Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

Airway Management

Oleh:
Aditya Wira Pradana
18710089

Pembimbing:
dr. Bambang Soekotjo, MS.C, Sp.An

SMF ILMU BEDAH BAGIAN ANAESTESI


RSUD Dr. MOHAMMAD SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN
AIRWAY MANAGAMENT

Telah disetujui dan disahkan pada:


Hari :
Tanggal :
Sebagai syarat kepaniteraan klinik SMF Ilmu Bedah RSUD dr. Mohammad Saleh Kota
Probolinggo Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Bambang Soekotjo, MS.C, Sp.An

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini sesuai dengan harapan dan tepat
pada waktunya.
Tugas referat ini disusun untuk memenuhi syarat penilaian menurut kurikulum
pendidikan profesi di rumah sakit. Dalam penyusunan tugas ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan, sehingga
tugas ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. dr. Bambang Soekotjo, MS.C, Sp.An selaku pembimbing, atas bimbingannya kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini.
2. Orang tua kami yang memberikan dukungan moral dan spiritual kepada penulis.
3. Teman – teman sejawat dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
RSUD dr. Mohammad Saleh Kota Probolinggo khususnya kelompok dokter muda E yang
telah memberikan masukan–masukan membangun.
Penulis menyadari akan segala keterbatasan kemampuan baik di bidang pengalaman
maupun sumber-sumber yang mendukung dalam hal menyusun tugas ini. Untuk itu penulis
memohon maaf atas kekurangan dan penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan
tugas ini. Untuk itu penulis ucapkan terimakasih. Penulis berharap semoga referat ini dapat
berguna bagi semua yang memanfaatkannya.

Probolinggo, Januari 2019

Penulis

BAB I

3
PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas adalah memastikan jalan napas tetap terbuka. Hal ini menjadi
salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-
obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk
berjalan dengan baik.

Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata
oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode
pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga
kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas
yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi
trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian
dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah
sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal(Guyton, 2007 dan Abhgie, 2009).

Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi


sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari
deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Tulisan ini
akan membahas tentang pengelolaan jalan nafas (airway management) dan kesulitan dalam jalan
napas (difficult airway) dan penanganannya .

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

4
I. Airway Management
I.1 Definisi

Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka.


Tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera
melapangkang saluran pernapasan. yaitu dengan cara Triple airway
maneuver.

Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:

1. Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher,


sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan
dan kepala ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang lain
2. Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obtruksi
hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan
antara larings dan rahang bawah.
3. Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx posterior.

1.2 Anatomi Jalan Napas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 5-1). Faring
berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak
menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka
ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring
(pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi
mengarah ke posterior.

5
Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan
menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka
kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago
(gambar 5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan
kuneiforme (Morgan, 2006).

6
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 5-
3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi
ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian
posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat
serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan
superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual
(cabang dari saraf divisi mandibula [V3] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal
(saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior
dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf
glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga
mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf
vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf
laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf
laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang
bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang
lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan
trakhea (Morgan, 2006).

7
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf
laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh
saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita
suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama (Morgan,2006).

1.3 Indikasi Bantuan Jalan Napas

1. Obstruksi jalan napas


2. Sumbatan di atas laring
3. Lidah yang jatuh ke hipofaring:
4. Pasien tidak sadar atau dalam keadaan anastesi posisi terlentang. Pada
pasien tidak sadar, tonus otot penyangga lidah menurun sehingga lidah
jatuh ke arah posterior dan menempel pada dinding posterior faring dan
menyebabkan obstruksi jalan nafas baik total atau parsial. Terutama pada
pasien gemuk, leher pendek, lidah besar pada bayi.
5. Benda asing
6. Lendir
7. Bekuan darah
8. Gigi palsu yang terlepas
9. Muntahan
10. Makanan
11. Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas
12. Pembesaran tonsil
13. Polip pada rongga hidung
14. Tumor rongga mulut dan dasar lidah
15. Trauma di daerah muka
16. Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, yang dapat merusak
anatomi regio tersebut sehingga mengganggu pasase udara melalui jalan
napas atas
17. Sumbatan pada laring
18. Benda asing menyumbat rima glottis
19. Reaksi alergi anafilaktik
20. Tumor laring
21. Trauma laring
22. Paralisis pita suara
23. Spasme laring,yaitu karena pita suara menutup sebagian atau seluruhnya.
Keadaan ini biasanya disebabkan oleh anastesi ringan dan mendapat
rangasangan sekitar faring. Terapi yang dapat diberikan :
8
1. Triple Airway Maneuver
1. Ventilasi positif dengan oksigen 10 %
2. Bila tidak perbaikan diberikan pelumpuh otot suksinil 0,5 mg/kg iv,
im deltoid, sublingual 2-4 mg/kg.

24. Sumbatan di bawah laring


25. Tumor mendesak trakea
26. Benda asing bronkus
27. Spasme bronkus’tumor bronkus

1.4 Tanda- tanda obstruksi jalan nafas


1. Stridor (mendengkur)
2. Pernafasan cuping hidung
3. Retraksi trakea
4. Retraksi torak (Latief, 2009).

1.5 Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat

1) Membuka jalan nafas dengan metode :

- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)

- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)

- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)

Gambar 4. Teknik Jaw Thrust

9
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya dilakukan Jaw
Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

2) Membersihkan jalan nafas

- Finger Sweep (sapuan jari)

Gambar 5. Finger Sweep

Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga
mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) dan
hembusan napas hilang.

- Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)

Gambar 6. Abdominal Thrust

- Chest Thrust (Pijatan Dada)


10
Gambar 7. Chest Thrust pada bayi

- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)

Gambar 8. Back Blow pada bayi

6. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat

1. Faringeal airway
Jika manuver triple airway kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan
napas mulut-faring lewat mulut dengan Oropharyngeal airway atau jalan napas
hidung-faring lewat hidung denganNasopharyngeal airway.
Nasopharyngeal airway (NPA) : berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat
dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus hati-hati dan menghindari
trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan jelly.

11
Oropharyngeal airway (OPA) : Berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C
berlubang ditengahnya dengna salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding
lebih keras untuk mencegah kalau pasien menggigit, lubang tetap paten, sehingga
aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup
laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan (Latief, 2009).
2. Face mask
Fase mask (sungkup muka) yaitu untuk mengantar udara/gas anestesi dari
alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuk sungkup muka
sangat beragam bergantung usia dan pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru
lahir, ukuran 02,01,1 untuk anak kecil, ukuran 2 dan 3 untuk anak besar dan
ukuran 4 dan 5 untuk dewasa (Latief,2009).
3. Laringeal mask airway
Laringeal mask airway (sungkup laring) adalah alat jalan napas berbentuk
sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea.
Dikenal dua macam sungkup laring :
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus (Latief, 2009).

Ukuran Usia Berat (kg)

1.0 Neonatus <3


1.3 Bayi 3-10
2.0 Anak Kecil 10-20
2.3 Anak 20-30
3.0 Dewasa kecil 30-40
4.0 Dewasa normal 40-60
5.0 Dewasa besar
>60

Tabel 1. Ukuran LMA


4. Endotracheal tube
Endotracheal tube yaitu mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea
dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang
pipa trakea dalam milimeter. Karena penumpang trakea bayi, anak kecil dan
dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5

12
tahun hampir bulat, sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak
digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff supaya tidak bocor.
Endotracheal tube dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung ( nasotracheal tube) (Latief, 2009).
5. Laringoskop dan Intubasi
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara
langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik dan benar,
sedangkan Intubasi adalah memasukan suatu lubang atau pipa trakea melalui
mulut ataupun hidung menuju trakhea dengan tujuan untuk menjaga jalan napas
(Latief, 2009).

6. Intubasi

Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki resiko
untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala
dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk
prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,
perbaikan hernia inguinal dan lain lain

Indikasi dibagi menjadi :


1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomis, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi (Latief, 2009).

6.1 Persiapan Intubasi


Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi
pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan
menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pilih TT dengan
ukuran yang sesuai. Laringoskop harus diperiksa, blade harus terkunci di atas
handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya
harus tetap walaupun bola lampu bergoyang.
13
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi.
Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis
langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang
(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint
menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari
tulang leher adalah fleksi dengan menempatkan kepala diatas bantal (Morgan,
2006).

6.2 Intubasi Orotrakeal


Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka
lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk
menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade. Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan
ujung blade lurus menutupi epiglotis.Handle diangkat menjauhi pasien secara
tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah
antara gigi dan blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil
dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka
(abduksi). Balon TT harus berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring.
Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon
dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran
selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang
ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang
dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat (Morgan, 2006).
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di intratrakeal. Jika ada keragu-
raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi TT dan
ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat
diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2
dengan capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan letak TT di
14
trakea, kita tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya intubasi bronkial.
Manifestasi dini dari intubasi bronkial adalah peningkatan tekanan respirasi
puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada
sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan
ada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat
menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi
yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini
jarang diperlukan kecuali dalam ICU (Morgan, 2006).

Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat
mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam
kasus terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam
orofaring, regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali


karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan
keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa,
pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau
meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi
dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA,
combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi). Petunjuk yang
dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk
algoritma rencana terapi (Morgan, 2006).

6.3 Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas
lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan
pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,
pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan

15
hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan
blok saraf dapat digunakan.
TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan
dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh
dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung
proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur
dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, dengan laringoskop, digunakan
untuk adduksi pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada
trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju
pita suara mungkin difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-
hati agar tidak merusakkan balon (Morgan, 2006).

6.4 Komplikasi Intubasi


1. Selama intubasi:
1. Trauma gigi-geligi
3. Laserasi bibir, gusi, laring
4. Merangsang saraf simpatis (hipersekresi dan takikardia)
5. Intubasi bronkus
6. Intubasi esofagus
7. Aspirasi
8. Spasme bronkus
9. Setelah ekstubasi
1. Spasme laring
10. Aspirasi
11. Gangguan fonasi
12. Edema glotis-subglotis
13. Infeksi laring, faring trakea (Latief,2009).

7. Penghisapan Benda Cair (Suctioning)

16
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka dilakukan
penghisapan (suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu
pengisap (penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber listrik).

Gambar 9. Teknik Suction

Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien tidak sadar dan
terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin diambil dengan
sapuan jari, maka digunakan alat bantuan berupa laringoskop, alat penghisap (suction)
dan alat penjepit (forceps) (Morgan, 2006).

II. Difficult Airway

2.1 Definisi

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society


of Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik
ventilasi dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang
berpengalaman dan terampil.

2.2 Jenis Kesulitan Jalan Napas

Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi menjadi 4 :


1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic airway (SGA)
Ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga
SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah dan O2
inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen pra
ventilasi masih dalam batas normal.
2. Kesulitan dilakukan laringoskopi

17
Kesulitan untuk melihat bagianpita suara, setelah dicoba beberapa kali
dengan laringoskop sederhana.
3. Kesulitan intubasi trakea

Dibutuhkannya lebih dari 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang
terakhir lebih dari 10 menit

4. Kegagalan intubasi

Penempatan ETT gagal setelah beberapa kali percobaan intubasi (ASA,


2013).

2.3 Etiologi & Faktor Resiko

18
Tabel 1. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.

Keadaan Patologis Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas

Kongenital

Sindroma Pierre Robin Micrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft palate

Sindroma Treacher Collins Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula,
(dysostosis mandibulofacial) mikrostomia, atresia choane

Sindroma Goldenhar’s (okulo- Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula;
aurikula-vertebral) oksipitalisasi tulang atlas

Sindroma Down Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;


makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal

Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher


Sindrom Klippel-Feil

Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang


Sindrom Alpert
rawan di tracheobronchial
Sindrom Beckwith (infantile
Makroglossia
gigantisme)
Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di
Cherubism
rongga mulut
Cretinismus
Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter;
penekanan pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea

Sindrom Cri du Chat Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia;


laryngomalacia, stridor

Sindrom Meckel
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis

Von Recklinghausen disease


Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat
muncul di laryng dan
Sindrom Hurler
Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat infiltrasi
19
jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial;
ISPA berulang
Sindrom Hunter
Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat;
2.4 Diagnosis

1. Anamnesis

Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang


berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran
pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah
yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas. Tanda dan gejala yang berhubungan
dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok (misalnya pada
sleep apnea yang obstruktif), karies gigi, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal
atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi
sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama
setelah pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan
dengan penyulit tatalaksana jalan napas. (ASA, 2013)

2. Pemeriksaan Fisik
Penilaian Kesulitan Ventilasi: (OBESE)
1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring
5. Edentulous (Mangku, 2009).

Tanda kegagalan ventilasi:


- Tidak adekuat atau tidak adanya gerakan dinding dada
- Berkurang atau tidak adanya suara napas
- Pada auskultasi ditemukan tanda obstruksi
- Sianosis
- Dilatasi lambung atau meningkatnya udara lambung
20
- Berkurangnya atau tidak adanya saturasi oksigen
- Berkrangnya atau tidak adanya pengeluaran karbondioksida
- Berkurangnya atau tidak adanya hembusan udara pada spirometri
- Perubahan hemodinamik, hipoksia atau hiperkarbia (ASA, 2013).

2.5 Penanganan Difficult Airway

2.5.1 Evaluasi Jalan Napas

1. Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas


2. Riwayat penyakit (kesulitan jalan napas) dapat membantu dalam cara
menghadapi kesulitan jalan nafas, riwayat operasi atau riwayat anestesi, jika
ada kemudian tanyakan waktu pelaksanaan(ASA, 2013).
3. Pemeriksaan fisik
1. Ciri-ciri anatomi tertentu (ciri-ciri fisik dari kepala dan leher) dan
kemungkinan dari kesulitan jalan nafas (ASA, 2013). .
4. Evaluasi tambahan
2. Tes diagnostik tertentu (Radiografi , CT-scan , fluoroskopi ) dapat
mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau bawaan pada pasien
dengan kesulitan jalan napas (ASA, 2013).

2.5.2 Persiapan Standar pada Managemen Kesulitan Jalan Napas


1. Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran yang sesuai
2. Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
3. Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa
lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang dirancang
khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal tube.
4. Peralatan Intubasi fiberoptik.
5. Peralatan Intubasi retrograd.
6. Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet
transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan
combitube.
7. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,
cricothyrotomy).
8. Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
21
9. Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau
dugaan kesulitan jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan
kesulitan jalan nafas, dan risiko khusus yang kemungkinan dapat terjadi
1. Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten
dalam manajemen kesulitan jalan nafas,
2. Melakukan preoksigenasi dengan sungkup wajah sebelum memulai
manajemen kesulitan jalan nafas,
3. Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen
kesulitan jalan nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA
(ASA, 2013).

2.5.3 Strategi Kesulitan Jalan Napas


1. Intubasi sadar.

Intubasi endotrakea dalam keadaanpasien sadar dengan anestesi


topikal, pilhan teknik untuk mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma
berat pada muka, leher, perdarahan, serta kesulitan jalan napas. Intubasi
sadar dilakukan dengan pertolongan obat penenang seperti diazepam,
fentanyl atau petidin untuk mempermudah kooperasi pasien tanpa harus
menghilangkan refleks jalan napas atas (yang harus mencegah apirasi).
Boleh spray lidokain 2% pada lidah dan farings, tetapi jangan kena plika
vocalis. Diazepam 0,1- 0,2 mg/kg iv dapat diberikan untuk mengurangi stres
penderita dan memudahkan intubasi. (Morgan, 2006)

Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa intubasi sadar pada


pasien yang menderita kesulitan jalan napas memberikan hasil yang
memuaskan 88-100%. (Morgan, 2006)

2. LMA (Laringeal Mask Airway)

Penggunaan LMA (laringeal mask airway) meningkat untuk


menggantikan pemakaian face mask dan TT selama pemberian anestesi,
untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy

22
fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan
istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan
combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai
ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki
lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi
tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi
pasien dengan jalan nafas yang sulit (Morgan, 2006).

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir
bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor
berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang
dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi
pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring.
Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, perhatian
yang detil akan memperbaiki keberhasilan. Posisi ideal dari balon adalah
dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter
oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon,
distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi
mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika
LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih
tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya
lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon
merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan
penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik
(FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon
digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester
seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak
terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada
tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya
23
ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA
yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas
latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran (Morgan, 2006).
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia
hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas)
yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.
Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau
resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan
bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA
dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih kurang dari pada dengan
TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi,
LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan
mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-
99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik,
bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm)
(Morgan, 2006).

3. Laringoskop

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk


fasilitas intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola
lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir
pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak
tersebar.

24
Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan
diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk
lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi
pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi,
klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

Intubasi dengan bantuan fiberoptik

Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular joint, atau dengan
kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi
langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan
atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel mungkin visualisasi tidak
langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana

25
direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB yang dibuat dari fiberglass
ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan
cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang
berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi
10.000 – 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya
( sumber cahaya bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang
memberikan gambaran resolusi tinggi (Morgan, 2006).

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang


kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O2 atau
penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi,
sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan
sterilisasi telah digunakan (Morgan, 2006).

2.5.4 Akibat dari kesulitan jalan napas


Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
1. kematian,
2. kerusakan otak,
3. cardiac arrest,
4. trauma jalan napas,
5. kerusakan gigi(ASA, 2013).
2.5.5 Algoritma Kesulitan Jalan Napas

26
Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada penanganan dasar:
• Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
• Kesulitan ventilasi sungkup
• Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
• Kesulitan laringoskopi
• Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas (ASA, 2013).

27
BAB III

KESIMPULAN

Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka. Tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan.

Indikasi Bantuan Jalan Napas :

1. Obstruksi jalan napas

2. Henti nafas : depresi pusat nafas, kelumpuhan otot pernafasan

3. Pembedahan: durasi lama, posisi khusus

4. Pencegahan terhadap regurgitasi aspirasi dan regurgitasi

5. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi: saat resusitasi

6. Tak terasa ada udara ekspirasi (latief, 2009).

Pengelolaan jalan nafas ( airway management ) terdiri atas :

1. Airway management tanpa alat


2. Airway management dengan memakai alat

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society of


Anesthesiology (ASA)2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik ventilasi
dengan masker atau intubasi yang dilakukan oleh dokter anestesi yang berpengalaman
dan terampil.

Penilaian difficult airway yaitu dengan menilai : anamnesis, pemeriksaan fisik


:menilai kesulitan ventilasi dan menilai kesulitan intubasi.Penanganan Difficult Airway
dapat menggunakan algoritma penanganan difficult airway menurut ASA.

Dampak dari kegagalan jalan nafas dapat menyebabkan kerusakan otak bahkan
mencapai kematian, karena itu penilaian secara dini terhadap adanya obstruksi jalan nafas
dengan penilaian keadaan pasien secara baik.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta, 2007.


2. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006
3. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesologi. FKUI, Jakarta,
2009.
4. Soepardi E, Iskandar M, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. FK UI, Jakarta, 2012.
5. Mangku G, Senapathi T. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks, Jakarta, 2009.
6. ASA. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway. The
American Society of Anesthesiology. V 118. No. 2. P. 1-20

29

Anda mungkin juga menyukai