesionalisme:

komitmen moral untuk menjalankan etika


menjalankan etika profesi publik
negosiasi antara nilai profesi dan niai masyarakat.

6. Pembahasan Kasus
Kasus: seorang perempuan, 21 tahun yang mengalami radang usus buntu yang di bawa ke
ruang gawat darurat. Namun penanganan di UGD terkesan biasa saja , lambat dan tidak
mengacuhkan, padahal pasien dalam keadaan sakit parah dan membutuhkan perawatan
yang intensif. Sedangkan dokternya sendiri baru bisa memeriksa pasien 1 jam kemudian
untuk memutuskan tindakan operasi. Bahkan operasi tersebut tidak bisa segera
dilaksanakan karena masih banyak jadwal operasi yang lain. Ini berakibat pada pasien,
sehingga meninggal dunia.

Dari kasus ini dapat dilihat bahwa kaidah atau prinsip yang dipakai adalah Non-
Maleficence dimana pasien dalam keadaan gawat darurat.
Pasien tidak mendapatkan penanganan yang sesuai. Ini berarti masuk dalam ciri Non-
maleficence yaitu dokter mengobati secara tidak proporsional, dokter dan perawat tidak
mencegah pasien dari bahaya dan tidak melindungi dari serangan.

Kesimpulan

Kasus tersebut merupakan kasus yang terjadi pada kaidah dasar moral dengan prinsip Non-
Maleficence. Karena berdasarkan situasi yang dialami pasien dan penanganan dokter dan
perawat telah melawan ciri dari Non-Maleficence, dimana dokter mengobati secara tidak
proporsional, dokter dan perawat tidak mencegah pasien dari bahaya dan tidak melindungi
dari serangan.
Berdasarkan pada sumpah dokter dan pasal dalam KODEKI, seharusnya dokter tidak
melakukan tindakan demikian. Dokter harus bertindak profesional dalam menjalankan
tanggung jawab dan tugasnya yang dianggap mulia.
Daftar Pustaka

1. Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (edisi 4).
Jakarta: EGC
2. http://www.kalbemed.com/Portals/6/25_206Opini-
Pola%20Pikir%20Etika%20dalam%20Praktik%20Kedokteran.pdf
3. http://worldmeister.wordpress.com/2011/05/27/euthanasia-dan-bioetika-
kedokteran/
4. http://catatan.legawa.com/2009/04/lafal-sumpah-dokter/
5. Hartono,B., Evalina Asnawi.2014.WHO AM I? Bioetika, Humaniora, dan
Profesionalisme dalam Profesi Dokter.Jakarta

Anda mungkin juga menyukai