Airway Management
Oleh:
Aditya Wira Pradana
18710089
Pembimbing:
dr. Bambang Soekotjo, MS.C, Sp.An
1
HALAMAN PENGESAHAN
AIRWAY MANAGAMENT
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini sesuai dengan harapan dan tepat
pada waktunya.
Tugas referat ini disusun untuk memenuhi syarat penilaian menurut kurikulum
pendidikan profesi di rumah sakit. Dalam penyusunan tugas ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan, sehingga
tugas ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. dr. Bambang Soekotjo, MS.C, Sp.An selaku pembimbing, atas bimbingannya kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini.
2. Orang tua kami yang memberikan dukungan moral dan spiritual kepada penulis.
3. Teman – teman sejawat dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
RSUD dr. Mohammad Saleh Kota Probolinggo khususnya kelompok dokter muda E yang
telah memberikan masukan–masukan membangun.
Penulis menyadari akan segala keterbatasan kemampuan baik di bidang pengalaman
maupun sumber-sumber yang mendukung dalam hal menyusun tugas ini. Untuk itu penulis
memohon maaf atas kekurangan dan penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan
tugas ini. Untuk itu penulis ucapkan terimakasih. Penulis berharap semoga referat ini dapat
berguna bagi semua yang memanfaatkannya.
Penulis
BAB I
3
PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas tetap terbuka. Hal ini menjadi
salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-
obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk
berjalan dengan baik.
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata
oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode
pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga
kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas
yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi
trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian
dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah
sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal(Guyton, 2007 dan Abhgie, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
I. Airway Management
I.1 Definisi
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 5-1). Faring
berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak
menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka
ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring
(pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi
mengarah ke posterior.
5
Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan
menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka
kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago
(gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan
kuneiforme (Morgan, 2006).
6
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 5-
3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi
ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian
posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat
serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan
superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual
(cabang dari saraf divisi mandibula [V3] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal
(saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior
dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf
glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga
mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf
vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf
laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf
laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang
bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang
lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan
trakhea (Morgan, 2006).
7
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf
laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh
saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita
suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama (Morgan,2006).
9
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya dilakukan Jaw
Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.
Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga
mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) dan
hembusan napas hilang.
1. Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan
napas mulut-faring lewat mulut dengan Oropharyngeal airway atau jalan napas
hidung-faring lewat hidung denganNasopharyngeal airway.
Nasopharyngeal airway (NPA) : berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat
dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan menghindari
trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly.
11
Oropharyngeal airway (OPA) : Berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C
berlubang ditengahnya dengna salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding
lebih keras untuk mencegah kalau pasien menggigit, lubang tetap paten, sehingga
aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup
laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan (Latief, 2009).
2. Face mask
Fase mask (sungkup muka) yaitu untuk mengantar udara/gas anestesi dari
alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuk sungkup muka
sangat beragam bergantung usia dan pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru
lahir, ukuran 02,01,1 untuk anak kecil, ukuran 2 dan 3 untuk anak besar dan
ukuran 4 dan 5 untuk dewasa (Latief,2009).
3. Laringeal mask airway
Laringeal mask airway (sungkup laring) adalah alat jalan napas berbentuk
sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea.
Dikenal dua macam sungkup laring :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus (Latief, 2009).
12
tahun hampir bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak
digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff supaya tidak bocor.
Endotracheal tube dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung ( nasotracheal tube) (Latief, 2009).
5. Laringoskop dan Intubasi
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara
langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik dan benar,
sedangkan Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea melalui
mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk menjaga jalan napas
(Latief, 2009).
6. Intubasi
Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko
untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala
dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk
prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,
perbaikan hernia inguinal dan lain lain
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat
mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam
kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam
orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas
lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan
pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,
pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan
15
hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan
blok saraf dapat digunakan.
TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan
dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh
dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung
proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur
dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, dengan laringoskop, digunakan
untuk adduksi pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada
trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju
pita suara mungkin difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-
hati agar tidak merusakkan balon (Morgan, 2006).
16
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka dilakukan
penghisapan (suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu
pengisap (penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber listrik).
Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien tidak sadar dan
terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin diambil dengan
sapuan jari, maka digunakan alat bantuan berupa laringoskop, alat penghisap (suction)
dan alat penjepit (forceps) (Morgan, 2006).
2.1 Definisi
17
Kesulitan untuk melihat bagianpita suara, setelah dicoba beberapa kali
dengan laringoskop sederhana.
3. Kesulitan intubasi trakea
Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang
terakhir lebih dari 10 menit
4. Kegagalan intubasi
18
Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.
Kongenital
Sindroma Treacher Collins Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula,
(dysostosis mandibulofacial) mikrostomia, atresia choane
Sindroma Goldenhar’s (okulo- Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula;
aurikula-vertebral) oksipitalisasi tulang atlas
Sindrom Meckel
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE)
1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring
5. Edentulous (Mangku, 2009).
22
fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan
istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan
combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai
ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki
lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi
tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi
pasien dengan jalan nafas yang sulit (Morgan, 2006).
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir
bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor
berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang
dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi
pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring.
Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian
yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah
dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter
oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon,
distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi
mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika
LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih
tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya
lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon
merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan
penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik
(FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon
digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester
seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak
terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada
tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya
23
ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA
yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas
latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran (Morgan, 2006).
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia
hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas)
yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.
Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau
resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan
bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA
dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan
TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi,
LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan
mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-
99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik,
bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm)
(Morgan, 2006).
3. Laringoskop
24
Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan
diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk
lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi
pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi,
klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.
Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular joint, atau dengan
kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi
langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan
atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel mungkin visualisasi tidak
langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana
25
direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB yang dibuat dari fiberglass
ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan
cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang
berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi
10.000 – 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya
( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang
memberikan gambaran resolusi tinggi (Morgan, 2006).
26
Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada penanganan dasar:
• Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
• Kesulitan ventilasi sungkup
• Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
• Kesulitan laringoskopi
• Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas (ASA, 2013).
27
BAB III
KESIMPULAN
Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka. Tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan.
Dampak dari kegagalan jalan nafas dapat menyebabkan kerusakan otak bahkan
mencapai kematian, karena itu penilaian secara dini terhadap adanya obstruksi jalan nafas
dengan penilaian keadaan pasien secara baik.
28
DAFTAR PUSTAKA
29