TINJAUAN PUSTAKA I
JALAN NAFAS
1606969314
Pembimbing
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAKARTA
2018
1
HALAMAN PERSETUJUAN
NPM : 1606969314
Maret 2017
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................1
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................................................4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................5
2.1. Anatomi Jalan Nafas.....................................................................................................5
2.2. Definisi dan Klasifikasi sulit jalan nafas....................................................................10
2.2.1. Kesulitan Ventilasi Sungkup Wajah..................................................................11
2.2.2. Kesulitan Ventilasi dengan Perangkat Supraglotik...........................................14
2.2.3 Kesulitan Laringoskopi dan Intubasi Endotrakeal............................................15
2.3. Tatalaksana Jalan Nafas..............................................................................................20
2.3.1. Persiapan Dasar pengelolaan Sulit Jalan Nafas.................................................20
2.3.2. Tehnik Ventilasi Pada Pengelolaan Jalan Nafas...............................................20
2.3.3 Tehnik Intubasi Pada Pengelolaan Jalan Nafas.................................................22
2.4. Algoritme Pengelolaan Jalan Nafas............................................................................26
2.4.1. Algoritme ASA..................................................................................................26
2.4.2. Algoritme Beunomof.........................................................................................29
2.4.2. Algoritme DAS..................................................................................................37
BAB 3. PENUTUP..............................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................46
3
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tanggung jawab utama dari seorang ahli anestesi adalah menjamin respirasi
yang adekuat bagi pasien. Unsur vital dalam menyediakan fungsi tersebut adalah jalan
nafas. Tidak ada anestesi yang aman tanpa melakukan usaha keras memelihara jalan
nafas yang lapang sehingga ventilasi berjalan dengan lancar serta teratur. Penilaian
dan pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting karena
beberapa efek dari obat anestesi mempengaruhi keadaan jalan napas pasien.
Udara mengalir dimulai dari hidung dan berakhir di bronkiolus diperlukan untuk
pengiriman gas pernafasan ke atau dari alveoli. Selama anestesi klinis, ahli anestesi
menggunakan jalur ini untuk menghantarkan gas anestesi ke alveoli, sementara pada
saat bersamaan, jalur ini digunakan untuk mempertahankan transportasi gas
pernapasan yang vital. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah
dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal atau perangkat lain yang secara
langsung dimasukkan ke saluran udara atas atau bawah jalan nafas pasien. Pasien
dianggap memiliki kesulitan jalan nafas jika anestesiolog mengalami kesulitan untuk
memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan nafas bagian atas, kesulitan
mengintubasi trakea , atau keduanya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Anatomi Jalan Nafas
Pembagian jalan nafas dikelompokan menjadi dua yaitu jalan napas bagian atas, yang
membentang dari hidung, faring hingga laring, dan jalan napas bagian bawah, yang
mencakup mulai dari trakea, bronkus, bronkhiolus dan alveolus. Secara fisiologis
terdapat dua jalur masuk jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju
nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Pada rongga
mulut terdapat lidah, dua pertiga bagian anteriornya terletak di dalam mulut, dan
sepertiga bagian posteriornya terletak di faring.1
Palatum terdiri dari bagian yang keras 2/3 anteriornya disebut palatum durum dan 1/3
posterior yang lembut disebut palatum mole yang melanjutkan diri menjadi arcus
palatoglosus ( membentuk anterior pilar) dan arcus palatofaringeal ( membentuk
posterior pilar ) serta berakhir di ujungnya yaitu pada uvula. Palatum membentuk
dinding anterior faring. Terdapat 5 otot dalam 1 kantong fasia dalam mukosa palatum
5
mole. Semua sensorik dan motorik dipersyarafi nervus IX yaitu n.glosofaringeal
kecuali m.levator veli palatini dipersyarafi n.v n.vagus. Otot – otot tersebut terdiri
dari musculus levator veli palatini, musculus tensor veli palatini, musculus
palatoglossus, musculus uvulae dan musculus palatopharyngeus. Musculus levator
veli palatini dan musculus tensor veli palatini berfungsi untuk menegangkan dan
mengangkat palatum moll dengan tujuan mempertahankan patensi jalan nafas.1-2
6
saat menelan. Secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari laringofaring
(atau hipofaring). 3
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu
rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra
cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
menelan makanan. Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago,
ligamentum dan otot-otot. Dengan adanya lipatan mukosa dari ligamentum vokale
dan ligamentum ventrikulare di laring, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara
asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan
kanan disebut rima glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima
vestibule. 3-4
Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu
vestibulum laring, glotik, dan subglotik. Vestibulum laring ialah rongga laring yang
terdapat diatas plika ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotik. Bagian ini terdiri
dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu)
dan ventrikel laringeal. Glotis adalah ostium antara pita suara dalam laring. Glotis
terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik adalah rongga laring
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Fungsi
respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila otot
krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago
7
aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka (abduksi), terjadilah
inspirasi. Ekspirasi menyebabkan plika vokalis berada pada posisi adduksi. 3-4
Terdapat tiga kelompok otot laring yaitu aduktor, abduktor dan tensor. Kelompok otot
aduktor berfungsi untuk menutup pita suara, terdiri dari M.tiroaritenoid,
M.krikoaritenoid lateral, M. Oblicus aritenoid dan M. interaritenoid. Persarafan dari
otot-otot aduktor oleh N. Laringeus rekuren. Otot-otot tensor berfungsi memberi
ketegangan pada pita suara serta juga pasif untuk memutar aritenoid ke arah medial
menyebabkan adduksi plika vokalis. Otot krikotiroid disarafi oleh cabang eksterna N.
laringeus superior. Otot abduktor berfungsi untuk membuka pita suara dan terdiri dari
Muskulus krikoaritenoid posterior yang disarafi cabang N.laringeus rekuren. 4
8
Gambar 5. Otot – otot pada Laring
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal
superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal
externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot
krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama. Fonasi merupakan kerja yang simultan
dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf motoris yang mempersarafi laring,
menyebabkan gangguan bicara (tabel 5-1). Gangguan persarafan unilateral dari otot
krikotiroid menyebabkan gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal
superior bisa menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak membahayakan
kontrol jalan nafas.2
Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita suara
ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf laringeal
superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat
menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari otot
krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis saraf laringeal
rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti atropi dari otot
laringeal). Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal
rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid
dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi
terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.2
9
dimana seorang ahli anestesi yang berpengalaman dan terlatih mengalami kesulitan
dari ventilasi jalan nafas atas dengan menggunakan sungkup wajah, kesulitan dalam
intubasi trakea atau keduanya. Kombinasi gabungan skenario tidak mampu intubasi
dan ventilasi dapat membawa risiko kerusakan otak yang tinggi atau kematian.
Kesulitan tersebut merupakan suatu proses interaksi komplek antara faktor pasien,
situasi klinis dan kemampuan ahli anestesi. Untuk lebih baik dalam menggambarkan
klasifikasi dari kesulitan jalan nafas, terdapat beberapa kategori yaitu, kesulitan
ventilasi dengan sungkup wajah, kesulitan ventilasi dengan SGA ,serta kesulitan
laringoskop dan intubasi.5
10
Menurut Langeron dan colleagues, definisi kesulitan ventilasi sungkup wajah adalah
ketidakmampuan mempertahankan saturasi oksigen > 92% dengan pulse oksimetri
atau tidak mampu mempertahankan adekuatnya ventilasi sungkup wajah dengan
tekanan positif saat general anestesi. Dalam studi mereka, ventilasi sungkup wajah
dianggap sulit bila ditemukan 1 atau lebih dari 6 kriteria berikut : 6
1. Ketidakmampuan anestesiologi tanpa bantuan untuk menjaga saturasi oksigen
> 92% dengan menggunakan oksigen 100% dan ventilasi sungkup tekanan
positif
2. kebocoran aliran gas pada sungkup wajah
3. Memerlukan menambah aliran gas sampai > 15 L / menit dan mengunakan
katup flush oksigen lebih dari dua kali
4. Tidak terdapat gerakan dada yang jelas
5. Memerlukan melakukan teknik ventilasi sungkupdengan dua tangan
6. Membutuhkan wajib pergantian operator.
Insidensi kesulitan ventilasi sungkup dari studi oleh Kheterpal dan rekannya
merupakan penelitian terbesar sampai saat ini mengenai topik tersebut. Kejadian sulit
ventilasi sungkup berkisar antara 1,4% pada 22.660 pasien dan 2,2% pada penelitian
selanjutnya terhadap 50.000 pasien. Langeron dan rekannya juga melaporkan 5%
kejadian sulit untuk ventilasi sungkup dan 0,07% tidak mungkin untuk dilakukan
ventilasi dari 1502 pasien.7
Han dan rekannya mengusulkan sebuah skala untuk menilai dan mengklasifikasikan
ventilasi sungkup wajah.. Ventilasi sungkup yang sulit dianggap sebagai ventilasi
grade 3. Grade 4 merupakan ventilasi sungkup yang tidak mungkin dilakukan.8
Klasifikasi Deskripsi
Grade 2 Ventilasi dengan tambahan alat airway oral atau +/- obat
relaksan
11
Grade 3 Sulit ventilasi meskipun dilakukan dua hal diatas, tidak
adekuat ataupun stabil, membutuhkan penolong.
Ada dua penyebab utama ventilasi sungkup wajah tidak adekuat. Salah satunya adalah
ketidakmampuan untuk membuat segel yang memadai antara wajah dan masker,
sehingga berakibat kebocoran pada gas pernapasan. Penyebab kedua adalah tidak
adekuatnya patensi jalan napas pada tingkat nasofaring, orofaring, hypopharynx,
larynx, atau trakea, yang disebabkan adanya resistensi yang berlebihan pada input
atau output jalan nafas. Kondisi ini bermanifestasi dengan ketidakmampuan untuk
menggerakkan gas masuk dalam paru-paru meski memiliki tekanan yang cukup
memadai.
Lima kriteria independen untuk memprediksi kesulitan ventilasi sungkup, yaitu usia>
55 tahun, indeks massa tubuh > 26 kg / m2, kurangnya gigi pasien , adanya kumis
atau jenggot, dan riwayat mendengkur. Dengan adanya dua faktor risiko tersebut
mengindikasikan kemungkinan kesulitan ventilasi sungkup yang tinggi. Penting untuk
mengingat faktor-faktor risiko ini, karena beberapa di antaranya dapat dicegah.
Sebagai dengan mencukur janggut pasien, meninggalkan gigi palsu sebelum memulai
dan melakukan pemeriksaan dan merawat riwayat obstruktif sleep apneu yang
mungkin terjadi.9
Menurut Murphy and Walls’s Manual of Emergency Airway Management 3rd edition
(Lippincott Williams terdapat lima indikator sulit ventilasi bag-mask yang dengan
menggunakan mnemonik MOANS, sebagai berikut10 :
12
M : Mask Seal ( membutuhkan anatomi wajah yang normal, tidak ada rambut pada
wajah, sekret, darah, mutahan, fraktur, micrognatia, ukuran sungkup yang sesuai dan
kemampuan ahli anestesi untuk menggunakan secara benar membuat segel antara
hidung dan wajah)
A : Age ( usia diatas 55 tahun akan menurukan elastisitas dari jaringan, menurunkan
tonus otot jalan nafas atas dan meningkatkan insiden restriktiv atau obstruktif pada
paru sehingga menimbulkan sulit untuk diventilasi
Tampak pada daerah wajah seperti janggut, air liur, darah, patologis anatomis
anatomi wajah seperti fraktur wajah dan retrognathia dapat menimbulkan
kesulitan sulit ventilasi yang penting. Tipe dan ukuran sungkup yang salah akan
menghasilkan ventilasi yang tidak adekuat. Trauma, luka bakar, pembengkakan,
infeksi, hematoma mulut, lidah, laring, faring, trakea atau leher bisa
menyebabkan ventilasi sungkup yang buruk. Keadaan sepetri penurunan
pengembangan paru, misalnya fibrosis paru, edema atau bronkospasme juga
dapat mengganggu dari ventilasi pasien yang berat. Mendengkur telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko yang signifikan untuk sulit dilakukan
ventilasi.
Tanda-tanda ventilasi yang tidak memadai meliputi gerakan dada yang tidak ada atau
tidak memadai, tidak ada atau tidak adekuat suara nafas / vesikular, dengan auskultasi
terdengar obstruksi yang berat, sianosis, masuknya cairan lambung , penurunan atau
13
saturasi oksigen yang tidak adekuat (SpO2), tidak ada atau tidak meningkatnya
karbondioksida, tidak ada atau tidak adekuatnya dari aliran gas yang dihembuskan
dari pengukuran spirometrik, dan perubahan hemodinamik yang terkait dengan
hipoksemia atau hipercarbia, misalnya, hipertensi, takikardia dan aritmia
Penelitian sebagian besar melaporkan kesulitan pada alat supraglotic berfokus pada
LMA. LMA telah terbukti memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dan tingkat
komplikasi yang rendah. LMA juga telah terbukti menjadi penolong yang berguna
dalam kasus gagal ventilasi, intubasi dan pada pasien obesitas. Definisi sulit ventilasi
LMA adalah sebagai ketidakmampuan untuk menempatkan LMA sebanyak 3x
percobaan pada posisi yang memuaskan untuk memungkinkan ventilasi dan patensi
jalan napas yang memadai sehinga membutuhkan beberapa kali percobaan untuk
keberhasilan pemasangan dengan atau tanpa patologi trakea sebelumnya. Ventilasi
klinis yang adekuat didefinisikan lebih besar dari 7ml/kgbb dengan kebocoran
tekanan tidak lebih dari 15-20cm tekanan H2O. LMA tidak dapat menghasilkan
tekanan jalan nafas diatas 25 mmg sehingga tidak dapat digunakan pada pasien
dengan gangguan pengembangan paru.5
Ahli anestesi harus menilai kesesuaian dan kemungkinan keberhasilan perangkat jalan
napas supraglottik pada pasien, tidak hanya dipertimbangkan sebagai perangkat alat
jalan nafas pilihan, namun mungkin mampu menjadi perangkat untuk tatalaksana
penyelamatan dalam memberikan oksigenasi jika terjadi kegagalan ventilasi sungkup
dan intubasi endotrakeal. Insiden penyisipan LMA yang sulit telah dilaporkan antara
0,16 persen dan 0,9 persen.11
Faktor risiko kegagalan LMA telah diidentifikasi sebagai: usia lanjut, Indeks massa
tubuh meningkat (BMI), jenis kelamin laki-laki, berkurangnya jarak thyromental
distance (TMD), leher besar (lingkar leher), gigi kurang, merokok dan rotasi pada
meja bedah. Kegagalan LMA, meski jarang terjadi, bukan tanpa konsekuensi yang
berarti. Ramachandran dan rekan mengidentifikasi 170 kejadian kegagalan LMA pada
15.795 pasien menghasilkan sekitar 1,1 persen. Dari jumlah tersebut, ada 106 (60
persen) episode hipoksia yang signifikan, hiperkapni atau obstruksi jalan nafas,
sementara 42 persen melaporkan adanya ventilasi yang tidak memadai karena adanya
kebocoran. Meningkatnya resistensi faring, penyempitan saluran napas bagian atas,
14
penyumbatan dan OSA mungkin bertanggung jawab atas meningkatnya kejadian
ventilasi sungkup yang sulit dan gagal penyisipan LMA pada pasien.12
Menurut Murphy and Walls’s Manual of Emergency Airway Management 3rd edition
(Lippincott Williams terdapat empat indikator sulit penyisipan alat supraglotik dengan
menggunakan mnemonik RODS, sebagai berikut10 :
ASA mendefinisikan sulit intubasi sebagai intubasi yang membutuhkan lebih dari tiga
kali percobaan atau membutuhkan waktu lebih dari 10 menit untuk
menyelesaikannya. Sulit laringoskopi dapat digambarkan adanya kesulitan untuk
memvisualisasikan gambaran laring dan glotis yang sesuai untuk memungkinkan
dilakukannya intubasi. Penyebab saat laringoskopi langsung dapat berupa karena
adanya distorsi atau penyempitan pada laring atau trakea.5
Insiden tersebut dilaporkan 1,8 persen pada 18.205 pasien dan 1,9 persen pada 3325
pasien. Australian Critical Incident Monitoring Study (AIMS) mengidentifikasi empat
variabel yang terkait dengan intubasi yang sulit: terbatasnya pembukaan mulut,
obesitas, keterbatasan leher dan kurangnya pelaku anestesi yang terlatih. Insiden dari
15
gagal intubasi sekitar 8 kali lebih besar pada pasien kebidanan dan 13 kali lebih besar
peningkatan resiko kematian.13
Mnemonik lain yang dapat membantu dalam evaluasi jalan nafas berasal dari Murphy
dan Walls. LEMON adalah Panduan yang dapat digunakan ditempat tidur pasien
dalam memprediksi sulit intubasi. Sistem penilaian sederhana ini telah dirancang oleh
pelatihan US National emergency airway management negara Amerika Serikatk dan
ditujukan untuk digunakan di ruang gawat darurat. Skor dengan maksimal 10 poin
dihitung dengan menetapkan 1 poin untuk masing-masing kriteria LEMON, sebagai
berikut : 14
-
-
- L = look externarly
Lihatlah secara eksternal (trauma wajah, gigi seri besar, janggutatau
kumis, lidah besar
- E = Evaluasi 3-3-2
Pemeriksaan dimana jarak antara gigi seri minimal dengan tiga jari
Luasnya, jarak hyoid-mental tiga jari dan jaraktiroid-hyoid 2 jari
- M = Mallampati (skor Mallampati> 3).
16
- O = Obstruksi (adanya kondisi apapun seperti epiglotitis, abses
peritonsillar, trauma).
- N = Mobilitas leher (mobilitas leher terbatas)
17
Bukaan mulut >4cm 0
4cm 1
<4cm 2
TMD >6cm 0
6-6.5cm 1
<6cm 2
Mallampati 1 0
2 1
3 2
80-90 degrees 1
<80 degrees 2
No 1
90-110kg 1
>110kg 2
Definite 2
Ada
beberapa skenario yang menjelaskan beberapa ketidaksesuaian antara laringoskopi
yang sulit dengan intubasi yang sulit. Pertama, beberapa pasien dengan pandangan
kelas 3 tetap dapat diintubasi pada pecobaan pertama dan berikutnya jika ujung distal
selang endotrakea dilengkungkan dengan benar oleh stylet yang mudah ditekuk
membentuk bentuk hockey-stick. Kedua, pandangan laringoskopi kelas 3 telah
banyak digambarkan karena melihat soft palatum dan puncak dari epiglotis, namun
dapat tetap diintubasi dengan penyesuaian seperti manipulasi laring dari eksternal
18
secara optimal. Ketiga, pandangan kelas 3 dengan pisau melengkung yang
ditempatkan di vallecula dapat merubah pandangan menjadi kelas 1 atau 2 atau jika
menggunakan blade yang lurus bila ditempatkan di posterior epiglotis dan kemudian
diangkat ke anterior.16
19
2.3 Tatalaksana Jalan Nafas
Terdapat bukti yang kuat bahwa kesuksesan pengelolaan jalan napas perioperatif
bergantung pada strategi spesifik. Kesulitan jalan nafas dapat menimbulkan
manifestasi komplikasi, mencakup mulai dari trauma jalan nafas, kerusakan gigi,
trakeostomi yang tidak diperlukan, cedera otak, henti nafas/jantung hingga kematian.
Ahli anestesi tidak boleh melanjutkan dengan teknik yang sama bila sebelumnya tidak
berhasil.18
- bila dilakukan oleh ahli anestesi yang mempunyai pengalaman kurang lebih 3
tahun lamanya.
20
- Kepala pasien ditempatkan pada sniffing potition optimal yang dapat dilakukan
dengan manuver head-tilt, chin-lift atau jaw thrust sehingga dapat meningkatkan
patensi jalan nafas saat ventilasi.
- Metode lain yang dapat digunakan melalui pemasangan nasopharyngeal atau
oropharyngeal airway. Alat tersebut dapat membuat celah untuk aliran udara
diantara jaringan lunak saluran nafas atas, mempertahankan dan meningkatkan
volume tidal.
- Jika ventilasi masih kurang adekuat, praktisi dapat memilih ukuran masker yang
berbeda, menggunakan teknik dua tangan atau dua orang, atau menggunakan
metode lain untuk menutup celah antara wajah dengan sungkup.
- Bila diperlukan dua orang, idealnya pelaku anestesi utama berdiri di kepala
pasien dan memulai jaw thrust dengan tangan kiri pada sudut mandibula kiri dan
sisi kiri sungkup, sementara tangan kanan memberikan kompresi pada kantung
reservoir. Penolong berdiri di sisi pasien pada tingkat bahu pasien, menghadap
anestesi utama, dengan tangan kanan menutupi tangan kiri anestesi utama dan
berkontribusi dengan jaw thust sisi kiri dan sungkup, kemudian tangan kiri
penolong memulai jaw thrust sisi kanan serta masker.
Dengan ini penolong melakukan upaya tanpa saling mengganggu. Serta dapat
mengawasi monitor secara terus menerus, memanipulasi laring secara eksternal, dan
dapat membantu memberikan kebutuhan peralatan dan opada anestesi utama. 19-20
Untuk setiap usaha tambahan percobaan, pertimbangkan modifikasi, seperti posisi
21
yang diperbaiki, teknik baru, atau meminta pertolongan keterlibatan ahli anestesi lain
yang jauh lebih berpengalaman.
Perlu diingat percobaan harus dibatasi dan pilihan berikutnya yang dapat
dipertimbangkan setelahnya :
(3) melakukan pengelolaan jalan napas secara bedah seperti tracheostomi atau
cricothyrotomi bila diperlukan
Namun LMA dan Combitube adalah alat ventilasi supraglotik, sehingga tidak
membantu jika terjadi penyumbatan jalan nafas terletak di glotis atau subglotis seperti
spasme, udema, tumor ataupun abses. Jika ada rintangan yang diduga ada di daerah
glotis atau subglotis, mekanisme ventilasi misalnya seperti ETT, TTJV, kaku ventilasi
bronkoskop, jalan napas bedah harus diposisikan di bawah tingkat lesi. Kemudian bila
dalam beberapa kasus, misal torakotomi, kasus kepala-leher , atau di mana pasien
22
berada dalam posisi tengkurap, jalan nafas pasien harus diamankan dengan
pembedahan atau invasif.
Benumof mendefinisikan usaha terbaik laringoskopi yang optimal bisa dilakukan bila
dikerjakan oleh praktisi yang cukup terampil dan berpengalaman minimal 3 tahun,
menggunakan tipe dan panjang blade laringoskop yang sesuai, posisi "sniffing
position” yang optimal,traksi laringoskop ade kuat, serta juga penggunaan manipulasi
laring eksternal atau BURP ( backward upward rightward presure). Manuver ini
menerapkan tekanan eksternal di atas kartilago hyoid, tiroid, dan krikoid dengan
tangan kanan. Titik tekanan tersebut dapat memperbaiki pandangan laring dalam
hitungan detik. Setelah menemukan posisi yang memberi pandangan terbaik, ahli
anestesi harus meminta asistennya dengan hati-hati menekan tempat yang sama.
Manipulasi laringeal yang optimal oleh asisten harus diarahkan oleh pelaku
laringoskopi, meskipun asistennya terlatih sepenuhnya. Bila dihadapkan pada intubasi
sulit yang tak terduga, perlu dipastikan bahwa kondisi dan tehnik laringoskopi seperti
di atas sudah optimal dilakukan. Misalnya, penerapan tekanan laring eksternal dapat
23
mengurangi kejadian pada kelas 3 dari 9% menjadi antara 5,4% dan 1,3%. Saat usaha
laringoskopi dan intubasi dilakukan secara optimal,namun kegagalan terjadi dua kali,
rencana alternatif harus dipertimbangkan sebagai langkah berikutnya untuk
menghindari komplikasi lebih lanjut.26
Jika intubasi sulit telah diprediksikan, maka tehnik intubasi endotrakeal terjaga dapat
menjadi pilihan yang lebih aman bagi pasien. Intubasi terjaga pada umumnya lebih
menyita waktu bagi ahli anestesi dan pengalaman lebih tidak menyenangkan bagi
pasien.
Tehnik ini dapat diindikasikan karena tiga alasan, yaitu : (1) patensi jalan napas alami
lebih baik terpelihara pada kebanyakan pasien saat mereka terjaga (2) Visualisasi
struktur saluran napas bagian atas lebih mudah diidentifikasi pada pasien yang terjaga
(tonus otot tetap dipertahankan untuk menjaga dasar lidah, vallecula, epiglotis, laring,
oesofagus dan dinding faring posterior yang terpisah satu sama lain dan (3) laring
bergerak ke posisi yang lebih anterior karena induksi anestesi dan paralisis, yang
membuat intubasi konvensional lebih sulit. Teknik intubasi terjaga dapat bekerja
dengan baik pada pasien yang kooperatif dan pada laring yang tidak reaktif terhadap
rangsangan fisik. 27-28
Strategi yang direncanakan sebelum induksi terdiri dari berbagai macam intervensi
yang ditujukan untuk pengelolaan intubasi bila sulit jalan nafas terjadi. Strategi
bergantung pada prosedur pembedahan, kondisi pasien, kemampuan dan pengalaman
ahli anestesi. Studi observasional menunjukkan bahwa intubasi terjaga dengan
bantuan fiberoptik dapat berhasil 88-100% pada pasien sulit jalan nafas. Skenario lain
menggunakan intubasi blind dan perangkat supraglotis pada intubasi terjaga
dilaporkan juga dapat membantu dalam keberhasilan intubasi. Kombinasi keduanya
dapat menjadi alternatif terbaik seperti ILMA dan fiberoptik, karena dilaporkan
terbukti memiliki angka keberhasilan lebih tinggi dibandingkan intubasi fiberoptik
atau SGA biasa pada pasien sulit jalan nafas. 29-30
24
exchanger dapat juga disediakan sebagai alat bantu intubasi karena dilaporkan
memiliki angka keberhasilan intubasi tinggi pada 78-100% pasien sulit jalan nafas.
Komplikasi stylet yang dilaporkan dari pendarahan mukosa ringan dan sakit
tenggorokan, sedangkan komplikasi dari tabung exchanger adalah laserasi paru-paru
dan perforasi lambung. 31-32
Secara umum, persiapan komponen yang tepat untuk intubasi sadar adalah sebagai
berikut :
25
- Anestesi umum dapat diinduksi (masalah mendasar harus
dipertimbangkan sebagai kurangnya kerja sama, dan ventilasi sungkup
harus dipastikan tidak bermasalah).
- Anestesi regional dapat dipertimbangkan (penilaian klinis yang cermat
diperlukan untuk mempertimbangkan risiko dan manfaat)
- Jalan napas bedah dapat dibuat (jika pembedahan sangat penting dan
anestesi umum dianggap tidak tepat sampai intubasi tercapai); Ini
mungkin pilihan terbaik untuk mengamankan jalan napas pada pasien
dengan fraktur/gangguan berat pada laring atau trakea, abses jalan
nafas atas, atau patah tulang rahang bawah rahang bawah.
Jika resiko regurgitasi atau muntah terjadi sewaktu-waktu selama usaha intubasi
endotrakeal pada pasien yang diberi anestesi, 5
26
2.4. Algoritma Pengelolaan Jalan Nafas
27
dan ukuran berbeda, intubasi yang dipandu fiberoptik dan lighted stylet atau light
wands
28
Gambar 8 : Algoritma Jalan Nafas ASA
29
2.4.2 Algoritma Pengelolaan Jalan Nafas Benuomof
o Algoritma Utama
Algoritma ini ditujukan untuk dan terbatas pada operasi elektif di ruang operasi
dan tidak mencakup trauma jalan napas dan intubasi kecelakaan. . Jika kesulitan jalan
nafas telah diprediksi, pertimbangkan apakah operasi dengan anestesi regional dapat
dilakukan atau tidak. Namun terdapat beberapa faktor dari anestesi, pembedahan, dan
pasien yang memungkinkan anestesi regional tidak tepat untuk dilakukan. Jika
anestesi regional dianggap tepat dan berhasil dilakukan, maka operasi bisa
dilanjutkan. Namun, jika regional gagal, maka pilihan teknik pernafasan terjaga atau
induksi inhalasi harus dipertimbangkan.33
30
Pilihan ventilasi spontan yang terjaga dengan yang tertidur tergantung pada
pengalaman ahli anestesi dan tingkat kerja sama pasien. Secara umum, teknik yang
terjaga adalah teknik yang paling aman. Namun, pada beberapa pasien (misalnya,
anak-anak, pasien yang mengalami keterbelakangan mental atau tidak mampu
berkoperatif), teknik terjaga mungkin tidak dapat dilakukan. Selain itu, pada pasien
dengan patologi tulang belakang servikal berisiko mengalami cedera neurologis,
teknik bangun dilakukan secara berhati - hati dan perhatian harus dilakukan untuk
mencegah gerakan servikal.
Gambar 9 . The main algorithm for airway management. BMV, Bag-mask ventilation; GA, general anes-
thesia; RA, regional anesthesia. (Courtesy of Ansgar Brambrink, MD, and Carin Hagberg, MD.)
31
Kegagalan teknik anestesi terjaga biasanya terbagi dalam tiga kategori: sedasi yang
berlebihan, gangguan pandangan pada daerah jalan nafas oleh darah atau sekresi, dan
kesulitan teknis pelaksanaannya. Jika pasien tersedasi terlalu dalam, patensi saluran
pernapasan bisa menjadi masalah. Jika ventilasi optimal sungkup berhasil, maka Jalur
B dapat diikuti. Namun, jika upaya optimal ventilasi sungkup gagal, ahli, harus segera
melanjutkan ke Jalur A. Bila ventilasi dengan sungkup sudah dianggap cukup,
relaksan otot kerja menengah atau kerja panjang dapat diberikan. Jika ventilasi
dengan sungkup diangkap tidak memadai meskipun sudah memiliki posisi dan
penempatan orofaringeal/nasofaringeal yang optimal, maka jalur Pathway A harus
diikuti. Jika laringoskopi berhasil, maka operasi bisa dilanjutkan. Namun, jika
laringoskopi langsung tidak berhasil dan ventilasi memadai, maka jalur Pathway B
harus diikuti secara langsung.33
o Subalgoritma A
Skenario dimana pasien tidak dapat diintubasi dan diventilasi adalah situasi
darurat dimana usaha optimal yang terbaik untuk ventilasi dan intubasi telah gagal.
Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan bila relaksan otot belum diberikan,
sebaiknya menggunakan laringoskop video bila tersedia atau laringoskop
konvensional. Jika intubasi trakea gagal, bantuan harus dipanggil. Keadaan tersebut
memberi peringatan kepada ahli anestesi untuk memilih pengelolaan jalan nafas yang
berbeda dengan pertimbangan adanya kemungkinan penyumbatan jalan nafas, misal
seperti tumor, kelumpuhan pita suara pada atau di bawah pita suara. Jika tidak
didapatkan adanya sumbatan pada atau di bawah pita suara pada pasien, alat jalan
napas supraglottik (SGA) dapat membantu ventilasi. Jika ventilasi tidak adekuat
melalui SGA, maka jalan napas bedah seperti jalur Pathway D harus
dipertimbangkan. Jika SGA dapat memberikan ventilasi yang adekuat, maka jalur C
direkomendasikan. 33
32
o Subalgoritma B
33
Gambar 10. Pathway A: cannot ventilate, cannot Gambar 11 Pathway B: ventilation established through a
intubate. DL, Direct laryngoscopy; ETT, endotracheal tube; subglottic airway, further management options. FOI,
ILMA, intubating laryngeal mask airway; SGA, supraglottic Fiberoptic intubation; SGA, supraglottic airway
airway; VL, video laryngoscopy.
34
o Subalgoritma C
Jalur C mewakili situasi di mana pasien dapat diberikan oksigenasi dan ventilasi
adekuat melalui SGA. Keputusan untuk intubasi selanjutnya tergantung pada
keperluan prosedur operasinya. Bila intubasi endotrakeal tidak dibutuhkan
intraoperatif, penggunaan SGA dapat dilanjutkan, namun bila intubasi endotrakeal
dibutuhkan perioperatif, maka intubasi dapat dilakukan dengan Fiberoptik kombinasi
dengan SGA. Sebagai alternatif, jika ILMA atau CTrach dapat dimasukkan sebagai
SGA, intubasi melalui alat ini dapat dilakukan. Operasi dapat dilanjutkan bila intubasi
berhasil. Bila intubasi tidak memungkinkan dapat dilakukan meskipun sudah
menggunakan kombinasi tersebut, bangunkan pasien untuk intubasi terjaga/sadar atau
tunda operasi berikutnya. 33
o Subalgoritma D
Situasi dimana semua upaya untuk pemberian oksigenasi dan ventilasi pasien
tidak berhasil sehingga pertimbangan pengelolaan jalan napas secara bedah menjadi
sangat penting dan terutama pada pasien berusia di atas 6 tahun karena membran
krikotiroid memiliki celah menuju jalan napas. Namun, jika pasien berusia di bawah 6
tahun, membran belum berkembang dengan baik sehingga tindakan bedah
trakeostomi yang disarankan. 33
o Subalgoritma E
Setelah terbentuk patensi jalan nafas, akan ada saatnya diperlukan ekstubasi.
Telah direkomendasikan strategi pada jalur E untuk ekstubasi pasein dengan kesulitan
jalan nafas. Jika pasien telah memenuhi kriteria ekstubasi, salah satu strategi ekstubasi
yang disebutkan dapat digunakan. Sebuah Tube exchanger dapat ditempatkan dan
ETT dapat dilepaskan, kemudian meninggalkan Tube exchanger di trakea. Jika
parameter ventilasi dan oksigenasi adekuat, maka tube exchanger dapat juga
dlepaskan, dengan catatan tidak ada bukti edema laring atau kesulitan pernafasan. Jika
ventilasi semenit, volume tidal, atau saturasi oksigen tidak memadai, insufflasi pasif
oksigen atau ventilasi jet dapat memperbaiki situasi. Jika perbaikan tidak terjadi,
reintubasi melalui Tube exchanger menggunakan laringoskopi langsung atau
laringoskopi video. Namun, terkadang reintubasi menggunakan tube exchanger
mungkin tidak berhasil karena berbagai alasan (mis., tube exchanger yang tertekuk,
35
ukuran tube exchanger yang salah, pelepasan tube exchanger yang tidak disengaja.
Jika reintubasi tidak berhasil, tube exchanger harus dilepas dan kecukupan ventilasi
harus dipastikan. Jika ventilasi memadai, ahli anestesi dapat mempertahankan patensi
jalan napas kembali melalui rencana Jalur B.. Jika ventilasi tidak memadai, situasi
telah menjadi gawat darurat dan ahli anestesi harus segera mengambil rencana jalur
A. 33
Gambar 12. Pathway C, Pathway D ( Surgical Airway ) dan Pathway E ( Eksubasi Pasien )
36
2.4.3 Algoritma Pengelolaan Jalan Nafas Difficult Airway Society
Pedoman ini memberikan strategi untuk mengelola kesulitan jalan nafas yang
tidak diperkirakan sebelumnya. Panduan ini telah mencangkup kemajuan dalam
pemahaman manajemen krisis dari masalah jalan nafas. Algoritme tunggal yang
disederhanakan sekarang mencakup serangkaian rencana berurutan, yang digunakan
ketika terjadi kesulitan jalan nafas tak terduga seperti intubasi trakea gagal pada
intubasi rutin atau rapid sequence intubation. Perencanaan untuk intubasi gagal serta
keputusan tentang alternatif terbaik untuk mempertahankan oksigenasi harus dibuat
dan didiskusikan dengan asisten anestesi dari saat pra-induksi, khususnya untuk
operasi darurat.34
Gambar 13. Management of unanticipated difficult tracheal intubation in adults. Difficult Airway Society, 2015, by permission of
the Difficult Airway Society.
37
Gambar 14. Failed intubation, failed oxygenation in the paralysed, anaesthetized patient. Technique for scalpel
cricothyroidotomy. Difficult Airway Society, 2015, by permission of the Difficult Airway Society.
38
Panduan dari DAS memberikan serangkaian rencana yang berurutan yang
digunakan ketika intubasi trakea gagal dan dirancang. Teknik blind menggunakan
bougie atau melalui perangkat jalan nafas supraglotis telah digantikan oleh intubasi
terpandu dengan video atau serat optik. Jika intubasi trakea gagal, perangkat jalan
nafas supraglotis direkomendasikan untuk menyediakan rute oksigenasi sementara,
saat mempertimbangkan dan evaluasi ulang pilihan alternatif berikutnya yang
direkomendasikan untuk tersedianya patensi jalan nafas.34
Ketika intubasi trakea dan supraclotik perangkat jalan napas insersi gagal,
membangunkan pasien adalah opsi pilihan dasar utama. Jika pada tahap ini,
oksigenasi dengan ventilasi sungkup tidak mungkin dilakukan dan telah mendapatkan
relaksasi otot, maka cricothyroidotomy harus segera dipertimbanglan. Skalpel
cricothyroidotomy direkomendasikan sebagai teknik penyelamatan yang disukai dan
harus dilakukan oleh semua ahli anestesi. Rencana tatalaksanadari panduan dirancang
agar sederhana dan mudah diikuti, serta memerlukan pelatihan secara teratur dan
akrab dengan seluruh tim.35
39
Rencana A. Ventilasi sungkup dan intubasi trakea
Blok neuromuskular dapat menjadi pilihan bila ingin digunakan untuk fasilitasi
ventilasi sungkup atau intubasi trakea untuk mencegah reflek laring. Setiap upaya
berulang pada intubasi trakea dapat mengurangi kemungkinan peluang penyelamatan
saluran napas yang efektif dengan alat supraglotik.. Panduan ini merekomendasikan
maksimum tiga percobaan intubasi dan upaya keempat oleh rekan yang lebih
berpengalaman masih dapat dipertimbangkan. Jika tidak berhasil, harus dinyatakan
dan pilihan rencana B dilaksanakan.38
Key Features
40
Rencana B. Mempertahankan oksigenasi dengan alat supraglotis
Jika oksigenasi melalui Supraglotik tidak dapat dicapai setelah upaya maksimal dari
tiga percobaan, maka direkomendasi rencana C harus dilaksanakan. Upaya berulang
untuk memasukkan SAD meningkatkan kemungkinan trauma saluran napas,
menurunkan keberhasilan SAD serta dapat menunda keputusan untuk menerima
kegagalan dan terlambat untuk beralih ke teknik alternatif lain mempertahankan
oksigenasi.40
Key Features
41
Ventilasi sungkup mungkin mudah awalnya dilakukan, namun situasinya mungkin
dapat berisko berubah jika upaya rencana A dan B telah dilakukan, karena beresiko
menimbulkannya trauma jalan nafas. Ventilasi bisa saja tetap mudah, sulit atau
menjadi tidak mungkin bisa untuk dilakukan..
Jika ventilasi sungkup wajah menghasilkan oksigenasi yang adekuat, maka pasien
harus dibangunkan dalam semua keadaan kecuali yang luar biasa, dan ini akan
membutuhkan antagonisme penuh blok neuromuskular. Jika tidak mungkin
mempertahankan oksigenasi menggunakan sungkup wajah, mempertimbangkan
langkah selanjutnya sebelum hipoksia kritis berkembang, beralih pada penyelamatan
jalan nafas melalu rencana D. 39
Key Features
42
Rencana D: Krikotiroidektomi
Situasi tidak bisa diintubasi dan diventilasi muncul ketika upaya untuk mengelola
jalan napas melalui intubasi trakea, ventilasi masker wajah, dan SAD telah gagal.
Komplikasi kerusakan otak dan kematian hipoksia akan terjadi jika situasinya tidak
cepat terselesaikan.
Key Features
43
Ekstubasi Pasien dengan Sulit jalan nafas harus dinilai dan dilakukan dengan
hati-hati. Ahli anestesi harus mengembangkan strategi untuk ekstubasi yang aman
pasien, tergantung pada jenis operasi, kondisi pasien, keterampilan dan preferensi ahli
anestesi masing - masing. Pertimbangan tambahan meliputi: pertimbangan manfaat
dan resiko ekstubasi sadar atau ekstubasi sebelum sadar, apakah terdapat gejala klinis
yang berpotensi mengganggu ventilasi (misalnya pertukaran gas abnormal, edema
jalan nafas, kemampuan pasien untuk membersihkan sekret, fungsi neuromuskular
yang sudah kembali adekuat) persiapam pengelolaan jalan nafas jika pasien tidak
mampu menjaga ventilasi yang memadai, penggunaan tube exchanger atau jet stylet
secara jangka pendek untuk ventilasi dan panduan reintubasi. Peralatan yang harus
segera tersedia untuk ekstubasi sulit jalan nafas adalah semua yang diperlukan untuk
intubasi keadaan sulit jalan nafas. 5
• O2 saturation • PaO2 ≥ 60 mm Hg
Protective reflexes returned • PaCO2 < 50 mm Hg
• Gag Respiratory mechanics adequate
• FOB evaluation
BAB III
PENUTUP
44
Sulit jalan nafas merupakan suatu proses interaksi komplek antara faktor
pasien, situasi klinis dan kemampuan ahli anestesi. Pemahaman yang baik tentang
evaluasi dan tatalaksana jalan nafas yang tepat diperlukan dalam mempertahankan
tindakan anestesi yang aman antara dokter dan pasien. Kegagalan dalam
mengidentifikasi dan mengatasi kesulitan jalan nafas berpotensi menimbulkan cedera,
komplikasi yang berat hingga kematian.. Ahli anestesi harus memiliki rencana strategi
terencana dan sistematis dalam tatalaksana pasien dengan sulit jalan nafas. Tidak ada
anestesi yang aman tanpa melakukan usaha keras memelihara jalan nafas yang lapang
sehingga ventilasi berjalan dengan lancar serta teratur.
DAFTAR PUSTAKA
45
1. Isaacs RS, Sykes JM: Anatomy and physiology of the upper airway.
Anesthesiol Clin North Am 20:733–745, 2002.
2. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006.
3. Guyton AC and Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Elsevier Inc, Philadelphia.
4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th ed. Philadelphia,Lea & Febiger. 1993
5. Practice guidelines for the management of the difficult airway: A report by the
American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the
Difficult Airway. Anesthesiology 2003
6. Langeron O, Masso E, Huraux C, et al: Prediction of difficult mask
ventilation. Anesthesiology 92:1229–1236, 2000.
7. Kheterpal S, Han R, Tremper KK, et al: Incidence and predictors of difficult
and impossible mask ventilation. Anesthesiology 105:885–891, 2006.
8. Han R, Tremper KK, Kheterpal S, O’Reilly M: Grading scale for mask
ventilation. Anesthesiology 101:267, 2004.
9. Langeron O, Masoo E, Huraux C, et al: Prediction of difficult mask
ventilation. Anesthesiology 92:1229–1236, 2000.
10. The airway management algorithms cited in this review are reproduced with
permission from: The Difficult Airway Course™: Emergency, and Walls RM,
Murphy MF. Manual of Emergency Airway Management, Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia 2008, and 4th ed, 2012.
11. Brimacombe JR: Laryngeal mask anesthesia: Principle and practice, ed 2,
Philadelphia, 2005, Saunders.
12. Ramachandran SK, et al. Predictors and clinical outcomes from failed
laryngeal mask airway unique: a study of 15,795 patients. Anesthesiology,
2012. 116(6): pp. 1217-26.
13. Williamson JA, et al. The Australian Incident Monitoring Study. Difficult
intubation: an analysis of 2000 incident reports. Anaesth Intensive Care, 1993.
21(5): pp. 602-7.
46
14. Reed MJ, Dunn MJ, and McKeown DW. Can an airway assessment score
predict difficulty at intubation in the emergency department? Emerg Med J,
2005. 22(2): pp. 99-102.
15. Caldiroli D, and Cortellazzi P. A new difficult airway management algorithm
based upon the El-Ganzouri Risk Index and GlideScope(R)
videolaryngoscope: a new look for intubation, Minerva Anestesiol, 2011.
77(10): pp. 1011-7.
16. Arino JJ, Velasco JM, Gasco C, Lopez-Timoneda F: Straight blades improve
visualization of the larynx while curved blades increase ease of intubation: A
comparison of the Macintosh, Miller, McCoy, Belscope and Lee-Fiberview
blades. Can J Anaesth 50:501–506, 2003.
17. Hawthorne L, et al. Failed intubation revisited: 17-yr experience in a teaching
maternity unit.Br J Anaesth, 1996. 76(5): pp. 680-4.
18. Salem R, Baraka A: Confirmation of tracheal intubation. In Hagberg CA,
editor: Airway management: Principles and practice, ed 2, Philadelphia, 2007,
Mosby
19. Practice Guidelines for the Management of the Difficult Airway: An updated
report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on the
Management of the Difficult Airway. Anesthesiology 98:1269–1277, 2003.
20. Benumof JL: Difficult laryngoscopy: Obtaining the best view. Can J Anaesth
41:361–365, 1994.
21. Kihara S, Watanabe S, Brimacombe J, Taguchi N, Yaguchi Y, Yamasaki Y:
Segmental cervical spine movement with the intubating laryngeal mask during
manual in-line stabilization in patients with cervical pathology undergoing
cervical spine surgery. Anesth Analg 2000; 91:195–200
22. Mark L, Foley L, Michelson J: Effective dissemination of critical airway
information: The Medical Alert National Difficult Airway/Intubation Registry.
In Hagberg CA, editor: Airway management: Principles and practice, ed 2,
Philadelphia, 2007, Mosby.
23. Allen JG, Flower EA: The Brain laryngeal mask. An alternative to difficult
intubation. Br Dent J 1990; 168:202–4
24. Hawthorne L, et al. Failed intubation revisited: 17-yr experience in a teaching
maternity unit.Br J Anaesth, 1996. 76(5): pp. 680-4.
47
25. Kheterpal S, Martin L, Shanks AM, Tremper KK: Prediction and outcomes of
impossible mask ventilation: A review of 50,000 anesthetics. Anesthesiology
110:891–897, 2009
26. Benumof JL. Intubation difficulty scale: anticipated best use. Anesthesiology,
1997. 87(6):pp. 1273-4.
27. Fink RB: Respiration, the human larynx: A functional study, New York, 1975,
Raven Press.
28. Benumof JL: Management of the difficult airway: With special emphasis on
awake tracheal intubation. Anesthesiology 75:1087–1110, 1991.
29. Dimitriou VK, Zogogiannis ID, Liotiri DG: Awake tracheal intubation using
the Airtraq laryngoscope: A case series. Acta Anaesthesiol Scand 2009;
53:964–7
30. Wong JK, Tongier WK, Armbruster SC, White PF: Use of the intubating
laryngeal mask airway to facilitate awake orotracheal intubation in patients
with cervical spine disorders. J Clin Anesth 1999; 11:346–8
31. Enomoto Y, Asai T, Arai T, Kamishima K, Okuda Y: Pentax- AWS, a new
videolaryngoscope, is more effective than the Macintosh laryngoscope for
tracheal intubation in patients with restricted neck movements: A randomized
comparative study. Br J Anaesth 2008; 100:544–8
32. Kidd JF, Dyson A, Latto IP: Successful difficult intubation. Use of the gum
elastic bougie. Anaesthesia 1988; 43:4378
33. Ansgar M, BraMBrinK, Carin A. HagBerg : The ASA Difficult Airway
Algorithm. Analysis and presentation of a new algorithm - Benumof and
hagberg’s Airway management Third edition, chapter 10, pp. 222-239, 2013.
34. Black AE, Flynn PER, Smith HL, Thomas ML, Wilkinson KA. Development
of a guideline for the management of the unanticipated difficult airway in
pediatric practice. Paediatr Anaesth 2015; 25: 346–62
35. .Mushambi MC, Kinsella SM, Popat M, et al. Obstetric
Anaesthetists’Association and Difficult Airway Society guidelines for the
management of difficult and failed tracheal intubation in obstetrics.
Anaesthesia 2015; 70: 1286–1306
36. PopatM, Mitchell V, Dravid R, Patel A, Swampillai C, Higgs A. Difficult
Airway Society Guidelines for the management of tracheal extubation.
Anaesthesia 2012; 67: 318–40
48
37. 37. Connelly NR, Ghandour K, Robbins L, Dunn S, Gibson C. Management of
unexpected difficult airway at a teaching institution over a 7-year period. J
Clin Anesth 2006; 18: 198–204
38. Sakles JC, Chiu S, Mosier J,Walker C, Stolz U. The importance of first pass
success when performing orotracheal intubation in theemergency department.
Acad Emerg Med 2013;
39. 39. Ramachandran SK, Mathis MR, Tremper KK, Shanks AM, Kheterpal S.
Predictors and clinical outcomes from failed Laryngeal Mask Airway
UniqueTM: a study of 15,795 patients. Anesthesiology 2012; 116: 1217–26
40. Saito T, LiuW, ChewSTH, Ti LK. Incidence of and risk factors for difficult
ventilation via a supraglottic airway device in a population of 14 480 patients
from South-East Asia. Anaesthesia 2015; 70: 1079–83
49