Anda di halaman 1dari 88

i

HASIL PENELITIAN

EFEKTIFITAS PEMBERIAN SOLIFENACIN DIBANDINGKAN


KOMBINASI SOLIFENACIN DAN MIRABEGRON TERHADAP
KELUHAN URETERAL STENT-RELATED SYMPTOMS
(SRSs) PADA PASIEN PASCA PEMASANGAN DOUBLE J
STENT

HALAMAN SAMPUL

Oleh :

dr. Denny Miftahur Ramadhan

Pembimbing :

dr. M. Asykar A. Palinrungi, Sp.U


dr. Firdaus Kasim, M.Sc

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PROGRAM PENDIDIKAN


DOKTER SPESIALIS I BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stent ureter merupakan alat untuk mempermudah aliran urine dari

ginjal ke kandung kemih yang terganggu akibat adanya obstruksi.

Penggunaan stent ureter awalnya diperkenalkan oleh Zimskind et al tahun

1967, kemudian berkembang hingga sekarang. (Dellis et al., 2010)

Stent ureter memiliki peran yang penting dalam drainase

sementara pada saluran kemih bagian atas dan merupakan prosedur

yang sering dilakukan dalam operasi endourologi. Terdapat berbagai

indikasi untuk pemasangan stent ureter, seperti obstruksi saluran kemih

bagian atas, infeksi yang disebabkan hidronefrosis, edema ureter

iatrogenik, perforasi, dan trauma ureter. Stent ureter menjadi metode yang

sederhana dan efektif dalam hal drainase ureter untuk mempertahankan

fungsi ginjal, mengatasi nyeri akibat obstruksi di ureter, dan menghindari

alat-alat yang dipasang dari luar tubuh. [ CITATION Guy97 \l 1057 \m

Dah18 \m Tan07].

Stent ureter memiliki banyak manfaat, namun juga dikaitkan

dengan berbagai efek samping mulai dari gejala saluran kemih bagian

bawah hingga disfungsi seksual yang dapat menurunkan kualitas hidup


2

pasien. Joshi dkk, melaporkan insidens keluhan efek samping

pemasangan DJ pada pasien dapat mencapai 50%-80%. Keluhan yang

berkaitan dengan stent ini disebut pula dengan Ureteral Stent-Related

Symptoms (SRSs) dapat beragam, seperti frekuensi (60%), urgensi (60%)

dan disuria (40%), selain itu keluhan nyeri (80%) dan hematuria (54%).

(Joshi et al., 2002; Otsuki et al, 2020)

Patofisiologi mengenai efek samping dari stent ini masih belum

jelas, namun terdapat beberapa teori seperti spasme otot polos ureter

ataupun lengkungan distal stent yang menyebabkan iritasi mukosa/

trigonum vesika dan refluks urin yang menimbulkan berbagai keluhan.

(Joshi et al, 2002; Joshi, Stainthorpe, et al., 2003; Otsuki et al, 2020)

Mengingat besarnya angka keluhan dari pasien, maka

dikembangkan sistem kuesioner yang dapat mengevaluasi morbiditas dan

efek samping dari pasca pemasangan DJ stent. Ureteral Stent Symptoms

Questionnaire (USSQ) adalah kuesioner gold standard untuk menilai

morbiditas dan menyediakan perbandingan data yang lebih baik.

[ CITATION Abr06 \l 1057 \m Bla09]

Seiring dengan kemajuan teknologi dan modifikasi dari stent ureter

yang terus dikembangkan sampai saat ini, berbagai penelitian untuk

mengatasi efek samping berkaitan dengan gejala pasca pemasangan DJ

stent, mencakup modifikasi desain stent, medikamentosa, posisi stent,

pelapisan stent dan terapi intravesical. [ CITATION Guy97 \l 1057 \m

Dah18 \m Mer14].
3

Saat ini, didapatkan bahwa desain stent yang paling ideal dan

digunakan secara luas adalah desain double J stent (DJ Stent). Terapi

untuk mengatasi keluhan terkait DJ Stent dengan medikamentosa

dianggap pilihan terapi yang paling sederhana dan non-invasif sehingga

dikembangkan beberapa obat seperti alfa blocker, antikolinergik,

phosphodiasteric inhibitor dan analgetik. (Joshi et al, 2002; Fischer, Louie

and Mucksavage, 2018)

Keluhan saluran kemih bagian bawah sebagai efek samping pasca

pemasangan DJ Stent serupa dengan gejala saluran kemih bagian bawah

yang disebabkan oleh benigna hipertofi prostat (BPH) dan keluhan urgensi

dan frekuensi seperti pada pasien dengan Overactive Bladder (OAB).

Terapi alfa blocker dan antimuscarinik yang digunakan untuk terapi BPH

dan OAB kemudian juga digunakan untuk mengurangi keluhan.

Komplikasi disebabkan oleh insersi DJ-stent, belum secara luas diteliti dan

dipublikasikan,terutama di Indonesia.[ CITATION Tan07 \l 1057 \m Hoh05

\m Pro12].

Solifenacin adalah obat antagonis reseptor muskarinik kompetitif

yang menghalangi asetilkoline berikatan dengan reseptor M-3 muskarinik

yang ada di otot detrusor buli, sehingga mencegah kontraksi buli. (White

et al., 2018)

Mirabegrone adalah agonis selektif untuk reseptor adrenergik beta-

3. Beta-3 adrenoreseptor adalah reseptor predominan beta yang terdapat

di sel-sel otot polos detrusor, dan stimulasinya akan menyebabkan


4

relaksasi otot detrusor. (White et al., 2018)

Telah dipaparkan efikasi dan keamanan dari solifenacin dan

mirabegron serta kombinasinya untuk pemakaian lebih dari 12 bulan pada

kasus OAB, terapi ini dapat dijadikan sebagai pilihan. (Gratzke et al.,

2018)

Penelitian ini membahas secara khusus mengenai efektivitas

pemberian obat solifenacin (anti muscarinik) dibandingkan kombinasi

solifenacin (anti muscarinik) dan mirabegron (beta-3 adrenergic agonis)

terhadap Ureteral Stent-Related Symptoms (SRSs) pada pasien pasca

pemasangan DJ stent.

B. Rumusan Masalah

Manakah yang lebih efektif pemberian solifenacin 5 mg/hari

dibandingkan kombinasi solifenacin 5 mg dan mirabegron 25 mg/hari

terhadap keluhan Ureteral Stent-Related Symptoms (SRSs) pasca

pemasangan DJ Stent.

C. Tujuan Penelitian
5

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas terapi obat solifenacin 5 mg/hari

dibandingkan kombinasi solifenacin 5 mg dan mirabegron 25 mg/hari

terhadap keluhan SRSs pasca pemasangan DJ Stent

2. Tujuan Khusus

a. Mengukur skor keluhan SRSs yang muncul pada pasien pasca

pemasangan DJ stent.

b. Mengukur efektivitas terapi solifenacin 5 mg/hari terhadap keluhan

SRSs pasca pemasangan DJ Stent

c. Mengukur efektifivitas terapi kombinasi solifenacin 5 mg dan

mirabegron 25 mg/hari terhadap keluhan SRSs pasca

pemasangan DJ Stent.

d. Membandingkan efektivitas terapi solifenacin 5 mg/hari dengan

kombinasi solifenacin 5 mg dan mirabegron 25 mg/hari terhadap

keluhan SRSs pasca pemasangan DJ Stent.


6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberikan informasi mengenai efektivitas terapi

obat solifenacin 5 mg/hari dibandingkan kombinasi solifenacin 5 mg

dan mirabegron 25 mg/hari terhadap keluhan SRSs pasca

pemasangan DJ Stent demi pengembangan ilmu kedokteran dan

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini memberikan informasi kepada klinisi mengenai

efek samping dari pemasangan DJ stent dan terapi yang efektif yang

dapat digunakan untuk mengatasi keluhan SRSs pasca pemasangan

DJ Stent.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Saluran Kemih

Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana

terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas

dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap

zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang

tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan

berupa urin (air kemih). Susunan sistem perkemihan terdiri

dari:

1. Ginjal (Ren)

Ginjal terletak pada dinding posterior di belakang peritoneum

pada kedua sisi vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-

3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah

dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dextra yang besar. Fungsi

ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat

toksis atau racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan,

mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan

tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein

ureum, kreatinin dan amoniak.[ CITATION Guy97 \l 1057 \m

Dah18 \m Abr06].
8

Gambar 1. Anatomi Struktur Ginjal

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula

fibrosa, terdapat korteks renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat

gelap, medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih

terang dibandingkan korteks. Bagian medulla berbentuk kerucut yang

disebut piramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang

terdiri dari lubang-lubang kecil yang disebut papilla renalis. Hilum

adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya

pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis

berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi

menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing

akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.

Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit

fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal.

Nefron terdiri dari: glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus

distal dan tubulus urinarius.[ CITATION Guy97 \l 1057 \m Dah18 \m


9

Tan07].

Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang

mempunyai percabangan arteri renalis, arteri ini berpasangan kiri dan

kanan. Arteri renalis bercabang menjadi arteri interlobularis kemudian

menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal

bercabang manjadi arteriole aferen glomerulus yang masuk ke

gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut

arteriole eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis

masuk ke vena cava inferior. [ CITATION Guy97 \l 1057 \m Dah18 \m

Tan07].

Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis (vasomotor).

Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke

dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah

yang masuk ke ginjal yang menghasilkan urin. [CITATION Guy97 \m

Dah18 \l 1057 ].

2. Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari

ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ±25-34 cm, dengan penampang

0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian

lagi terletak pada rongga pelvis. Lapisan dinding ureter menimbulkan

gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk ke dalam

kandung kemih.[CITATION Guy97 \m Dah18 \l 1057 ].

Lapisan dinding ureter terdiri dari:


10

a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)

b. Lapisan tengah lapisan otot polos

c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

Gambar 2. Anatomi struktur ureter

3. Vesika urinaria (kandung kemih)

Vesica urinaria berfungsi menampung dan mengeluarkan urine,

ketika tidak sedang terisi oleh urin (kosong) memiliki bagian:

[ CITATION Guy97 \l 1057 \m Dah18 \m Tan07]

a. Fundus vesicae : sisi berbentuk segitiga dan menghadap ke

kaudodorsal, berhadapan dengan rektum. Pada pria dipisahkan

dari rektum oleh fascia rektovesikalis yang meliputi vesikular

seminalis dan ampulla duktus deferens. Sedangkan pada wanita

dipisahkan dari rektum oleh forniks, portio supravaginalis.

b. Apex / vertex vesicae : terdapat plika umbilicalis mediana dan

ligamentum Umbilicale mediana


11

c. Facies Superior : sisi berbentuk segitiga yang dibatasi oleh margo

lateral di kedua sisi lateralnya dan margo posterior di bagian

dorsalnya. Terdapat fossa paravesicalis (lekukan peritoneum di

sebelah lateral margo lateral). Pada pria menghadap colon sigmoid

dan lengkung ileum. Sedangkan pada wanita menghadap corpus

uteri.

d. Facies Inferior : diliputi oleh fascia endopelvina

Gambar 3. Anatomi vesica urinaria dan lapisan vesica urinaria

Vesica urinaria tidak memiliki kapsul, setelah otot adalah

lemak, jaringan konektif dan plexus dari vena.Lapisan Vesica


12

Urinaria dari luar ke dalam : Tunica Serosa (Peritoneum Parietal) –

Tela Subserosa (Fascia Endopelvina) – Tunica Muscularis

(muskulus detrussor) – Tela Submucosa – Tunica Mucosa. Serat

dari muskulus detrusor tidak tersusun lapis demi lapis seperti pada

usus, tetapi tersusun selang-seling, seperti lapisan keranjang.

Muskulus detrusor dilapisi oleh lapisan tipis submukosa dan dilapisi

lapisan urothelium yang bersifat waterproof.

Pada bagian dalam dari Vesica Urinaria terdapat sebuah

area yang disebut dengan Trigonum Lieutaudi. Trigonum Lieutaudi

ini dibentukoleh sepasang ostium ureteris (lubang tempat

masuknya ureter ke dalam VU) dan ostium urethra internum

(OUI). Pada pria trigonum lieutaudi ini akan terfiksasi pada prostat.

Sedangkan pada wanita akan terfiksasi pada dinding anterior

vagina. Mucosa pada trigonum Lieutaudi ini akan melekat erat pada

m. Trigonalis.[ CITATION Guy97 \l 1057 \m Dah18 \m Tan07].


13

Vesica urinaria bagian cranial divaskularisasi oleh 2 atau 3

arteri vesicalis superior (cabang dari a. umbilicalis). Sedangkan

bagian caudal dan cervix divaskularisasi oleh a. vesicalis inferior.

Pada wanita mendapatkan tambahan vaskularisasi dari a.

vaginalis. Pada bagian fundus vesicae pada pria divaskularisasi

oleh a. deferentialis dan pada wanita oleh a. vaginalis dan a.

vesicalis inferior. Sedangkan aliran vena nya akan bermuara pada

plexus venosus prostaticus & vesicalis yang akan bermuara pada

v.hypogastrica.[ CITATION Guy97 \l 1057 \m Dah18 \m Tan07 \m

Mer14].

Gambar 4. Persarafan vesica urinaria

Persarafan simpatik vesica urinaria (segmen Thoracal XI –

Lumbal II) dari Plexus prostaticus & plexus vesicalis yang berasal

dari plexus hipogastricus inferior. Persarafan ini memberikan

fungsi untuk menggiatkan m. spinchter interna dan menginhibisi m.


14

detrussor serta menghantarkan rasa nyeri dari VU. Selain itu VU

juga mendapatkan persarafan parasimpatik dari n. splanchnicus

pelvicus Segmen Sacral II-IV. Persarafan ini memberikan fungsi

untuk merelaksasi sfingter interna, menggiatkan m.detrussor,

menghantarkan peregangan dinding VU dan mengosongkan VU.

[ CITATION Tan07 \l 1057 \m Mer14].

Fungsi sistem persarafan bergantung pada pelepasan zat

kimiawi yaitu neurotransmitter. Zat yang paling penting

mempengaruhi vesica urinaria adalah asetilkolin (ACH) yang

dilepaskan oleh akson parasimpatis postganglionik. Ketika ACH

dilepas akan menyebabkan otot-otot kandung kemih mengalami

kontraksi.Pelepasan ACH ini diakibatkan adanya stimulasi dari M3

reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos vesika urinaria.

Pelepasan zat kimiawi ini mengatur respon dari sistem persarafan

pada kandung kemih. Selain asetilkolin, sistem saraf simpatis

postganglionik juga melepaskan noradrenalin yang diaktivasi oleh

reseptor ᵦ3 adrenergik yang merelaksasikan otot polos vesika

urinaria dan adanya aktivasi dari alfa1 adrenergik yang

mengkontraksikan otot polos uretra. Akson somatis dari nervus

pudendus akan melepaskan ACH yang diakibatkan kontraksi oleh

otot spinchter eksterna yang diaktivasi oleh reseptor kolinergik

nikotinik. [ CITATION Guy97 \l 1057 \m Dah18 \m Tan07].

4. Uretra
15

Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika

urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki

panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari: uretra pars prostatika,

uretra pars membranosa, uretra pars spongiosa. Uretra pada wanita

panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm dengan sphincter uretra terletak di

sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan hanya sebagai

saluran ekskresi.[ CITATION Guy97 \l 1057 \m Dah18 \m Tan07].

B. Fisiologi Saluran Kemih

1. Proses Pembentukan Urin

a. Proses filtrasi di glomerulus

Terjadi penyerapan darah yang tersaring adalah bagian

cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung

oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium,

klorida, sulfat, bikarbonat, diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan

yang disaring disebut filtrat glomerulus.[ CITATION Guy97 \l

1057 \m Tan07].

b. Proses reabsorbsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian

besar dari glukosa, sodium, klorida fosfat dan beberapa ion

bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator

reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada tubulus distal

terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila


16

diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi

fakultatif) dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.

[ CITATION Guy97 \l 1057 \m Tan07].

c. Proses sekresi

Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus

distal dialirkan ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.

2. Proses pengosongan vesika urinaria

Vesika urinaria yang telah terisi dengan urin ureter akan

menampung dan mengeluarkan urine secara bertahap.

Gambar 5. Proses pengosongan vesika urinaria

Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun spiral,

memanjang dan melingkar, tetapi batas lapisan yang jelas tidak

ditemukan. Kontraksi peristaltik yang teratur timbul 1-5 kali tiap

menit akan mendorong urine dari pelvis renal menuju kandung

kemih, dan akan masuk secara periodik sesuai dengan

gelombang peristaltik. Ureter menembus dinding kandung

kemih secara miring, dan meskipun tidak ada sfingter ureter,


17

kemiringan ureter ini cenderung menjepit ureter sehingga

ureter tertutup kecuali selama adanya gelombang peristaltik,

dan refluks urine dari kandung kemih ke ureter dapat dicegah.

[ CITATION Guy97 \l 1057 \m Tan07 \m Abr06].

Otot polos kandung kemih, seperti pada ureter, tersusun

secara spiral, memanjang, melingkar dan karena sifat dari

kontraksinya otot ini disebut muskulus detrusor, terutama

berperan dalam pengosongan kandung kemih selama

berkemih. Susunan otot berada di samping kiri dan kanan

uretra, dan serat ini disebut spingter uretra interna, meskipun

tidak sepenuhnya melingkari uretra sepenuhnya. Lebih distal,

terdapat spingter pada uretra yang terdiri dari otot rangka, yaitu

spingter uretra membranosa (spingter uretra eksterna).

Sistem saraf perifer dari saluran kemih bawah terutama

terdiri dari sistem saraf otonom, khususnya melalui sistem

parasimpatis yang mempengaruhi otot detrusor terutama

melalui transmisi kolinergik. Perjalanan parasimpatis melalui

nervus pelvikus dan muncul dari S2-S4. Transmisi simpatis

muncul dari T10-T12 mmbentuk nervus hipogastrikus inferior

yang bersama-sama dengan saraf parasimpatis membentuk

pleksus pelvikus.

Persarafan parasimpatis dijumpai terutama di kandung

kemih dari dindingnya sangat kaya akan reseptor kolinergik.


18

Otot detrusor akan berkontraksi atas stimulasi asetil kolin.

Serabut simpatis-adrenergik mempersarafi kandung kemih dan

uretra. Reseptor adrenergik di kandung kemih terdiri dari

reseptor alfa dan beta. Bagian trigonum kandung kemih tidak

mempunyai reseptor kolinergik karena bagian ini terbentuk dari

mesodermis, tetapi kaya akan reseptor adrenergic alfa dan

sedikit reseptor beta. Sementara uretra memiliki ketiga

reseptor.

Berkemih pada dasarnya merupakan reflex spinal yang

akan difasilitasi dan dihambat oleh pusat susunan saraf yang

lebih tinggi, dimana fasilitasi dan inhibisi dapat bersifat

volunteer. Urine yang memasuki kandung kemih tidak begitu

meningkatkan tekanan intravesika sampai telah terisi penuh.

Akhirnya timbul peningkatan tekanan yang tajam

akibatnya tercetus reflex berkemih. Keinginan pertama untuk

berkemih timbul bila volume kandung kemih sekitar 150cc, dan

rasa penuh timbul pada pengisian sekitar 400cc.

Pada kandung kemih, peningkatan tekanan hanya akan

sedikit saja sampai organ tersebut relatif penuh. Selama

proses berkemih, otot perineum dan spingter uretra eksterna

relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urine akan mengalir

melalui uretra. Mekanisme awal yang menimbulkan proses

berkemih volunter belum diketahui secara pasti. Salah satu


19

peristiwa awal adalah relaksasi otot-otot dasar panggul, dan

hal ini mungkin menimbulkan tarikan ke bawah yang cukup

besar pada otot detrusor untuk merangsang kontraksi.

Kontraksi otot perineum dan spingter eksterna dapat dilakukan

secara volunter, sehingga dapat menghentikan aliran urine

saat sedang berkemih. Melalui proses belajar seorang dewasa

dapat mempertahankan kontraksi spingter eksterna sehingga

mampu menunda berkemih sampai saat yang tepat.

[ CITATION Abr06 \l 1057 \m Tan07].


20

c. Double J Stent

Double-J stent (DJ Stent) atau pigtail stent merupakan sebuah

kateter atau tube yang ditempatkan di dalam lumen ureter secara

retrograde maupun antegrade yang bertujuan untuk menjaga patensi

ureter. Alat ini sering digunakan dalam endourologi dengan bentuk seperti

2 buah huruf J, dengan ujung proksimal berada di sistempelvikokaliks

ginjal dan ujung distal di kandung kemih. (Joshi, Stainthorpe, et al., 2003;

Gravas et al., 2015)

Gambar 6. Double J Stent

Desain double J Stent dengan dengan double coil di distal dan

proximal saat ini dinyatakan sebagai desain yang paling ideal untuk

mempertahankan posisi stent tidak berubah pada saluran ureter. Desain

ini dianggap dapat menghindari pergeseran stent ke prokimal atau distal

akibat aliran urine, gerakan aktivitas pasien, dan peristaltik ureter.

(Miyaoka and Monga, 2009; Park et al., 2012; Gravas et al., 2015)

Double J Stent memiliki peranan yang penting dalam drainase


21

urine. Indikasi urgent pemasangan Double J stent diperlukan seperti pada

kasus obstruksi akibat pielonefritis, kolik renal akut, dan pada proses

prosedur endoskopi. (Pansota et al., 2013)

Tabel 1. Indikasi Untuk PenggunaanStent


No. Current Indication For Stent Replacement
1. Urgent
a. Obstructive pyelonephritis
b. Intolerable acute renal colic
c. Renal failure secondary to ureteral obstruction
2. Safety related
a. Ureteral edema
b. Ureteral perforation
c. Steinstrasse
d. Previous history of renal failure
e. Solitary kidney
f. Transplant kidney
3. Relative
a. Stone burden >2 cm before SWL
b. Pregnancy
c. Long-standing impacted stone
d. Recent history of urinary tract infection or sepsis
e. Passive dilation of ureteral orifice and ureter
f. Prolonged endoscopic operative time
g. Patients with imminent post operative plans (2nd look)

Pemasangan DJ Stent dapat diindikasikan apabila terjadi edema

atau perforasi ureter, steinstrasse (mencegah potensi obstruksi post

ESWL akibat batu yang hancur dan turun ke ureter), terdapat riwayat

gagal ginjal sebelumnya, ginjal soliter atau pun post transplantasi ginjal.

Adapun indikasi relatif dari insersi DJ stent ini adalah batu yang berukuran

lebih dari 2 cm sebelum ESWL, kehamilan, batu ureter impaksi lama,

riwayar sepsis sebelumnya, dilatasi pasif dari ureter dan uretra, operasi

endoskopi yang lama dan pasien yang direncanakan operasi lagi.

(Pansota et al., 2013)


22

d. Gejala-gejala Saluran Kemih Bagian Bawah Terkait DJ Stent

Gejala-gejala yang timbul pasca pemasangan stent atau yang

dikenal dengan Ureteral Stent Related Symptoms(SRSs) dapat beragam

pada setiap pasien. Sekitar 80% dari pasien memiliki keluhan pasca

pemasangan stent ureter. Keluhan pasien beragam seperti frekuensi

(60%), urgensi (60%) and disuria (40%), selain itu keluhan nyeri (80%)

dan hematuria (54%). (Betschart et al., 2017; Otsuki et al., 2020)

Patofisiologi mengenai efek samping dari stent ini masih belum

jelas, namun terdapat beberapa teori seperti spasme otot polos ureter

ataupun lengkungan distal stent yang menyebabkan iritasi mukosa/

trigonum vesika dan refluks urin yang menimbulkan berbagai keluhan

SRSs. (Joshi, Stainthorpe, et al., 2003; Otsuki et al., 2020)

Keluhan frekuensi yang muncul akibat stimulus mekanis yang

berasal dari ujung distal DJ stent (bladder coil). Stimulus mekanis ini

berkaitan pula dengan aktifitas fisik dari pasien sehingga lebih sering

muncul di siang hari, dibandingan malam hari. Posisi stent yang tidak

tepat, atau terlalu distal dapat menambah ketidaknyamanan dan keluhan

pasien. (Lee et al., 2019)

Keluhan urgensi diduga berasal dari stimulus dari adanya stent,

yang dapat pula berasal dari aktivitas berlebihan dari otot-otot detrusor

buli-buli. Inkontinensia timbul dari episode urgensi, ataupun sebagai akibat

dari migrasi DJ stent masuk ke bladder neck, sampai ke uretra proksimal

dengan melewati sfingter uretra, sehingga dapat terjadi inkontinensia.


23

(Lee et al., 2019)

Keluhan disuria timbul akibat dari ujung distal Stentyang mengiritasi

trigonumpada buli-buli, terutama bila ujung stent melewati garis tengah

buli-buli ataupun loop stent yang inkomplit. Terdapat beberapa penelitian

yang mengemukakan bahwa keluhan disuria dan urgensi, timbul pada

pasien dengan DJ stent yang berukuran lebih panjang. (Lee et al., 2019)

Nyeri pinggang dapat timbul sebagai hasil aliran balik urine ke

ginjal, yang menyebabkan peningkatan intra pelvic yang berakibat nyeri

pinggang. Nyeri ini dapat bersifat ringan sampai sedang, dan tidak

dipengaruhi oleh posisi ujung proksimal DJ stent, baik di caliks maupun di

pelvis renalis. (Lee et al., 2019)

Nyeri suprapubik akibat dari ujung distal DJ stent yang mengiritasi

mukosa buli-buli atau merupakan tanda komplikasi yang dapat berupa

infeksi ataupun pembentukan batu pada stent (enkrustasi). Adanya

komplikasi ini dapat dikonfirmasi dari pemeriksaan urinalisa maupun

radiologi. (Lee et al., 2019)

Disfungsi seksual dianggap gejala sekunder akibat pemasangan DJ

Stent. Bolat dkk. mempublikasikan studi terkontrol secara acak yang

melibatkan 72 pasien dan kesimpulan mereka menunjukkan bahwa

pemasangan DJ tampaknya memiliki efek negatif pada fungsi seksual

pria, terutama pada disfungsi ereksi dan disfungsi ejakulasi. Skor

International Index of Erectile Function Questionnaire dan Male Sexual

Health Questionnaire secara signifikan lebih rendah pada pasien pasca


24

pemasangan DJ stent dibandingkan dengan kelompok kontrol untuk

periode 1 dan 3 bulan pasca operasi. Selama hubungan seksual dan

ejakulasi, beberapa mengalami sensasi iritasi dan rasa sakit yang

dikaitkan dengan stent ureter. (Lee et al., 2019)

Semua keluhan Stent Related Symptoms (SRSs) yang dapat timbul

dan menjadi morbiditas pasca pemasangan DJ stent. Mengingat

pemasangan DJ stent dengan berbagai morbiditasnya maka insersi DJ

Stent bukan merupakan prosedur yang mutlak harus dilakukan pada

semua operasi urologi di saluran kemih, namun dengan

mempertimbangkan lebih tingginya morbiditas yang akan muncul akibat

obstruksi dari ureter yang tidak paten, maka insersi DJ stent masih

direkomendasikan sesuai dengan indikasi dan pada kasus-kasus yang

meragukan, tetap dilakukan insersi DJ stent. (Miyaoka and Monga, 2009;

Betschart et al., 2017; Lee et al., 2019)

e. Ureteral Stent Symptoms Questionnaire ( USSQ)

Ureteral Stent Symptoms Questionnaire (USSQ) adalah kuesioner

dengan pengukuran multidimensional yang dirancang untuk kepentingan

klinis dan penelitian. Kuestioner ini digunakan untuk menilai keluhan yang

muncul pada pasien pasca pemasangan DJ Stent dan merupakan gold

standard untuk menilai morbiditas dan menyediakan data yang lengkap.

Kuesioner ini telah digunakan secara internasional dan diterjemahkan ke

dalam berbagai bahasa untuk melihat efek samping dari penggunaan


25

stent. (Fischer, Louie and Mucksavage, 2018)

USSQ terdiri dari 6 bagian yang ditanyakan yakni nyeri pada tubuh,

keadaan berkemih, status kesehatan umum, aktivitas bekerja, masalah

seksual, ketidaknyamanan lainnya dengan masing-masing bagian dapat

dihitung sehingga mendapatkan urinary index score (UIS), pain index

score (PIS), general health index score (GHIS),workperformance score

(WPS), and sexual matters score (SMS). Adapun format lengkap

kuesioner ini kami lampirkan. (Miyaoka and Monga, 2009; Park et al.,

2012; Betschart et al., 2017)

f. Solifenacin

Solifenacine (C23H26N2O2) adalah antagonis reseptor muskarinik

kompetitif, selektif untuk subtipereseptor M3. Solifenacin disetujui untuk

penggunaan medis di Amerika Serikat pada tahun 2004. Reseptor

muskarinik memiliki peranan yang penting dalam beberapa sistem mayor

yang dimediasi kolinergik, yaitu kontraksi otot polos buli-buli dan stimulasi

sekresi kelenjar saliva. (White et al., 2018)

Gambar 7. Solifenacin (C23H26N2O2)


26

Mekanisme kerja solifencin adalah sebagai berikut: otot detrusor di

persarafi oleh nervus parasimpatis dengan neurotranmitter utama adalah

asetilkoline, yang merangsang reseptor muskarinik (M-cholinoreceptors)

pada otot sel sel otot polos. Reseptor muskarinik ini selain ada di detrusor,

juga ada di kelenjar saliva dan sistem saraf pusat dan perifer. Reseptor

muskarinik memiliki 5 macam sub tipe yaitu M1-M5, dengan M2 dan M3

berada dominan di detrusor. Jumlah subtipe M2 lebih banyak, tetapi yang

memiliki fungsi yang lebih dominan pada kontraksi detrusor adalah M3.

Efek muskarinik ini dapat pula dipicu atau dimodulasi oleh urothelium buli

buli atau pun sistem saraf pusat. Pengikatan asetilkolin pada reseptor ini,

terutama subtipe reseptor M3, memainkan peran penting dalam kontraksi

otot polos. Dengan mencegah pengikatan asetilkolin pada reseptor ini,

solifenacin mengurangi tonus otot polos di kandung kemih,

memungkinkan kandung kemih untuk mempertahankan volume urin yang

lebih besar dan mengurangi jumlah episode inkontinensia. (Katoh et al.,

2016; Chen et al., 2018)

Efikasi : dari berbagai penelitian, solifenacin memberikan hasil

yang baik mengatasi keluhan urinary symptoms akibat OAB. (Katoh et al.,

2016; Chen et al., 2018)

Solifenacin dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450

CYP3A4. Ketika diberikan bersamaan dengan obat yang menghambat

CYP3A4, seperti ketoconazole, metabolisme solifenacin terganggu,

menyebabkan peningkatan konsentrasi dalam tubuh dan pengurangan


27

ekskresi. Solifenacin juga dapat memperpanjang interval QT, sehingga

pemberian secara bersamaan dengan obat yang juga memiliki efek ini,

seperti moxifloxacin atau pimozide, dapat meningkatkan risiko aritmia.

Setelah pemberian oral solifenacin, akan mencapai kadar

maksimal dalam plasma darah dalam 3-8 jam setelah diminum.

Solifenacin dimetabolisme secara luas di hati. Dosis yang diberikan

adalah 2,5 mg, 5 mg dan 10 mg per 24 jam per oral. Sisa- sisa

metabolisme obat ini akan disekresikan melalui urine (24%) dan feses

(66%) dalam 26 hari. Eliminasi waktu paruh solifenasin pada pemakaian

kronik adalah 45-68 jam. (Kim, Y. et al., 2018)

Efek samping antimuskarinik yang dapat muncul adalah mulut

kering (1,5%), konstipasi, pada keadaan intoleransi seperti dilatasi pupil

menetap, penglihatan kabur, heat-stroke, keringat berkurang, lemas,

nausea, tremor dan kulit kering). Insiden mulut kering dan konstipasi lebih

tinggi pada penggunaan dosis solifenacin 10 mg dari pada 5 mg per hari.

Reaksi alergi yang berat dapat berupa angioedema pada wajah, dan

udem hebat di jalan napas, gatal-gatal. Overdosis dengan solifenacin

berpotensi menyebabkan efek antikolinergik yang parah dan harus diobati

dengan tepat. (Katoh et al., 2016; Wein, 2018)

Kontraindikasi pemberian obat ini adalah gangguan fungsi hati,

gangguan fungsi ginjal, riwayat glaukoma, retensi urine, long-QT

sindrome, kehamilan, sedang hemodialisa, hipersensitifitas terhadap obat

solifenacin.
28

g. Mirabegron

Mirabegron (C21H24N4O2S) adalah agonis adrenergik beta-3 yang

diindikasikan untuk pengobatan kandung kemih yang terlalu aktif (OAB)

dengan gejala-gejala inkontinensia urin, urgensi, dan frekuensi urin.

Mirabegron 50 mg adalah beta-3 agonis pertama secara klinis yang

tersedia dan disetujui untuk terapi OAB pada pasien dewasa. Mirabegron

telah menjalani penelitian uji coba yang ketat di Eropa, Australia, Amerika

Utara dan Jepang. Mirabegron disetujui untuk penggunaan medis di

Amerika Serikat pada 2012. (White et al., 2018)

Gambar 8. Mirabegron (C21H24N4O2S)

Mekanisme kerja: Beta-3 adrenoreseptor adalah reseptor

predominan beta yang terdapat di sel sel otot polos detrusor, dan

stimulasinya akan menyebabkan relaksasi otot detrusor. Mirabegron

adalah agonis ampuh dan selektif untuk reseptor adrenergik beta-3.

Setelah reseptor beta-3 diaktifkan, otot polos detrusor rileks untuk

memungkinkan kapasitas kandung kemih yang lebih besar. Lebih lanjut,

mirabegron meningkatkan tekanan darah tergantung pada dosis yang

digunakan. Namun, efek ini menghilang ketika mirabegron dihentikan.


29

Mirabegron juga meningkatkan denyut jantung yang terkait dengan dosis.

(Gibson et al., 2017; Kelleher et al., 2018)

Efikasi: mirabegron menunjukkan efikasi yang signifikan untuk

terapi overactive bladder, termasuk frekuensi, urgensi urin incontinensia,

urgency dengan dominan dilakukan pada pasien wanita. Dosis di mana

efektifitas setengah maksimal ditunjukkan adalah 25 mg. Secara

komparatif, dosis yang menunjukkan efektifitas maksimal adalah 100 mg.

(Gibson et al., 2017; Kelleher et al., 2018)

Kadar maksimum mirabegron dalam plasma akan dicapai dalam

3,5 jam setelah pemberian oral. Mirabegron dimetabolisme melalui

beberapa jalur yang melibatkan dealkilasi, oksidasi, glukuronidasi

(langsung), dan hidrolisis amida. Mirabegron dieliminasi melalui urin dan

tinja. Tingkat eliminasi melalui urin tergantung pada dosis. Waktu paruh

eliminasi terminal = 50 jam. Efek samping yang paling sering dilaporkan

(>2% dan plasebo) adalah hipertensi, nausea, nasofaringitis, infeksi

saluran kemih, dan sakit kepala. (Gibson et al., 2017; Kelleher et al.,

2018)

Toleransi dan keamanan: mirabegron dikontraindikasikan untuk

pasien dengan hipertensi berat yang tidak terkontrol (tekanan darah sistol

≥ 180 mmHg atau diastole ≥ 110 mmHg, atau keduanya). Tekanan darah

harus diukur terlebih dahulu sebelum memulai pengobatan dan dipantau

reguler selama pengobatan. Mirabegron tidak menaikkan tekanan

intaokular sehingga dapat digunakan pada pasien dengan glaukoma.


30

Percobaan dengan kelinci membuktikan penggunaan mirabegrone pada

kelinci hamil dapat menyebabkan kematian janin, kardiomegali dan

dilatasi aorta pada kelinci, sehingga tidak dianjurkan pada wanita hamil.

(Gibson et al., 2017; Kelleher et al., 2018; White et al., 2018)

h. Kombinasi solifenacin dan Mirabegron

Antimuskarinik (solifenacin) dan agonis adrenoseptor β3

(mirabegron) merupakan obat oral yang sering digunakan untuk

mengobati keluhan pada kasus over active bladder (OAB), kedua obat ini

menunjukkan efek yang serupa, akan tetapi mirabegron tidak terkait

dengan efek samping seperti antikolinergik. (Abrams et al., 2017)

Pasien dengan OAB biasanya mulai dengan pemberian

antimuskarinik, dengan peningkatan dosis atau perubahan obat jika tidak

ada perbaikan gejala. Namun peningkatan dosis meningkatkan risiko efek

samping dari antimuskarinik dan jika keluhan sangat mengganggu

pemberian pengobatan sebaiknya dihentikan. Penggunakan kombinasi

mirabegron dan solifenacine dapat meningkatkan efektivitas obat tanpa

mengorbankan tolerabilitas, sehingga meningkatkan keberhasilan dalam

tatalaksana OAB. (Abrams et al., 2017)

Telah dipaparkan efikasi dan keamanan dari solifenacin dan

mirabegron serta kombinasinya untuk pemakaian lebih dari 12 bulan pada

kasus OAB, terapi ini dapat dijadikan sebagai pilihan.(Gratzke et al, 2018)
31

i. Kerangka Teori

Pasca
Pemasangan
Double J Stent

modifikasi
desain stent,
medikamentos Solifenacin
a Efek samping:
posisi stent, Iritasi Bladder
pelapisan stent
terapi Spasme otot polos
Solifenacin
intravesical.
Reflux urine + Mirabegron

Keluhan Saluran Kemih Bagian Bawah,


Nyeri pinggang/suprapubik, Hematuria

Morbiditas, Penurunan
Kualitas Hidup

Bagan 1. Kerangka Teori Penelitian


32

j. Kerangka Konsep

Insersi DJ
Stent

Iritasi Bladder,
Spasme otot
polos,Reflux urine

USSQ

Keluhan Saluran Kemih


Bagian Bawah, nyeri,
hematuria

Solifenacine 5
Solifenacin 5 mg + Mirabegron
mg 25 mg

Bagan 2. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel bebas :

Variabel tergantung :

Variabel kendali :
33

k. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada

karakteristik yang dapat diobservasi dari variabel atau mengubah konsep-

konsep dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang

dapat diamati dan yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh

orang lain. Berikut ini adalah definisi operasional dari beberapa variabel

yang diteliti, yaitu sebagai berikut

1. Variabel Karakteristik Responden

a. Pasien yang menjalani operasi endo, atau PCNL yang diikuti insersi

DJ Stent

i. Kriteria inklusi

a) Bersedia menjalani penelitian dengan sukarela

b) Pria dan wanita, dengan usia 20-60 tahun

c) Pasien dengan indikasi penyisipan DJ stent secara

endoskopi yang didiagnosa dengan batu ureter <10 mm

(dengan atau tanpa dilatasi pelvis, kaliks, ureter), stenosis

ureter dan atau batu ginjal akan menjalani shockwave

lithotripsy (ESWL)

d) Pasien menjalani pemasangan DJ Stent pertama kali dan

unilateral dengan keluhan SRSs pada hari ke 7 pasca

operasi

ii. Kriteria eksklusi

a) Riwayat keganasan pada saluran kemih


34

b) Riwayat pasien memiliki penyakit prostat sebelumnya

c) Pasien dengan riwayat disfungsi seksual sebelumnya

d) Mengalami ISK

e) Kehamilan

f) Riwayat penyakit (diabetes melitus, kardiovaskuler,

hipertensi)

g) Pernah atau sedang menjalani terapi radiasi/ terapi hormonal

dan atau prosedur pembedahan di pelvis minor,

pembedahan rekonstruksi ureter.

h) Riwayat alkoholis

i) Riwayat stroke, Alzheimer, Trauma susunan saraf pusat

j) Terdapat penyakit penyerta batu di buli-buli

k) Terdapat divertikel urethra pada wanita

l) Hipersensitifitas terhadap obat senyawa solifenacin atau

mirabegron

b. Umur Responden

Umur merupakan lama hidup seseorang sampai hari ulang

tahun terakhir. Cara pengukuran menggunakan kuesioner. Skala

yang digunakan adalah skala interval. Klasifikasi umur menurut

Depkes (2009) yang digunakan sebagai pedoman kriteria objektif

yang terbagi atas:

Remaja : Bila responden berumur 18-25 tahun


Dewasa : Bila responden berumur 26-45 tahun
Lansia Awal : Bila responden berumur 46-55 tahun
35

Lansia Akhir : Bila responden berumur 56-65 tahun

Manula : Bila responden berumur >65 tahun


c. Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin atau gender yang dimiliki oleh responden,

diukur menggunakan kuesioner. Skala yang digunakan adalah

skala nominal dengan kriteria objektif yang terdiri atas: (1) Laki-Laki

dan (2) Perempuan.

d. Pekerjaan Responden

Pekerjaan responden adalah kegiatan pokok yang dilakukan

oleh responden setiap hari untuk memperoleh upah/gaji.Diukur

menggunakan kuesioner. Skala yang digunakan adalah skala

nominal, dengan kriteria objektif yaitu:

Bekerja : Bila responden memiliki kegiatan pokok yang

dilakukan setiap hari untuk memperoleh

upah/gaji.
Tidak Bekerja : Bila responden tidak memiliki kegiatan pokok

yang dilakukan setiap hari untuk memperoleh

upah/gaji.
e. Status Perkawinan Responden

Status perkawinan adalah status legitimasi responden yang

terikat perkawinan saat penelitian berlangsung. Diukur

menggunakan kuesioner. Skala yang digunakan adalah skala

nominal, dengan kriteria objektif yaitu:


36

Kawin : Bila responden memiliki status legitimasi


perkawinan dengan berlawan jenis kelamin

Tidak Kawin : Bila responden tidak memiliki status legitimasi


perkawinan dengan lawan jenis kelamin

2. Variabel Dependen (Tergantung)

a. Insersi DJ Stent

b. Iritasi Bladder, Spasme otot polos,Reflux urine

c. Keluhan SRSs

3. Variabel Independen (Bebas)

a. Solifenacin 5 mg

b. Solifenacin 5 mg + Mirabegron 25 mg

4. Variabel kendali

Kuestioner USSQ
37

l. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini, akan diuji efektifitas pemberian

solifenacin dibandingkan kombinasi solifenacin dan mirabegron

terhadap keluhan ureteral stent-related symptoms (SRSs) pada

pasien pasca pemasangan double J stent, yang dijelaskan

sebagai berikut:

1. Terdapat perbaikan keluhan SRSs setelah pemberian Solifenacin 5

mg/hari pada pasien pasca pemasangan DJ stent.

2. Terdapat perbaikan keluhan SRSs setelah pemberian kombinasi

solifenacin 5 mg dan mirabegron 25 mg/hari pada pasien pasca

pemasangan DJ stent.

3. Terdapat perbedaan perbaikan keluhan SRSs setelah pemberian

solifenacin 5 mg/ hari dibandingkan dengan pemberian kombinasi

solifenacin 5 mg dan mirabegron 25 mg/hari pada pasien pasca

pemasangan DJ stent.
38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimen

dengan pengambilan sampel secara acak (randomised), double

blinded, pada pria dan wanita dengan keluhan SRSs pasca

pemasangan DJ Stent. Persetujuan tindakan tertulis (Informed

consent) mengenai pemberian dan efek samping terapi ditanda

tangani pasien. Riwayat dan pemeriksaan fisis pasien didata

mencakup: usia, tinggi badan, berat badan, dan indeks massa

tubuh (IMT). Prosedur pemeriksaan penunjang ureum/kreatinin,

urinalisa, ultrasonografi, foto BNO, CT Scan Urografi dilakukan

terhadap pasien sebelum operasi. Ukuran batu terbesar dari

pasien dijadikan patokan untuk mendata ukuran batu pasien.

Semua pasien yang menjalani prosedur rutin insersi DJ

stent pasca operasi endurologi (unilateral percutaneus

nefrolitotomi (PCNL) atau pun ureteroscopic lithotripsy (URSL))

dimasukkan ke dalam evaluasi penelitian. DJ Stent yang

digunakan berukuran 6 Fr berbahan polyurethrane digunakan

pada semua pasien dengan panjang stent dibandingkan dengan

tinggi badan pasien.


39

Foto BNO dilakukan pasca operasi untuk melihat sisa

fragmen batu dan posisi dari DJ stent. Kateter Foley dicabut pada

hari ke-1 pasca operasi pada semua pasien. Pasien dirawat jalan

setelah hari ke-3 pasca operasi dengan diberikan antibiotik oral

(cefadroksil) selama 5-7 hari. Pasien diberikan analgetik yang

sama (paracetamol 500 mg per 8 jam/24 jamdan bila diperlukan

dapat diberikan per 6 jam/ 24 jam). Total jumlah analgetik yang

dikonsumsi pasien akan dicatat di pengisian kuestioner terakhir.

Pasien diminta untuk datang ke klinik urologi di rumah sakit

untuk kontrol pada hari ketujuh. Pasien akan diberikan format

questioner yang akan mengukur ada tidaknya dan beratnya

keluhan efek samping yang dirasakan oleh pasien selama 7 hari

pasca pemasangan DJ Stent.

Setelah menentukan sampel dengan kriteria eksklusi dan

inklusi, maka pasien akan dibagi menjadi 2 grup pemberian obat.

Metode double blinded digunakan untuk meminimalisasi bias.

Semua obat-obatan ditempatkan dalam 2 kotak yang sama, yang

dipegang oleh paramedis, sehingga pasien dan peneliti tidak

mengetahui alokasi jenis obat yang diberikan. Semua pasien telah

diinformasikan mengenai efek samping obat.

Pemberian solifenacin 5 mg/hari dibandingkan dengan

kombinasi solifenacin 5mg dan mirabegron 25 mg/hari, dimulai

pada hari ketujuh pasca insersi DJ stent. Pengisian kuesioner


40

dimulai saat hari ketujuh pasca insersi DJ Stent, kemudian diukur

setiap 7 hari (hari ke- 7, 14, 21, 28) pasca insersi DJ Stent.

Pengisian kuesioner dapat dilakukan dengan wawancara

langsung di poliklinik ataupun lewat telepon.


41

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo, Rumah Sakit Universitas Hasanuddin, Rumah Sakit

Akademis,Rumah sakit Ibnu Sina di Makassar.

2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan september

2020 sampai sampel terpenuhi.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi penelitian

Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian.Subjek

penelitian adalah semua penderita pasca pemasangan DJ stent yang

masuk dalam kriteria inklusi yang dirawat di RS Dr. Wahidin

Sudirohusodo, RS Universitas Hasanuddin, RS. Akademis, dan RS

Ibnu Sina.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah semua populasi yang memenuhi

kriteria penelitian, diperoleh berdasarkan urutan masuknya di rumah

sakit (consecutive random sampling). Pada penelitian ini tidak

menggunakan grup placebo sebab telah banyak penelitian yang

membandingkan dengan grup placebo dan terbukti efektifitas dari


42

kedua obat, sehingga kami mengambil hanya 2 grup untuk langsung

membandingkan efektifitas kedua obat. Pemberian placebo dalam hal

ini (grup yang tidak diberikan obat) merupakan hal yang seharusnya

tidak dilakukan, mengingat pasien memiliki keluhan yang harus

diterapi sehingga tidak mengganggu kualitas hidup pasien.

Subjek dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok

25 orang, dipilih secara acak, yaitu :

Kelompok A : Kelompok diberikan solifenacine 5mg dan mengisi

USSQ (diisi langsung saat pasien datang atau lewat

telepon)

Kelompok B : Kelompok diberikan kombinasi solifenacin 5 mg dan

mirabegron 25 mg/haridan mengisi USSQ (diisi

langsung saat pasien datang atau lewat telepon)

3. Perumusan Sampel

Menurut rumus Uji proporsi dua populasi, jumlah minimal

sampel yang dibutuhkan adalah 25 orang.

Uji Hubungan Untuk Besar Sampel:

P ( 1−P )
n=Z ( Z α + Z β )2 2
( P1−P2 )

Keterangan:

n : Besar sampel yang diperoleh

P1 : Perkiraan proporsi variable 1

P2 : Perkiraan proporsi variable 2

P : Proporsi rata-rata (P1=P2/2)


43

Zα : Nilai standar deviasi alpha (1,96)

Zβ : Nilai standar deviasi beta

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menggunakan media kuesioner

USSQ (Ureteral Symtomps Score Quesionaaires). Kuesioner

USSQ diberikan kepada pasien penderita pasca pemasangan DJ

stent yang masuk dalam kriteria inklusi yang dirawat di RS Dr.

Wahidin Sudirohusodo, RS Universitas Hasanuddin, RS.

Akademis, dan RS Ibnu Sina, diperoleh berdasarkan urutan

masuknya di rumah sakit (consecutive random sampling).

E. Pengumpulan Data

Semua pasien yang telah menjalani prosedur operasi

pemasangan DJ stent pada hari ke 7 akan diberikan kuestioner

USSQ saat kontrol di poliklinik. Pasien yang menunjukkan gejala

keluhan saluran kemih bagian bawah, secara acak akan diberikan

obat, dan untuk menghindari bias, maka digunakan metode

double-blinded untuk jenis obat. Kemudian pasien akan

melanjutkan konsumsi obat selama 4 minggu dan setiap 7 hari

dipantau dengan kuestioner yang dapat diisi di poliklinik ataupun

lewat telepon.
44

F. Alur Penelitian

Pasca
Pemasangan DJ
Stent

Kontrol setelah USSQ


7 hari
Pemilihan sampel
Pemilihan
Sampel

Grup Tunggal Grup Kombinasi


(n=25) (n=25)
Solifenacin 5 mg/24 jam Solifenacin 5 mg +
Mirabegrone25 mg/ 24
jam

Follow-up

USSQ diisi: hari ke-7, 14, 21, dan hari ke 28pasca insersi DJ stent

Analisa
Data
Bagan 3. Alur Penelitian
45

G. Pengolahan Dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian diolah

secara komputerisasi dengan menggunakan program Ms. Excel 2010,

dan software statistik SPSS. Berikut tahap-tahap pengolahan data

yang dilakukan yaitu:

a. Editing

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini mulai dari

memeriksa kembali data kuesioner telah terisi lengkap dan jelas,

agar tidak terdapat kesalahan data (missing data). Hal ini bertujuan

untuk memperoleh kumpulan data yang valid sesuai dengan

variabel yang akan diteliti

b. Coding

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu pemberian

kode pada data yang diperoleh di lapangan. Langkah awalnya

yaitu membuat daftar variabel, kemudian membuat daftar coding

yang disesuaikan dengan nama variabel yang ada di daftar

variabel. Selanjutnya data siap dipindahkan pada daftar coding

c. Entry Data

Peneliti memasukkan data (entry data) ke dalam program

computerize berdasarkan variabel dependen dan variabel

independen.
46

d. Cleaning

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yakni mengecek

kembali data yang telah dimasukkan dalam master tabel, apakah

ada kesalahan atau tidak sebelum dilakukan analisis data.

2. Analisis Data

Analisis statistik yang digunakan adalah Statistical Package for

the Social Science (SPSS Inc,; Chicago, IL, USA), Trial version 2003

for Windows statistical software package and Primer. Data kuantitatif

berupa Mean dan standar deviasi dibandingkan dengan

menggunakan Student t-test dan data kategori dipresentasikan dalam

persen dan dibandingkan antara grup menggunakan (Chi Square

Test). Tes ANOVA dan Pasca Hoc Test metoda Tukey digunakan

untuk mengetahui grup yang lebih signifikan. Nilai P <0,05 dianggap

signifikan secara statistik.

3. Penyajian Data

Data yang telah dianalisis kemudian akan disajikan dalam

bentuk tabel frekuensi dan tabel cross tabulasi, grafik dan narasi

untuk diinterpretasi dan dibahas.

H. Pertimbangan Etika

Penelitian dilaksanakan dengan persetujuan ethical clearance

Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin Makassar
47

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

a. Karakteristik responden

Pada penelitian ini, terdapat 54 orang sampel yang terbagi

menjadi kelompok yang diberi sediaan kombinasi Solifenacine

5mg/hari dan Mirabegrone 25mg/hari (28 sampel) dan kelompok

pasien yang diberi terapi Solifenacine 5mg/hari (26 sampel).

Variabel Solifenacine+ Mirabegrone (n = 28) Solifenacine (n = 26)


Usia
Remaja (18-25 thn) 2 (7.1%) 2 (7.69%)
Dewasa (26-45 thn) 14 (50%) 10 (38.46%)
Lansia awal (46-55 thn) 7 (25%) 7 (26.92%)
Lansia akhir (56-65 thn) 5 (17.9%) 4 (15.38%)
Manula (>65 thn) 0 (0%) 3 (11.54%)
Jenis kelamin
Laki-laki 21 (75%) 14 (53.8%)
Perempuan 7 (25%) 12 (46.2%)
Tinggi Badan (cm)
Min 150 145
Max 175 171
Mean ± SD 163.35 ± 6.08 160. 84 ± 6.96
Berat Badan (kg)
Min 42 45
Max 80 85
Mean ± SD 60.92 ± 9.45 63.57 ± 10.91
Indeks Massa Tubuh
(kg/m2)
Min 16.50 19.40
Max 31.30 31.60
Mean ± SD 22.83 ± 3.47 24.43 ± 3.08
Sisi Penyisipan DJ
Stent 17 (60.74%) 12 (46.15%)
Kanan 11 (39.26%) 14(53.84%)
Kiri
Tabel 2.Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin,
48

Tinggi Badan, Berat Badan, dan Indeks Massa Tubuh (IMT)


Tabel 2. menunjukkan bahwa proporsi subjek dengan jenis

kelamin laki-laki lebih banyak baik pada kelompok Solifenacine

maupun kombinasi dibanding jenis kelamin perempuan. Kelompok usia

terbanyak dari sampel adalah kelompok 26-45 tahun yaitu sebesar

44.44%, sedangkan yang terkecil pada kelompok usia >65 tahun

sebesar 5.55%.

Kelompok responden yang menggunakan kombinasi

Solifenacine + Mirabegron memiliki rerata tinggi badan lebih tinggi

(16.35 cm) dibanding kelompok Solifenacine (160.84 cm), untuk rerata

berat badan kelompok tunggal reratanya lebih berat yaitu 63.57 kg.

Kelompok kombinasi memiliki rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) yang

normal (22.83) dibandingkan dengan kelompok tunggal Solifenacine

yang memiliki rerata IMT 24.43 yang sudah tergolong overweight.

Pada kelompok kombinasi sisi penyisipan DJ-Stent lebih banyak

dilakukan sisi kanan (60.74%) sedangkan pada kelompok tunggal lebih

banyak dilakukan pada sisi kiri (53.84%).

Dalam penelitian ini, pengamatan dan pengambilan data

dilakukan selama 4 minggu dengan mengevaluasi keluhan

menggunakan Ureteric Stent Symptoms Questionnaire yang

menanyakan tentang keluhan berkemih, derajat nyeri, status

kesehatan umum, aktifitas kerja, aktifitas seksual dan keluhan

penyerta yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada subjek. Masing-


49

masing subjek dimasukkan dalam dua kelompok pengamatan yaitu

subjek yang diberi tabel perbandingan efektifitas antara kedua

farmakoterapi yang diamati, dijabarkan pada bagian berikutnya.

b. Skor USSQ pada pasien pasca pemasangan DJ stent.

a. Perbedaan skor urinary symptom (US)

Tabel 3.PerbedaanSkor Urinary Symptom(US)

Mean score ± SD
Waktu
Solifenacin Solifenacine + p value
Pengamatan
e Mirabegrone
Minggu I 15.19 ± 4.88 21.53 ± 5.79 <0.001
Minggu II 10.88 ± 3.45 13.64 ± 4.63 0.017
Minggu III 8.11 ± 2.48 9.35 ± 3.71 0.158
Minggu IV 5.61 ± 2.51 7.17 ± 3.62 0.073
*independent-t test

SKOR Urinary Symptom


25
21.53
20

15 15.19 Solifenacine
13.64 Solifenacine + Mirabegrone
10 10.88
9.35
8.11 7.17
5 5.61

0
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Grafik 1.Perbedaan skor urinary symptom (US)

Pada tabel 3 dan grafik 1 menunjukkan nilai skor keluhan

berkemih (US) pada 2 kelompok yang dievaluasi selama 4 minggu

pasca pemasangan DJ stent. Perubahan siginifikan terlihat saat

memasuki minggu II pemantauan skor kelompok tunggal dan


50

kelompok kombinasi sama-sama menurun, namun kelompok

kombinasi mengalami penurunan lebih besar dibanding terapi

tunggal Solifenacine. Perubahan pada minggu III hingga minggu IV

tidak terlalu bermakna pada dua kelompok ini. Penurunan nilai skor

menunjukkan adanya perbaikan gejala klinis setelah diberikan

terapi.

Nilai p-value variabel keluhan urinary symptom (US) pada

minggu ke II < 0,05 artinya terdapat perbedaan signifikan pada

kelompok kombinasi dan tunggal. pada minggu III, IV tidak terdapat

perbedaan yang berarti akan tetapi kedua kelompok yang diuji

menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberian terapi lebih.

b. Perbedaan skor nyeri (N)

Tabel 4. Nilai perbedaan skor nyeri (N)

Mean score ± SD
Waktu p value
Solifenacine Solifenacine +
Pengamatan
Mirabegrone
Minggu I 13.85 ± 3.51 12.21 ± 4.58 0.150
Minggu II 9.85 ± 3.90 8.36 ± 3.54 0.148
Minggu III 6.07 ± 3.37 4.82 ± 2.80 0.142
Minggu IV 4.65 ± 3.06 3.96 ± 2.78 0.390
51

*independent-t test

SKOR NYERI
16

14 13.85

12 12.21

10 9.85 Solifenacine
8.36 Solifenacine + Mirabegrone
8

6 6.07
4.82 4.65
4 3.96

0
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Grafik 2. Nilai Perbedaan skor nyeri (N)

Pada tabel 4 dan grafik 2 menunjukkan penurunan nilai

rerata keluhan nyeri (N) yang dikeluhkan oleh subjek penelitian

sejak minggu I hingga minggu IV penelitian. Pada minggu I saat

belum diberikan terapi, kelompok kombinasi memiliki nilai rerata

yang tidak jauh berbeda, sebesar 12.21±4.58 sedangkan

solifenacine 13.85±3.51. Kemudian terjadi penurunan nilai skor

setiap minggu, hingga pada minggu IV kelompok kombinasi

memiliki nilai rerata sebesar 3.96.±2.78 sedangkan solifenacine

4.65±3.06. Penurunan nilai skor menunjukkan adanya perbaikan

gejala klinis setelah diberikan terapi.

Nilai p-value pada variable keluhan nyeri (N) sejak minggu


52

II hingga minggu IV yaitu (0.148, 0.142, 0.390) > α=0.05, yang

berarti bahwa kedua kelompok yang diuji menunjukkan tidak ada

perbedaan yang signifikan terhadap keluhan nyeri (N).

c. Perbedaan skor keadaan umum (KU)

Tabel 5.Nilai perbedaan skor keadaan umum (KU)

Mean score ± SD
Waktu p value
Solifenacine Solifenacine +
Pengamatan
Mirabegrone
Minggu I 9.54 ± 3.63 12.53 ± 3.81 0.005
Minggu II 6.42 ± 3.06 8.53 ± 3.71 0.027
Minggu III 4.42 ± 3.02 6.14 ± 3.96 0.80
Minggu IV 3.69 ± 2.54 5.32 ± 3.22 0.045
*independent-t test

SKOR KEADAAN UMUM


14

12.53
12

10
9.54
8.53 Solifenacine
8
Solifenacine + Mirabegrone
6.42 6.14
6
5.32
4.42
4 3.69

0
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Grafik 3.Perbedaan skor keadaan umum (KU)

Pada tabel 5 dan grafik 3 menunjukkan nilai rerata skor

keadaan umum (KU) yang dikeluhkan oleh subjek penelitian sejak

minggu I hingga minggu IV penelitian. Pada minggu I sebelum


53

diberikan terapi, kelompok kombinasi memiliki nilai rerata yang

signifikan berbeda (nilai p 0.005) sebesar 12.53±3.81 sedangkan

solifenacine 9.54±3.63. Kemudian terjadi penurunan nilai skor pada

minggu IV kelompok kombinasi memiliki nilai rerata sebesar

5.32±3.22 sedangkan solifenacine 3.69±2.54.

Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan pada keadaan

keadaan umum (KU) antara kelompok kombinasi dan kelompok

solifenacine pada minggu I, namun, kedua kelompok menunjukkan

hasil yang relatif serupa di mana terjadi penurunan skor yang

menandakan perbaikan klinis yang dirasakan oleh pasien setelah

menjalani terapi.

Nilai p-value pada variable keadaan umum (KU) pada

minggu II dan minggu IV terlihat perubahan signifikan pada

kelompok tunggal dengan p value (0.027 dan 0.045) ≤α=0.05. pada

minggu III perubahan klinis tidak terlalu bermakna.

d. Perbedaan skor aktivitas kerja (AK)

Tabel 6.Perbedaan skor aktivitas kerja (AK)

Mean score ± SD
Waktu p value
Solifenacine Solifenacine +
Pengamatan
Mirabegrone
Minggu I 6.96 ± 3.02 5.07 ± 5.12 0.114
Minggu II 4.84 ± 2.95 4.50 ± 3.76 0.718
Minggu III 3.36 ± 1.82 3.14 ± 2.60 0.730
Minggu IV 2.12 ± 1.85 3.03 ± 2.51 0.142
*independent-t test
54

SKOR AKTIVITAS KERJA


8

7 6.96

5 5.07 4.84 Solifenacine


4.5
Solifenacine + Mirabegrone
4
3.36
3 3.14 3.03

2 2.12

0
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Grafik 4.Perbedaan skor aktivitas kerja (AK)

Pada tabel 6 dan grafik 4 menunjukkan nilai rerata skor

aktivitas kerja (AK) yang dikeluhkan oleh subjek penelitian sejak

minggu I hingga minggu IV penelitian. Tidak terdapat perbedaan

signifikan pada kedua kelompok terapi ini namun kecenderungan

perubahan perbaikan aktivitas kerja hingga minggu IV, jika

dibandingkan rerata skor dari minggu I ke minggu IV.

Nilai p-value pada variable aktivitas kerja (AK) pada minggu II,

III, IV (0.114, 0.718, 0.730, 0.142) ≥ α=0.05, yang berarti bahwa kedua

kelompok yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.


55

e. Perbedaan skor aktivitas seksual (S)

Tabel 7.Perbedaan skor aktivitas seksual (S)

Mean score ± SD
Waktu p value
Solifenacin
Solifenacine + Mirabegrone
Pengamatan
e
Minggu I 2.33 ± 0.57 1.20 ± 2.02 0.350
Minggu II 3.57 ± 1.94 2.04 ± 1.76 0.017
Minggu III 2.67 ± 1.39 2.12 ± 1.33 0.225
Minggu IV 1.93 ± 0.88 2.28 ± 0.97 0.269
*independent-t test

SKOR MASALAH SEKSUAL


4

3.5 3.57

3
2.67
2.5 Solifenacine
2.33 2.28
2.04 2.12 Solifenacine + Mirabegrone
2 1.93

1.5
1.2
1

0.5

0
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Grafik 5.Perbedaan skor aktivitas seksual (S)

Pada tabel 7 dan grafik 5 menunjukkan nilai rerata skor

aktivitas seksual (S) yang dikeluhkan oleh subjek penelitian sejak

minggu I sebelum mendapatkan terapi hingga minggu IV penelitian.

Pada minggu II setelah mendapatkan terapi, kelompok kombinasi

Solifenacine + mirabegron memiliki nilai rerata signifikan berbeda (p


56

0,017) sebesar 2.04 ± 1.76 sedangkan solifenacine 3.57 ± 1.94. Pada

beberapa sampel pada penelitian ini secara seksual tidak aktif seperti

tidak memiliki pasangan ataupun usia tua, serta tidak merata waktu

memulai kembali aktivitas seksual, peneliti belum dapat memastikan

apakah ada faktor eksternal lain yang berhubungan dengan

perbedaan skor ini, namun nilai skor bermakna secara statistik.

f. Perbedaan skor keluhan lainnya (KL)

Tabel 8.Nilai Perbedaan skor keluhan lainnya (KL)

Mean score ± SD
p value
Solifenacin
Waktu Pengamatan
Solifenacine + Mirabegrone
e
Minggu I 7.34 ± 2.99 8.46 ± 2.53 0.143
Minggu II 4.92 ± 2.41 5.03 ± 2.02 0.858
Minggu III 3.69 ± 1.78 3.42 ± 1.47 0.555
Minggu IV 2.57 ± 1.87 3.25 ± 1.35 0.135
*independent-t test

SKOR KETIDAKNYAMANAN LAINNYA


9
8.46
8
7.34
7

6
Solifenacine
5 5.03
4.92 Solifenacine + Mirabegrone2
4
3.69
3.42 3.25
3
2.57
2

0
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
57

Grafik 6.Nilai Perbedaan skor keluhan lainnya (KL)

Pada tabel 8 dan grafik 6 menunjukkan nilai rerata skor keluhan

lain (KL) yang dirasakan oleh subjek penelitian sejak minggu I hingga

minggu IV penelitian. Tidak terdapat perbedaan sigfinikan pada dua

kelompok terapi. Kemudian setelah diberikan terapi, terjadi penurunan

nilai skor pada minggu II,III dengan nilai p-value pada variable keluhan

lain (KL) yaitu (0.858, 0.555)> α=0.05, yang berarti bahwa kedua

kelompok yang diuji menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan terhadap keluhan-keluhan lain (KL).


PembahasanGambaran UmumJoshi dkk, Sheng-wei dkk

melaporkan insidens keluhan efek samping pemasangan DJ Stent

pada pasien dapat mencapai 50%-80%. Keluhan yang berkaitan

dengan stent ini disebut pula dengan SRSs (stent related syndrome)

dapat beragam seperti frekuensi (60%), urgensi (60%) and disuria

(40%), selain itu keluhan nyeri (80%) dan hematuria (54%).

Stent sebagaimana alat eksternal lain akan dianggap sebagai

benda asing dan dapat menyebabkan infeksi saluran kemih,

meningkatkan risiko pyonephrosis dan dapat menyebabkan ginjal tidak

berfungsi. Karena itu, stent ureter harus dilepas sedini mungkin setelah

tujuannya terpenuhi atau diganti jika memang sangat dibutuhkan untuk

mengurangi komplikasi serta morbiditas terkait stent.[ CITATION

Ray15 \l 1057 ]

Pemasangan stent ureter saat ini telah digunakan dalam

berbagai penyakit urologis dan prosedur pembedahan selama

bertahun-tahun. Stenting ureter retrograde biasanya dilakukan untuk

menghilangkan gangguan obstruksi ureter seperti tumor atau batu.

Penggantian stent retrograde ureter double-J secara konvensional

dapat menyebabkan komplikasi seperti hematuria, migrasi kateter,

encrustation, pembentukan batu, fraktur kateter, atau perforasi ureter

dan parenkim ginjal. (Akif KOQ & Bayrak, 2013.)

Pada penelitian ini, diketahui bahwa subjek dengan jenis

kelamin laki-laki mendominasi insidens dengan jumlah 64.81%


sedangkan usia terbanyak berada pada kisaran 26-45 tahun yakni

sebesar 32.5%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh

Pansota dkk (2013) yang meneliti tentang indikasi dan komplikasi

pemasangan DJ Stent di Pakistan yang meneliti sebanyak 80 orang

pasien dengan stent. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas

pasien (40,0%) berusia antara 36 hingga 50 tahun dengan rasio pria

dan wanita adalah 2,6:1. Dari 80 orang pasien tersebut, DJ Stent

dilakukan karena uropati obstruktif bagian atas yakni pada 20 pasien,

sebagian besar DJ Stent dipasangkan setelah operasi. Selain itu,

dilaporkan pula bahwa penyebab paling umum dari uropati obstruktif

adalah penyakit batu ginjal, ureter atau gabungan keduanya (87,5%).

Sementara, 12,5% pasien lainnya terbagi atas obtruksi PUJ,

karsinoma dan kehamilan. (Pansota et al., 2013)

1. Perbedaan nilai USSQ pada pasien pasca pemasangan DJ Stent.

Dalam penelitian ini menggunakan USSQ kuesioner dengan

menanyakan enam kelompok pertanyaan yakni keadaan

berkemih/urinary symtoms (US), nyeri pada tubuh (N), status kadaan

umum (KU), aktivitas bekerja (AK), masalah seksual (S), dan

ketidaknyamanan lainnya (KL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai skor pada seluruh variable yang diteliti dalam penelitian ini

menunjukkan penurunan angka dari minggu ke minggu dimana selisih

skor minggu I dan minggu IV terbesar terjadi pada kelompok

kombinasi Solifenacin + Mirabegron sebesar 14.36 dibandingkan


kelompok Solifenacin tunggal 9.58. Meskipun rerata skor untuk

kelompok Solifenacin lebih rendah 9.95 ± 3.33 dibanding kelompok

kombinasi 12.92 ±. 4.44. Rerata skor untuk variable N masing-masing

8.61 ± 3.46 dan 7.34 ± 3.43. Pada variable KU rerata skor

menunjukkan angka 6.02 ± 3.06 dan 8.13 ± 3.68. Untuk variable AK,

rerata skor untuk kedua kelompok adalah 4.32 ± 2.41 dan 3.94 ± 3.50.

Selanjutnya, variable S menunjukkan nilai rerata masing-masing

2.63±1.2 dan 1.91±1.52, terakhir untuk variable KL, nilai rata-rata

kedua kelompok adalah 4.63 ± 2.26 dan 5.04± 1.84.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat terlihat bahwa pada

kedua kelompok perlakuan, terdapat rerata nilai yang berbeda dimana

pada variable N, AK, dan S nilai rerata pada kelompok kombinasi

Solifenacin + Mirabegron memiliki angka yang lebih rendah

dibandingkan kelompok Solifenacin. Sedangkan untuk variable US,

KU, dan KL kelompok Solifenacin terlihat memiliki skor lebih rendah

dibandingkan kelompok kombinasi Solifenacin + Mirabegron.

Keluhan urinary symptom (US) yang diamati pada penelitian ini,

didasarkan pada 11 butir pertanyaan yang dalam konteksnya

menggali informasi tentang keluhan miksi pada seperti frekuensi,

urgensi, inkontinensia, nokturi, rasa tidak puas saat berkemih serta

keluhan lain yang terkait dengan variable tersebut. Pada variable nyeri

(N), ditanyakan keluhan tentang rasa sakit atau ketidaknyamanan

terkait dengan keberadaan kateter ureter. Selain itu, digali pula


informasi mengenai lokasi, frekuensi, hubungan dengan aktivitas kerja

serta kebutuhan untuk mendapat obat-obatan guna mengurangi nyeri

saat serangan berlangsung.

Variable mengenai keadaan umum (KU) subjek dinilai

berdasarkan keluhan melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan

dan merawat diri. Keluhan ini ditanyakan guna menyingkirkan

keterbatasan fisik yang diakibatkan oleh faktor lain selain gangguan

urologis atau yang terkait dengan itu. Sedangkan, penilaian mengenai

aktivitas kerja (AK) disimpulkan berdasarkan pertanyaan kuesioner

yang menilai jenis pekerjaan, durasi, berat atau ringannya beban fisik

serta gangguan klinis yang dirasakan oleh pasien akibat penggunaan

kateter selama bekerja.

Variable keadaan umum maupun aktivitas kerja keduanya

sangat berkaitan dengan umur pasien dimana semakin tua seseorang

maka akan semakin menurun fungsi aktivitas sehari-harinya.

Tinjauan mengenai gangguan aktivitas sex (S) ditanyakan

dalam kaitannya dengan kondisi yang dirasakan pasien pasca

pemasangan stent, pertanyaan pada variable ini meliputi aktif atau

tidaknya subjek melakukan kegiatan seksual, gangguan frekuensi

yang dialami, rasa nyeri serta kendala ketidaknyamanan lainnya.

Lu dkk (2020) melakukan meta-analisis dari 5 studi prospektif

yang melibatkan 485 partisipan yang aktif secara seksual. Hasil yang

dikumpulkan menunjukkan bahwa, pada pasien tanpa double-J stent,


perubahan fungsi seksual setelah prosedur endourologis tidak

signifikan, pada pria (perbedaan rata-rata [MD]: - 0,61, interval

kepercayaan 95% [CI]: - 1,43 hingga 0,22, p = 0,148) atau wanita

(MD: 0,53, 95% CI: - 0,52 hingga 1,57, p = 0,322). Namun, pada

pasien dengan pemasangan double-J stent, skor fungsi seksual

menurun secara signifikan, pada pria (MD: -4.25, 95% CI: - 6.20

hingga - 2.30, p <0.001) dan wanita (MD: -7.17, 95% CI: - 7.88 hingga

- 6.47, p <0.001) menunjukkan bahwa pemasangan double-J stent

setelah prosedur endourologis dapat menjadi faktor penting yang

menyebabkan disfungsi seksual sementara pasca operasi. (Lu et al.,

2020)

Pembahasan mengenai keluhan lain (KL) yang dialami pasien

diwakili oleh poin pertanyaan mengenai masalah yang terkait dengan

kateter, pernah atau tidaknya menerima tindakan medis terkait saluran

kemih serta keluhan-keluhan penyerta lain yang mungkin timbul

setelah pemasangan stent.

Sedangkan, untuk faktor keluhan lain (KL) yang biasa terjadi

akibat pemasangan stent pada pasien, antara lain nyeri pinggang

pada 21,6%, gejala iritasi 30,5%, ISK dan demam pada 10,8%,

bakteriuria pada 27,7%, migrasi stent ke sisi atas pada 3,3% dan

slipping pada 4.2%. [ CITATION Abd08 \l 1057 ]. Namun, pada

penelitian ini keluhan-keluhan tersebut tidak diobservasi.

2. Efektifitas pemberian terapi kombinasi Solifenacin 5 mg + mirabegrone


25mg/hari dan solifenacin 5 mg/hari terhadap SRSs

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa variable US, KU, dan S

menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua

kelompok yang diberi perlakuan obat Solifenacin dan kombinasi

Solifenacin + Mirabegron. Perbedaan bermakna US pada dua

kelompok di minggu II (p value 0.017, CI 95% -5.00 s.d -0.51) dimana

kelompok kombinasi lebih baik selanjutnya minggu III dan IV tidak

terdapat perbedaan bermakna. Perbedaan bermakna KU pada dua

kelompok terlihat di minggu II (p value 0.027, CI 95% -3.98 s.d -0.24),

dan minggu IV (p value 0.045 CI 95% -3.22 s.d -0.03) dimana

kelompok Solifenacin tunggal lebih baik dibanding kombinasi.

Perbedaan bermakna pada variabel S terlihat pada minggu II (p value

0.017, CI 95% +0.29 - +2.77) dengan kelompok kombinasi lebih baik

dibanding Solifenacine tunggal.

Dalam penanganannya, pemberian terapi untuk keluhan SRSs

ditujukan pada pengurangan skor keluhan atau perbaikan gejala klinis

baik yang dinyatakan secara subjektif oleh pasien maupun yang

didapatkan secara objektif.

Terapi ideal bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum

pasien dengan cara mengidentifikasi mekanisme penyebab langsung,

menerapkan pilihan pengobatan secara logis, dan melaksanakan

pengambilan keputusan berdasarkan informasi. Terapi harus


menghindari keadaan yang memperburuk gejala dengan

menggunakan terapi ireversibel yang tidak memperburuk keluhan

lower urinary tract symptoms ; mempertahankan fungsi seksual jika

memungkinkan; dan meminimalkan komplikasi. Dalam hal ini juga

penting untuk memberi tahu pasien tentang hasil yang realistis dan

efek samping potensial dari pengobatan pilihan yang diambil.

[ CITATION Abd15 \l 1057 ]

Pada penelitian ini, digunakan terapi Solifenacin dan kombinasi

Solifenacin + Mirabegron sebagai kelompok uji untuk mengetahui

efeknya terhadap SRSs. Solifenacin adalah antagonis muskarinik

yang diindikasikan untuk pengobatan kandung kemih yang terlalu aktif

dengan gejala klinis yang tampak. Sedangkan Mirabegron adalah

agonis selektif untuk reseptor adrenergik beta-3 yang bekerja dengan

cara merilekskan otot polos untuk memungkinkan peningkatan

kapasitas kandung kemih setelah reseptor beta-3 diaktifkan.

Solifenacin adalah antagonis reseptor kolinergik kompetitif yang

selektif untuk subtipe reseptor M3. Pengikatan asetilkolin pada

reseptor ini, terutama M3, berperan penting berperan dalam kontraksi

otot polos. Dengan mencegah pengikatan asetilkolin pada reseptor ini,

solifenacin akan mengurangi tonus otot polos di kandung kemih,

memungkinkan kandung kemih untuk mempertahankan volume urin

yang lebih besar dan mengurangi jumlah episode berkemih, urgensi,

dan inkontinensia.
Disisi lain, dalam perspektif farmakologi, mirabegron

diklasifikasikan dalam kelompok obat beta-adrenergic agonists yang

diindikasikan sebagai antispasmoditas organ-organ traktus urinarius.

Obat ini bertindak sebagai beta-3 agonis adrenergik selektif yang

fungsinya untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan

relaksasi otot polos detusor.

Pemberian umum pada pasien dewasa adalah 25 mg sekali

sehari yang biasanya efektif dalam 8 minggu, dan mungkin

ditingkatkan sampai 50 mg satu kali sehari berdasarkan kebutuhan

atau toleransi. Dalam berbagai penelitian Mirabegron diketahui

memiliki efek samping seperti pusing, sakit kepala, nasofaringitis,

peningkatan tekanan darah, takikardia, konstipasi, diare, mual dan

bahkaninfeksi saluran kemih. Sehingga obat ini tidak disarankan untuk

digunakan padai anak dan mendapat kategori C untuk penggunaan

pada ibu hamil. (White et al., 2018)

Dalam penelitian ini, penambahan terapi Mirabegron diduga

memiliki pengaruh dalam memberikan efek terhadap perbedaan skor

masalah seksual yang dinyatakan oleh subjek dibandingkan kelompok

Solifenacin tunggal, disamping karena faktor terdapat beberapa

sampel pada penelitian ini secara seksual tidak aktif seperti tidak

memiliki pasangan ataupun usia tua, sehingga mempengaruhi hasil

pada kuestioner. Karakteristik responden yang menerima obat dimana

pada kelompok kombinasi dominan berjenis kelamin laki-laki dan


proporsi perbandingan laki-laki dan perempuannya cukup besar yaitu

3:1, sedangkan kelompok Solifenacin tunggal proporsi laki-laki dan

perempuan hampir sama yaitu 1: 1.16. Tingginya perbedaan usia

sangat mungkin mempengaruhi luaran hasil terapi. Hasil ini sejalan

dengan penelitian oleh Wang dkk (2019) bahwa keluhan Lower

urinary tract symptoms pada populasi usia>40 tahun kebanyakan

terjadi pada laki-laki. (Wang et al., 2019)

Beberapa penelitian yang membandingkan efek Solifenacin

dan kombinasi Solifenacin + mirabegron menunjukkan efikasi

terhadap gejala US yang diadaptasi dari scoring OAB (Overactive

Bladder) dimana kelompok kombinasi lebih superior (Abrams et al.,

2017; Gibson et al., 2017; Xu et al., 2017; Robinson et al., 2018;

Kelleher et al., 2018)

Pada penelitian Abrams dkk (2017) kelompok kombinasi

menggunakan preparat yang berbeda dengan peneliti dimana

kelompok kombinasi terbagi menjadi Solifenacin 10 mg + Mirabegron

25mg dan Solifenacin 5 mg + Mirabegron 50 mg dibandingkan dengan

Solifenacin tunggal 5 mg, 10 mg, dan placebo. Hasil menunjukkan

perbaikan pada gejala frekuensi yang dialami oleh pasien. Dalam

penelitian tersebut keluhan OAB dispesifikkan menjadi gejala

frekuensi, urgensi, nokturia dan inkontinensia. Penelitian tersebut juga

menghitung selisih perubahan skor yang dialami oleh pasien sehingga

yang terhitung adalah yang paling banyak penurunan skornya dan


tidak melihat total skoringnya. (Abrams et al., 2017)

Pada penelitian Gibson dkk (2017) yang terlihat juga kelompok

kombinasi lebih unggul dibanding kelompok tunggal Solifenacin

karena menggunakan dua pengelompokan pasien <65 tahun,>65

tahun, <75 tahun, dan >75 tahun. Hasil menunjukkan penggunaan

kombinasi Solifenacin dan Mirabegron lebih baik pada populasi >75

tahun. Sedangkan peneliti menggunakan subjek sampel yang paling

banyak berasal dari populasi 25-45 tahun. Namun, pada kelompok

penelitian Gibson usia <65 tahun tetap menunjukkan kelompok

kombinasi lebih superior dalam menangani gejala Urinary Symptoms.

Perbedaan dosis pada kelompok kombinasi juga menjadi penyebab

bedanya hasil penelitian ini. Gibson menggunakan dosis awal 5 mg

Solifenacin + Mirabegron 25 mg kemudian ditambahkan dosis

Mirabegron menjadi 50 mg pada minggu ke-4. (Gibson et al., 2017)

Xu dkk (2017) pada studi meta analisis yang dilakukan

menyimpulkan bahwa penggunaan kombinasi Solifenacin 5 atau 10

mg + Mirabegron 50mg lebih baik dibanding kelompok Solifenacin

tunggal dosis 5 atau 10 mg pada 4 artikel penelitian yang melakukan

randomized control trial. Namun, keluhan urgensi lebih baik dikontrol

dengan monoterapi Solifenacin 10 mg. Kombinasi Solifenacin dan

Mirabegron lebih baik karena dapat meningkatkan fungsi vesica

urinaria dalam fase penyimpanan dengan cara menghambat aktivasi

saraf aferen. (Xu et al, 2017)


Penelitian Robinson dkk (2018) membandingkan dosis mana

yang lebih baik mengatasi OAB dengan uji ANOVA untuk 6 kelompok

yaitu kombinasi Solifenacin + Mirabegron (5mg+25mg, 5mg+50mg),

Solifenacin 5 mg, mirabegron 25 mg, mirabegron 50 mg, dan placebo.

Waktu pengamatan penelitiannya 12 minggu. Hasil penelitian

menunjukkan semakin tinggi konsentrasi Mirabgeron dalam kombinasi

solifenacin + mirabegron semakin menurunkan gejala Urinary

Symptoms pada pasien yang diukur dengan skor OAB dan PPBC

(Patient Persepsion Bladder Condition) dibanding kelompok tunggal

Solifenacin (p<0.001). (Robinson et al., 2018)

Penelitian Kelleher dkk (2018) memberikan hasil perbaikan

keluhan frekuensi pada OAB yang sama pada kelompok Solifenacine

tunggal 10 mg dan kombinasi Solifenacin 5 mg + Mirabegron 50 mg

dibandingkan Mirabegron tunggal 50 mg. Sedangkan keluhan urgensi

lebih baik pada kelompok kombinasi yang menggunakan Solifenacin 5

mg dan Mirabegron 25 mg maupun 50 mg. (Kelleher et al., 2018)

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Gratzke dkk (2018)

membandingkan Mirabegron dan solifenacin sebagai monoterapi dan

kombinasi didapatkan terapi kombinasi lebih superior dibanding dua

kelompok monoterapi pada gejala munculnya episode inkontinensia

urin tipe urgensi dengan perbandingan kelompok kombinasi dengan

Mirabegrone p value <0.001, CI 95% -0.7 s.d -0.2 dan Solifenacine p

value <0.002, CI -0.4 s.d 0.1. Adapun evaluasi gejala rerata jumlah
miksi dalam 24 jam kelompok kombinasi masih lebih superior

dibanding monoterapi mirabegron (p value<0.001 CI 95% -0.8 s.d

-0.2) dan Solifenacine (p value 0.004, CI 95% -0.7 s.d -0.1) hal ini juga

didukung oleh studi yang dilakukan Abrams tahun 2017 yang

membandingkan efikasi terapi kombinasi dengan dua dosis berbeda

dibandingkan dengan monoterapi Solifenacin. (Gratzke et al., 2018)

Penelitian Pheng dkk (2019) menunjukkan bahwa kelompok

kombinasi solifenacin dan mirabegron secara signifikan meningkatkan

mean volume voided (MVV) per miksi, menurunkan episode

inkontinensia, menurunkan frekuensi mikturisi, episode urgensi yang

lebih rendah. Hal ini meningkatkan kualitas hidup pada pasien OAB.

Terapi kombinasi solifenacin dan mirabegron memberikan efek

terapeutik yang memuaskan tanpa meningkatkan risiko efek samping

dari kedua obat tersebut. (Peng et al., 2019)

Penelitian Sahin dkk (2020) terapi kombinasi tamsulosin dan

solifenacin merupakan pilihan pengobatan yang sangat baik untuk

mengurangi gejala saluran kemih bagian bawah yang terkait dengan

DJ Stent berdasarkan skor IPSS. Terapi tunggal mirabegron

menunjukkan hasil yang baik dalam mengobati gejala saluran kemih

bagian bawah dan hasil yang lebih baik dalam mengobati gejala OAB

terkait DJ Stent berdasarkan skor OAB-quisioner dibandingkan

kelompok kombinasi dan hidrasi peroral. (Sahin, A. et al., 2020).


B. Keterbatasan Penelitian

1. Jumlah sampel dalam penelitian ini tidak terproporsi merata dari

segi jenis kelamin, dan untuk kuantitas sampel masih terbilang

terbatas jika ditujukan untuk menilai secara spesifik pengaruh

pemberian terapi terhadap keluhan SRSs pasien namun

terbilang cukup untuk dijadikan sebagai gambaran awal dalam

persiapan penelitian lanjutan di masa yang akan datang.

2. Terdapat beberapa sampel pada penelitian ini secara seksual

tidak aktif seperti tidak memiliki pasangan ataupun usia tua, serta

tidak meratanya waktu memulai aktivitas seksual sehingga

mempengaruhi hasil pada kuestioner

3. Durasi pengamatan dalam penelitian ini berlangsung selama 4

minggu sehingga hanya dapat menilai efek jangka pendek

pemberian obat terhadap keluhan SRSs dan efek samping obat

terhadap pasien.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1) Ada perbaikan keluhan urinary symptoms pada kedua kelompok,

pada minggu ke II kelompok kombinasi terlihat lebih unggul

namun secara umum kelompok kombinasi tidak lebih baik

dibanding kelompok tunggal.

2) Terdapat perbaikan keluhan nyeri pada kedua kelompok namun

tidak ada kelompok yang lebih baik dalam menangani keluhan

nyeri.

3) Terdapat perbaikan keadaan umum pada kedua kelompok

namun kelompok tunggal terlihat lebih unggul dibanding

kelompok kombinasi terlihat pada minggu II dan IV

4) Tidak ada perbedaan perbaikan aktifitas kerja yang signifikan

pada kelompok kombinasi maupun solifenacin tunggal.

5) Ada perbaikan aktifitas seksual yang lebih baik pada kelompok

kombinasi dibanding kelompok tunggal terlihat pada minggu II.

6) Ada perbaikan skor keluhan lainnya baik pada kelompok

kombinasi maupun tunggal namun tidak ada perbedaan yang

signifikan.
5.2 Saran

1) Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas

kelompok tunggal dan kelompok kombinasi dengan jenis-dosis

obat yang lebih bervariasi.

2) Dilakukan skrining karakteristik sampel yang lebih spesifik

sehingga hasil kuestioner yang dilakukan dapat lebih homogen.

3) Dilakukan pengamatan dengan jumlah sampel yang lebih banyak

dan waktu penelitian yang lebih panjang untuk mengetahui efek

jangka pendek dan jangka panjang serta evaluasi dalam

penggunaan obat pada penelitian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abdelmoteleb, H., Jefferies, E., & Drake, M. (2015). Assessment and


management of male lower urinary tract symptoms ( LUTS )
Assessment and management of male lower urinary tract
symptoms ( LUTS ). International Journal of Surgery, 164-171.
Abdulla , Y.-T. (2008). Double j indwelling ureteric stents: indications and
complications. Basrah Journal Of Surgery, 1–5.
Abrams, P. (2006). Urodynamics. London: Springer.
Abrams, P. et al. (2017) ‘Combination treatment with mirabegron and
solifenacin in patients with overactive bladder: exploratory
responder analyses of efficacy and evaluation of patient-reported
outcomes from a randomized, double-blind, factorial, dose-
ranging, Phase II study (SYM’, World Journal of Urology, 35(5),
pp. 827–838. doi: 10.1007/s00345-016-1908-1.
Akif KOÇ , & Bayrak, Ö. (2013). Double-J stent placement with grasping
forceps through ureteroscope working channel : a novel technique.
Turkish Journal of Medical Sciences, 43: 642–644.
Betschart, P. et al. (2017) ‘Prevention and treatment of symptoms
associated with indwelling ureteral stents: A systematic review’,
International Journal of Urology, 24(4), pp. 250–259. doi:
10.1111/iju.13311.
Blandy, John, & Kaisary, A. (2009). Urology. John Wiley & Sons.
Chen, H. L. et al. (2018) ‘Mirabegron is alternative to antimuscarinic
agents for overactive bladder without higher risk in hypertension: a
systematic review and meta-analysis’, World Journal of Urology,
36(8), pp. 1285–1297. doi: 10.1007/s00345-018-2268-9.
Dahm, Philipp , & Dmochowski, R. (2018). Evidence-based Urology. John
Wiley & Sons.
Dellis, A. et al. (2010) ‘Relief of stent related symptoms: Review of
engineering and pharmacological solutions’, Journal of Urology,
184(4), pp. 1267–1272. doi: 10.1016/j.juro.2010.06.043.
Fischer, K. M., Louie, M. and Mucksavage, P. (2018) ‘Ureteral Stent
Discomfort and Its Management’, Current Urology Reports, 19(8),
pp. 5–8. doi: 10.1007/s11934-018-0818-8
Gibson, W. et al. (2017) ‘Treating Overactive Bladder in Older Patients
with a Combination of Mirabegron and Solifenacin: A Prespecified
Analysis from the BESIDE Study’, European Urology Focus, 3(6),
pp. 629–638. doi: 10.1016/j.euf.2017.08.008.
Gratzke, C, et al. (2018). Long-term Safety and Efficacy Of Mirabegron
and Solifenacin In Combination Compared With Monotherapy In
Patients With Overactive Bladder: A Randomised, Multicentre
Phase 3 Study (SYNERGY II). European urology 74.4 : 501-509.
Gravas, S. et al. (2015) ‘EAU Guidelines on Management of Male Lower
Urinary Tract Symptoms Benign Prostatic Obstruction ( BPO )’,
European Urology, pp. 1–53. Available at: https://uroweb.org/wp-
content/uploads/EAU-Guidelines-on-the-Management-of-Non-
neurogenic-Male-LUTS-2018-large-text.pdf.
Guyton , A., & Hall, J. (1997). Fisiologi Saluran Kemih. DalamBuku Ajar
Fisiologi Kedokteran Edisi 9 (hal. 1273-1280). Jakarta:EGC.
Hohenfellner, Rudolf, & Stolzenburg, J.-U. (2005). Manual
Endourology.Berlin: Springer.
Joshi, H. B. et al. (2002) ‘Characterization of urinary symptoms in patients
with ureteral stents’, Urology, 59(4), pp. 511–516. doi:
10.1016/S0090-4295(01)01644-2
Joshi, H. B., Stainthorpe, A., et al. (2003) ‘Indwelling ureteral stents:
Evaluation of symptoms, quality of life and utility’, Journal of
Urology, 169(3), pp. 1065–1069. doi:
10.1097/01.ju.0000048980.33855.90.
Katoh, T. et al. (2016) ‘Real-world cardiovascular assessment of
mirabegron treatment in patients with overactive bladder and
concomitant cardiovascular disease: Results of a Japanese post-
marketing study’, International Journal of Urology, 23(12), pp.
1009–1015. doi: 10.1111/iju.13218.
Kelleher, C. et al. (2018) ‘Efficacy and Tolerability of Mirabegron
Compared with Antimuscarinic Monotherapy or Combination
Therapies for Overactive Bladder: A Systematic Review and
Network Meta-analysis [Figure presented]’, European Urology,
74(3), pp. 324–333. doi: 10.1016/j.eururo.2018.03.020.
Kim, Y. et al. (2018). Pharmacokinetics comparison of solifenacin tartrate
and solifenacin succinate: a randomized, open-label, single-dose,
2-way crossover study in healthy male volunteers.Translational
and Clinical Pharmacology,
26(2),73. doi:10.12793/tcp.2018.26.2.73
Merseburger, A., Kuczyk, M., & Moul, J. (2014). Urology at a Glance. New
York: Springer.
Miyaoka, R. and Monga, M. (2009) ‘Ureteral stent discomfort: Etiology and
management’, Indian Journal of Urology, pp. 455–460. doi:
10.4103/0970-1591.57910.
Lee, S. W. et al. (2019) ‘Lower urinary tract symptoms associated with
double-j stent’, Urological Science, 30(3), pp. 92–98. doi:
10.4103/UROS.UROS_56_18.
Lu, J. et al. (2020) ‘Impact of Endourological procedures with or without
double-J stent on sexual function: A systematic review and meta-
analysis’, BMC Urology, 20(1), pp. 1–8. doi: 10.1186/s12894-020-
0582-1.

Otsuki, H. et al. (2020). The Efficacy of Mirabegron for the Relief of


Ureteral Stent - Related Symptoms. Acta Med Okayama,
74(2):145-150.

Pansota, M. S. et al. (2013) ‘Indications and Complications of Double J


Ureteral Stenting : Our Experience’, Gomal Journal of Medical
Sciences, 11(1), pp. 8–12.
Park, J. et al. (2012) ‘Cross-cultural application of the korean version of
ureteral stent symptoms questionnaire’, Journal of Endourology,
26(11), pp. 1518–1522. doi: 10.1089/end.2012.0235.
Probzt, C., Razvi, H., & Dendstedt , J. (2012). Fundamentals
OfInstrumentation And Urinary Tract Drainage. Dalam Wein,
Kavaoussi, Novick, Partin, & Peters, Campbell Walsh Urology
10thed.
Ray, R. (2015). Long - term complications of JJ stent and its
management : A 5 years review. 7(1):41–45.
Tanagho, Emil, & McAninch, J. (2007). Smith's general urologyh. McGraw-
Hill Prof Med/Tec.
Wein, A. J. (2018) ‘Re: Efficacy and Safety of Combinations of Mirabegron
and Solifenacin Compared with Monotherapy and Placebo in
Patients with Overactive Bladder (SYNERGY Study)’, The Journal
of urology, 200(3), pp. 502–505. doi: 10.1016/j.juro.2018.05.139.
White, W. B. et al. (2018) ‘Cardiovascular Safety of the β3-Adrenoceptor
Agonist Mirabegron and the Antimuscarinic Agent Solifenacin in
the SYNERGY Trial’, Journal of Clinical Pharmacology, 58(8), pp.
1084–1091. doi: 10.1002/jcph.1107.
Xu, Yankai. et al. (2017) ’Meta-Analysis of the Efficacy and Safety of
Mirabegron Therapy to Solifenacin for Overactive Bladder’,
International Neurourology Journal. 21 :pp 212-219. doi:
10.5213/inj.1734934.467
LAMPIRAN
Lampiran 1URETERICRE
URETERIC STENT SYMPTOMS QUESTIONNAIRE

Questionnaire 1 (Stent in situ)

JJ double ureteral kateter telah dimasukkan. Kami ingin mengetahui


pendapat Anda tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan
kesehatan Anda setelah memasukkan kateter.
Silakan isi bagian-bagian berbeda dari kuesioner yang akan Anda
temukan di bawah ini. Jawab semua pertanyaan di setiap bagian.
(Kami akan sangat menghargai jika Anda mengisi kuesioner dan
mengirimkannya kepada kami dalam tujuh hari)

Tanggal hari ini --/--/----

Tanggal lahir --/--/----

Pada beberapa kesempatan Anda ditanya apakah Anda memiliki gejala


sesekali, kadang-kadang, atau sebagian besar waktu.

Sekali-sekali maksudnya adalah kurang dari sepertiga waktu. Jawaban


Terkadang itu berarti antara satu dan dua pertiga waktu. Sebagian besar
waktu itu berarti lebih dari dua pertiga waktu (dalam sehari).
URINARY SYMPTOMS
Kami meminta Anda untuk menjawab pertanyaan dengan memikirkan
ketidaknyamanan berkemih yang Anda derita setelah pemasangan kateter
ureter.
Harap tandai (√)hanya satu kotak jawaban (□) untuk setiap
pertanyaan.Pikirkan hanya tentang pengalaman Anda setelah
pemasangan kateter.
U1. Pada siang hari, seberapa sering Anda buang air kecil?
□ Lebih dari sekali dalam satu jam
□ Setiap jam
□ Setiap dua jam
□ Setiap tiga jam
□ Setiap empat jam atau lebih
U2. Pada malam hari, seberapa sering Anda harus bangun untuk
buang air kecil?
□ Tidak pernah
□ Sekali
□ Dua kali
□ Tiga kali
□ Empat kali atau lebih
U3. Apakah Anda harus lari ke toilet untuk buang air kecil?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
U4. Apakah Anda mengalami urin mengalir sebelum sampai ke toilet?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
U5. Apakah urin Anda keluar tanpa disadari sehingga Anda BAK
sebelum berada di toilet?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
U6. Seberapa sering Anda merasa bahwa kandung kemih belum
sepenuhnya kosong setelah buang air kecil?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
U7. Apakah Anda memiliki sensasi menyengat saat buang air kecil?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
U8. Berapa kali Anda mengamati darah dalam urin Anda?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
U9. Berapa banyak darah yang Anda perhatikan dalam urin Anda?
□ Saya tidak pernah melihat darah
□ Urin sedikit bernoda darah
□ Air seni sangat ternoda darah
□ Urin berwarna darah dan disertai gumpalan
□ Saya tidak pernah melihat darah
U10 Secara umum, sejauh mana gejala kencing Anda menjadi masalah
. bagi Anda?
□ Tidak ada
□ Sedikit
□ Sedang
□ Cukup
□ Banyak
U11 Jika Anda harus menghabiskan sisa hidup Anda dengan gejala-
. gejala yang terkait dengan kateter, seperti sekarang, bagaimana
perasaan Anda?
□ Sangat bahagia
□ Senang
□ Cukup puas
□ Biasa saja
□ Cukup tidak puas
□ Tidak puas
□ Sangat tidak bahagia
NYERI PADA TUBUH (UNTUK PRIA)
Pada bagian ini Anda akan menemukan pertanyaan terkait dengan rasa
sakit atau ketidaknyamanan yang Anda kaitkan dengan penempatan
kateter ureter.
Pikirkan pengalaman Anda setelah memasukkan kateter.
P1. Pernahkah Anda menderita jenis rasa sakit atau ketidaknyamanan
terkait dengan keberadaan kateter ureter?
□ Ya (lanjut ke pertanyaan P2)
□ Tidak (buka bagian selanjutnya, abaikan pertanyaan dari P2
hingga P9)
P2. Bayangkan gambar di bawah ini adalah representasi tubuh Anda.
Tandai dengan tanda X atau warnai tempat di mana Anda merasa
sakit atau tidak nyaman terkait dengan kateter (misalnya, selama
aktivitas sehari-hari atau setiap kali buang air kecil):

A: Wilayah ginjal depan / lateral


B: Wilayah Inguinal
C: Wilayah kandung kemih
D: Penis
E: Wilayah ginjal lumbar (area belakang)
* Dalam hal menderita sakit di lebih dari satu titik, tunjukkan lokasi
masing-masing.
P3. Pada skala 0 hingga 10, tandai dengan X titik yang menunjukkan
intensitas rasa sakit atau ketidaknyamanan Anda terkait dengan
kateter. Jika Anda merasa sakit atau tidak nyaman di lebih dari satu
tempat, beri tanda sebanyak mungkin dan tulis di sebelahnya huruf
yang sesuai dengan setiap lokasi.
Rasa sakit yang
Tidak
1 sangat intens
merasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 atau
sakit
ketidaknyamanan
NYERI PADA TUBUH (UNTUK WANITA)
Pada bagian ini Anda akan menemukan pertanyaan terkait dengan rasa
sakit atau ketidaknyamanan yang Anda kaitkan dengan penempatan
kateter ureter.
Tolong pikirkan pengalaman Anda setelah memasukkan kateter.
P1 Pernahkah Anda menderita jenis rasa sakit atau ketidaknyamanan
terkait dengan keberadaan kateter ureter?
□ Ya (lanjut ke pertanyaan P2)
□ Tidak (buka bagian selanjutnya, abaikan pertanyaan dari P2
hingga P9)
P2 Bayangkan bahwa gambar di bawah ini adalah representasi tubuh
Anda, tandai dengan X atau warnai tempat-tempat di mana Anda
merasa sakit atau tidak nyaman terkait dengan kateter (misalnya,
selama kegiatan sehari-hari atau setiap kali Anda buang air kecil) :

A: Daerah ginjal frontal / lateral


B: Wilayah Inguinal
C: Wilayah kandung kemih
D: Wilayah ginjal lumbar (area belakang)
* Dalam hal menderita sakit di lebih dari satu titik, tunjukkan lokasi
masing-masing.
P3 Pada skala 0 hingga 10, tandai dengan X titik yang menunjukkan
intensitas rasa sakit atau ketidaknyamanan Anda terkait dengan
kateter. Jika Anda merasa sakit atau tidak nyaman di lebih dari satu
tempat, beri tanda sebanyak mungkin dan tulis di sebelahnya huruf
yang sesuai dengan setiap lokasi.
Rasa sakit yang
Tidak
sangat intens
merasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
atau
sakit
ketidaknyamanan
P4 Manakah dari pernyataan berikut yang paling menggambarkan
situasi Anda mengenai aktivitas fisik dan rasa sakit atau
ketidaknyamanan terkait dengan keberadaan kateter?
□ Saya tidak merasakan sakit atau tidak nyaman
Saya mengalami rasa sakit atau ketidaknyamanan hanya ketika
□ saya melakukan aktivitas fisik yang intens (misalnya, olahraga
intens atau mengangkat benda berat)
□ Saya merasakan sakit atau tidak nyaman ketika melakukan
aktivitas dengan intensitas sedang tetapi tidak dalam aktivitas
sederhana (misalnya berjalan beberapa ratus meter atau
mengendarai mobil)
□ Saya merasakan sakit bahkan ketika saya melakukan kegiatan
dasar kehidupan sehari-hari (misalnya, berjalan di sekitar rumah
atau berpakaian)
□ Saya merasa sakit saat istirahat
P5 Apakah Anda bangun di malam hari karena sakit atau tidak nyaman
terkait dengan kateter?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
P6 Apakah Anda merasakan sakit atau tidak nyaman terkait dengan
kateter saat buang air kecil?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
P7 Apakah Anda merasakan sakit atau tidak nyaman di area ginjal saat
buang air kecil?
□ Tidak
□ Ya
P8 Berapa kali Anda perlu menggunakan analgesik (penghilang rasa
sakit) untuk mengontrol rasa sakit atau ketidaknyamanan yang terkait
dengan kateter?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu

P9 Secara umum, sejauh mana rasa sakit atau ketidaknyamanan yang


terkait dengan kateter mempengaruhi kehidupan sehari-hari Anda?
□ Tidak ada
□ Sedikit
□ Sedang
□ Cukup
□ Banyak
STATUS KESEHATAN UMUM
Bagian ini menyelidiki kesehatan umum Anda setelah pemasangan
kateter ureter.
G1. Pernahkah Anda mengalami kesulitan melakukan aktivitas fisik
ringan (misalnya berjalan jarak pendek atau mengemudi mobil)?
□ Biasanya tanpa kesulitan
□ Umumnya dengan beberapa kesulitan
□ Umumnya dengan banyak kesulitan
□ Saya biasanya tidak melakukannya karena kateter
□ Selalu
G2. Pernahkah Anda mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas
fisik yang intens (misalnya, olahraga intens atau mengangkat
benda berat)?
□ Biasanya tanpa kesulitan
□ Umumnya dengan beberapa kesulitan
□ Umumnya dengan banyak kesulitan
□ Saya biasanya tidak melakukannya karena kateter
□ Selalu
G3. Apakah Anda merasa lelah tanpa kegiatan fisik?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
G4. Pernahkah anda merasa tenang?
□ Selalu
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Tidak pernah
G5. Apakah Anda menikmati kehidupan sosial Anda (misalnya, pergi
keluar, mengundang teman ke rumah, dll.)?
□ Selalu
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Tidak pernah
G6. Apakah Anda membutuhkan lebih banyak bantuan dari biasanya
dari keluarga atau teman?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
AKTIVITAS KERJA
W1. Tentukan status pekerjaan Anda
□ Pekerjaan penuh waktu
□ Kerja paruh waktu
□ Pensiun karena sakit
□ Siswa
□ Menganggur atau mencari pekerjaan
□ Pensiun karena alasan lain (termasuk berdasarkan usia)
□ Saya tidak bekerja karena (sebutkan) .............................
W2. Setelah pemasangan kateter, berapa hari Anda harus tetap di
tempat tidur sepanjang hari atau sebagian karena gejala yang
terkait dengan kateter?
Jumlah hari .............
W3. Setelah pemasangan kateter, berapa hari Anda harus mengurangi
aktivitas harian karena gejalanya?
Jumlah hari .............
W4. a) Posisi profesional dan deskripsi pekerjaan Anda:
................
b) Anda adalah:
□ Karyawan
□ Wiraswasta
□ Pengusaha
Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut hanya jika Anda telah bekerja
setelah pemasangan kateter
W5. Apakah Anda pernah bekerja dalam waktu singkat atau
memerlukan cuti sakit berhari-hari karena gejala yang terkait
dengan kateter?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
W6. Apakah Anda perlu melakukan perubahan pada pekerjaan yang
biasa anda lakukan karena gejala yang terkait dengan kateter?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
W7. Sudahkah Anda bekerja dengan jumlah jam yang biasa?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali (kurang dari sepertiga waktu)
□ Terkadang (antara satu dan dua pertiga waktu)
□ Sebagian besar waktu (lebih dari dua pertiga waktu)
□ Selalu
MASALAH SEKSUAL
Harap tandai satu kotak untuk setiap pertanyaan dengan
mempertimbangkan pengalaman Anda setelah memasukkan kateter.
S1. Saat ini, apakah Anda memiliki kehidupan seks yang aktif?
□ Tidak (lanjut ke pertanyaan S2, S3 dan langsung ke bagian
selanjutnya)
□ Ya (lanjut ke pertanyaan S4)
S2. Jika Anda tidak memiliki kehidupan seks yang aktif, sejak kapan itu
terjadi pada Anda?
□ Sejak penempatan kateter ureter
□ Sebelum penempatan kateter ureter
S3. Mengapa kegiatan seksual anda menjadi tidak aktif/ terputus saat
ini?
□ Karena masalah yang terkait dengan kateter ureter
□ Saya belum mencoba melakukan aktivitas seksual
□ Untuk alasan lain yang tidak terkait dengan kateter
Jawab pertanyaan S4 dan S5 hanya jika Anda menjawab "ya" untuk
pertanyaan S1. Pertanyaan-pertanyaan ini merujuk pada kehidupan seks
Anda setelah penempatan kateter.
S4. Apakah Anda pernah merasakan sakit saat berhubungan seks?
Jika ya, jenis apa?
□ Tidak
□ Ringan
□ Sedang
□ Kuat
□ Sangat kuat
S5. Apakah Anda puas dengan kehidupan seks Anda?
□ Sangat puas
□ Puas
□ Tidak terlalu puas
□ Tidak puas
□ Sangat tidak puas
KETIDAKNYAMANAN LAINNYA
Pertanyaan-pertanyaan yang Anda temukan di bawah ini berfokus pada
pengalaman Anda setelah pemasangan kateter ureter. Harap tunjukkan
pengalaman Anda dengan menandai kotak yang sesuai.
A1. Seberapa seringkah Anda mengira bahwa Anda menderita infeksi
urin (demam terus menerus, lemas, atau nyeri saat buang air
kecil)?
□ Tidak pernah
□ Sekali-sekali
□ Terkadang
□ Sering
□ Selalu
A2. Apakah Anda perlu minum antibiotik disebabkan karena
penempatan kateter (tidak termasuk antibiotik preventif yang Anda
minum sebelum penempatan kateter).
□ Tidak pernah
□ 1 putaran
□ 2 putaran
□ 3 putaran atau lebih
A3. Apakah Anda memerlukan bantuan dokter atau perawat untuk
masalah apa pun yang terkait dengan kateter?
□ Tidak pernah
□ 1 putaran
□ 2 putaran
□ 3 putaran atau lebih
A4. Apakah Anda perlu pergi ke rumah sakit untuk masalah yang terkait
dengan kateter?
□ Tidak pernah
□ 1 putaran
□ 2 putaran
□ 3 putaran atau lebih
A5. Di masa mendatang, jika saya harus mengambil kateter ureter lagi,
bagaimana rasanya?
□ Sangat bahagia
□ Senang
□ Cukup puas
□ Biasa saja
□ Cukup tidak puas
□ Tidak puas
□ Sangat tidak bahagia
Jika Anda ingin mengomentari kuesioner atau gejalanya, Anda dapat
mengisinya di bawah ini:
.....................................................................................................................
.....................................................................................................................

Anda mungkin juga menyukai