pasien diantaranya, nyeri ringan 6,2 %, nyeri sedang 18,8%, nyeri berat 50,0%, nyeri
sangat berat 25,0%. Sedangkan hasil survey di UGD Rumahsakit islam Fatimah dari 12
pasien yang diberikan advis tindakan pemasangan Kateter, 17,0% mengeluh nyeriringan,
25,0% nyeri sedang, 35% nyeri berat, 23,0% nyeri sangat berat.
Nyeri yang sering dialami oleh pasien dengan kateterisasi urin karena tindakan
memasukkan selang kateter dalam kandung kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi
atau trauma pada urethra. Resiko trauma berupa iritasi pada dinding urethra lebih sering
terjadi pada pria karena keadaan urethranya yang lebih panjang dan berliku-liku dari
pada wanita serta membran mukosa yang melapisi dinding uretra sangat mudah rusak
oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter (Kozier & Erb 2009, h. 505).
Dalam managemen penanganan nyeri kateterisasi urine pada pasien pria, terdapat
dua alternatif penggunaan jelly. Yang pertama dengan mengolesi jellypada selang kateter,
yang ke dua dengan cara memasukan langsung ke meatus uretra dengan menggunakan
spuit (Roe, 2003). Selain pemberian jelly, lidocain merupakan terapi anastesik juga dapat
mempengaruhi tingkat ambang nyeri yang sering digunakan sebagai tindakan bedah
minor.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana efektivitas metode
lubrikasi dan pemberian Lidocain secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan
skala nyeri pada pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah
Banyuwangi tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi perbedaan efektivitas metode lubrikasi dan pemberian
Lidocain secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan skala nyeri pada
pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah Banyuwangi tahun
2015.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien pria yang dipasang dower kateter
dengan metode lubrikasi secara langsung kemeatus uretra di UGD RSI
Fatimah Banyuwangi tahun 2015.
b. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien pria yang dipasang dower kateter
pemberian Lidocain secara langsung kemeatus uretra di UGD RSI Fatimah
Banyuwangi tahun 2015.
c. Menganalisis perbedaan efektivitas metode lubrikasi dan pemberian Lidocain
secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan skala nyeri pada
pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah Banyuwangi
tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Peneltiian ini dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu keperawatan
terutama di bidang Keperawatan Medikal Bedah sehingga referensi keilmuan
lebih dapat diupgrade lagi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Rumah Sakit Islam Fatimah Banyuwangi
Dapat digunakan sebagai referensi tentang metode pemasangan dower
kateter yang baik dalam meniurunkan tingkat skala nyeri pasien. Sehingga
pelayanan keperawatan dapat ditingkatkan yang akhirnya akan menjadikan
kepuasan pasien meningkat.
b. Bagi peneliti
Dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengaplikasikan ilmu
keperawatan terutama metodologi penelitian kesehatan dalam praktek
keperawatan setiap hari.
E. RELEVANSI
Menurut Kelompok Kerja Keperawatan KDIK 1992, telah melakukan
penelitian dengan judul Perbedaan Efektifitas Teknik Pengolesan Jelly Pada Kateter
dan Teknik Memasukan Langsung Ke Meatus Uretrha Terhadap Skala Nyeri Pada
Pemasangan Kateter Urine Pria telah menyimpulkan bila melakukan teknik
pengolesan jelly dan teknik memasukan langsung dengan benar, maka tingkat nyeri
bisa berbeda. Penelitian ini melibatkan 16 responden.
Setelah dilakukan penelitian, menunjukan bahwa ada perbedaan efektifitas
teknik pengolesan jelly pada kateter dan teknik memasukan langsung ke meatus
uretrha terhadap skala nyeri pada pemasangan kateter urine pria. ( Retno. Imami,
2012)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Lidokain
1. Pengertian Lidokain
Lidokain ialah anestetika lokal tipe amino amida. Lidokain memiliki nama
kimia
acetamide,
2-(diethylamino)-N-(2,6-dimethylphenyl).
Pertama
kali
dikembangkan oleh Nils Lofgren dan Bengt Lundqvist pada tahun 1943 dan pertama
kali dipasarkan pada tahun 1948 (Mulroy, 2002).
2. Farmakokinetik Lidokain
Lidokain mempunyai onset lebih cepat dan durasi lebih panjang daripada
anestetika lokal tipe amino ester seperti prokain. Lidokain dimetabolisme di hepar
mendekati 90% (Mulroy, 2002). Onset dari obat anestesi lokal ditentukan oleh pKa
yaitu pH dimana konsentrasi antara bentuk ion dan non ion sama. Membran sel saraf
akan mudah dilalui oleh bentuk ion yang tidak bermuatan sehingga onset obat
berhubungan dengan bentuk basa dari obat anestesi lokal. Persentase obat anestesi
lokal dalam bentuk basa pada pH 7,4 berbanding terbalik dengan pKa dari obat
tersebut. Sebagai contoh mepivakain, lidokain dan prokain mempunyai pKa hampir
7,7 sehingga mempunyai onset yang cepat sedangkan buipivakain mempunyai onset
yang lambat. Ketika obat tersebut disuntikkan pada pH 7,4 maka 65% dari obat
tersebut dalam bentuk ion sedangkan 35% dalam bentuk basa (non ion). Sementara itu
amethokain mempunyai pKa 8,6 dan hanya 5% yang dalam bentuk non ion.
Bupivakain mempunyai pKa 8,1 yang berarti hanya 15% dalam bentuk non ion
(Covino, 2000).
Obat-obat anestesi lokal setelah penyuntikan ekstravaskuler akan mengalami
tahapan absorbsi, distribusi dan eliminasi. Di samping tahapan tersebut, faktor kadar
a-glikoprotein akan mempengaruhi kadar konsentrasi lidokain dalam darah (Tucker,
1999).
Eliminasi waktu paruh lidokain mendekati 1,5-2 jam pada kebanyakan pasien.
Hal ini dapat diperpanjang pada pasien dengan perlemakan hepar (rata-rata 343 menit)
atau gagal jantung kongestif (kira-kira 136 menit) (Thomson et al, 1999). Lidokain
mudah diserap dari tempat suntikan dan dapat melewati sawar darah otak. (Sunaryo,
2002).
3. Farmakodinamika Lidokain
Lidokain mengubah depolarisasi pada saraf dengan cara memblok saluran
natrium di membran sel. Dengan blokade yang cukup, membran tidak akan
mengalami depolarisasi jadi tidak mengirim potensial aksi. (Mulroy, 2002).
4. Indikasi dan Kontraindikasi Lidokain
Lidokain digunakan untuk anestesi topikal, anestesi infiltrasi, blokade saraf,
anestesi epidural, anestesi intratekal dan anestesi regional IV (Mulroy, 2002).
Lidokain dapat menurunkan iritabilitas jantung sehingga digunakan sebagai
antiaritmia (Sunaryo 2002). Lidokain digolongkan sebagai agen antiaritmia kelas 1b,
memblok saluran natrium pada potensial aksi jantung, dimana penurunan otomatis
dengan mengurangi lereng depolarisasi fase 0 dengan sedikit efek pada interval PR,
kompleks QRS dan interval QT (Mulroy, 2002).
Kontraindikasi lidokain yaitu: (Mulroy, 2002)
a. Blokade jantung, derajat 2 atau 3 (tanpa pacemaker)
b. Blokade sinoatrial yang hebat (tanpa pacemaker)
c. Terjadi reaksi yang kurang baik bila menggunakan lidokain atau obat anestesi
lokal amida.
d. Perawatan berbarengan dengan quinidine, flecainide, disopyramide dan
procainamide (agen antiaritmia kelas I)
5. Overdosis Lidokain
Pada umumnya gejala overdosis jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh
suntikan intravaskuler yang lalai, dosis berlebihan atau penyerapan yang cepat
sehingga mendorong konsentrasi darah menjadi tinggi. Gejala overdosis juga bisa
disebabkan oleh hipersensitivitas atau kurangnya toleransi pasien (Mulroy, 2002).
Gejala overdosis lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP,
misalnya mengantuk, pusing, parestesis, gangguan mental, koma dan seizures.
Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel atau
henti jantung (Sunaryo, 2002).
6. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Mula Dan Masa Kerja Anastetikum Lokal
a. Nilai pH Jaringan
Faktor yang paling penting mempengaruhi mula kerja anestetikum lokal
adalah pH jaringan dan pKa bahan anestetikum lokal. Nilai pH mungkin menurun
pada suasana infeksi, yang menyebabkan efek anestesi menjadi lambat atau bahkan
tidak terjadi langsung.
Anestetikum lokal dipasarkan dalam bentuk garam yang mudah larut dalam
air, biasanya garam hidroklorid dan merupakan basa lemah. Larutan garam bahan
ini bersifat agak asam, hal ini menguntungkan karena menambah stabilitas bahan
anestetikum lokal tersebut. Bahan anestetikum lokal yang biasa digunakan
mempunyai pKa antara 8-9, sehingga pada pH jaringan hanya didapati 5-20%
dalam bentuk basa bebas. Bagian ini walaupun kecil sangat penting, karena untuk
mencapai tempat kerjanya bahan harus berdifusi melalui jaringan penyambung dan
membran sel lain, dan hal ini hanya mungkin terjadi dengan bentuk amin yang
tidak bermuatan listrik.11
e. Morfologi Saraf
Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi anestetikum lokal melalui
perineurium. Urutan lapisan pembungkus serabut saraf dari dalam keluar adalah
endoneurium, perineurium, dan epineurium. Lapisan ini terdiri dari jaringan
pengikat kolagen dan elastis. Bahan anestetikum lokal harus menembus jaringan
pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus jaringan
yang bukan saraf. Sebagai contoh, prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang
sama dan mula kerja yang sama pada saraf yang diisolasi, tetapi mula kerja
kloroprokain lebih pendek daripada prokain, ini menunjukkan bahwa kloroprokain
lebih cepat menembus jaringan yang bukan jaringan saraf.
f. Lipid solubility
Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik anestetikum
lokal tersebut. Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten bahan
tersebut. Lipid solubility prokain kurang dari satu, dan bahan ini paling kecil
potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain, tetrakain dan
etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi.
Bahan ini menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah
karena potensi intrinsik anestesinya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan
antara lipid solubility dan potensi intrinsik anestesi selalu konsisten dengan
komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran saraf terdiri
dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% axolemma terdiri dari lemak. Karena
itu anestetikum lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus
nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Meskipun tidak diketahui mengapa banyak orang menderita nyeri
kronis setelah suatu cedera atau proses penyakit, hal ini diduga bahwa ujung-ujung
syaraf yang normalnya tidak mentransmisikan nyeri menjadi mampu untuk
memberikan sensasi nyeri, atau ujung-ujung syaraf yang normalnya hanya
mentransmisikan stimulus yang sangat nyeri menjadi mampu mentransmisikan
stimulus yang sebelumnya tidak nyeri sebagai stimulus yang sangat nyeri (Smeltzer &
Bare, 2001).
3. Fisiologi Nyeri
Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi
sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai
sistem nosiseptif. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung syaraf bebas yang pertama
sekali merasakan nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor
untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu prostaglandin, histamine, bradikinin,
asetilkolin, dan substansi P (Smeltzer & Bare, 2001). Zat-zat kimia ini mensensitisasi
ujung syaraf dan menyampaikan impuls nyeri ke otak. Ada dua jenis ujung syaraf
bebas yang termasuk dalam nosisepsi, yaitu (1) serabut A-delta, adalah serabut halus,
bermielin, dan merupakan serabut hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan
tajam. Serabut-serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi dan intensitas
nyeri. (2) Serabut C, adalah serabut syaraf yang tidak dibungkus oleh mielin. Serabut
ini halus dan hantarannya lambat serta bertanggung jawab terhadap nyeri tumpul,
menyebar, dan persisten (Taylor, 2009).
Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-delta, tetapi
beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar akibat aktifasi serabut C. Impuls
nyeri dibawa oleh serabut A-delta perifer dan dihantarkan langsung ke substansia
gelatinosa pada akar dorsal sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat
serabut C membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama (Alexander & Hill,
1987).
Impuls sensori/ eferen memasuki akar dorsal sumsum tulang belakang,
membentuk sinaps kimia dengan menggunakan neurotransmiter (seperti substansi P).
Impuls nyeri berpindah ke sisi yang berlawanan dari sumsum tulang belakang dan
merambat ke otak melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus bersinapsis di
thalamus dan impuls disampaikan ke korteks serebral dimana stimulus nyeri
diinterpretasikan. Ketika transmisi nyeri dikirim ke otak, individu merasakan nyeri.
Beberapa impuls nyeri berakhir langsung di neuron motorik melalui arkus reflex di
sumsum tulang. Neuron motorik kemudian muncul dari kornu anterior sumsum tulang
belakang untuk mengaktifkan struktur yang sesuai seperti, bila seseorang menyentuh
permukaan yang panas, sinyal nyeri diubah menjadi impuls motorik yang merangsang
tangan menjauh dari sumber panas (Potter & Perry, 2009).
Persepsi
nyeri
dalam
tubuh
diatur
oleh
substansi
yang
dinamakan
neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang dan aksi hambat. Substansi P
adalah salah satu contoh neurotansmiter dengan aksi merangsang. Ini mengakibatkan
pembentukan aksi potensial, yang menyebabkan hantaran impuls dan mengakibatkan
pasien merasakan nyeri. Serotonin adalah salah satu contoh neurotransmiter dengan
aksi menghambat. Serotonin mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi kimia
lainnya mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin dan
enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh. Endorfin
dan enkafelin ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam sistem syaraf pusat.
Kadar endorfin dan enkafelin setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap perasaan
nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama, setiap orang akan merasakan nyeri
yang berbeda. Individu yang mempunyai kadar endorfin yang banyak akan merasakan
nyeri yang lebih ringan daripada mereka yang mempunyai kadar endorfin yang sedikit
(Smeltzer & Bare, 2001).
4. Teori Nyeri
Dari beberapa hasil penelitian, mekanisme respons nyeri yang tepat masih merupakan
misteri. Namun ada tiga teori nyeri yang dikemukakan, yaitu specificity theory,
pattern theory, dan gate control theory.
a. Teori Spesificity
Teori specificity menyatakan bahwa ada ujung syaraf spesifik di tubuh yang
menerima rangsangan hanya dari rangsangan nyeri. Ketika reseptor nyeri
menerima stimulus, sebuah impuls ditransmisikan di sepanjang jalur nyeri
spesifik kemudian diterjemahkan di pusat nyeri, yaitu thalamus (Berger, 1992;
Lewis, 1983).
b. Teori Dasar
Teori dasar mengasumsikan bahwa tipe tertentu dari stimulus pada reseptor
yang nonspesifik akan menyampaikan sekumpulan impuls ke jalur neuron untuk
menghasilkan dasar yang diinterpretasikan oleh otak sebagai nyeri. Rangsangan
ini digabungkann dalam akar dorsal sumsum tulang belakang untuk
menghasilkan intensitas tertentu dari rangsangan nyeri (Berger, 1992; Lewis,
1983).
c. Teori Gate-Control
Teori ini dikemukakan oleh Melzack & Wall (1965). Teori ini
menggambarkan bagaimana neuron akar dorsal dari sumsum tulang belakang
berperan sebagai gerbang yang mengatur penyampaian impuls nyeri ke otak
(Berger, 1992; Lewis, 1983). Menurut Melzack & Wall (1965 dalam Berger,
1992), teori Gate-Control mengasumsikan bahwa akar dorsal dari sumsum tulang
belakang yang dikenal sebagai substansia gelatinosa berperan sebagai pintu
gerbang yang dapat meningkatkan atau menurunkan rangsang nyeri dari syaraf
perifer ke otak. Gerbang ini terbuka atau tertutup tergantung input dari serabut
syaraf besar dan kecil. Peningkatan aktifitas serabut syaraf kecil akan membuka
gerbang, dan menyebabkan sensasi nyeri sampai ke otak. Sebaliknya,
peningkatan aktifitas serabut syaraf besar akan menutup pintu gerbang sehingga
sensasi nyeri tidak sampai ke otak.
Melzack & Wall (1965 dalam Berger, 1992) juga menggambarkan pengaruh
kognitif terhadap persepsi nyeri. Umur, kecemasan, pengalaman nyeri
sebelumnya, perhatian, harapan, jenis kelamin, latar belakang budaya, status
sosial ekonomi, semuanya mempunyai pengaruh terhadap persepsi nyeri (Berger,
1992). Persepsi nyeri merupakan interpretasi individu terhadap stimulus nyeri,
dimulai ketika individu pertama sekali merasakan nyeri (Berger, 1992).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh faktor
fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya. Setiap individu mempunyai pengalaman
yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nyeri adalah
sebagai berikut:
a. Faktor Fisiologi
Faktor fisiologi yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) umur, (2) jenis
kelamin, (3) kelelahan, (4) gen dan (5) fungsi neurologi. Umur mempengaruhi
persepsi nyeri seseorang karena anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan
nyeri dibandingkan dengan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat
yang dirasakan (Potter & Perry, 2009). Misalnya, individu yang sendirian, tanpa
keluarga atau teman-teman yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang
lebih berat dibandingkan dengan individu yang mendapat dukungan dari keluarga
dan orang-orang terdekatnya (Mubarak & Chayatin, 2007).
c. Faktor Spiritual
Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari nyeri yang
dirasakannya, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada dirinya, apa yang telah dia
lakukan selama ini, dan lain-lain (Potter & Perry, 2009).
d. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) kecemasan dan
(2) koping individu. Kecemasan dapat meningkatkan persepsi seseorang terhadap
nyeri. Ancaman yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri
atau peristiwa di sekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya,
individu yang percaya bahwa mereka mampu mengontrol nyeri yang mereka
rasakan akan mengalami penurunan rasa takut dan kecemasan yang akan
menurunkan persepsi nyeri mereka (Mubarak & Chayatin, 2007). Wall & Melzack
(1999 dalam Potter & Perry, 2009) mengemukakan bahwa stimulus nyeri yang
aktif pada bagian sistem limbik dipercayai dapat mengontrol emosi, salah satunya
adalah kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi emosional terhadap nyeri,
dapat meningkatkan ataupun menurunkannya (Potter & Perry, 2009).
Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memperlakukan nyeri.
Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa bahwa diri mereka
sendiri mempunyai kemampuan untuk mengatasi nyeri. Sebaliknya, seseorang
yang mengontrol nyeri dengan lokus eksternal lebih merasa bahwa faktor-faktor
lain di dalam hidupnya seperti perawat merupakan orang yang bertanggung jawab
terhadap nyeri yang dirasakannya. Oleh karenan itu, koping pasien sangat penting
untuk diperhatikan (Potter & Perry, 2009).
e. Faktor Budaya
Faktor budaya yang mempengaruhi nyeri terdiri dari (1) makna nyeri dan (2)
suku. Makna dari nyeri yang dirasakan seseorang dihubungkan dengan pengaruh
pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang tersebut mengadaptasikannya. Hal ini
sangat berhubungan dengan latar belakang budaya. Seseorang akan merasa nyeri
yang berbeda jika mendapatkan sebuah ancaman, kehilangan, hukuman, atau
tantangan (Potter & Perry, 2009).
Budaya mempercayai dan mempengaruhi nilai individu dalam mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan diterima oleh budaya
mereka, termasuk bagaimana reaksi mereka terhadap nyeri (Davidhizar & Giger,
2004; Lasch, 2002 dalam Potter & Perry, 2009).
6. Efek Membahayakan dari Nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2001), efek membahayakan dari nyeri dibedakan
berdasarkan klasifikasi nyeri, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya.
Selain merasa ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda dapat
mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin, dan
immunologik (Benedetti dkk; Yeager dkk, 1987, 1984 dikutip dari Smeltzer & Bare,
2001). Pasien dengan nyeri hebat dan stress yang berkaitan dengan nyeri dapat tidak
mampu untuk nafas dalam dan mengalami peningkatan nyeri dan mobilitas menurun.
Nyeri kronis mempunyai efek yang membahayakan seperti supresi fungsi imun
yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat meningkatkan pertumbuhan tumor. Nyeri
kronis juga sering mengakibatkan depresi dan ketidakmampuan. Pasien mungkin
dilakukan jika pengosongan kandung kemih dilakukan secara rutin sesuai dengan
jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling catheter (folley
kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus
(Hidayat, 2006).
a. Kateter sementara (straight kateter)
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang
sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk
mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit.
Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar,
pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini
diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi
(Potter dan Perry, 2002 ).
Pemasangan kateter
sementara
dilakukan
jika
tindakan
untuk
mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari
penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat
memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi (Thomas, 2007).
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara
yang
resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal
uretra (flora normal) (Japardi, 2000).
b. Keteter menetap (foley kateter)
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama.
Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu
pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini
dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau
selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2005).
Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun
penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap ini banyak
menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter menetap, maka
yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi menetap yang
kontinu tidak fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan
mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta
penurunan tonus otot kandung kemih (Japardi, 2000).
Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen) dimana satu
lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk
mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen
yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk
memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk
melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter
dan Perry, 2005).
3. Indikasi Pemasangan Kateter
Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang
klien yang mengalami cidera medulla spinalis, degenerasi neuromuscular, atau
kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian
residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman
akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut Hidayat (2006)
kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih 8-12
jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra, tidak mampu berkemih
akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada tulang belakang, degerasi
neuromuscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.
Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien paskaoperasi
uretra dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra,
pada pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2006).
3. Tujuan Pemasangan Kateter
a. Tindakan Kateterisasi Untuk Tujuan Diagnosis
1) Memperoleh contoh urin pada wanita guna pemeriksaan kultur urin.
2) Mengukur residual urin pada pembesaran prostat
3) Memasukkan bahan kontras pemeriksaan seperti pada sistogram
4) Mengukur tekanan tekanan buli-buli seperti pada sindrom kompartemen
abdomen
5) Untuk mengukur produksi urin yang merupakan cerminan keadaan perfusi
ginjal pada penderita shock
6) Mengetahui perbaikan atau perburukan pada trauma ginjal dari urin yang
bertambah merah atau jernih yang keluar dari kateter
b. Tindakan Kateterisasi Untuk Tujuan Terapi
1) Mengeluarkan urin pada retensio urinae
2) Membilas / irigasi buli-buli setelah operasi batu buli-buli, tumor buli atau
prostat
3) Sebagai splint setelah operasi uretra seperti pada hipospadia
4) Untuk memasukkan obat ke buli-buli, misalnya pada carcinoma buli-buli
D. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang
dilakukan dan memberi landasan kuat terhadap judul yang dipilih sesuai identifikasi
masalahnya (Hidayat, 2010). Kerangka kosep pada penelitian ini dapat dilihat pada
bagan 3.1
Pemasangan dower
kateter dengan hanya
mengoleskan jelly secara
langsung ke kateter
Keterangan:
Pemasangan dower
Pemasangan dower
kateter dengan Keefektifan
hanya
Dalam kateter dengan
memasukan jelly secara
mengoleskanMenurunkan
jelly secaraSkala Nyeri
langsung ke meatus uretra
langsung ke kateter dan
1. Nyeri ringan
tanpa tambahan liidocain
lidokain
2.tambahan
Nyeri hebat
3. Nyeri sangat hebat
4. Nyeri paling hebat (bare. Smeltzer, 2002)
DITELITI
Pemasangan dower
kateter dengan
memasukan jelly secara
langsung ke meatus
uretra disertai
menggunakan liidocain
TIDAK DITELITI
Bagan 3.1 Kerangka Konseptual Perbedaan Efektivitas Metode Lubrikasi Dan Pemberian Lidocain
Secara Langsung Kemeatus Uretra Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pemasangan
Dower Kateter Pasien Pria Di UGD Rsi Fatimah Banyuwangi Tahun 2015
Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan proposi keilmuan yang dilandasi oleh kerangka konseptual
penelitian dan merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang dihadapi, yang
dapat di uji kebenarannya berdasarkan fakta empiris. (Nursalam, 2012). Pada penelitian
ini hipotesisnya adalah: H1: terdapat perbedaan efektivitas metode lubrikasi dan
pemberian Lidocain secara langsung kemeatus uretra terhadap penurunan skala nyeri
pada pemasangan dower kateter pasien pria di UGD RSI Fatimah Banyuwangi tahun
2015