Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KEGAWATDARURATAN

LAPORAN
Tugas Individu ini diajukan untuk memenuhi EARLY EXPOSURE IV (DARING)
Mata Kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan (GADAR)
Dosen : Rosliana Dewi, SKp., M.HKes, M.Kep

Oleh :

Nama: Dita Purnamasari


NIM: C1AA18034

KELOMPOK 4
3B
PROGAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KOTA SUKABUMI


2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

AIRWAY

Pemeriksaan Fisik Airway dan Resusitasi


 Pengertian
Airway Management Proses medis untuk memastikan adanya jalur terbuka antara
paru-paru sang pasien dengan dunia luar, serta mengurangi terjadinya risiko aspirasi.
Airway management merupakan prosedur medis yang bertujuan menjaga kepatenan jalan
udara pada pasien dengan tingkat kesadaran rendah. Prosedur tersebut meliputi beberapa
teknik, yaitu teknik chin lift, jaw thrust, oropharyngeal airway, nasopharyngeal airway,
dan juga esophageal airway.
 Tujuan
Tujuan umum pengaturan jalan udara meliputi beberapa hal, yaitu sebagai
berikut:
a. Untuk menyediakan dan merawat keamanan jalan udara
b. Untuk memastikan adanya oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
c. Untuk menghindari terjadinya aspirasi
d. Untuk melindungi spinal servikal (cervical spine)
Sedangkan tujuan khusus dari pengaturan jalan udara, yaitu sebagai berikut:

a. Oropharyngeal Airway
Tujuan:
1) Untuk menjaga atau memelihara kepatenan jalan udara
2) Memfasilitasi pengisapan oropharyngeal
3) Untuk membantu kepatenan jalan udara pada pasien terutama digunakan dalam
waktu yang tidak lama, yaitu ketika postanesthesia atau postictal stage.
b. Nasopharyngeal Airway
Pengaturan jalan udara dengan prosedur nasopharyngeal airway insertion and care
bertujuan untuk memelihara kepatenan jalan udara terutama bagi pasien yang baru
mengalami pembedahan oral atau facial trauma dan pasien dengan gigi berlubang,
tidak kuat, atau avulsed. Serta melindungi mukosa nasal dari cedera ketika pasien
membutuhkan pengisapan nasotracheal secara teratur dan sering.
c. Esophageal Airway
Bertujuan untuk memelihara atau menjaga ventilasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri sepanjang kardiak dan sistem respirasi tertahan atau terganggu.
1) Untuk menghindari obstruksi lidah
2) Untuk mencegah masuknya udara ke dalam perut
3) Untuk menjaga isi perut dalam risiko untuk memasuki trakea
Kompetensi lain yang juga harus dimiliki dalam melakukan airway management
meliputi:

a. Kompetensi dalam melakukan pengisapan atau suctioning


b. Pengetahuan dan pemahaman pasien yang membutuhkan airway management
dengan penanganan yang secara cepat atau mendesak
c. Pemahaman dan pengetahuan dalam pembersihan atau penggantian pipa yang
digunakan dalam prosedur
d. Kompetensi sistem pernapasan normal dan posisi yang menunjang dalam bernapas

A. Indikasi, Kontra Indikasi, dan Komplikasi


Indikasi dari airway management dapat meliputi:
a. Cedera kepala
b. Cedera jalan udara langsung (direct airway injury)
c. Syok
d. Facial fracture
e. Cedera thoraks
f. Peminum/pengobat (drug/alkohol)
• Oropharyngeal Airway
1) Indikasi:
a. Penggunaan prosedur ini hanya dianjurkan bagi pasien dengan penurunan
kesadaran (unconscious)
b. Prosedur ini juga digunakan ketika pasien berada pada postictal stage atau
postanesthesia
2) Kontra indikasi:
a. Pasien dengan rendahnya kekuatan gigi (loose teeth) dan avulsed teeth
b. Pasien yang baru mengalami atau menjalankan pembedahan oral (oral
surgery)
c. Pasien yang memiliki kesadaran tinggi atau semi. Hal ini disebabkan
penggunaan prosedur tersebut mendorong atau menstimulasi reaksi muntah
dan laryngospasm.
3) Komplikasi:
a. Kerusakan pada gigi atau hilangnya gigi.
b. Kerusakan jaringan.
c. Pedarahan.
d. Adanya penekanan pada epiglotis melawan jalan masuk larynx terutama jika
jalan udara terlalu lama.
e. Adanya produksi obstruksi secara keseluruhan dalam jalan udara yang
disebabkan jalan udara yang terlalu panjang atau lama.
f. Adanya penekanan pada posterior lidah dan memperburuk obstruksi jalan
udara bagian atas yang terjadi ketika prosedur pemasukan tidak dilakukan
secara benar.
• Nasopharyngeal Airway
1) Indikasi:
a. Pasien yang baru saja menjalankan pembedahan oral (oral surgery), facial
trauma.
b. Pasien dengan rendahnya kekuatan gigi (loose teeth) dan avulsed teeth.
c. Pasien yang membutuhkan pengisapan nasotracheal yang cukup sering
d. Pasien yang dengan pengunaan oropharyngeal airway sudah tidak dapat lagi
memenuhi kebutuhannya.
2) Kontra indikasi:
Pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan atau juga yang mendapatkan
gangguan hemoragik, sepsis, atau kelainan patologik nasopharyngeal.
3) Komplikasi:
a. Adanya risiko infeksi sinus akibat obstruksi dari drainase sinus.
b. Adanya cedera mukosa nasal dan menyebabkan perdarahan.
c. Adanya kemungkinan aspirasi darah ke dalam trachea.
d. Adanya risiko masuknya esophagus akibat terlalu panjangnya pipa yang
digunakan dalam prosedur ini.
e. Risiko gastric distention dan hypoventilasi sepanjang ventilasi artifisial.
f. Adanya stimulus rangsangan muntah dan laryngospasm pada pasien sadar
atau semi sadar
• Esophageal Airway
1) Indikasi:
a. Prosedur ini baik untuk pasien dengan didiagnosa cedera spinal cord.
b. Pasien dengan tingkat kesadaran rendah atau pingsan serta tidak bernapas.
2) Kontra indikasi:
a. Pada pasien yang memiliki kesadaran tinggi atau semi sadar. Hal ini
disebabkan pada kedua pasien tersebut akan menolak jalan udara
esopharyngeal
b. Pada pasien dengan trauma fasial yang pencegahannya menggunakan snug
mask
c. Pada pasien dengan adanya kelemahan refleks gag, pencernaan toksik kimia,
penyakit esophageal atau overdosis opioid.
3) Komplikasi:
a. Pada penggunaan prosedur ini memungkinkan terjadinya cedera esophageal,
meliputi ruptur.
b. Adanya kemungkinan laryngospasm, rangsangan muntah, dan aspirasi pada
pasien yang sadar atau semi sadar.
c. Adanya kemungkinan masuknya materi asing dari mulut dan pharynx ke
dalam trachea dan bronchi akibat penggunaan prosedur ini.
B. Prosedur
a. Oropharyngeal Airway
1) Menjelaskan prosedur kepada pasien
2) Memberikan privasi kepada pasien dan menggunakan sarung tangan untuk
mencegah transmisi dari cairan tubuh.
3) Lakukan pengisapan (suctioning) bila dibutuhkan
4) Tempatkan pasien pada posisi supine dengan hiperekstensi leher dengan syarat
tidak kontra indikasi
5) Masukkan jalan udara menggunakan cross-finger atau teknik tongue blade.
6) Tempatkan ibu jari di gigi bagian bawah pasien dan jari telunjuk berada di gigi
bagian atas. Kemudian, secara lembut membuka mulut dengan menekan gigi agar
mulut terbuka.
7) Masukan jalan napas dari atas ke bawah untuk menghindari penekanan lidah
terhadap pharynx, dan sisikan lidah ke mulut bagian belakang. Putar jalan udara
ketika itu mencapai dinding posterior pharynx.
8) Bila menggunakan teknik tongue blade, buka mulut pasien dan menekan lidah
dengan blade. Bimbing jalan udara ke belakang lidah seperti melakukan dengan
teknik cross-finger.
9) Auskultasi paru-paru untuk memastikan ventilasi yang adekuat
10) Melakukan perawatan mulut setiap 2-4 jam jika dibutuhkan. Dimulai dengan
membuka mulut dengan memegang rahang pasien dengan padded tongue blade
dan dengan lembut memindahkan jalan udara. Menempatkan jalan udara di basin
dan bilas dengan hidrogen peroxide dan air. Jika terdapat sisa sekresi, gunakan
pipa pembersih untuk menggantinya. Lakukan standar perawatan mulut secara
sempurna dan masukan kembali jalan udara
11) Observasi membran mukosa mulut ketika jalan udara kembali dimasukkan
12) Catat dan cek posisi jalan udara untuk memastikan berada pada posisi yang
sesuai
b. Nasopharyngeal Airway
1) Gunakan sarung tangan
2) Bila berada situasi yang tidak mendesak, jelaskan prosedur kepada pasien
3) Masukkan peralatan nasopharyngeal airway
4) Pertama, pegang jalan napas disamping wajah pasien untuk memastikan
ukurannya sesuai Itu seharusnya tidak boleh terlalu kecil dibandingkan diameter
lubang hidung dan tidak boleh terlalu panjang dibandingkan jarak dari ujung
hidung ke earlobe
5) Untuk memasukkan jalan udara, hiperekstensi leher pasien. Lalu, tekan ujung
hidung pasien dan lewatkan atau masukkan jalan udara ke dalam lubang hidung
pasien
6) Untuk memastikan jalan udara berada pada posisi yang sesuai, pertama tutup
mulut pasien. Lalu, tempatkan jari kita di atas pipa yang terbuka untuk
mendeteksi perubahan udara. Juga menekan lidah pasien dengan tongue blade
dan perhatikan ujung jalan udara dibelakang uvula
7) Cek secara teratur kondisi jalan udara
8) Ketika pasien sudah dapat mengatur jalan udara secara mandiri, ganti jalan udara
ke yang lebih halus
c. Esophageal Airway
1) Gunakan sarung tangan dan peralatan perlindungan lainnya
2) Bersihkan pertama ujung pipa distal yang sepanjang 2,5 cm dengan air soluble
lubricant. Dengan EGTA, bersihkan pertama dari pipa NG bagian distal
3) Mengkaji kondisi pasien untuk menentukan apakah aman prosedur bagi pasien
4) Meminta izin kepada pasien untuk memposisikan pasien dalam posisi supine
dengan leher pasien berada pada kondisi normal atau semiflexed.
5) Masukkan ibu jari kedalam mulut pasien di belakang dasar lidah Tempatkan jari
telunjuk dan tengah di bawah dagu pasien dan angkat rahang lurus (lift-jaw)
6) Dengan tangan yang lain, pegang pipa esophageal dibawah masker
7) Dengan masih berada di posisi yang sama, masukkan ujung pipa esophageal
kedalam mulut pasien. Secara lembut, bimbing jalan udara ke lidah ke dalam
pharynx dan lalu ke esophagus, mengikuti polapharyngeal
8) Ketika pipa sudah berada pada posisi yang sesuai, tergambar 35 cc udara ke
dalam syringe, menghubungkan syringe ke tube’s cuff-inflation valve, dan
memompa cuff
9) Jika memasukan EGTA, masukan pipa NG kebagian paling bawah masker
wajah dan ke dalam pipa esophageal
10) Memonitori pasien untuk memastikan ventilasi cukup adekuat. Perhatikan
pergerakan dada, dan pengisapan pasien jika mukus dihalang pipa EOA
d. Teknik Chin-Lift
e. Teknik Jaw Thrust
Kurangnya pasokan oksigen yang dibawa oleh darah ke otak dan organ vital
lainnya merupakan penyebab kematian tercepat pada penderita gawat. Oleh sebab itu
pencegahan kekurangan oksigen jaringan (hipoksia) yang meliputi pembebasan jalan
napas yang terjaga bebas dan stabil, ventilasi yang adekuat, serta sirkulasi yang
normal (tidak shock) menempati prioritas pertama dalam penanganan
kegawatdaruratan.
Pada saat pertolongan pertama sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan jalan nafas pada pasien yang dapat mengganggu aliran nafas sehingga
menimbulkan terjadinya henti nafas. Penyebab utama obstruksi pada jalan nafas
adalah terjadinya penurunan atau hilangnya tonus otot tenggorokan sehingga lidah
akan jatuh ke belakang dan menyumbat faring sehingga dapat menyebabkan
terjadinya gangguan kesadaran, dimana keadaan ini sering terjadi pada pasien dengan
trauma kepala. Selain itu obstruksi pada jalan nafas juga dapat disebabkan oleh
adanya bekuan darah, muntahan, edema, dan trauma (fraktur pada tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea).
Pada beberapa kasus, ditemukan pasien yang tersedak dan berada dalam keadaan
tidak sadar yang disertai dengan henti nafas, maka harus dilakukan pemeriksaan pada
saluran nafas dengan membuka mulut pasien untuk mengetahui ada tidaknya benda
asing yang harus segera dikeluarkan dengan menggunakan jari penolong. Apabila
sumbatan berupa cairan maka dapat dibersihkan dengan menggunakan jari telunjuk
atau jari tengah penolong yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan apabila
sumbatan berupa benda keras maka dapat diambil dengan menggunakan jari telunjuk
penolong yang dibengkokkan. Pasien yang masih dapat berbicara dianggap tidak
memiliki gangguan pada jalan nafas, tetapi tetap harus dilakukan penilaian ulang
terhadap jalan nafas
Langkah yang harus dikerjakan untuk pengelolaan jalan napas yaitu :
1. Pasien diajak berbicara. Jika pasien dapat menjawab dengan jelas itu berarti
jalan napasnya bebas. Pasien yang tidak sadar berpotensi terjadi sumbatan
jalan napas sehingga memerlukan tindakan pembebasan jalan napas.
Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya
pangkal lidah ke belakang.
2. Berikan oksigen. Oksigen diberikan dengan sungkup muka (simple masker)
atau masker dengan reservoir (rebreathing/non rebreathing mask) atau nasal
kateter atau nasal prong walaupun belum sepenuhnya jalan napas dapat
dikuasai dan dipertahankan bebas. Jika memang dibutuhkan pemberian
ventilasi bisa menggunakan jackson-reese atau BVM.
3. Nilai jalan napas. Sebelum melakukan tindakan untuk membebaskan jalan
napas lanjut maka yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan
napas sekaligus melakukan pembebasan jalan napas secara manual apabila
pasien tidak sadar atau kesadaran menurun berat (coma). Cara pemeriksaan
VLook-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan, menilai jalan napas
sekaligus fungsi pernapasan :
4. Obstruksi jalan napas Obstruksi jalan napas dibagi macam, obtruksi parsial
dan obstruksi total.
a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya suara napas tambahan yaitu:

1) Mendengkur (snoring), disebabkan oleh pangkal lidah yang jatuh ke posterior. Cara
mengatasinya dengan head tilt, chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa
orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal, pemasangan Masker Laring
(Laryngeal Mask Airway).
2) Suara berkumur (gargling), penyebabnya adalah adanya cairan di daerah hipofaring. Cara
mengatasi: finger sweep, suction atau pengisapan.
3) Crowing Stridor, oleh karena sumbatan di plika vokalis, biasanya karena edema. Cara
mengatasi: cricotirotomi, trakeostomi.
b. Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernapasan “see saw” pada menit- menit
pertama terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing antara dada
dan perut. Dan jika sudah lama akan terjadi henti napas yang ketika diberi napas
buatan tidak ada pengembangan dada. Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada
dugaan trauma leher, yang ditandai dengan adanya trauma wajah/maksilo-facial,
ada jejas di atas clavicula, trauma dengan riwayat kejadian ngebut (high velocity
trauma), trauma dengan defisit neurologis dan multiple trauma.

Pembebasan jalan nafas ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

1. Head tild atau tindakan ekstensi kepala dan angkat leher Tindakan ini dilakukan dengan
cara mengekstensikan leher sejauh mungkin dengan satu tangan yang lain menyangga
leher pasien. Tindakan ini dapat dilakukan apabila tidak terdapat trauma pada leher.
2. Chin lift atau tindakan angkat dagu.Tindakan ini dilakukan dengan menarik bagian dagu
ke arah sentral dengan meletakkan salah satu tangan pada bawah rahang. Tindakan ini
tidak boleh dilakukan dengan hiperekstensi tulang leher. Manuver ini berguna pada
pasien dengan patah tulang leher.
3. Jaw thrust atau tindakan mendorong rahang bawah
Dilakukan dengan memegang sudut rahang bawah pada bagian kanan maupun kiri,
kemudian mendorongnya ke depan.

LAPORAN PENDAHULUAN BREATHING


 Pengertian Pemeriksaan Fisik Breathing dan Resusitasinya
Pengkajian breathing manajemen adalah gangguan fungsi pernafasan
dikaji dengan melihat tanda-tanda gangguan pernafasan dengan metode Look-
Listen-Feel dan telah dilakukan pengelolaan jalan nafas tetapi tetap tidak ada
pernafasan. Oksigenasi merupakan memberikan aliran gas oksigen (O2) lebih dari
21% pada tekanan 1 atm sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam tubuh.
Jalan napas yang tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi karena itu
langkah yang pertama yang harus dilakukan pada pasien dengan gangguan adalah
meyakinkan bahwa jalan napas bebas dan pertahankan agar tetap bebas. Setelah
jalan napas bebas tetapi tetap ada gangguan ventilasi maka harus dicari penyebab
lain Gangguan fungsi pernapasan (gangguan ventilasi) dapat berupa hipoventilasi
sampai henti napas yang disebabkan oleh bermacam-macam faktor dan bila tidak
dilakukan penanganan dengan baik akan menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia.
Trauma thorax merupakan penyebab mortalitas yang bermakna . Trauma
toraks dapat menyebabkan gangguan pernapasan termasuk adanya tension
pneumothorax, open pneumothorax (sucking chest wound), flail chest, kontusio
paru dan hemotorax masif. Gangguan pernapasan juga dapat disebabkan oleh
keadaan yang non trauma seperti acute lung oedem(ALO),acute respiratory
disstres syndrome (ARDS) .
Diawali dengan tindakan penilaian pernafasan untuk memastikan pasien
tidak bernafas. Penilaian ini dilakukan dengan melihat pergerakan dinding dada,
mendengarkan bunyi udara pernafasan ekshalasi, dan merasakan hembusan nafas
pasien. Oleh karena itu pada penolong harus mendekatkan telinga pada mulut dan
hidung pasien serta secara bersamaan tetap memastikan jalan nafas tetap terbuka.
Penilaian terhadap pernafasan ini harus dilakukan secepatnya dan tidak boleh
melebihi sepuluh detik.
1) L – Look (lihat) Lihat pengembangan dada, adakah retraksi sela iga
otot-otot napas tambahan lain, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat apakah
korban mengalami kegelisahan (agitasi), tidak dapat berbicara, penurunan
kesadaran, sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia.
Sianosis dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan bibir.
2) L – Listen (dengar). Dengar aliran udara pernapasan. Adanya suara
napas tambahan adalah tanda ada sumbatan parsial pada jalan napas. Suara
mendengkur, berkumur, dan stridor mungkin berhubungan dengan sumbatan
parsial pada daerah faring sampai laring. Suara parau (hoarseness, disfonia)
menunjukkan sumbatan pada faring.
3) F – Feel (rasakan). Rasakan ada tidaknya udara yang hembusan
ekspirasi dari hidung dan mulut. Hal ini dapat dengan cepat menentukan apakah
ada sumbatan pada jalan napas. Rasakan adanya aliran udara pernapasan dengan
menggunakan pipi penolong.
Langkah selanjutnya apabila didapatkan pasien tidak bernafas adalah
memberikan ventilasi yang dilakukan sebanyak dua kali hembusan nafas dalam
waktu 1,5-2 detik tiap hembusan. Dalam pemberian ventilasi ini volume udara
yang diberikan lebih penting dari pada irama, pada orang dewasa bantuan nafas
diberikan dengan tiupan yang kuat, sedangkan pada anak-anak dilakukan secara
perlahan. Selanjutnya segera dilakukan perabaan pada nadi karotis atau femoralis,
apabila henti nafas masih terjadi tetapi denyut nadi dapat teraba, maka diberikan
ventilasi setiap 5 detik. Apabila masih terjadi henti nafas dan denyut nadi tidak
teraba, maka akan diberikan 2 kali ventilasi setelah dilakukan kompresi atau pijat
jantung.
A. Tujuan
Tujuan oksigenasi meliputi:
a. Untuk mencegah atau mengatasi hipoksia.
b. Untuk mempertahankan oksigen yang adekuat pada jaringan.
c. Mencegah risiko terjadinya kerja paru-paru yang berlebih.
d. Mencegah risiko terjadinya kerja jantung secara berlebih.
B. Indikasi, Kontra indikasi, dan Komplikasi
a. Indikasi dari prosedur oksigenasi yaitu meliputi:
1) Klien yang mengalami perubahan tingkat oksigenasi.
2) Klien yang mengalami ketidakefektifan bersihan jalan napas.
3) Klien yang mengalami gangguan pertukaran gas.
4) Klien dengan penurunan curah jantung.
5) Klien dengan ketidakefektifan pola napas.
b. Kontra indikasi dari prosedur oksigenasi yaitu meliputi:
Penggunaan masker wajah dalam prosedur oksigenasi kontra indikasi bagi klien yang
mengalami retensi karbon dioksida karena akan memperburuk retensi.
c. Komplikasi yang mungkin dapat terjadi prosedur oksigenasi yaitu meliputi:
1) Adanya kemungkinan keringnya mukosa dan juga karena jumlah oksigen yang
diberikan relatif sedikit lebih besar.
2) Adanya kemungkinan kerusakan kulit di atas telinga dan di hidung akibat
pemasangan nasal kanula yang terlalu ketat.
3) Adanya kemungkinan rasa nyeri yang dirasakan klien saat kateter melewati
nasofaring dan karena mukosa nasal akan mengalami trauma.
4) Adanya risiko pasien menghirup sejumlah besar karbon dioksida akibat kantung
yang mengempes.
C. Prosedur Metode Nasal Kanul
a. Inspeksi tanda dan gejala pada klien yang berhubungan dengan hipoksia dan adanya
sekresi pada jalan napas.
b. Jelaskan kepada klien dan keluarga hal-hal yang diperlukan dalam prosedur dan
tujuan terapi oksigen.
c. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
d. Cuci tangan.
e. Pasang nasal kanula ke selang oksigen dan hubungkan ke sumber oksigen yang
dilembabkan dan diatur sesuai dengan kecepatan aliran yang diprogramkan.
f. Letakkan ujung kanula ke dalam lubang hidung dan atur lubang kanula yang elastis
sampai kanula benar-benar sesuai dengan posisinya (hidung) atau sampai klien
merasa nyaman.
g. Pertahankan selang oksigen cukup kendur dan sambungkan ke pakaian klien.
h. Periksa kanula setiap 8 jam dan pertahankan tabung pelembab terisi setiap waktu.
i. Observasi hidung dan permukaan superior kedua telinga klien untuk melihat adanya
kerusakan kulit.
j. Periksa kecepatan aliran oksigen dan program dokter setiap 8 jam.
k. Cuci tangan
l. Inspeksi klien untuk melihat apakah gejala yang berhubungan dengan hipoksia telah
hilang.
m. Mencatat metode pemberian oksigen, kecepatan aliran, kepatenan nasal kanula,
respons klien, dan pengkajian pernapasan di catatan perawat.
LAPORAN PENDAHULUAN CIRCULATION

 PEMERIKSAAN FISIK CIRCULATION DAN RESUSITASINYA


Dilakukan untuk mempertahankan sirkulasi darah dalam tubuh agar sel-sel
saraf dalam otak tetap dapat hidup dengan melakukan kompresi atau pijat jantung.
Bantuan sirkulasi dapat dilakukan melalui pijat jantung luar yang dilakukan
secara teratur pada akhir inspirasi. Dapat menyebabkan gangguan perfusi seperti
syok yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhannya.
Penangan utama syok dengan membebaskan jalan napas, terapi oksigen, bantuan
napas, memperbaiki sistem sirkulasic, monitoring nadi, tekanan darah, perfusi
perifer dan produksi urin dan menghilangkan dan mengatasi penyebab syok.
Sebelum dilakukan pijat jantung luar, dilakukan penilaian denyut nadi
arteri karotis yang maksimal dilakukan selama 5 detik, selanjutnya pasien
diposisikan terlentang pada permukaan yang keras. Dengan penolong yang
berlutut di samping pasien, kemudian meletakkan salah satu telapak tangan di atas
dinding dada pada tengah-tengah ujung sternum dan tangan yang lain diletakkan
di atas tangan pertama dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu
tepat di atas sternum pasien. Selanjutnya dilakukan pijat jantung dengan tekanan
vertikal hingga 4-5cm menekan sternum dengan kecepatan 80-100 kali per menit.
Setelah dilakukan kompresi harus diikuti dengan relaksasi dan waktu antara lama
kompresi harus sama dengan waktu relaksasi dengan tangan penolong yang masih
berada di atas permukaan dada pasien. Rasio bantuan sirkulasi dan ventilasi
adalah 30 : 2 yang dilakukan selama 4 siklus dalam per menit. Tindakan pijat
jantung luar yang benar akan mencapai tekanan sistolik 60-80 mmHg dan tekanan
diastolik yang sangat rendah, dan akan menghasilkan curah jantung 10-25% dari
normal.

Tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila terdapat tanda- tanda:

1. Pasien yang tidak bergerak, pupil berdilatasi, dan pernafasannya terhenti yang
diakibatkan adanya cedera kepala.
2. Pasien yang telah mendapatkan resusitasi selama 30 menit tetapi menunjukkan prognosis
yang buruk, seperti: tidak bergerak dengan pupil berdilatasi, nadi femoralis dan karotis
yang tidak teraba, dan tidak didaatkannya pernafasan .
3.
LAPORAN PENDAHULUAN RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)
A. Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap yaitu:
a. Survei primer yang dapat dilakukan oleh seiap orang terdiri dari airway, breathing,
circulation.
b. Survei sekunder dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis dan merupakan lanjutan
survei primer.
B. Tujuan Resusitasi Jantung Paru
Tujuan resusitasi jantung paru adalah untuk mengadakan kembali pembagian sirkulasi
sementara sehingga memberikan waktu untuk pemulihan fungsi jantung dan paru secara
spontan. Kapan saja resusitasi jantung dilakukan pada saat:
• Infrak jantung kecil yang mengakibatkan kematian listrik
• Hipoksia akut
• Tenggelam dan kecelakaan lain yang masih memberi peluang hidup
Resusitasi jantung paru harus dihentikan jika pasien kembalinya ventilasi dan sirkulasi
spontan penolong lelah,tanda kematian ireversibel.

A. Tahapan Kerja Pada Resusitasi Jantung Paru


a. Situasi lingkungan di sekitar korban dianalisis dengan cermat
b. Pasien dijauhkan dari lingkungan yang berbahaya
c. Sumber daya di sekitar lokasi dimanfaatkan dengan baik
d. Alat proteksi diri penolong dipasang dengan benar
e. Pasien diatur dalam posisi telentang diatas bidang datar keras
f. Respon Pasien diperiksa dengan rangsang suara dan nyeri
g. Call for help dilakukan jika Pasien tidak berespon
h. Nadi diperiksa tidak lebih dari 7 detik jika pasien tidak berespon
i. Rescue Breating diberikan dengan frekuensi yang benar jika nadi teraba
j. Teknik kombinasi 30 : 2 diberikan dengan teknik dan irama yang benar
k. Penilaian dilakukan secara periodik terhadap ada tidaknya nadi dan napas spontan
l. Pasien diatur dalam posisi miring mantap ketika napas spontan dan nadi telah
kembali ada/positif
LAPORAN PENDAHULUANTRANSPORTASI DAN RUJUKAN

1. TRANSPORTASI DAN SISTEM RUJUKAN


A. Transportasi
Adalah pemindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan
menggunakan sebuah kendaran yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi
penderita gawat darurat adalah ketetapan ideal mengenai cara pemindahan pasien gawat
darurat dari lokasi kejadian menuju rumah sakit. Untuk penanganan kecatatan bahkan
kematian bagi pasien. Setelah itu perlu pemindahan atau pengangkatan pasien ke atas
tandu. Panduan dalam mengangkat penderita:
a. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita kaji nilai beban yang akan
kita angkat
b. Kaki berjarak sebahu kita,satu kaki sedikit kedepan kaki sedikit sebelahnya.
c. Berjongkok jangan membungkuk saat mengangkat
d. Tangan yang memegang menghadap kedepan
e. Tubuh sedekat mungkin kebeban yang harus diangkat.
f. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
Prinsip umum pemindahan pasien dengan aman dan efektif membutuhkan
keputusan secara hati-hatidibuat mengikuti kondisi pasien dan transportasi yaitu kondisi
stabil pasien, tingkatan prioritas, kebutuhan perawatan selama rute, kelayakan pengantar
dan kelayakan model transportasi. Menurut triaseterdiri atas empat kriteria yaitu pasien
gawat darurat, pasien gawat tetapi tidak darurat, pasien tidak gawat tetapi darurat dan
pasien tidak gawat dan tidak darurat. Berdasarkan kriteria tersebut selain menentukan
cara penangan juga menentukan cara penangan transportasi. Misalnya pada pasien kritis
sebelum dilakukan trasnportasi harus teratasi dulu airway, breathing, circulation (prinsip
ABC), sehingga pasien dalam keadaan stabil. Upaya mencegah efek merugikan maka
perlu diperhatikan tentang organisasi transportasi, personel dan monitoring.

Pelaksanaan transportasi pasien kritis diperlukan minimal dua personel perawat


dan seorang dokter. Peralatan standar pasien kritis meliputi monitor jantung, defribilator,
peralatan manajemen jalan nafas, sebuah set resusitasi, suplai oksigen, obat standar
resusitasi, cairan intravena dan portable ventilator.
Persiapan trasnpotasi pasien cedera ke rumah sakit rujukan :

1. Komunikasi dengan memberikan informasi


2. Kelayakan pasien dengan menetukan stabil atau tidaknya pasien menggunakan prinsip
ABC
3. Petugas transpotasi
4. Perlengkapan alat
5. Imobilisasi leher dengan memberikan posisi supinasi tanpa menggunakan bantal

B. Sistem Rujukan
Adalah suatu proses pengiriman pasien kefasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Tujuan dari rujukan pasien untuk
sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk pasien yang tidak bisa ditangani di suatu
rs atau puskesmas untuk mendapatkan fasilitas penanganan lebih tinggi. Rujukan adalah
pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas kasus penyakit atau masalah kesehatan
yang diselenggarakan secara timbal balik, baik secara vertikal dalam arti satu strata
sarana pelayanan kesehatan ke strata sarana pelayanan kesehatan lainnya, maupun secara
horisontal dalam arti antar sarana pelayanan kesehatan yang sama.

Sistem Kesehatan Nasional membedakannya menjadi dua macam yakni :

1. Rujukan Kesehatan

Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat
kesehatan. Dengan demikian rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku untuk pelayanan
kesehatan masyarakat (public health service). Rujukan kesehatan dibedakan atas tiga macam
yakni rujukan teknologi, sarana, dan operasional. Rujukan kesehatan yaitu hubungan dalam
pengiriman, pemeriksaan bahan atau specimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini
adalah rujukan uang menyangkut masalah kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit
(preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Rujukan ini mencakup rujukan teknologi,
sarana dan opersional.

2. Rujukan Medik

Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan.
Dengan demikian rujukan medik pada dasarnya berlaku untuk pelayanan kedokteran (medical
service). Sama halnya dengan rujukan kesehatan, rujukan medik ini dibedakan atas tiga macam
yakni rujukan penderita, pengetahuan dan bahan bahan pemeriksaan. Rujukan medik yaitu
pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas satu kasus yang timbul baik secara vertikal
maupun horizontal kepada yang lebih berwenang dan mampu menangani secara rasional. Jenis
rujukan medik antara lain:

a. Transfer of patient : Konsultasi penderita untuk keperluan diagnosis, pengobatan,


Tindakan operatif dan lain-lain.
b. Transfer of specimen : Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium
yang lebih lengkap.
c. Transfer of knowledge atau personal : Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli
untuk meningkatkan mutu layanan setempat.

Anda mungkin juga menyukai