Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 DEFINISI

Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat

disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan saraf simpatis untuk

menimbulkan perubahan dalam berbagai derajat yang mengenai setiap sistem

dalam tubuh. 2,3

Banyak dari perubahan ini yang disebabkan oleh suplai darah ke jaringan,

sebagian karena stimulasi eferen simpatis yang ke pembuluh darah dan sebagian

karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergik dari rasa takut

timbul di korteks serebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedatif yang

mencegah kemampuan untuk menjadi takut bila ada penyebab takut yang sesuai.

Tanda akhir dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah meningkatnya detak

jantung dan tekanan darah.2,3

Premedikasi adalah pemberian obat-obatan 1-2 jam tertentu sebelum tindakan

anestesi, untuk membantu induksi anestesi, pemeliharaan, dan masa pemulihan

yang baik. 1,2

1.2 TUJUAN PREMEDIKASI

Tujuan pemberian obat premedikasi antara lain:4

1. Mengurangi rasa cemas, memberikan efek sedasi psikis dan amnesia,

misalnya: diazepam, alprazolam, dan midazolam.

1
2. Memberi efek analgesia dan memudahkan induksi, misalnya: morfin,

petidin, fentanil, sufentanil, alfentanil dan remifentanil.

3. Memberi efek antisialoque, misalnya: sulfas atropin, glikopirolat, dan

skopolamin.

4. Mencegah terjadinya resiko aspirasi lambung dengan mengurangi

volume cairan lambung dan menaikkan pH cairan lambung, misalnya:

ranitidin, antasida, dan proton pump inhibitor (PPI).

5. Mencegah Postoperative Nausea and Vomiting (PONV), misalnya:

ondansetron, tropisetron, granisetron, ramosetron, dan metoklopramide.

6. Mencegah reaksi alergi, misalnya: dexamethason.

7. Mencegah refleks yang tidak diinginkan, misalnya: lidokain

8. Sebagai profilaksis seperti untuk mencegah infeksi, mencegah trombosis

vena dalam, mencegah gagal ginjal, mencegah komplikasi jantung, dll

1.3 PERTIMBANGAN PEMBERIAN PREMEDIKASI

Premedikasi ini tidak boleh diberikan secara otomatis/rutin tetapi harus

berdasar pada keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah

kunjungan anestesi dilakukan. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi

yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan:

- Umur pasien

- Berat badan

- Derajat kecemasan

- Riwayat anestesi sebelumnya (terutama pada anak)

2
- Riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah

dianestesi sebelumnya)

- Riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat

mempengarungi jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor, kortikosteroid,

antibiotik tertentu)

- Perkiraan lama operasi

- Macamnya operasi (misalnya terencana, darurat pasien rawat inap atau rawat

jalan)

- Rencana obat anestesi yang akan digunakan.3,5

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PRINSIP PEMBERIAN PREMEDIKASI

Pemberian obat yang aman harus berdasarkan the five ‘right’ principle

(Turkoski et al, 1999) yang mencakup 5 aspek, yaitu the right drug, right

dose, right patient, right route, dan right time.2

1. The right drug. Obat yang diberikan sebaiknya dicocokkan kembali

dengan resep yang tertulis, karena banyak obat yang memiliki nama yang

sama. Tulisan tangan dokter yang meresepkan sebaiknya dapat dibaca, dan

jika terdapat keraguan, sebaiknya diklarifikasi kembali ke dokter yang

menuliskan resep. Selain itu, dokter harus mengerti alasan mengapa suatu

obat diresepkan, dan mengetahui efek-efek samping yang dapat timbul

akibat pemberian obat tersebut, termasuk apakah pasien memiliki riwayat

alergi terhadap obat tersebut atau tidak;

2. The right dose. Dokter sebaiknya mengetahui dengan baik dosis rata-rata

atau dosis yang biasanya digunakan terhadap obat yang diresepkan, dan

mampu mengidentifikasi beberapa pasien yang membutuhkan dosis-dosis

diluar dosis yang biasanya digunakan. Contohnya, pasien-pasien yang

memiliki gangguan fungsi ginjal dan hati;

3. The right patient. Pasien yang masuk sebaiknya diidentifikasi dengan

jelas, dan diberikan dua tag nama, yang harus dicek setiap sebelum

pemberian obat.

4
4. The right route. Pemberian obat dapat diberikan secara oral, intravena,

intramuskular, subkutan atau melalui feeding tube;

5. The right time. Pemberian obat sangat penting untuk memperhatikan

waktu pemberian, karena kebanyakan obat diresepkan berdasarkan durasi

kerjanya. Pemberian obat terkadang tidak sesuai dengan waktu kerja obat

yang diharapkan. Selain itu, waktu operasi juga sering berubah, sehingga

pemberian obat harus dilakukan pada waktu yang tepat untuk

mendapatkan efek yang diinginkan.

2.2 JENIS-JENIS OBAT PREMEDIKASI

1. Mengurangi Rasa Cemas, Memberikan Efek Sedasi Psikis dan

Amnesia

Golongan Benzodiazepin

Diazepam

Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa cemas, sedasi, dan

membuat amnesia penderita. Hal ini disebabkan tempat kerja dari

benzodiazepin berada pada susunan saraf pusat (SSP) yang berefek sedikit

mendepresi pernafasan atau kardiovaskular pada dosis premedikasi.

Secara spesifik mual dan muntah biasanya tidak berkaitan dengan

pemberian benzodiazepin pada pemberian preoperatif.6-7

Pemberian diazepam dapat dilakukan secara intramuskuler (IM)

atau intravena (IV). Pemberian secara IM dapat menyebabkan rasa sakit

pada tempat penyuntikan. 6-8

5
Dosis premedikasi diazepam adalah 0,2-0,5 mg/kgBB diberikan

secara oral. Dosis sedasi 0,04-0,2 mg/kgBB diberikan secara IV. Dosis

induksi diberikan 0,3-0,6 mg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 1).

Onset kerja diazepam dalam waktu 15-30 menit dengan durasi kerja

selama 21-37 jam.6-8

Midazolam

Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang paling sering

digunakan. Midazolam dianggap pemulihannya lebih cepat dan

memberikan efek sedasi maksimal jika diberikan dalam dosis yang besar

atau ketika dikombinasikan dengan obat lain. Sedangkan dengan

benzodiazepin lain, midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan

amnesia. Ini dua sampai tiga kali lebih poten daripada diazepam karena

peningkatannya pada reseptor benzodiazepin.6-8

Dosis midazolam untuk premedikasi yakni 0,07-0,15 mg/kgBB

secara IM. Dosis sedasi 0,01-0,1 mg/kgBB secara IV. Dosis induksi 0,1

0,4 mg/kgBB secara IV(dapat dilihat pada tabel 1). Onset kerja midazolam

dalam waktu 30-60 detik secara IV. Efek puncak 3-5 menit dan durasi

kerja selama 15-80 menit. Midazolam 0,5 mg/kgBB secara oral diberikan

30 menit sebelum induksi anestesi.6-8

Midazolam pada dosis 0,15-0,27 mg/kgBB secara IV dapat

menurunkan tekanan intrakranial (TIK). Midazolam dosis 0,15 secara IV

dapat menurunkan ventilasi. Apneu dapat terjadi pada pemberian injeksi

yang cepat dengan dosis >0,15 mg/kgBB secara IV. Midazolam dosis 0,2

6
mg/kgBB secara IV dapat menurunkan tekanan darah dan meningkatkan

laju jantung. 6-8

Tabel 1. Penggunaan dan dosis benzodiazepin

Dosis
Obat Penggunaan Jalur
(mg/kgBB)

Premedikasi Oral 0,2-0,52


Diazepam Sedasi IV 0,04-0,2
Induksi IV 0,3-0,6
Premedikasi IM 0,07-0,15
Midazolam Sedasi IV 0,01-0,1
Induksi IV 0,1-0,4
Oral 0,053
Premedikasi
Lorazepam IM 0,03-0,053
Sedasi IV 0,03-0,043
1
IV, intravenous, IM, Intramuscular.
2
Maximum dose 15 mg.
3
Not recommended for children.
Dikutip dari:
Reves JG. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S,
Murray M.J, eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill
Companies,Inc; 2006.p.179-204.

Lorazepam

Lorazepam menghasilkan efek amnesia yang lebih dominan dari

golongan lainnya Masa kerjanya juga lebih lama dibanding yang lainnya.

Ketika lorazepam dibandingkan dengan diazepam, efeknya mirip sekali.

Dosis lorazepam untuk premedikasi adalah 0,053 mg/kgBB secara oral,

atau 0,03-0,05 mg/kgBB secara IM. Dosis sedasi 0,03-0,04 mg/kgBB

secara IV (dapat dilihat pada tabel 1).6-8

7
Onset kerja lorazepam lebih lama daripada midazolam dan

diazepam. Secara IM onset kerja diazepam dalam waktu 2-4 jam.

Sedangkan pada pemberian IV onsetnya dalam waktu 1-2 menit. Durasi

kerja selama 6-10 jam.6-8

Golongan Barbiturat

Obat golongan barbiturat terbagi atas tiopental, methohexical dan

pentobarbital. Obat-obatan ini digunakan secara primer untuk efek

sedatifnya.6,7,8

Tiopental

Dosis sedasi 0,5-1,5 mg/kgBB secara IV. Onset kerja dalam waktu

30-45 detik dengan durasi kerja selama 5-10 menit secara IV (dapat dilihat

pada tabel 2).6-7,8

Tiopental dimetabolisme di hati tiap jam. Pada penyuntikan

tiopental, mula-mula timbul hiperalgesia diikuti anelgesia bila dosis terus

ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan analgesik yang kuat.6,7,8

Methohexical

Dosis sedasi methohexical 0,2-0,4 mg/kgBB secara IV (dapat dilihat

pada tabel 2). Onset kerjanya dalam waktu 5,6 menit dengan durasi kerja

selama 3,9 jam. Kelarutan methohexical dalam lemak lebih sedikit

sehingga metabolismenya lebih cepat daripada tiopental. 6,7,8

Pentobarbital

Dosis premedikasi pentobarbital adalah 2-.4 mg/kgBB secara oral

dan IM. Dosis 3-5 mg/kgBB secara rektal pada anak (dapat dilihat pada

8
tabel 2). Onset kerja pentobarbital dalam waktu 20-60 menit secara oral

dan rektal, 10-20 menit secara IM, dan 5 menit secara IV. Dengan durasi

kerja selama 1-4 jam secara oral dan rektal.6,7,8

Tabel 2. Penggunaan dan dosis barbiturat

Konsentrasi Dosis
Obat Penggunaan Jalur
(%) (mg/kgBB)
Thiopental,
Sedasi IV 2,5 0,5-1,5
thiamylal
Methohexical Sedasi IV 1 0,2-0,4
Oral 5 2-42
Secobarbital, Premedikasi IM 2-42
Pentobarbital Rectal
3
suppository
1
IV, intravenous, IM, Intramuscular.
2
Maximum dose 15 mg.
3
Not recommended for children.
Dikutip dari:
Reves JG. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S,
Murray M.J, eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill
Companies,Inc; 2006.p.179-204.

2. Memberi Efek Analgesia

Opioid

Morfin

Dosis morfin untuk premedikasi 0,05-0,2 mg/kgBB secara IM.

Dosis anestesi intraoperatif 0,1-1 mg/kgBB secara IV. Dosis untuk

analgesia post operatif yaitu 0,05-0,2 mg/kgBB secara IM dan 0,03-0,15

mg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 3). Onset kerja morfin dalam

waktu 15-30 menit secara IM dan IV, mencapai puncak 45-90 menit

dengan durasi kerja selama 4 jam.6,7

9
Morfin dapat digunakan sebagai analgetik, euforia, dan sedasi.

Gejala lain setelah pemberian morfin seperti mual, muntah, kekeringan

pada mulut, dan gatal.6,7

Fentanil

Fentanil adalah agonis opioid sintetik yang strukturnya mirip dengan

meperidin. Fentanil memiliki efek analgesik 75-125 kali lebih poten

dibanding morfin. Fentanil lebih larut dalam lemak dibanding morfin

sehingga onsetnya lebih cepat. Karena waktu kerja yang pendek

menyebabkan fentanil diredistribusi ke paru, lemak, dan otot skelet.

Fentanil dimetabolisme terutama oleh N-demethylation menjadi

norfentanil, yang memiliki efek poten analgesik lebih kecil. Dosis fentanil

untuk anestesi intraoperatif 2-150 µg/kgBB secara IV. Untuk analgesia

post operatif 0,5-1,5 µg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 3). Onset

kerja fentanil dalam waktu 5 menit dengan durasi kerja selama 30 menit –

1 jam. 6,7

Sufentanil

Sufentanil adalah analaog thenyl dari fentanil. Kekuatan analgetik

dari sufentanil adalah 5-10 kali dari fentanil. Efek samping yang biasa

terjadi pada pemberian sufentanil adalah terjadinya spasme otot skeletal

pada pemberian injeksi intratekal. Dosis sufentanil untuk premedikasi

adalah 2-5 µg/kgBB secara IV. Dosis untuk anestesi intraoperatif 0,25-30

µg/kgBB secara IV (dapat dilihat pada tabel 3). Sufentanil memiliki onset

kerja dalam waktu 1-2 menit dengan durasi kerja selama 15 menit.6,7

Tabel 3. Penggunaan dosis opioid

10
Obat Penggunaan Jalur Dosis
Premedikasi IM 0,05-0,2 mg/kgBB
Anestesia intraoperatif IV 0,1-1 mg/kgBB
Morfin
IM 0,05-0,2 mg/kgBB
Analgesia postoperatif
IV 0,03-0,15 mg/kgBB
Anestesia intraoperatif IV 2 - 150 µg/kgBB
Fentanil
Analgesia postoperatif IV 0.5 - 1.5 µg/kgBB
Premedikasi IV 2-5 µg
Sufentanil
Anestesia intraoperatif IV 0.25 - 30 µg/kgBB
Di kutip dari:
Reves JG. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S,
Murray M.J, eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill
Companies,Inc; 2006.p.179-204.

3. Mengurangi Sekresi Saliva (Antisialoque)

Antikolinergik

Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi adalah sebagai

antisialoque dan sedasi serta amnesia. Antikolinergik digunakan untuk

mencegah hipersalivasi yang disebabkan oleh obat anestesi lokal pada

jalan napas atas. Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan

mengurangi sekresi cairan lambung. 4,6

Atropin

Atropin adalah sebuah amina tersier yang mengandung asam tropik

(sebuah asam aromatik) dan tropin (sebuah basa organik). Sebagai

premedikasi, atropin diberikan secara IV atau IM dalam dosis 0,01-0,02

mg/kgBB hingga pada dosis dewasa yang umum sekitar 0,4-0,6 mg/kgBB

dosis IV. Onset kerja atropin dalam waktu 1 menit dengan durasi kerja

atropin selama 30-60 menit. 4,6

11
4. Mencegah Terjadinya Resiko Aspirasi Lambung dengan Mengurangi
Volume Cairan Lambung dan Menaikkan pH Cairan Lambung
Aspirasi dapat terjadi selama induksi, pada ruang operasi atau pada

saat transfer pasien. Aspirasi juga bisa disebabkan karena bronkospasme.

Oleh karena itu penting untuk puasa sebelum operasi.5

Tabel 5. Rekomendasi Puasa Untuk Mengurangi Resiko Aspirasi

Jenis minuman Waktu puasa minimal (untuk semua


umur)
Air putih 2 jam
ASI 4 jam
Makanan bayi 6 jam
Susu formula 6 jam
Makanan berat 6 jam
Dikutip dari :
Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic
agents to reduce the risk of pulmonary aspiration : application to healthy
patients undergoing elective procedures. A report by the american society
of anesthesiologists task force on preoperative fasting. Anesthesiology.
2011;114:495-511

Antagonis Reseptor Histamin

12
Golongan ini memblok kemampuan histamin untuk menginduksi

sekresi asam gaster dengan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi. Oleh

karena itu antagonis reseptor histamin meningkatkan pH gaster.

Antagonisme dari reseptor histamin terjadi dalam cara yang selektif dan

kompetitif.6,8

Cimetidin

Biasanya diberikan dengan dosis 300-800 mg oral dan 300 mg secara

IV. Dosis 300 mg per oral (3-4 mg/kgBB) ini diberikan 1,5-2 jam sebelum

induksi anestesi. Cimetidin memiliki onset kerja dalam waktu 1-2 jam

dengan durasi kerja selama 4-8 jam. 6,8

Cimetidin dapat menghambat berbagai fungsi sistem enzim oksidase

hepar sehingga dapat memperpanjang waktu paruh dari berbagai obat,

termasuk diazepam, chlordiazepoxide, theophylline, propanolol dan

lidokain. 6,8

Proton Pump Inhibitor (PPI)

Omeprazole

Omeprazole adalah golongan PPI yang menekan sekresi cairan

lambung dengan cara berikatan pada pompa proton sel parietal guna

meningkatkan pH dan menurunkan volume asam lambung. Dosis pada

orang dewasa 40 mg/24 jam (0,5-1 mg/kgBB) secara oral maupun IV. Pada

anak <20 kg 10 mg, anak >20 kg dosisnya 20 mg. 7,8

13
Efek sampingnya adalah sakit kepala, agitasi dan kebingungan

karena omeprazole melewati SDO. Efek gastrointestinal menyebabkan

nyeri perut, mual, muntah. 7,8

5. Mencegah Mual dan Muntah Post Operatif

5-HT3 Reseptor Antagonis

Ondansetron

Indikasinya adalah profilaksis mual dan muntah. Dengan efek

samping seperti sakit kepala mengantuk dan gangguan saluran cerna.

Dosis ondansentron 0,15 mg/kgBB secara oral dan 0,05-0,15 mg/kgBB

secara intravena diberikan 30 menit sebelum operasi. Onset kerja

ondansentron dalam waktu 1-1,5 jam secara oral dan 30-60 menit secara

intravena dengan durasi kerja selama 3-4 jam . 7,8

6. Mencegah Reaksi Alergi

Salah satu pemicu alergi adalah obat anestesi walaupun jarang

terjadi alergi ini memiliki reaksi yang fatal. Obat anestesi yang biasa

menyebabkan alergi (petidin, propofol, atracurium) memiliki mekanisme

kerja yang menyebabkan pelepasan histamin sehingga menimbulkan

reaksi alergi. Salah satu obat yang biasa digunakan untuk mencegah

terjadinya reaksi alergi adalah anti histamin atau kortikosteroid misalnya

dexamethason. 7,8

14
Dexamethason

Dexamethason merupakan golongan kortikosteroid sintetik turunan

dari prednisolon dan isomer dari bethametason. Dosis dexamethason

sebagai anti inflamasi yaitu 0,75 mg setara dengan 20 mg kortisol.

Dexamethason dapat diberikan secara oral ataupun IV. Dosis

dexamethason 0,25 mg/kgBB secara IV. Durasi kerja selama 36-72 jam.

Dexamethason juga dapat digunakan untuk mengobati edema laringeal

post intubasi dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgBB secara IV. 6,7

7. Mencegah Refleks yang Tidak Diinginkan (Laringospasme,

Bronkospasme)

Laringospasme adalah spasme pada otot laring yang disebabkan

oleh stimulasi sensorik pada nervus laringeal superior pada saat intubasi

maupun ekstubasi. Bronkospasme intraoperatif dapat disebabkan oleh

pelepasan histamin karena obat, anestesi ringan, stimulasi

parasimpatomimetik (adanya tuba endotrakeal dan rangsangan operasi),

aspirasi dan anafilaksis oleh karena obat beta bloker.6,7

Lidokain

Lidokain merupakan obat anestesi lokal golongan amida. Lidokain

dimetabolisme di hati. Prinsip metabolik lidokain adalah dealkilasi

oksidasi di hati menjadi monoetilglisinexylidide yang diikuti oleh

hidrolisis xydide. 80% aktifitas lidokain berpotensi megatasi terjadinya

disritmia jantung. 6,7

15
Dosis lidokain untuk mecegah terjadinya refleks yang tidak

diinginkan adalah 1-1,5 mg/kgBB secara IV. Onset kerja lidokain sangat

cepat dengan durasi kerja selama 60-180 menit. Maximum dosis tunggal

yaitu 300 mg atau 500 mg dengan epinefrin.6,7,8

16
BAB III
KESIMPULAN

Pre–operative visite dilakukan sebelum melakukan anestesi di kamar operasi

karena bermanfaat bagi pasien, operator dan ahli anestesi. Pre–operative visite

bertujuan menilai kelayakan pasien sebelum dilakukan anestesi, menentukan jenis

anestesi dan obat anestesi yang akan digunakan. Hal ini sangat penting untuk

keselamatan pasien.Tindakan anestesi yang baik, bila mulai persiapan, durante

operasi dan pasca operasi berjalan dengan aman.

Premedikasi bertujuan untuk menenangkan pasien, membuat nyaman pasien

dan memudahkan induksi serta mengurangi jumlah obat anestesi yang digunakan.

Ruang pulih sadar merupakan tempat dimana untuk observasi pasien setelah

dilakukan anestesi dan pembedahan. Hal ini bertujuan untuk menghindari bahaya

dari efek anestesi yang tidak diinginkan dan agar pasien dapat pulih dengan baik

serta meminimalkan keluhan pasien saat sadar.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Sophie Bishop et al. Premedication (Abstract). Anaesthesia & Intensive


Care Medicine. Volume 11, Issue 10, Pages 407–409, October 2010.
(diunduh 12 Desember 2013). Tersedia dari:
PubMed.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
2. Saunder S. The effective Management and Administration of Premedication.
British Journal of Perioperative Nursing. 2004 (diunduh 3 Agustus 2004);
vol 100 (31):40-43. Tersedia dari: Anaesthesia jurnal.
http://www.anaesthesiajournal.co.uk/article/
3. Mangku G, Sinapatthi TGA. Obat-Obat Anestetika.: Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta; 2010. Hal: 23-48
4. Walker KJ, Smith AF. Premedication for anxiety in adult day surgery.
Cochrane Database Syst Rev (abstract). 2009 (diunduh 12 Desember 2013);
(4): CD002192. Tersedia dari:
PubMed.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
5. Longnecker ED, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Preparing For
Anesthesia: Premedication. Anesthesiology. McGraw-Hill Companies,Inc;
2008. p. 80-81.
6. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD. Hipnotik – Sedatif dan Alkohol
: Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK-UI. Edisi 5. Jakarta.
2007. Hal: 139-160.
7. Reves J.G. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S,
Murray M.J, Eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill
Companies,Inc; 2006. p. 179-204.
8. Stoelting Robert.K, Miller Simon.C. Benzodiazepine. In: Stoelting R.K,
Hiller S.C, Eds. 2nd ed. Handbook of pharmacology and physiology in
anesthetic practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
p.140-154.

18

Anda mungkin juga menyukai