Anda di halaman 1dari 24

EFEKTIFITAS METODE LUBRIKASI JELLY DAN PEMBERIAN LIDOKAIN

TERHAADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA PEMASANGAN


DOWER KATETER DI UGD RUMAH SAKIT ISLAM FATIMAH
BANYUWANGI TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri menjadi alasan utama
seseorang untuk mencari bantuan peralatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak
proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau
pengobatan. (smeltzer dan bare,2002).
Nyeri merupakan keluhan utama yang sering dialami oleh pasien dengan
kateterisasi urin karena tindakan memasukkan selang kateter dalam kandung kemih
mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada urethra. Resiko trauma berupa
iritasi pada dinding urethra lebih sering terjadi pada pria karena keadaan urethranya yang
lebih panjang dan berliku-liku dari pada wanita serta membran mukosa yang melapisi
dinding uretra sangat mudah rusak oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter
(Kozier & Erb 2009). Nyeri pada pemasangan dower cateter merupakan suatu reaksi
akibat adanya infeksi pada saluran eliminasi urin serta dipicu dengan adanya dorongan
benda asing. Di UGD RSI. Fatimah ditemukan berbagai manifestasi repon terhadap nyeri,
diantaranya pasien yang teriak kesaktan, pasien yang meminta untuk diberi obat anti
nyeri sampai dengan pasien meminta untuk dilepas.
Berdasarkan hasil survei peneliti di Rumah Sakit Pemerintah Kabupaten
Pekalongan jumlah rata-rata pemasangan kateter pria di Ruang IGD Bulan Maret 2012
ditemukan pasien yang mengeluh nyeri akibat respon dari pemasangan kateter dari 16

pasien diantaranya, nyeri ringan 6,2 %, nyeri sedang 18,8%, nyeri berat 50,0%, nyeri
sangat berat 25,0%. Sedangkan hasil survey di UGD Rumahsakit islam Fatimah dari 12
pasien yang diberikan advis tindakan pemasangan Kateter, 17,0% mengeluh nyeriringan,
25,0% nyeri sedang, 35% nyeri berat, 23,0% nyeri sangat berat.
Nyeri yang sering dialami oleh pasien dengan kateterisasi urin karena tindakan
memasukkan selang kateter dalam kandung kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi
atau trauma pada urethra. Resiko trauma berupa iritasi pada dinding urethra lebih sering
terjadi pada pria karena keadaan urethranya yang lebih panjang dan berliku-liku dari
pada wanita serta membran mukosa yang melapisi dinding uretra sangat mudah rusak
oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter (Kozier & Erb 2009, h. 505).
Dalam managemen penanganan nyeri kateterisasi urine pada pasien pria, terdapat
dua alternatif penggunaan jelly. Yang pertama dengan mengolesi jellypada selang kateter,
yang ke dua dengan cara memasukan langsung ke meatus uretra dengan menggunakan
spuit (Roe, 2003). Selain pemberian jelly, lidocain merupakan terapi anastesik juga dapat
mempengaruhi tingkat ambang nyeri yang sering digunakan sebagai tindakan bedah
minor.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana efektivitas metode
lubrikasi dan pemberian Lidocain secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan
skala nyeri pada pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah
Banyuwangi tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi perbedaan efektivitas metode lubrikasi dan pemberian
Lidocain secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan skala nyeri pada
pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah Banyuwangi tahun
2015.
2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien pria yang dipasang dower kateter
dengan metode lubrikasi secara langsung kemeatus uretra di UGD RSI
Fatimah Banyuwangi tahun 2015.
b. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien pria yang dipasang dower kateter
pemberian Lidocain secara langsung kemeatus uretra di UGD RSI Fatimah
Banyuwangi tahun 2015.
c. Menganalisis perbedaan efektivitas metode lubrikasi dan pemberian Lidocain
secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan skala nyeri pada
pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah Banyuwangi
tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Peneltiian ini dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu keperawatan
terutama di bidang Keperawatan Medikal Bedah sehingga referensi keilmuan
lebih dapat diupgrade lagi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Rumah Sakit Islam Fatimah Banyuwangi
Dapat digunakan sebagai referensi tentang metode pemasangan dower
kateter yang baik dalam meniurunkan tingkat skala nyeri pasien. Sehingga
pelayanan keperawatan dapat ditingkatkan yang akhirnya akan menjadikan
kepuasan pasien meningkat.
b. Bagi peneliti
Dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengaplikasikan ilmu
keperawatan terutama metodologi penelitian kesehatan dalam praktek
keperawatan setiap hari.
E. RELEVANSI
Menurut Kelompok Kerja Keperawatan KDIK 1992, telah melakukan
penelitian dengan judul Perbedaan Efektifitas Teknik Pengolesan Jelly Pada Kateter
dan Teknik Memasukan Langsung Ke Meatus Uretrha Terhadap Skala Nyeri Pada
Pemasangan Kateter Urine Pria telah menyimpulkan bila melakukan teknik

pengolesan jelly dan teknik memasukan langsung dengan benar, maka tingkat nyeri
bisa berbeda. Penelitian ini melibatkan 16 responden.
Setelah dilakukan penelitian, menunjukan bahwa ada perbedaan efektifitas
teknik pengolesan jelly pada kateter dan teknik memasukan langsung ke meatus
uretrha terhadap skala nyeri pada pemasangan kateter urine pria. ( Retno. Imami,
2012)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lidokain
1. Pengertian Lidokain
Lidokain ialah anestetika lokal tipe amino amida. Lidokain memiliki nama
kimia

acetamide,

2-(diethylamino)-N-(2,6-dimethylphenyl).

Pertama

kali

dikembangkan oleh Nils Lofgren dan Bengt Lundqvist pada tahun 1943 dan pertama
kali dipasarkan pada tahun 1948 (Mulroy, 2002).
2. Farmakokinetik Lidokain
Lidokain mempunyai onset lebih cepat dan durasi lebih panjang daripada
anestetika lokal tipe amino ester seperti prokain. Lidokain dimetabolisme di hepar
mendekati 90% (Mulroy, 2002). Onset dari obat anestesi lokal ditentukan oleh pKa
yaitu pH dimana konsentrasi antara bentuk ion dan non ion sama. Membran sel saraf
akan mudah dilalui oleh bentuk ion yang tidak bermuatan sehingga onset obat
berhubungan dengan bentuk basa dari obat anestesi lokal. Persentase obat anestesi

lokal dalam bentuk basa pada pH 7,4 berbanding terbalik dengan pKa dari obat
tersebut. Sebagai contoh mepivakain, lidokain dan prokain mempunyai pKa hampir
7,7 sehingga mempunyai onset yang cepat sedangkan buipivakain mempunyai onset
yang lambat. Ketika obat tersebut disuntikkan pada pH 7,4 maka 65% dari obat
tersebut dalam bentuk ion sedangkan 35% dalam bentuk basa (non ion). Sementara itu
amethokain mempunyai pKa 8,6 dan hanya 5% yang dalam bentuk non ion.
Bupivakain mempunyai pKa 8,1 yang berarti hanya 15% dalam bentuk non ion
(Covino, 2000).
Obat-obat anestesi lokal setelah penyuntikan ekstravaskuler akan mengalami
tahapan absorbsi, distribusi dan eliminasi. Di samping tahapan tersebut, faktor kadar
a-glikoprotein akan mempengaruhi kadar konsentrasi lidokain dalam darah (Tucker,
1999).
Eliminasi waktu paruh lidokain mendekati 1,5-2 jam pada kebanyakan pasien.
Hal ini dapat diperpanjang pada pasien dengan perlemakan hepar (rata-rata 343 menit)
atau gagal jantung kongestif (kira-kira 136 menit) (Thomson et al, 1999). Lidokain
mudah diserap dari tempat suntikan dan dapat melewati sawar darah otak. (Sunaryo,
2002).
3. Farmakodinamika Lidokain
Lidokain mengubah depolarisasi pada saraf dengan cara memblok saluran
natrium di membran sel. Dengan blokade yang cukup, membran tidak akan
mengalami depolarisasi jadi tidak mengirim potensial aksi. (Mulroy, 2002).
4. Indikasi dan Kontraindikasi Lidokain
Lidokain digunakan untuk anestesi topikal, anestesi infiltrasi, blokade saraf,
anestesi epidural, anestesi intratekal dan anestesi regional IV (Mulroy, 2002).
Lidokain dapat menurunkan iritabilitas jantung sehingga digunakan sebagai
antiaritmia (Sunaryo 2002). Lidokain digolongkan sebagai agen antiaritmia kelas 1b,
memblok saluran natrium pada potensial aksi jantung, dimana penurunan otomatis

dengan mengurangi lereng depolarisasi fase 0 dengan sedikit efek pada interval PR,
kompleks QRS dan interval QT (Mulroy, 2002).
Kontraindikasi lidokain yaitu: (Mulroy, 2002)
a. Blokade jantung, derajat 2 atau 3 (tanpa pacemaker)
b. Blokade sinoatrial yang hebat (tanpa pacemaker)
c. Terjadi reaksi yang kurang baik bila menggunakan lidokain atau obat anestesi
lokal amida.
d. Perawatan berbarengan dengan quinidine, flecainide, disopyramide dan
procainamide (agen antiaritmia kelas I)
5. Overdosis Lidokain
Pada umumnya gejala overdosis jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh
suntikan intravaskuler yang lalai, dosis berlebihan atau penyerapan yang cepat
sehingga mendorong konsentrasi darah menjadi tinggi. Gejala overdosis juga bisa
disebabkan oleh hipersensitivitas atau kurangnya toleransi pasien (Mulroy, 2002).
Gejala overdosis lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP,
misalnya mengantuk, pusing, parestesis, gangguan mental, koma dan seizures.
Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel atau
henti jantung (Sunaryo, 2002).
6. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Mula Dan Masa Kerja Anastetikum Lokal
a. Nilai pH Jaringan
Faktor yang paling penting mempengaruhi mula kerja anestetikum lokal
adalah pH jaringan dan pKa bahan anestetikum lokal. Nilai pH mungkin menurun
pada suasana infeksi, yang menyebabkan efek anestesi menjadi lambat atau bahkan
tidak terjadi langsung.
Anestetikum lokal dipasarkan dalam bentuk garam yang mudah larut dalam
air, biasanya garam hidroklorid dan merupakan basa lemah. Larutan garam bahan
ini bersifat agak asam, hal ini menguntungkan karena menambah stabilitas bahan
anestetikum lokal tersebut. Bahan anestetikum lokal yang biasa digunakan
mempunyai pKa antara 8-9, sehingga pada pH jaringan hanya didapati 5-20%
dalam bentuk basa bebas. Bagian ini walaupun kecil sangat penting, karena untuk

mencapai tempat kerjanya bahan harus berdifusi melalui jaringan penyambung dan
membran sel lain, dan hal ini hanya mungkin terjadi dengan bentuk amin yang
tidak bermuatan listrik.11
e. Morfologi Saraf
Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi anestetikum lokal melalui
perineurium. Urutan lapisan pembungkus serabut saraf dari dalam keluar adalah
endoneurium, perineurium, dan epineurium. Lapisan ini terdiri dari jaringan
pengikat kolagen dan elastis. Bahan anestetikum lokal harus menembus jaringan
pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus jaringan
yang bukan saraf. Sebagai contoh, prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang
sama dan mula kerja yang sama pada saraf yang diisolasi, tetapi mula kerja
kloroprokain lebih pendek daripada prokain, ini menunjukkan bahwa kloroprokain
lebih cepat menembus jaringan yang bukan jaringan saraf.
f. Lipid solubility
Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik anestetikum
lokal tersebut. Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten bahan
tersebut. Lipid solubility prokain kurang dari satu, dan bahan ini paling kecil
potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain, tetrakain dan
etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi.
Bahan ini menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah
karena potensi intrinsik anestesinya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan
antara lipid solubility dan potensi intrinsik anestesi selalu konsisten dengan
komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran saraf terdiri
dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% axolemma terdiri dari lemak. Karena
itu anestetikum lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus

membran saraf dengan lebih mudah, yang direfleksikan sebagai peningkatan


potensi.
g. pKa Anestetikum Lokal
Secara klinis, tidak ada perbedaan yang signifikan pada pKa antara amida,
kecuali bupivakain, yang memiliki pKa sedikit lebih tinggi yang menyebabkan
mula kerjanya lebih lambat. pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH
dimana bentuk ion dan non-ion ada dalam keseimbangan. Anestetikum lokal
yang tidak berubah bentuk, diperlukan untuk berdifusi menembus selubung
saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus
epineurium, yang berkolerasi dengan jumlah bahan dalam bentuk dasar.
Persentase dari bahan anestetikum lokal dalam bentuk dasar bila disuntikkan ke
dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4, maka pKa bahan tersebut akan terjadi
sebaliknya.
Sebagai contoh, lidokain yang mempunyai pKa 7,9 adalah 75% dalam
bentuk ion dan 25% dalam bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Hasilnya
bahan tersebut mempunyai pKa hampir mendekati pH jaringan akan
mempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada anestetikum lokal dengan pKa
yang tinggi.14,22,24
B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (Townsend, 2008),
mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak
nyaman yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Perasaan
yang tidak nyaman tersebut sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang
mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak
& Chayatin, 2007). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare
(2001) bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, menyakitkan

tubuh, serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut


Barbara dan Joan (1983), nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial yang
kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif yang terjadi di
tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda atau peringatan bahwa ada suatu
kerusakan jaringan di tubuh.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu
perasaan tidak nyaman yang bersifat subjektif dan tidak dapat dilihat atau dirasakan
orang lain, yang diungkapkan oleh individu yang merasakannya, serta berhubungan
dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Oleh karena itu tenaga medis harus
mempercayai apapun yang dikatakan pasien tentang nyeri yang dirasakannya, karena
sifat subjektif dari nyeri ini.
2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu (1) nyeri akut dan (2) nyeri kronis
(Berger, 1992). Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai suatu pengalaman sensori,
persepsi, dan emosional yang tidak nyaman yang berlangsung dari beberapa detik
hingga enam bulan, yang disebabkan oleh kerusakan jaringan dari suatu penyakit
seperti pada luka yang diakibatkan oleh kecelakaan, operasi, atau oleh karena
prosedur terapeutik (Lewis, 1983). Nyeri akut biasanya mempunyai awitan yang tibatiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan
bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak
ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya
penyembuhan. Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya
kurang dari satu bulan. Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat
sembuh secara spontan atau memerlukan pengobatan (Smeltzer & Bare, 2001).
Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang menetap dan terus menerus yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai
awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya

nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Meskipun tidak diketahui mengapa banyak orang menderita nyeri
kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, hal ini diduga bahwa ujung-ujung
syaraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri menjadi mampu untuk
memberikan sensasi nyeri, atau ujung-ujung syaraf yang normalnya hanya
mentransmisikan stimulus yang sangat nyeri menjadi mampu mentransmisikan
stimulus yang sebelumnya tidak nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri (Smeltzer &
Bare, 2001).
3. Fisiologi Nyeri
Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi
sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai
sistem nosiseptif. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung syaraf bebas yang pertama
sekali merasakan nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor
untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine, bradikinin,
asetilkolin, dan substansi P (Smeltzer & Bare, 2001). Zat-zat kimia ini mensensitisasi
ujung syaraf dan menyampaikan impuls nyeri ke otak. Ada dua jenis ujung syaraf
bebas yang termasuk dalam nosisepsi, yaitu (1) serabut A-delta, adalah serabut halus,
bermielin, dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan
tajam. Serabut-serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi dan intensitas
nyeri. (2) Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak dibungkus oleh mielin. Serabut
ini halus dan hantarannya lambat serta bertanggung jawab terhadap nyeri tumpul,
menyebar, dan persisten (Taylor, 2009).
Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-delta, tetapi
beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat aktifasi serabut C. Impuls
nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer dan dihantarkan langsung ke substansia

gelatinosa pada akar dorsal sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat
serabut C membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama (Alexander & Hill,
1987).
Impuls sensori/ eferen memasuki akar dorsal sumsum tulang belakang,
membentuk sinaps kimia dengan menggunakan neurotransmiter (seperti substansi P).
Impuls nyeri berpindah ke sisi yang berlawanan dari sumsum tulang belakang dan
merambat ke otak melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus bersinapsis di
thalamus dan impuls disampaikan ke korteks serebral dimana stimulus nyeri
diinterpretasikan. Ketika transmisi nyeri dikirim ke otak, individu merasakan nyeri.
Beberapa impuls nyeri berakhir langsung di neuron motorik melalui arkus reflex di
sumsum tulang. Neuron motorik kemudian muncul dari kornu anterior sumsum tulang
belakang untuk mengaktifkan struktur yang sesuai seperti, bila seseorang menyentuh
permukaan yang panas, sinyal nyeri diubah menjadi impuls motorik yang merangsang
tangan menjauh dari sumber panas (Potter & Perry, 2009).
Persepsi

nyeri

dalam

tubuh

diatur

oleh

substansi

yang

dinamakan

neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang dan aksi hambat. Substansi P
adalah salah satu contoh neurotansmiter dengan aksi merangsang. Ini mengakibatkan
pembentukan aksi potensial, yang menyebabkan hantaran impuls dan mengakibatkan
pasien merasakan nyeri. Serotonin adalah salah satu contoh neurotransmiter dengan
aksi menghambat. Serotonin mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi kimia
lainnya mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan
enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin
dan enkafelin ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam sistem syaraf pusat.
Kadar endorfin dan enkafelin setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap perasaan

nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap orang akan merasakan nyeri
yang berbeda. Individu yang mempunyai kadar endorfin yang banyak akan merasakan
nyeri yang lebih ringan daripada mereka yang mempunyai kadar endorfin yang sedikit
(Smeltzer & Bare, 2001).
4. Teori Nyeri
Dari beberapa hasil penelitian, mekanisme respons nyeri yang tepat masih merupakan
misteri. Namun ada tiga teori nyeri yang dikemukakan, yaitu specificity theory,
pattern theory, dan gate control theory.
a. Teori Spesificity
Teori specificity menyatakan bahwa ada ujung syaraf spesifik di tubuh yang
menerima rangsangan hanya dari rangsangan nyeri. Ketika reseptor nyeri
menerima stimulus, sebuah impuls ditransmisikan di sepanjang jalur nyeri
spesifik kemudian diterjemahkan di pusat nyeri, yaitu thalamus (Berger, 1992;
Lewis, 1983).
b. Teori Dasar
Teori dasar mengasumsikan bahwa tipe tertentu dari stimulus pada reseptor
yang nonspesifik akan menyampaikan sekumpulan impuls ke jalur neuron untuk
menghasilkan dasar yang diinterpretasikan oleh otak sebagai nyeri. Rangsangan
ini digabungkann dalam akar dorsal sumsum tulang belakang untuk
menghasilkan intensitas tertentu dari rangsangan nyeri (Berger, 1992; Lewis,
1983).
c. Teori Gate-Control
Teori ini dikemukakan oleh Melzack & Wall (1965). Teori ini
menggambarkan bagaimana neuron akar dorsal dari sumsum tulang belakang
berperan sebagai gerbang yang mengatur penyampaian impuls nyeri ke otak

(Berger, 1992; Lewis, 1983). Menurut Melzack & Wall (1965 dalam Berger,
1992), teori Gate-Control mengasumsikan bahwa akar dorsal dari sumsum tulang
belakang yang dikenal sebagai substansia gelatinosa berperan sebagai pintu
gerbang yang dapat meningkatkan atau menurunkan rangsang nyeri dari syaraf
perifer ke otak. Gerbang ini terbuka atau tertutup tergantung input dari serabut
syaraf besar dan kecil. Peningkatan aktifitas serabut syaraf kecil akan membuka
gerbang, dan menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sebaliknya,
peningkatan aktifitas serabut syaraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga
sensasi nyeri tidak sampai ke otak.
Melzack & Wall (1965 dalam Berger, 1992) juga menggambarkan pengaruh
kognitif terhadap persepsi nyeri. Umur, kecemasan, pengalaman nyeri
sebelumnya, perhatian, harapan, jenis kelamin, latar belakang budaya, status
sosial ekonomi, semuanya mempunyai pengaruh terhadap persepsi nyeri (Berger,
1992). Persepsi nyeri merupakan interpretasi individu terhadap stimulus nyeri,
dimulai ketika individu pertama sekali merasakan nyeri (Berger, 1992).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor
fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu mempunyai pengalaman
yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nyeri adalah
sebagai berikut:
a. Faktor Fisiologi
Faktor fisiologi yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) umur, (2) jenis
kelamin, (3) kelelahan, (4) gen dan (5) fungsi neurologi. Umur mempengaruhi
persepsi nyeri seseorang karena anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan
nyeri dibandingkan dengan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat

mengkomunikasikan apa yang mereka rasakan. Anak-anak belum mempunyai


perbendaharaan kata yang cukup sehingga mereka sulit untuk mengungkapkan
nyeri secara verbal dan sulit untuk mengekspresikannya kepada orang tua ataupun
perawat. Pada orang tua, nyeri yang mereka rasakan sangat kompleks, karena
mereka umumnya memiliki berbagai macam penyakit dengan gejala yang sering
sama dengan bagian tubuh yang lain. Oleh karena itu, perawat harus teliti melihat
dimana sumber nyeri yang dirasakan pasien (Taylor, 1997; Potter & Perry, 2009).
Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dikutip dari Potter & Perry, 2005).
Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam
pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin
misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama
(Potter & Perry, 2005).
Begitu juga dengan kelelahan, seseorang yang merasakan kelelahan akan
terfokus terhadap pengalaman nyerinya. Jika kelelahan terjadi disepanjang waktu
istirahat, persepsi nyeri yang dirasakan pasien akan meningkat. Nyeri merupakan
pengalaman yang sering dirasakan setelah istirahat daripada menghabiskan waktu
sepanjang hari (Berger, 1992; Potter & Perry, 2009).
Penelitian kesehatan mengungkapkan bahwa informasi genetik yang
diturunkan oleh orang tua kemungkinan dapat meningkatkan atau menurunkan
sensitifitas nyeri. Genetik mempunyai kemungkinan untuk dapat menentukan
ambang batas nyeri seseorang atau toleransi seseorang terhadap nyeri (Potter &
Perry, 2009).

Fungsi neurologi juga dapat mempengaruhi pengalaman nyeri seseorang.


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi normal dari nyeri (seperti cedera
spinal cord, neuropati perifer, atau penyakit neurologi) sebagai efek kewaspadaan
dan respons pasien (Potter & Perry, 2009).
b. Faktor Sosial
Faktor sosial yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) perhatian, (2)
pengalaman nyeri sebelumnya, dan (3) keluarga dan dukungan sosial. Peningkatan
perhatian dihubungkan dengan peningkatan nyeri (Carrol & Seers, 1998 dalam
Potter & Perry, 2009). Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri
akan mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat
dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan pasien sehingga perawat dapat
memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya.
Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat
menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2009). Pengalaman nyeri sebelumnya
juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu dan kepekaannya terhadap
nyeri. Karena setiap orang belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya. Jika
sebelumnya seseorang pernah mengalami nyeri tanpa adanya pertolongan, maka
nyeri yang dirasakannya saat ini akan dipandangnya sebagai suatu kecemasan dan
ketakutan. Dengan kata lain, jika pengalaman nyeri sebelumnya dapat diterima
dengan koping yang baik, maka individu tersebut mungkin dapat lebih baik
mempersiapkan dirinya dengan peristiwa nyeri yang lain (Berger, 1992; Potter &
Perry, 2009).
Seseorang yang merasakan nyeri sering bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk mendukung, menemani, atau melindunginya. Walaupun
nyeri masih ada, kehadiran keluarga atau teman-teman dapat mengurangi rasa nyeri

yang dirasakan (Potter & Perry, 2009). Misalnya, individu yang sendirian, tanpa
keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang
lebih berat dibandingkan dengan individu yang mendapat dukungan dari keluarga
dan orang-orang terdekatnya (Mubarak & Chayatin, 2007).
c. Faktor Spiritual
Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari nyeri yang
dirasakannya, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada dirinya, apa yang telah dia
lakukan selama ini, dan lain-lain (Potter & Perry, 2009).
d. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) kecemasan dan
(2) koping individu. Kecemasan dapat meningkatkan persepsi seseorang terhadap
nyeri. Ancaman yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri
atau peristiwa di sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya,
individu yang percaya bahwa mereka mampu mengontrol nyeri yang mereka
rasakan akan mengalami penurunan rasa takut dan kecemasan yang akan
menurunkan persepsi nyeri mereka (Mubarak & Chayatin, 2007). Wall & Melzack
(1999 dalam Potter & Perry, 2009) mengemukakan bahwa stimulus nyeri yang
aktif pada bagian sistem limbik dipercayai dapat mengontrol emosi, salah satunya
adalah kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi emosional terhadap nyeri,
dapat meningkatkan ataupun menurunkannya (Potter & Perry, 2009).
Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memperlakukan nyeri.
Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa bahwa diri mereka
sendiri mempunyai kemampuan untuk mengatasi nyeri. Sebaliknya, seseorang
yang mengontrol nyeri dengan lokus eksternal lebih merasa bahwa faktor-faktor
lain di dalam hidupnya seperti perawat merupakan orang yang bertanggung jawab

terhadap nyeri yang dirasakannya. Oleh karenan itu, koping pasien sangat penting
untuk diperhatikan (Potter & Perry, 2009).
e. Faktor Budaya
Faktor budaya yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) makna nyeri dan (2)
suku. Makna dari nyeri yang dirasakan seseorang dihubungkan dengan pengaruh
pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang tersebut mengadaptasikannya. Hal ini
sangat berhubungan dengan latar belakang budaya. Seseorang akan merasa nyeri
yang berbeda jika mendapatkan sebuah ancaman, kehilangan, hukuman, atau
tantangan (Potter & Perry, 2009).
Budaya mempercayai dan mempengaruhi nilai individu dalam mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan diterima oleh budaya
mereka, termasuk bagaimana reaksi mereka terhadap nyeri (Davidhizar & Giger,
2004; Lasch, 2002 dalam Potter & Perry, 2009).
6. Efek Membahayakan dari Nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2001), efek membahayakan dari nyeri dibedakan
berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya.
Selain merasa ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat
mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin, dan
immunologik (Benedetti dkk; Yeager dkk, 1987, 1984 dikutip dari Smeltzer & Bare,
2001). Pasien dengan nyeri hebat dan stress yang berkaitan dengan nyeri dapat tidak
mampu untuk nafas dalam dan mengalami peningkatan nyeri dan mobilitas menurun.
Nyeri kronis mempunyai efek yang membahayakan seperti supresi fungsi imun
yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat meningkatkan pertumbuhan tumor. Nyeri
kronis juga sering mengakibatkan depresi dan ketidakmampuan. Pasien mungkin

tidak mampu untuk melanjutkan aktivitas dan melakukan hubungan interpersonal.


Ketidakmampuan ini dapat berkisar dari membatasi keikutsertaan dalam aktivitas fisik
sampai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pribadi, seperti berpakaian atau
makan.
7. Pengkajian Nyeri
Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana nyeri dirasakan oleh
pasien, perawat harus mengerti tentang nyeri dan menggunakan pendekatan dalam
pengkajian nyeri, termasuk deskripsi verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilai
terbaik dari nyeri yang dialaminya. Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi: data
subjektif dan data objektif.
a. Data subjektif
1) Intensitas (skala) nyeri
Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal,
misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau
sampai 10. Dimana 0 mengindikasikan tidak adanya nyeri, dan 10
mengindikasikan nyeri sangat hebat.
2) Karakteristik nyeri
Termasuk area nyeri yang dirasakan, durasi (menit, jam, hari, bulan), irama
(terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya
intensitas atau keberadaan dari nyeri), dan kualitas (seperti ditusuk, terbakar,
sakit, nyeri seperti di tekan).
3) Faktor-faktor yang meredakan nyeri, misalnya gerakan, kurang bergerak,
pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan apa yang dipercaya pasien
dapat membantu mengatasi nyerinya.

4) Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari, misalnya tidur, nafsu


makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan
aktivitas-aktivitas santai.
5) Kekhawatiran individu tentang nyeri. Dapat meliputi berbagai masalah yang
luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan
perubahan citra diri (Smeltzer & Bare, 2001).
6) Menurut McGuire dan Sheidler (1993 dalam Ardinata, 2007) ada enam
dimensi nyeri, yaitu: (1) fisiologis, meliputi faktor pencetus, karakteristik,
durasi, (2) sensori, meliputi intensitas dan kualitas nyeri, (3) afektif, meliputi
emosional dan psikologis seperti kecemasan dan depresi, (4) kognitif,
meliputi persepsi dan interpretasi tentang nyeri, (5) perilaku, seperti
menyeringai, menangis, merapatkan gigi, dan lain-lain, (6) sosiokultural,
nyeri bisa dipersepsikan berbeda pada etnis yang berbeda.
b. Data objektif
Data objektif didapatkan dengan mengobservasi respons pasien terhadap
nyeri. Menurut Taylor (1997), respons pasien terhadap nyeri berbeda-beda, dapat
dikategorikan sebagai (1) respons perilaku, (2) respons fisiologik, dan (3) respons
afektif. Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal,
perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain,
atau perubahan respons terhadap lingkungan. Respons perilaku ini sering
ditemukan dan kebanyakan diantaranya dapat di observasi. Individu yang
mengalami nyeri akan menangis, merapatkan gigi, mengepalkan tangan,
melompat dari satu sisi ke sisi lain, memegang area nyeri, gerakan terbatas,
menyeringai, mengerang, pernyataan verbal dengan kata-kata. Perilaku ini sangat
beragam dari waktu ke waktu (Berger, 1992).

Respons fisiologik antara lain seperti meningkatnya pernafasan dan denyut


nadi, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya ketegangan otot, dilatasi pupil,
berkeringat, wajah pucat, mual, dan muntah (Berger, 1992). Respons fisiologik
ini dapat digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada
pasien tidak sadar (Smeltzer & Bare, 2001).
Respons afektif seperti cemas, marah, tidak nafsu makan, kelelahan, tidak
punya harapan, dan depresi juga terjadi pada pasien yang mengalami nyeri.
Cemas sering diasosiasikan sebagai nyeri akut dan frekuensi dari nyeri tersebut
dapat diantisipasi. Sedangkan depresi sering diasosiasikan sebagai nyeri kronis
(Taylor, 1997).
C. Konsep Pemasangan Kateterisasi Urine
1. Pengertian Kateterisasi Urin
Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara
memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan
membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan
pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan
memasukan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih.
Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak
mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga
menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada klien yang status
hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 2005 ).
Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan
kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan
kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami
ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2000).
2. Tipe-tipe Kateterisasi
Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat sementara atau
menetap. Pemasangan kateter sementara atau intermiten catheter (straight kateter)

dilakukan jika pengosongan kandung kemih dilakukan secara rutin sesuai dengan
jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling catheter (folley
kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus
(Hidayat, 2006).
a. Kateter sementara (straight kateter)
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang
sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk
mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit.
Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar,
pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini
diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi
(Potter dan Perry, 2002 ).
Pemasangan kateter

sementara

dilakukan

jika

tindakan

untuk

mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari
penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat
memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi (Thomas, 2007).
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara

yang

dikemukakan oleh Japardi (2000) antara lain:


1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang
mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan
seoptimal mungkin
2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan
berfungsi normal.
3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka
penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga
fedback ke medula spinalis tetap terpelihara
4) Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari harinya
Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya distensi kandung
kemih, resiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang,

resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal
uretra (flora normal) (Japardi, 2000).
b. Keteter menetap (foley kateter)
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama.
Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu
pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini
dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau
selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2005).
Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun
penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap ini banyak
menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter menetap, maka
yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi menetap yang
kontinu tidak fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan
mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta
penurunan tonus otot kandung kemih (Japardi, 2000).
Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen) dimana satu
lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk
mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen
yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk
memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk
melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter
dan Perry, 2005).
3. Indikasi Pemasangan Kateter
Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang
klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi neuromuscular, atau
kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian

residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman
akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut Hidayat (2006)
kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih 8-12
jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra, tidak mampu berkemih
akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada tulang belakang, degerasi
neuromuscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.
Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien paskaoperasi
uretra dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra,
pada pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2006).
3. Tujuan Pemasangan Kateter
a. Tindakan Kateterisasi Untuk Tujuan Diagnosis
1) Memperoleh contoh urin pada wanita guna pemeriksaan kultur urin.
2) Mengukur residual urin pada pembesaran prostat
3) Memasukkan bahan kontras pemeriksaan seperti pada sistogram
4) Mengukur tekanan tekanan buli-buli seperti pada sindrom kompartemen
abdomen
5) Untuk mengukur produksi urin yang merupakan cerminan keadaan perfusi
ginjal pada penderita shock
6) Mengetahui perbaikan atau perburukan pada trauma ginjal dari urin yang
bertambah merah atau jernih yang keluar dari kateter
b. Tindakan Kateterisasi Untuk Tujuan Terapi
1) Mengeluarkan urin pada retensio urinae
2) Membilas / irigasi buli-buli setelah operasi batu buli-buli, tumor buli atau
prostat
3) Sebagai splint setelah operasi uretra seperti pada hipospadia
4) Untuk memasukkan obat ke buli-buli, misalnya pada carcinoma buli-buli

D. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang
dilakukan dan memberi landasan kuat terhadap judul yang dipilih sesuai identifikasi
masalahnya (Hidayat, 2010). Kerangka kosep pada penelitian ini dapat dilihat pada
bagan 3.1

Pasien pria Dengan Indikasi


Pemasangan Dower Kateter

Pemasangan dower
kateter dengan hanya
mengoleskan jelly secara
langsung ke kateter

Keterangan:

Pemasangan dower
Pemasangan dower
kateter dengan Keefektifan
hanya
Dalam kateter dengan
memasukan jelly secara
mengoleskanMenurunkan
jelly secaraSkala Nyeri
langsung ke meatus uretra
langsung ke kateter dan
1. Nyeri ringan
tanpa tambahan liidocain
lidokain
2.tambahan
Nyeri hebat
3. Nyeri sangat hebat
4. Nyeri paling hebat (bare. Smeltzer, 2002)

DITELITI

Pemasangan dower
kateter dengan
memasukan jelly secara
langsung ke meatus
uretra disertai
menggunakan liidocain

TIDAK DITELITI

Bagan 3.1 Kerangka Konseptual Perbedaan Efektivitas Metode Lubrikasi Dan Pemberian Lidocain
Secara Langsung Kemeatus Uretra Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pemasangan
Dower Kateter Pasien Pria Di UGD Rsi Fatimah Banyuwangi Tahun 2015

Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan proposi keilmuan yang dilandasi oleh kerangka konseptual
penelitian dan merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang dihadapi, yang
dapat di uji kebenarannya berdasarkan fakta empiris. (Nursalam, 2012). Pada penelitian
ini hipotesisnya adalah: H1: terdapat perbedaan efektivitas metode lubrikasi dan
pemberian Lidocain secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan skala nyeri
pada pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah Banyuwangi tahun
2015

Anda mungkin juga menyukai