Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN ELIMINASI

A. TINJAUAN MEDIS
1. Pengertian
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup, dikatan
sebagai makhluk hidup karena dapat bernafas, berkembang-
biak, beradaptasi, memerlukan makanan dan minuman dan
mengeluarkan metabolisme yang tidak bermanfaat bagi tubuh
manusia. Salah satu kegiatan tubuh dalam membuang sisa-sisa
metabolisme adalah mengeluarkan urine dan feses, disebut
juga dengan eliminasi. Membuang urine dan mengeluarkan
feses melalui eliminasi merupakan salah satu aktivitas pokok
yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Apabila eliminasi
tidak dilakukan oleh tubuh, maka akan terjadi gangguan-
gangguan eliminasi urin dan alvi.
Eliminasi Urine merupakan suatu sistem dimana terjadinya
proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat
yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang
masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan
berupa urine (air kemih).
Proses berkemih adalah proses pengosongan vesika
urinaria (kandung kemih). Proses ini dimulai dengan
berkumpulnya urine dalam vesika urinaria yang merangsang
saraf-saraf sensorik dinding kandung kemih (bagian reseptor).
Vesika urinaria dapat menimbulkan rangsangan saraf bila berisi
kurang 250-400 cc (pada orang dewasa) dan 200-250 cc (pada
anak-anak), (Haswita, Kebutuhan Dasar Manusia, 2017).
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa metabolisme
tubuh baik yang melalui ginjal berupa urine maupun melalui
gastrointestinal yang berupa urine maupun berupa fekal,
(Tarwoto, KDM dan Proses keperawatan, 2015).
Kebutuhan eliminasi terdiri atas dua yaitu eliminasi urine dan
eliminasi fekal yang merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis
dan bertujuan untuk mengeluarkan bahan sisa. (Hidayat, 2015).
2. Sistem tubuh yang berperan dalam Eliminasi Urine
a. Ginjal
Ginjal berperan sebagai pengatur komposisi
dan volume cairan dalam tubuh serta penyaringan
darh untuk dibuang dalam bentuk urine sebagai zat
sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh dan
menahannya agar tidak bercampur dengam zat-zat
yang dibutuhkan oleh tubuh.
b. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan sebuah kantong
yang terdiri atas otot halus, berfungsi menampung
urine.
c. Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi
menyalurkan urine kebagian luar, fungsi uretra
dengan wanita berbeda frekuensi keinginan berkemih.
Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk
keinginan berkemih dan jumlah urine yang produksi.
d. Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan
dapat memengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat
ditemukan pada anak-anak, yang lebih
memepengaruhi atau memiliki kecendrungan untuk
mengalami kesulitan mengontrol buang air kecil.
Namun dengan bertambahnya usia, kemampuan
untuk mengontrol buang air kecil meningkat.
e. Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika
urinaria yang baik untuk fungsi sfingter. Hilangnya
tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemih menurun dan kemampuan
tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.
f. Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit tertentu seperti diabetes
melitus, dapat memengaruhi produksi urine.
g. Sosiokultural
Budaya dan mempengaruhi kebutuhan
eliminasi urine, seperti adanya kultur masyarakat
yang melarang buang air kecil di tempat tertentu.
h. Kebiasaan Seseorang
Dalam keadaan tirah baring, seseorang yang
sakit akan merasa kurang nyaman atau bahkan
kesulitan berkemih di toilet.
i. Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam
membantu proses berkemih adalah kandung kemih,
otot abdomen dan pelvis. Ketiganya sangat berperan
dalam kontraksi pengontrolan pengeluaran urine.
j. Pembedahan
Efek pembedahan dapat menurunkan filtrasi
glomelurus yang dapat menyebabkan penurunan
jumlah produksi urine karena dampak dari pemberian
obat anastesi.
3. Gangguan Saluran Pencernaan dalam Eliminasi Fekal
(wartonah, 2014)
a. Saluran Gastrointestinal Bagian Atas
1) Mulut :
Mulut merupakan jalan masuk yang dilalui makanan
pertama kali untuk sistem pencernaan.
2) Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan
rongga mulut dengan esophagus. Didalam lengkung
faring terdapat tonsil( amandel), yaitu kumpulan kelenjar
limfe yang banyak mengandung limfosit, dan merupakan
pertahanan terhadap infeksi pada bagian ini, juga terletak
persimpangan antara jalan napas dan malanan, letaknya
dibelakang rongga mulut, didepan ruas tulang belakang.
3) Esophagus
Esophagus merupakan saluran pencernaan
sepanjang 25 cm dan diameter 2 cm. esophagus
berbentuk seperti tulang berotot yang menghubungkan
rongga mulut dengan lambung, dengan bagian posterior
berbatasan dengan faring setinggi kartilago cricoidea dan
sebelah anterior berbatasan dengan korpus vertebrae.
4) Lambung
Lambung merupakan organ pencernaan yang paling
fleksibel karena dapat menampung makanan sebanyak
1-2 liter. Bentuknya seperti J atau kubah dan terletak di
kuadran kiri bawah abdomen.
Lambung terdiri atas 4 bagian besar, yaitu kardiak (
bagian atas, berdekatan dengan sfinter gastreosofagus ),
fundus (berbentuk kubah, kontak langsung dengan
diafragma), korpus (area yang paling besar ), dan pylorus
(bagian lambung berbentuk tabung yang mempunyai otak
yang tebal membentuk sfingter pylorus).
b. Saluran Gastrointestinal Bagian Bawah
1) Usus halus
Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung yang
terletak diantara sfingter pylorus lambung dengan katub
ileosekai yang merupakan bagian awal usus besar,
posisinya twrletak disentral bawah abdomen yang
didukung oleh lapisan masenterika ( berbentuk seperti
kipas ) yang memungkinkan usus halus ini mengalami
perubahan bentuk ( seperti berbelok-belok ).
2) Usus besar atau kolon
Kolon merupakan usus yang memiliki diameter lebih
besar dari usus halus. Ia memiliki panjang 1,5 meter dan
berbentuk sepertu huruf u terbalik. Usus besar dibagi tiga
daerah, yaitu : kolon, asenden, kolon transversum, dan
kolon desenden.
3) Rectum
Rectum merupakan lubang tempat pembuangan feses
dari tubuh sebelum dibuang lewat anus, feses akan
ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila
feses sudh siap dibuang, maka otot sfingter rectum
mengatur pembukaan dan penutupan.
3. Sistem yang berperan dalam Eliminasi Alvi
Sistem tubuh yang memiliki peran dalam proses
eliminasi alvi (buang air besar) adalah sistem gastrointestial
bawah yang meliputi usus halus dan usus besar. Usus halus
terdiri dari duodenum, jejenum dan ileum dengan panjang
kurang lebih 6 meter dan diameter 2,5 cm, serta berfungsi
sebagai tempat absorpsi elektrolit Na, Cl, K, Mg, HCO3, dan
kalsium. Usus besar dimulai dari rektum, kolon, hingga anus
yang memiliki panjang kurang lebih 1,5 meter atau 50-60 inci
dengan diameter 6 cm. Usus besar merupakan bagian
bawah atau bagian bawah atau bagian ujung dari saluran
pencernaan, di mulai dari kutub ilieum caecum sampai ke
dubur (anus).
Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Eliminasi Alvi
Eliminasi alvi atau defekasi adalah pengeluaran feses dari
anus dan rectum:
a. Frekuensi defekasi tergantung individu, bervariasi dan
beberapa kali per hari sampai dengan 2-3 kali per
minggu
b. Defekasi biasanya terjadi karena adanya reflek
gastro-colika
c. Refleks gastro-kolika yaitu reflek peristaltik di dalam
usus besar yang dihasilkan ketika makanan masuk
lambung yang menyebabkan defekasi
d. Biasanya bekerja sesudah makan pagi
(Hidayat, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia,
2015)
4. Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Alvi
a. Usia
Setiap tahap perkembangan / usia memiliki
kemampuan mengontrol defekasi yang berbeda. Bayi
belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh
air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki
kemampuan mengontrol secara penuh, dan pada usia
lanjut. Proses pengontrolan tersebut mengalami
penurunan.
b. Diet
Diet atau pola jenis makanan yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki
kandungan serat tinggi dapat membantu proses defekasi
dan jumlah yang di konsumsi pun dan dapat
memengaruhinya.
c. Asupan Cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh
membuat defekasi menjadi keras oleh karena proses
absorpsi kurang sehingga dapat memengaruhi kesulitan
proses defekasi.
d. Aktivitas
Aktivitas dapat memengaruhi proses defekasi karena
melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis dan
diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi,
sehingga proses gerakan peristaltik pada daerah kolon
dapat bertambah baik dan memudahkan dalam
membantu proses defekasi.
e. Pengobatan
Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi,
seperti penggunaan laksansi (otot pencahar) atau
antasida yang terlalu sering.
f. Gaya Hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat memengaruhi
proses defekasi. Hal ini dapat terlihat pada seseorang
yang memiliki gaya hidup sehat / kebiasaan melakukan
buang air besar ditempat yang terbuka atau toilet. Maka,
ketika orang tersebut buang air besar ditempat yang
terbuka atau kotor, ia mengalami kesulitan dalam proses
defekasi.
g. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses
defekasi, biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan
langsung pada sistem pencernaan, seperti gastrointeritis
atau penyakit infeksi lainnya, (Haswita, 2017)
5. Masalah-masalah pada Eliminasi Urine dan Alvi
a. Masalah pada Eliminasi Urine :
1) Retensi Urine
Penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih untuk engosongkan
isinya, sehingga menyebabkan distensi dari vesika
urinaria.
2) Inkontinensia Urine
Ketidakmampuan otot sfinter eksternal sementara
atau menetap untuk mengontrol eskresi urine. Umumnya,
penyebab inkontinensia yaitu proses penuaan,
penurunan kesadaran. Inkontinensia urine terdiri atas :
a) Inkontinensia dorongan (urge Incontinence): keadaan
dimana seseorang mengalami pengeluaran urine
tanpa sadar. Terjadi segera setelah merasa dorongan
yang kuat untuk berkemih.
b) Inkontinensia total (total incontinence): keadaan
dimana seseorang mengalami pengeluaran urine yang
terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
c) Inkontinensia stress (stress incontinence)keadaan
dimana seseorang mengalami kehilangan urine < 50
ml, terjadi dengan peningkatan abdomen.
d) Inkontinensia refleks ( reflex incontinence ) : keadaan
dimana seseorang mengalami pengeluaran urine yang
tidak dirasakan.
e) Inkontinensia fungsional : keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urine tanpa disadari dan tidak
dapat diperkirakan.
3) Enuresis
Ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol)
yang diakibatkan tidak mampu mengontrol sfingter
eksterna. Biasanya enuresis terjadi pada anak atau orang
jompo, umumnya pada malam hari.

4) Ureterotomi
Tindakan operasi dengan jalan membuat stoma pada
dinding perut drainase urine. Operasi ini dilakukan karena
adanya penyakit atau disfungsi pada kandung kemih.
b. Masalah pada Eliminasi Alvi
1) Diare
Peningkatan jumlah feses dan peningkatan feses cair
yang tidak terbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang
mempengaruhi proses pencernaan, absorpsi dan sekresi
didalam gastrointestinal.
2) Konstipasi
Gangguan eliminasi yang diakibatkan adanya feses
yang kering dank eras melalui usus besar. BAB yang
keras dapat menimbulkan nyeri rectum.
3) Impaksi fekal
Massa feses yang keras dilipatan rectum yang
diakibatkan oleh retensi dan akumulasi feses yang
berkepanjangan. Impaction berat, tumpukan feses
sampai pada kolon sigmoid.
4) Inkontinensia fekal
Ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan
gas dari anus akibat kerusakan fungsi sfingter atau
persarafan di daerah anus.
5) Kembung / akumulasi gas / flatulen
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal,
dinding usus meregang dan distended, merasa penuh,
nyeri dank ram. Dapat disebabkan karena konstipasi,
penggunaan obat-obatan, mengkonsumsi makanan yang
banyak mengandung gas, efek anastesi.
6) Hemoroid
Pelebaran vena di daerah anus sebagai akibata
peningkatan tekanandidaerah tersebut. Penyebabnya
adalah konstipasi kronis, pereganganmaksimal saat
defekasi, kehamilan dan obesitas.
7) Diversi usus
Penyakit tersebut menyebabkan kondisi-kodndi yang
mencegah pengeluaran feses secara normal dari rectum.
Sehingga menimbulkan sutu kebutuhan untuk
membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang permanen
atau sementara. Lubang yang dibuat melalui
oembedahan (ostomi) paling sering di ileum (ileostomi)
atau di kolon (kolostomi), (Haswita, 2017).
B. Tinjauan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan (Uliyah, 2014).
a. Riwayat keperawatan
1) Pola berkemih pasien.
2) Gejala dari perubahan berkemih dan sejak kapan lamanya.
3) Faktor yang memengaruhi berkemih dan usahanyang
dilakukan selama mengalami masalah eliminasi urine.
b. Pemeriksaan fisik
1) Penampilan umum pasien seperti ekspresi wajah, pasien
gelisah atau menahan sakit.
2) Keadaan fisik : Kulit kering, mukosa mulut kering, turgor
kulit kurang, lidah kelihatan kering tanda kekurangan
cairan.
3) Abdomen : pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena,
distensi kandung kemih, pembesaran ginjal, nyeri tekan,
tendernes, dan bising usus.
4) Genetalia wanita : inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret,
darei meatus, dan keadaan atrofi jaringan vagina.
5) Genetalia laki-laki : kebersihan, adanya lesi, tenderness,
dan adanya pembesaran skrotum.
c. Intake dan output cairan.
1) Kaji intake dan output cairan dalam sehari.
2) Kebiasaan minum dirumah.
3) Intake : cairan infus, oral, makanan, NGT.
4) Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidak
seimbangan cairan.
5) Output urine dari urinal, kantong urine, darinase, dan
sitostomi.
6) Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau dan kepekaan.
d. Pemeriksaan Diagnostik.
1) Pemeriksaan Urine.
a) Warna (normalnya jernih kekuningan).
b) Penampilan (normalnya jernih).
c) Bau ( N : beraroma)
d) pH ( N: 4,5-8,0)
e) Berat jenis ( N: 1,005 – 1,030 )
f) Glukosa (N: negatif )
g) Keton ( N: negatif )
2) Kultur Urine (N: Kuma patogen negatif )
C. Diagnosis Keperawatan (PPNI T. P., 2017)
1. Gangguan Eliminasi Urin.
a. Definisi
Disfungsi Eliminasi Urin.
b. Penyebab
1) Penurunan Kapasitas Kandung Kemih.
2) Iritasi Kemih.
3) Penurunan Kemampuan Menyadari Tanda-Tanda Gangguan
Kandung Kemih.
4) Efek Tindakan Medis Dan Diagnostik (Mis: Operasi Ginjal,
Operasi Saluran Kemih, Anestesi, Dan Obat-Obatan).
5) Kelemahan Otot Pelvis.
6) Ketidakmampuan Mengakses Toilet (Mis. Immobilisasi).
7) Hambatan Lingkungan.
8) Ketidakmampuan Mengkomunikasikan Kebutuhan Eliminasi.
9) Outlet Kandung Kemih Tidak Lengkap (Mis. Anomali Saluran
Kemih Kongenital).
10) Imaturitas (Pada Anak Usia <3 Tahun).
c. Gejala & Tanda Mayor
1) Subjektif
a) Desakan Berkemih (Urgensi).
b) Urin Menetes (Dribbling).
c) Sering Buang Air Kecil.
d) Nokturia.
e) Mengompol
f) Enuresis.
2) Objektif
a) Distensi Kandung Kemih.
b) Berkemih Tidak Tuntas (Hesitansy).
c) Volume Residu Urin Meningkat.
d. Gejala & Tanda Minor
Subjektif (Tidak Tersedia)
Objektif (Tidak Tersedia)
e. Kondisi Klinis Terkait
1) Infeksi Saluran Ginjal Dan Saluran Kemih.
2) Hiperglikemia.
3) Trauma.
4) Kanker.
5) Cedera/Tumor/Infeksi Medula Spinalis.
6) Neuropati Diabetikum.
7) Neuropati Alkoholik.
8) Stroke.
9) Parkinson.
10) Sklerosis Multiple.
11) Obat Alpha Adregenik.
2. Inkontinensia Fekal
a. Definisi
Perubahan kebiasaan buang air besar dari pola normal yang
ditandai dengan pengeluaran feses secara involunter (tidak
disadari).
b. Penyebab
1) Kerusakan susunan saraf motorik bawah.
2) Penurunan tonus otot.
3) Gangguan kognitif.
4) Penyalahgunaan laksatif.
5) Kehilangan fungsi pengendalian sflinkter rectum.
6) Pasca operasi pullthrough dan penutupan colostomy.
7) Ketidakmampuan mencapai kamar kecil.
8) Diare kronis.
9) Stres berlebihan.
c. Gejala & Tanda Mayor
1) Subjektif
a) Tidak mampu mengontrol perngeluaran feses.
b) Tidak mampu menunda defekasi.
2) Objektif
a) Feses keluar sedikit-sedikit dan sering.
d. Gejala & Tanda Minor
1) Subjektif (Tidak Tersedia)
2) Objektif
a) Bau feses.
b) Kulit perianal kemerahan.
e. Kondisi Klinis Terkait
1) Spina bifida.
2) Atresia ani.
3) Penyakit hirschprung.
3. Inkontinensia Berlanjut
a. Definisi
Pengeluaran urin tidak terkendali dan terus menerus tanpa
distensi atau perasaan penuh pada kandung kemih.
b. Penyebab
1) Neuropati arkus reflex.
2) Disfungsi neurologis.
3) Kerusakan refleks kontraksi detrusor.
4) Trauma.
5) Kerusakan medula spinalis.
6) Kelainan anatomis (mis. Fistula)
c. Gejala & Tanda Mayor
1) Subjektif
a) Keluarnya urin konstan tanpa distensi.
b) Nokturia lebih dari 2 kali sepanjang tidur.
2) Objektif (tidak tersedia).
d. Gejala & Tanda Minor
1) Subjektif
a) Berkemih tanpa sadar.
b) Tidak sadar inkontinensia urin.
2) Objektif (tidak tersedia )
e. Kondisi Klinis Terkait
1) Cedera kepala.
2) Trauma.
3) Tumor.
4) Infeksi saluran kemih.
4. Kesiapan Peningkatan Eliminasi Urin.
a. Definisi
Pola fungsi sistem perkemihan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan eliminasi yang dapat ditingkatkan.
b. Gejala & Tanda Mayor
1) Subjektif
Mengungkapkan keinginan untuk meningkatkan elimiansi
urin.
2) Objektif
a) Jumlah urin normal.
b) Karakteristik urin normal.
c. Gejala & Tanda Mino
1) Subjektif (tidak tersedia)
2) Objektif
Asupan cairan cukup.
d. Kondisi Klinis Terkait
1) Cedera medula spinalis.
2) Sklerosis multiple.
3) Kehamilan.
4) Trauma pelvis.
5) Pembedahan abdomen.
6) Penyakit prostat.
5. Konstipasi
a. Definisi
Penurunan defekasi normal yang disertai pengeluaran feses
sulit dan tidak tuntas serta feses kering dan banyak.
b. Penyebab
1) Fisiologis
a) Penurunan motilitas gasatrointestinal.
b) Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi.
c) Ketidak cukupan diet.
d) Ketidak cukupan asupan serat.
e) Ketidak cukupan asupan cairan.
f) Aganglionik (mis. penyakit Hircsprung).
g) Kelemahan otot abdomen.
h) Psikologis.
i) Konfusi.
j) Depresi.
k) Gangguan emosional.
2) Situasional
a) Perubahan kebiasaan makan (mis. jenis makanan, jadwal
makanan).
b) Ketidakadekutan toileting.
c) Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan.
d) Penyalahgunaan laksatif.
e) Efek agen faramkologis.
f) Ketidakteraturan kebiasana defekasi.
g) Kebiasaan menahan dorongan defekasi.
h) Perubahan lingkungan.
c. Gejala & Tanda Mayor
1) Subjektif
a) Defekasi kurang dari 2 kali seminggu.
b) Pengeluaran feses lama dan sulit.
2) Objektif
a) Feses keras.
b) Peristaltik usus menurun.
d. Gejala & Tanda Minor
1) Subjektif
Mengejan saat defekasi.
2) Objektif
a) Distensi abdomen.
b) Kelemahan umum.
c) Teraba massa pada rectal.
e. Kondisi Klinis Terkait
1) Lesi/cedera pada medula spinalis.
2) Spina bifida.
3) Stroke.
4) Sklerosis multiple.
5) Penyakit Parkinson.
6) Demensia.
7) Hiperparatiroidisme
8) Hipoparatiroidisme.
9) Ketidakseimbangan elektrolit.
10) Hemoroid.
11) Obesitas.
12) Pasca operasi obstruksi bowel.
13) Kehamilan.
14) Pembesaran prostat.
15) Abses rectal.
16) Fisura anorektal.
17) Striktura anorektal.
18) Prolaps rectal.
19) Ulkus rectal.
20) Rektokel.
21) Tumor.
22) Penyakit Hircsprung.
23) Impaksi feses.
6. Retensi Urin
a. Definisi
Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap.
b. Penyebab
1) Peningkatan tekanan uretra.
2) Kerusakan arkus reflex.
3) Blok spingter.
4) Disfungi neurologis (mis. trauma, penyakit syaraf)
5) Efek agen farmakologis (mis. atropine, belladona,
psikotropik, antihistamin, opiate).
c. Gejala & Tanda Mayor
1) Subjektif
Sensasi penuh pada kandung kemih.
2) Objektif
a) Disuria/anuria.
b) Distensi kandung kemih.
d. Gejala & Tanda Minor
1) Subjektif
Dribbling.
2) Objektif
a) Inkontinesia berlebih.
b) Residu urin 150 ml atau kurang.
e. Kondisi Klinis Terkait
1) Benigna prostat hyperplasia.
2) Pembengkakan perineal.
3) Cedera medula spinalis.
4) Rektokel.
5) Tumor di saluran kemih.
D. Intervensi keperawatan. (PPNI T. P., 2018)
Intervensi keperawatan merupakan segala bentuk terapi yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai peningkatan, pencegahan dan
pemulihan kesehatan klien individu, keluarga, dan komunitas.
1. Dukungan Perawatan Diri : BAB/BAK
a. Definisi
Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan buang air kecil (BAK) dan
buang air besar (BAB).
b. Tindakan
1) Observasi
a) Identifikasi kebiasaan BAK/BAB sesuai usia.
b) Monitor integritas kulit pasien.
2) Terapeutik
a) Buka pakaian yang diperlukan untuk memudahan
eliminasi.
b) Dukung penggunaan toilet/commode/pispot/urinal secara
konsisten.
c) Jaga privasi selama eliminasi.
d) Ganti pakaian pasien setelah eliminasi, jika perlu.
e) Bersihkan alat bantu BAK/BAB setelah digunakan.
f) Latih BAK/BAB sesuai jadwal, jika perlu.
g) Sediakan alat bantu (mis. kateter eksternal, urinal) jika
perlu.
3) Edukasi
a) Anjurkan BAK/BAB secara rutin
2. Latihan Eliminasi Fekal
a. Definisi
Mengajarkan suatu kemampuan melatih usus untuk dievakuasi
pada interval tertentu.
b. Tindakan
1) Observasi
Monitor peristaltik usus secara teratur.
2) Terapeutik
a) Anjurkan waktu yang konsisten untuk buang air besar.
b) Berikan privasi, kenyamanan dan posisi yang
meningkatkan proses defekasi.
c) Gunakan enema rendah, jika perlu.
d) Anjurkan dilatasi rektal digital, jika perlu.
e) Ubah program latihan eliminasi fekal, jika perlu.
3) Edukasi
a) Anjurkan mengonsumsi makanan tertentu, sesuai program
atau hasil konsultasi.
b) Anjurkan asupan cairan yang adekuat sesuai kebutuhan.
c) Anjurkan olahraga sesuai toleransi.
4) Kolaborasi
Kolaborasi penggunaan supositoria, jika perlu.
3. Kateterisasi Urin.
a. Definisi
Memasukkan selang kateter urine ke dalam kandung kemih.
b. Tindakan
1) Observasi
Periksa kondisi pasien (mis. kesadaran, tanda-tanda vital,
daerah perineal, distensi kandung kemih, inkontinensia urine,
refleks berkemih).
2) Terapeutik
a) Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruangan tindakan
b) Siapkan pasien : bebaskan pakaian bawah dan posiskan
dorsal recumbent (untuk wanita) dan supine (untuk laki-
laki).
c) Pasang sarung tangan.
d) Bersihkan daerah perineal atau preposium dengan cairan
NaCl atau aquades.
e) Lakukan insersi kateter urine dengan menerapkan prinsip
aseptic.
f) Sambungkan kateter urin dengan urin bag.
g) Isi balon dengan NaCl sesuai anjuran pabrik.
h) Fiksasi selang kateter diatas simpisis atau di paha.
i) Pastikan kantung urine ditempatkan lebih rendah dari
kandung kemih.
j) Berikan label waktu pemasangan
3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemsangan kateter urine.
b) Anjurkan menarik napas saat insersi delang kateter.
4. Manajemen Eliminasi Urin.
a. Definisi
Mengidentifiskasi dan mengelola gangguan pola eliminasi
urine.
b. Tindakan
1) Observasi
a) Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia
urine.
b) Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau
inkonensia urine.
c) Monitor eliminasi urine (mis. frekuensi, konsistensi, aroma,
volume, dan warna).
2) Terapeutik
a) Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
b) Batasi asupan cairan,jika perlu
c) Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur.
3) Edukasi
a) Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih.
b) Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine.
c) Ajarkan mengambil spesimen urine midstream.
d) Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat
untuk berkemih.
e) Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi.
f) Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur.
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra, jika perlu.
5. Manajemen Eliminasi Fekal
a. Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola gangguan pola eliminasi fekal.
b. Tindakan
1) Observasi
a) Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar.
b) Identifikasi pengobatan yang berefek pada kondisi
gastrointestinal
c) Monitor buang air besar (mis. warna, frekuensi,
konsistensi, volume).
d) Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi atau impaksi.
2) Terapeutik
a) Berikan air hangat setelah makan.
b) Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien.
c) Sediakan makanan tinggi serat.
3) Edukasi
a) Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan
keteraturan peristaltik usus.
b) Anjurkan mencatat warna, frekuensi, konsistensi, volume
feses.
c) Anjurkan meningkatkan aktivitas fisik, sesuai toleransi.
d) Anjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung
tinggi serat.
e) Anjurkan meningkatkan asupan cairan, jika tidak ada
kontra indikasi.
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat supositoria anal, jika perlu.
6. Perawatan Retensi Urin
a. Definisi
Mengidentifikasi dan meredakan distensi kandung kemih.
b. Tindakan
1) Observasi
a) Identifikasi penyebab retensi urine (mis. peningkatan
tekanan uretra, lerusakan arkus refleks, disfungsi
neurologis, efek agen farmakologis).
b) Monitor efek agen farmakologis (mis. atropine,
belladonna, psikotik, artihistamin, opiate, calcum channel
blocker).
c) Monitor intake dan output cairan.
d) Monitor tingkat distensi kandung kemih dengan
palpasi/perkusi.
2) Terapeutik
a) Sediakan privasi untuk berkemih.
b) Berikan ransangan berkemih (mis. mengalirkan air keran,
membilas toilet, kompres dingin pada abdomen).
c) Lakukan maneuver Crede, jika perlu.
d) Pasang kateter urine, jika perlu.
e) Fasilitasi berkemih dengan interval yang teratur.
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab retensi urine.
b) Anjurkan pasien atau keluarga mencatat output urine.
c) Ajarkan cara melakukan rangsangan berkemih.
7. Pencegahan Konstipasi.
a. Definisi
Mengidentifikasi dan menurukan risiko terjadinya penurunan
frekuensi normal defekasi disertai kesulitan pengeluaran feses
yang tidak lengkap.
b. Tindakan
1) Observasi
a) Identifikasi faktor risiko konstipasi (mis.asupan serta tidak
adekuat, asupan cairan tidak adekuat, anganglionik,
kelemahan otot abdomen, aktivitas fisik kurang).
b) Monitor tanda dan gejala konstipasi (mis. defekasi kurang
2 kali seminggu, defekasi larna/sulit, feses keras peristaltik
menurun).
c) Identifikasi status kognitif untuk mengkomunikasikan
kebutuhan.
d) Identifikasi penggunaan obat-obatan yang menyebabkan
konstipasi.
2) Terapeutik
a) Batasi minuman yang mengandung kafein dan alkohol
b) Jadwalkan rutinitas BAK.
c) Lakukan masase abdomen.
d) Berikan terapi akupresur.
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab dan faktor risiko konstipasi.
b) Anjurkan minum air putih sesuai dengan kebutuhan (1500-
2000mL/hari).
c) Anjurkan mengkonsumsi makanan berserat (25-30
gr/hari).
d) Anjurkan meningkatkan aktivias fisik sesuai kebutuhan.
e) Anjurkan berjalan 15-20 menit 1-2 kali/hari.
f) Anjurkan berjongkok untuk memfasilitasi proses BAB.
4) Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi, jika perlu.
E. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncakan dalam
rencana perawat. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi (Wartonah, 2015).
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan tindakan yang merupakan tindakan
keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan intervensi
(Kozier, 2011).
F. Evaluasi Keperawatan
Perawat mengevaluasi keberhasilan intervensi. Perawat harus
mempersiapkan untuk mengubah recana jika tidak berhasil (Widianti,
2011).
Evaluasi merupakan evaluasi intervensi keperawatan dan terapi
dengan membandingkan kemajuan klien dengan tujuan dan hasil
yang diinginkan dan direncanakan keperawatan (Perry,
Fundenmental Keperawatan Buku 3 Edisi 7, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Haswita. (2017). Kebutuhan Dasar Manusi. Jakarta: TIM.

Hidayat. (2015). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba


Medika.

Kozier, B. G. (2011). Buku Ajar Fundenmental Keperawatan Konsep,


Proses & Praktik Edisi 7 Volume 1. Jakarta: EGC.

Perry, P. &. (2010). Fundamental Keperawatan Buku 1 Edisi 7. Jakarta :


EGC.

Perry, P. &. (2010). Fundenmental Keperawatan Buku 3 Edisi 7. Jakarta:


EGC.

PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:


DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:


DPP PPNI.

Tarwoto. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Uliyah. (2014). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia edisi 2 buku 1.


Jakarta: Salemba Medika.

Widianti, S. d. (2011). Catatan Kuliah Kebutuhan Dasar Manusia (KDM).


Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai