Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ANESTESIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019

UNIVERSITAS HALUOLEO

ANESTESI REGIONAL SUB ARACHNOID BLOCK

OLEH:

Rahmawati, S.Ked.

K1A115145

Pembimbing

dr. Agusalim Ali, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Rahmawati

NIM : K1A15145

Judul referat : Anestesi Regional Sub Arachnoid Block

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Oktober 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Agusalim Ali Sp.An

0
Anestesi Regional Sub Arachnoid Block

Rahmawati, dr. Agusalim Ali Sp.An

A. Pendahuluan

Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu

anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak

sadar tanpa nyeri yang reversible akibat pemberian obat – obatan, serta

menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral . Perbedaan dengan

anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri

tanpa kehilangan kesadaran. Namun sekarang ini anestesi regional semakin

berkembang dan meluas pemakaiannya dibandingkan anestesi umum sebab

anestesi umum bekerja menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal,

sementara anestesi regional bekerja menekan transmisi impuls nyeri dan

menekan saraf otonom eferen ke adrenal (Sari, 2012).

Anestesi regional saat ini sudah menjadi prosedur yang populer dan

merupakan bagian yang penting dalam praktik anestesi. Teknik ini

menghasilkan blokade yang lebih spesifik, efek adekuat dalam

menghilangkan nyeri, memiliki pengaruh yang baik terhadap operasi pada

kasus tertentu dimana anestesi umum harus dihindari karena risiko yang

tinggi terhadap hasil luaran, selain itu penggunaan opiod sistemik dapat

dikurangi. Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah ekstremitas inferior,

bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-

ginekologi, bedah urologi, dan bedah abdomen bawah (Ibnu, dkk. 2017).

1
B. Anestesi Regional Sub Arachnoid Block

Anestesi sub archnoid block atau anestesi spinal adalah analgesia

regional dengan menghambat sel saraf di dalam ruang subaraknoid oleh

obat anestetik lokal (Longdong dkk, 2013). Anestesi spinal atau

subarachnoid block adalah salah satu teknik regional anestesi dengan cara

menyuntikkan obat anestesi lokal secara langsung ke dalam cairan

serebrospinalis di dalam ruang subarakhnoid pada regio lumbal di bawah

L2 dan pada regio sakralis di atas vertebra S1, untuk menimbulkan atau

menghilangkan sensasi dan blok motorik (Sari, 2012). Teknik anestesi ini

menjadi popular karena dianggap sederhana dan efektif, aman terhadap

sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya, serta

mempunyai beberapa keuntungan, antara lain tingkat analgesia yang kuat,

pasien tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih

sedikit, risiko aspirasi pasien dengan lambung penuh lebih kecil, dan

pemulihan fungsi saluran cerna lebih cepat (Longdong dkk, 2013).

Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang

paling sering digunakan terutama untuk prosedur bedah pada daerah

abdomen bawah serta ekstremitas bagian bawah. Banyak keuntungan yang

diperoleh dari teknik anestesia regional terutama anestesia spinal, antara lain

adalah prosedur pelaksanaan yang lebih singkat, mula kerja cepat, kualitas

blokade sensorik dan motorik yang lebih baik, mampu mencegah respons

stres lebih sempurna, serta dapat menurunkan perdarahan intraoperatif

(Fahruddin dkk, 2017).

2
Beberapa studi mengenai penggunaan teknik anestesi regional

menunjukkan bahwa penggunaan anestesi regional sebanyak 45,5% dari

total keseluruhan operasi, penggunaan anestesi regional spinal paling

banyak dilakukan sekitar 51,9%, epidural 23,2%, kombinasi spinal epidural

11,4%, dan blok saraf perifer sekitar 13%. Angka penggunaan blokade

epidural rendah disebabkan oleh dokter spesialis anestesi lebih memilih

melakukan blokade spinal dengan alasan teknik pelaksanaan lebih mudah,

memiliki onset yang cepat, kebutuhan obat yang lebih sedikit, dan ukuran

jarum yang lebih kecil sehingga trauma yang dihasilkan lebih minimal,

relatif lebih murah, pengaruh sistemik lebih kecil, menghasilkan analgesi

adekuat, mampu mencegah respons stress lebih sempurna, mengurangi

perdarahan selama pembedahan, mengurangi lama perawatan di rumah sakit

(Ibnu, dkk. 2017).

Adapun indikasi anestesi spinal diantaranya (Ibnu, dkk. 2017):

1. Bedah esktremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum- perineum

4. Bedah obstetri- gynecology

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

3
Kontra indikasi absolut (Ibnu, dkk. 2017):

1. Pasien menolak untuk dilakukannya anestesi spinal

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat

4. Tekanan intra kranial tinggi

Persiapan anestesi spinal dengan menilai adanya penyulit pada daerah

sekitar tempat tusukan misalnya kelainan anatomis tulang panggul atau

pasien gemuk sehingga tidak teraba processus spinosus. Peralatan anestesi

spinal: peralatan monitor (tekanan darah, nadi, oksimetri, dan EKG),

peralatan resusitasi, jarum spinal, dan obat- obatan spinal.

Teknik analgesia spinal (Ibnu, dkk. 2017):

1. Atur posisi pasien. Penyuntikan anestesi spinal dapat diberikan kepada

pasien dalam posisi duduk atau berbaring

2. Baringkan pasien dalam posisi dekubitus lateral. Pasien membungkuk

maksimal dengan tujuan processus spinosusu mudah teraba

3. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista illiaca

dengan vertebrae lumbal.

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya lidokain 1-2%

5. Tusukan pada median atau paramedian, mandrin jarum diaspirasi

untuk melihat cairan cerebrospinal

4
C. Bupivacain

Obat-obat anestesi spinal ideal yang digunakan pada pembedahan

harus memenuhi syarat-syarat berikut (Sari, 2012) :

1. Blokade sensorik dan motorik yang baik

2. Mula kerja yang cepat

3. Pemulihan blokade motorik cepat sesudah pembedahan sehingga

mobilisasi lebih cepat diperbaiki

4. Toleransi baik dalam dosis tinggi dengan resiko toksisitas lokal dan

sistemik yang rendah.

Potensi dan lama kerja anestesi spinal berhubungan dengan sifat

individual obat anestesi spinal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi

sistemiknya, sehingga semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada

reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi spinal tersebut. Potensi dan

lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan dosis.

Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak

(Sari, 2012).

Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar,

yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan

dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama

dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di plasma sedangkan

golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini

5
juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana

golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi

kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di

negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide

adalah lidokain dan bupivakain (Samodro dkk, 2011).

Beragam jenis obat anestesi lokal yang digunakan seperti prokain,

lidokain, ropivakain, dan bupivakain. Obat ini be-kerja dengan cara memblok

sel saraf sensorik sehingga bagian tubuh yang dikenainya tidak dapat

menghantarkan impuls rasa sakit1. Obat anestesi lokal pada konsentrasi tertentu

tidak hanya memblok sel saraf rasa sakit (nosiseptor) namun ikut memblok sel

saraf sensorik lain dan menyebabkan mati rasa 3. Obat anestesi lokal juga dapat

memblok sel saraf motorik sehingga menyebabkan kekakuan pada otot yang

dipersarafinya (Lokaria dkk, 2015).

Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan

potensi dan lama kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan

kloroprokain yang memiliki potensi lemah dengan lama kerja singkat.

Group II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi

dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivakain dan

etidokain yang memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang. Anestesi

lokal juga dibedakan berdasar pada mula kerjanya. Kloroprokain, lidokain,

mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat.

Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain

bermula kerja lambat (Samodro dkk, 2011).

6
Bupivacain adalah anestetik lokal dengan potensi dan masa kerja

relatif lebih lama dibanding obat anestetik lokal lainnya namun memiliki

toksisitas paling tinggi terhadap sistem kardiovaskuler dibanding dengan

anestetik lokal lainnya. Bupivacain masuk melalui natrium channel secara

cepat saat terjadi potensial aksi namun keluar secara perlahan. Tanda dan

gejala toksisitas sistem saraf yaitu cemas, rasa tidak enak di mulut, tinnitus,

tremor, kepala terasa berputar, pandangan kabur dan kejang (Agus, 2013).

Mula kerja bupivacain dalam 5- 10 menit dengan masa kerja 90- 120

menit. Dosis maksimal bupivacain adalah 2,5 mg/kg berat badan. Pada

pasien hamil membutuhkan dosis anestesi lokal lebih sedikit diakibatkan

oleh pergerakan anestetik lokal hiperbarik ke arah cefalad pada posisi

terlentang dan serabut saraf yang lebih senstif pada kehamilan (Agus, 2013).

Bupivakain 0,5% hiperbarik merupakan anestetik lokal golongan

amino amida yang paling banyak digunakan pada teknik anestesi spinal.

Penambahan obat adjuvan seperti opioid, ketamin, klonidin, dan juga

neostigmin sering dilakukan untuk memperpanjang lama kerja anestesi

spinal. Penambahan adjuvan opioid dapat memperpanjang durasi kerja obat

anestesi tanpa menunda waktu pulih pasien dan penambahan klonidin akan

meningkatkan kualitas analgesi serta mengurangi kebutuhan analgetik

pascaoperasi (Longdong, 2013).

7
Penggunaan agen bupivacaine hiperbarik 0.5% dianggap cukup untuk

prosedur pembedahan hingga 120 menit. Untuk memperpanjang durasi

analgesia serta meningkatkan efektifitas anestesi spinal, obat-obat tertentu

dari beberapa kelompok farmakologis telah dipelajari sebagai tambahan.

Beberapa obat adjuvan yang dapat dipergunakan pada anestesia spinal

seperti epinefrin dan opioid. Vasopresor yang sering di gunakan untuk kasus

hipotensi adalah ephedrine sebab ephedrine memiliki efek kardiovaskuler,

yang dapat meningkatkan tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, curah

jantung serta memiliki efek bronkodilator. Ephedrine memiliki durasi yang

lebih panjang, kurang poten, memiliki efek langsung maupun tidak langsung

dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat (Fahruddin dkk, 2017).

Faktor yang berpengaruh pada penyebaran anestetik lokal yaitu

karakteristik anestetik lokal (barisitas, dosis, volume, viskositas, dan zat

aditif), teknis (posisi tubuh pasien, tempat penyuntikan, barbotase, jenis

jarum spinal), serta karakteristik pasien (usia, tinggi badan, berat badan,,

anatomi tulang belakang, volume cairan serebrospinal, serta kehamilan).

Faktor yang dianggap paling menentukan adalah barisitas dan posisi tubuh.

Barisitas obat ini sangat menentukan dalam penyebaran obat anestesi lokal

dan ketinggian blokade oleh karena faktor gravitasi bumi. Barisitas adalah

rasio densitas obat anestesi lokal terhadap densitas cairan serebrospinal.

Densitas didefinisikan berat dalam gram dari 1 mL cairan pada temperatur

tertentu. Obat anestesi lokal dan cairan serebrospinal akan mengalami

penurunan densitas oleh kenaikan suhu. Variasi nilai densitas cairan

8
serebrospinal bergantung pada usia, jenis kelamin, kehamilan, dan penyakit

tertentu. Nilai densitas cairan serebrospinal akan lebih rendah pada wanita

dibandingkan dengan laki-laki, wanita hamil dan wanita premenoupause.

Menurut teori, perbedaan ini akan menyebabkan perubahan barisitas obat

anestesi lokal pada kelompok pasien yang berbeda, tetapi perbedaan itu

kecil dan mungkin tidak penting secara klinis (Longdong, 2013).

Obat anestesi lokal disebut hipobarik bila obat mempunyai densitas

kurang lebih tiga Standar Deviasi (SD) di bawah densitas cairan

serebrospinal dan disebut hiperbarik bila densitasnya berada 3 SD di atas

densitas cairan serebrospinal. Gaya gravitasi menimbulkan obat anestesi

lokal hiperbarik bergerak ke arah bawah cairan serebrospinal, sedangkan

pada hipobarik akan terjadi sebaliknya. Obat anestesi lokal isobarik tidak

dipengaruhi oleh efek gaya gravitasi atau posisi tubuh (Agus, 2013).

Pada penelitian yang membandingkan efek volume serta barisitas

bupivakain intratekal didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan onset

kerja antara larutan hiperbarik dan isobarik, sedangkan lama kerja pada

golongan hiperbarik lebih pendek. Perbedaan lama kerja ini disebabkan oleh

perbedaan ketinggian blokade sensoris yang cenderung lebih tinggi pada

bupivakain hiperbarik sehingga mengakibatkan regresi (penurunan blokade)

obat yang lebih cepat bila dibandingkan dengan kelompok bupivakain

isobarik dengan blokade yang lebih rendah. Keadaan ini disebabkan karena

penyebaran obat anestesi lokal yang lebih ke arah sefalad sehingga

menghasilkan konsentrasi obat yang lebih rendah dalam cairan

9
serebrospinal dan jaringan saraf, sehingga konsentrasi obat akan lebih cepat

berkurang di bawah konsentrasi minimum efektif obat sehingga pasien akan

cepat merasakan nyeri. Penyebaran obat yang terkonsentrasi di tempat

penyuntikan pada bupivakain isobarik menyebabkan konsentrasi obat

anestesi yang relatif lebih tinggi dalam cairan serebrospinal dan jaringan

saraf sehingga konsentrasi obat anestesi lokal tersebut membutuhkan waktu

yang lebih panjang untuk turun sampai berada di bawah konsentrasi efektif

minimum. Dengan demikian, lama kerja blokade sensoris pada kelompok

bupivakain isobarik menjadi lebih panjang dibandingkan dengan bupivakain

hiperbarik (Longdong, 2013).

Penelitian pengaruh barisitas obat anestesi lokal yang dihubungkan

dengan sedasi pada pasien varicose vein surgery yang dilakukan spinal

anestesia ternyata didapatkan hubungan antara ketinggian blokade dan skala

sedasi. Pemakaian anestesi lokal golongan hiperbarik dengan ketinggian

rata-rata blokade pada T5 hanya memerlukan penambahan obat sedasi lebih

sedikit dibandingkan dengan golongan isobarik dengan ketinggian blokade

rata-rata pada T10 (Longdong, 2013).

Sementara itu, potensi berkorelasi dengan kelarutan lemak, karena itu

merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran,

lingkungan yang hidrofobik. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak

meningkat dengan meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul.

Onset dari kerja obat bergantung dari banyak faktor, termasuk kelarutan

lemak dan konsentrasi relatif bentuk larut-lemak tidak-terionisasi (B) dan

10
bentuk larut-air terionisasi (BH+), diekspresikan oleh pKa. Pengukurannya

adalah pH dimana jumlah obat yang terionisasi dan yang tidak terionisasi

sama. Obat dengan kelarutan lemak yang lebih rendah biasanya memiliki

onset yang lebih cepat (Samodro dkk, 2011).

D. Anestesi Regional Sub Arachnoid Block pada Sectio Caesaria

Secara internasional, Obstetric Anaesthesia Guidelines

merekomendasikan teknik anestesia spinal ataupun epidural dibandingkan

dengan anestesia umum untuk sebagian besar seksio sesarea. Di Amerika

Serikat pada tahun 1992, anestesi spinal digunakan lebih dari 80% pada

operasi sesar, tanpa menghiraukan indikasi. Alasan utama

direkomendasikannya anestesia regional pada saat operasi sesar adalah

risiko terjadinya kegagalan intubasi endotrakea serta kemungkinan terjadi

aspirasi bila dilakukan dengan anestesia umum (Flora dkk, 2014).

Anestesia regional memberikan beberapa keuntungan, antara lain

adalah ibu akan tetap terbangun, mengurangi kemungkinan terjadi aspirasi

dan menghindari depresi neonatus. Efek samping hipotensi dan juga

bradikardia merupakan proses perubahan fisiologis yang paling banyak

terjadi akibat tindakan anestesia spinal. Anestesia spinal dapat

mengakibatkan penurunan tajam pada tekanan darah ibu yang akan

memengaruhi keadaan ibu dan bayi. Hipotensi merupakan penurunan

tekanan darah sistol lebih dari 20–30% dibandingkan dengan pengukuran

dasar atau tekanan darah sistol <100 mmHg. Anestesia spinal

mengakibatkan hipotensi melalui blokade saraf simpatis yang berfungsi

11
mengatur tonus otot polos pembuluh darah. Blokade serabut saraf simpatis

preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi vena, sehingga terjadi

pergeseran volume darah terutama ke bagian splanik dan juga ekstremitas

bawah sehingga akan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Selain itu,

juga terjadi penurunan resistensi pembuluh darah pre dan postkapilar arteri

Kejadian hipotensi dapat menyebabkan gangguan perfusi uteroplasenta

sehingga mengakibatkan hipoksia dan asidosis fetus serta depresi neonatus.

Hipotensi yang berat pada ibu dapat menyebabkan penurunan kesadaran,

aspirasi paru, henti napas, dan henti jantung (Flora dkk, 2014).

Anestesi spinal atau Sub Arachnoid Blok (SAB) telah banyak

digunakan untuk pasien yang menjalanai operasi seksio Sesarea. Namun

dikarenakan adanya perubahan anatomi dan fisiologi pada wanita hamil

penggunaan dosis besar obat anestesi lokal menyebabkan komplikasi akibat

anestesi spinal pada ibu hamil. Salah satu cara untuk mengurangi

komplikasi akibat anestesi spinal pada ibu hamil yaitu menurunkan dosis

anestesi lokal dan menambahkan opioid untuk mempertahankan kualitas

analgesi. SAB memberikan banyak manfaat dan kemudahan termasuk

berkurangnya angka morbiditas dan mortalitas pada maternal dibandingkan

dengan anestesi umum. Mula kerja dan masa pulih yang cepat, relatif

mudah, simple kualitas blok motorik dan sensorik yang baik pada SAB

(Suhanda, 2015).

Penggunaan yang besar spinal anestesi pada operasi seksio sesarea

menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan, terutama komplikasi yang

12
dihubungkan dengan perubahan akibat kehamilan itu sendiri dan tingginya

blokade spinal. Komplikasi tersebut adalah hipotensi, shivering, mual-

muntah bradikardi dan lain lain (Suhanda, 2015).

Ketinggian blok sensorik untuk seksio sesarea adalah sekitar level T4-

T6. Karena pada wanita hamil lebih sensitif terhadap obat anestesi lokal

maka diperlukan pengurangan dosis. Beberapa peneliti menurunkan dosis

bupivakain yang ditambah opioid lipofilik intratekal dapat mengurangi

insiden hipotensi dan mempertahankan kualitas anestesi yang baik. Fentanil

merupakan opioid lipofilik yang banyak digunakan dan mudah didapat.

Fentanil yang bisa diberikan untuk meningkatkan anestesi intraoperatif dan

analgesi post operatif adalah antara 10-25 mcg (Suhanda, 2015).

Berbagai cara digunakan untuk mencegah serta menangani hipotensi

yang terjadi pada seksio sesarea, antara lain posisi uterus miring ke kiri

(minimum 15°) dengan cara mengganjal pelvis atau memiringkan meja,

posisi sedikit head up setelah penyuntikan obat anestesia lokal hiperbarik,

pemberian cairan kristaloid atau koloid sebelum tindakan anestesia spinal,

vasopresor (efedrin, penilefrin, atau dopamin), obat yang paling sering

dipergunakan adalah efedrin, biasanya diberikan secara intravena dengan

dosis 5–10 mg. Cara lain yang dapat dilakukan untuk menangani hipotensi

adalah dengan cara elevasi tungkai bawah dan atau membungkusnya

(mempergunakan stocking) (Flora dkk, 2014).

13
E. Komplikasi

Penggunaan anestesi regional spinal mengalami peningkatan sebab

dianggap lebih murah, mengurangi komplikasi jalan napas serta masa kerja

dan masa pulih lebih cepat dibandingkan anestesi umum. Teknik anestesi

spinal umumnya menggunakan bupivacain yang akan menyebar ke ruamg

sub arachnoid, namun penggunaannya dikaitkan dengan terjadinya

hipotensi. Hal tersebut diakibatkan oleh penurunan resistensi vaskuler akibat

blok simpatis sebagai akibat vasodilatasi (Agus, 2013).

1. Hipotensi

Hipotensi terjadi pada 2-33% pasien dengan anestesi spinal pada

umumnya terjadi 20 menit pertama setelah induksi (Agus, 2013).

Hipotensi didefinisikan sebagai TDS < 80% dari TDS awal. Hipotensi

tejadi bila TDS < 90 mmHg atau terjadi penurunan TDS 25% dari

nilai base line (Sari, 2012).

Berdasarkan suatu penelitian didapatkan bahwa penurunan

tekanan darah rata-rata dari 124/72 mmHg menjadi 67/38 mmHg pada

ibu yang diposisikan terlentang setelah dilakukan tindakan anestesia

spinal pada seksio sesarea, sedangkan yang diposisikan miring,

tekanan darah rata-rata 100/60 mmHg. Perubahan hemodinamik

terjadi karena blokade simpatis vasomotor yang diperberat penekanan

aorta dan vena kava inferior oleh uterus yang membesar pada saat

posisi pasien terlentang. Penurunan tekanan darah ibu yang signifikan

14
akan membahayakan ibu serta janin, apabila penurunan tekanan darah

dan curah jantung tersebut tidak segera diketahui dan ditangani (Flora

dkk, 2014).

Anestesi spinal menyebabkan hambatan simpatis menyebabkan

vasodilatasi arteriol dan vena melalui dua mekanisme yaitu hambatan

langsung pada saraf simpatis dan penurunan katekolamin (Agus,

2013). Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan

meluasnya blokade simpatis dimana mempengaruhi tahanan vaskuler

perifer dan curah jantung. Blokade simpatis yang terbatas pada rongga

thorax tengah atau lebih rendah menyebabkan vasodilatasi anggota

gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi pada anggota gerak

atas atau dengan kata lain vasokonstriksi yang terjadi diatas level dari

blok, diharapkan dapat mengkompensasi terjadinya vasodilatasi yang

terjadi dibawah level blok. Pada level anestesi yang sama, bupivacaine

mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil dibandingkan tetracaine.

Hal ini mungkin disebabkan karena blokade serabut-serabut simpatis

yang lebih besar dengan tetracain di banding bupivacaine. Barisitas

agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap hipotensi selama

anestesi spinal. Agen tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik

dapat lebih menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan agen yang

isobarik ataupun hipobarik. Hal ini dihubungkan dengan perbedaan

level blok sensoris dan simpatis. Dimana agen hiperbarik menyebar

15
lebih jauh daripada agent isobarik maupun hipobarik sehingga

menyebabkan blokade simpatis yang lebih tinggi (Sari, 2012).

Semua anestesi lokal, kecuali cocaine, merelaksasikan otot polos,

yang sebabkan vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang terjadi, yaitu

bradikardi, blokade jantung, dan hipotensi dapat mengkulminasi

terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor biasanya

membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang dapat

sebabkan kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak

disengaja selama anestesi regional mengakibatkan reaksi kardiotoksik

yang berat, termasuk hipotensi, blok atrioventrikular, irama

idioventrikular, dan aritmia yang dapat mengancam nyawa seperti

takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan

adisosis respiratorik merupakan faktor predisposisi (Samodro dkk,

2011).

Strategi untuk mengurangi hipotensi akibat anestesi spinal dapat

melalui penggunaan vasopressor dan pemberian cairan (kristalod

maupun koloid) (Agus, 2013). Pemberian fenilefrin dan efedrin

memiliki keefektifan yang sama. pemberian ephedrine 0.5 mg/kg

sebagai profilaksis dapat secara signifikan menurunkan angka

kejadian hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian ephedrine sebagai

profilaksis dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dari 95 %

menjadi 38 % (Guyton, 2008).

16
Preload cairan yang biasa digunakan adalah kristaloid seperti

ringer laktat. Karena ringer laktat mempunyai komposisi mirip cairan

ekstraseluler (CES = CEF), ringer laktat efektif sebagai terapi

resusitasi dengan pemberian dalam jumlah yang cukup akan efektif

mengatasi defisit volume intravaskuler. Keuntungan dari ringer laktat

antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat

kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan

alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat

disimpan lama. Waktu paruh cairan ringer laktat di ruang

intravaskuler sekitar 20-30 menit.6,7 Secara umum preload dilakukan

15-20 menit sebelum prosedur anestesi spinal di lakukan dengan

jumlah ringer laktat yang di berikan 10-15cc/kgbb.1 Tujuan preload

cairan dengan menggunakan kristaloid adalah meningkatkan volume

sirkulasi untuk meringankan /melawan terjadinya hipovolemi relatif

akibat vasodilatasi yang terjadi karena blok simpatis oleh anestesi

spinal (Sari, 2012).

2. Bradikardi

Bradikardi terjadi pada 8-13% pasien dengan anestesi spinal namun

dapat mencapai 75% jika hambatan mencapai thorakal V (spinal blok

tinggi). Terjadi akibat penurunan tonus vena dan penurunan tekanan

darah (Agus, 2013).

17
3. Transient neurological symptoms

Transient neurological symptoms merupakan kumpulan gejala terdiri

dari nyeri unilateral atau bilateral di daerah paha anterior dan posterior

disertai nyeri punggung bawah 24 jam hingga 2 hari pasca anestesi

spinal dan dapat menghilang dengan pemberian analgesik oral (Agus,

2013).

4. Postdural Puncture Headache

Postdural puncture headache (PDPH) adalah nyeri kepala dengan

intensitas hebat pada daerah occipito-frontal disertai fotofobia,

kekakuan leher, tinnitus dan mual. PDPH umumnya terjadi pada hari

ke 3 hingga ke tujuh pasca anestesi spinal. PDPH diperberat oleh

perubahan posisi (Agus, 2013). Kontrol simpatis pada sistem vena

sangat penting dalam memelihara venous return, vena-vena

mempunyai tekanan darah yang besar dan sebagian besar berisi darah

sirkulasi (70%). Hal ini menyebabkan sistem kardiovaskuler

memelihara homeostasis selama perubahan postural. Blokade simpatis

pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan

menyebabkan venous return menjadi tergantung pada gravitasi. Jika

anggota gerak bawah lebih rendah dari atrium kanan dan vena-vena

berdilatasi, maka akan terjadi sequestering volume darah yang banyak

(pooling vena). Jika terjadi penurunan venous return dan curah

jantung yang bersamaan serta terjadinya penurunan tahanan perifer

18
dapat menyebabkan hipotensi yang berat Hipotensi pada anestesi

spinal sangat dipengaruhi oleh posisi pasien. Pasien dengan posisi

head-up akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan oleh venous

pooling. Oleh karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-

down selama anestesi spinal untuk mempertahankan venous return

(Sari, 2012).

5. Neurologi

Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi

intoksikasi dari anestesi lokal dan merupakan sistem yang

dimonitoring awal dari gejala overdosis pada pasien yang sadar.

Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan

sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda

eksitasi (kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering

menunjukkan adanya depresi sistem saraf pusat (misal, bicara tidak

jelas, mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot yang cepat,

kecil dan spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya

diikuti dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari

blokade selektif pada jalur inhibitor. Anestesi lokal dengan kelarutan

lemak tinggi dan pontensi tinggi menyebabkan kejang pada

konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen anestesi

dengan potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah

otak dan pemaparan obat, benzodiazepin dan hiperventilasi

meningkatkan batas ambang terjadinya kejang karena anestesi lokal.

19
Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat menghentikan kejang.

Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus tetap dipertahankan

(Samodro dkk, 2011).

6. Mual muntah pasaca bedah (post operative nause and vomitting)

Mual muntah adalah hal lazim yang terjadi akibat anestesi spinal pada

bedah caesar. Mual muntah dihubungkan dengan hipotensi, nyeri

visceral, dan pemberian obat- obatan seperti oksitosin. Nyeri visceral

terjadi saat uterus mengalami eksteriorisasi, tarikan peritoneum,

maupun saat penjahitan fascia berkaitan dengan nyeri visceral yang

menstimulasi aferen vagal (Agus, 2013).

Opiod intratekal bermanfaat dalam menurunkan obat anti muntah intra

operatif. Penggunaan obat anestes lokal dengan fentnyl akan

menurunkan ketidaknyamanan intra operatif saat tarikan peritoneum

sehingga menurunkan insiden mual dan muntah intraoperatif.

Pemberian epedrin secepatnya pada hipotensi mampu menurunkan

insiden mual muntah. Untuk mengatasi mual muntah biasa diberikan

obat antiserotogenik (misalnya ondansetron) maupun anti

dopaminergik (misalnya metoclopramide, obat golongan anti histamin

dan deksametason juga efektif sebagai anti muntah (Agus, 2013).

20
Daftar Pustaka

Agus, H. 2013. Perbandingan Keefektivan Antara Teknik Anestesia Spinal yang

Menggunakan Bupivacain 0,5% Hiperbarik 5 dan 7,5 mg Ditambah

Fentanyl 25mcg Pada Bedah Caesar. Thesis. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Fahruddin, Amrin, I., Wahyudi. 2017. Perbandingan Efek Antara

Dexmedetomidin Dosis 0,25mcg/kg Intra Vena Terhadap Durasi Blok

Anestesi Spinal pada Ekstremitas Bawah. Jurnal Kesehatan Tadulako

3(2):1- 75.

Flora, L., Redjeki, I. Sri., Wargahadibrata, A. Himendra. 2014. Perbandingan

Efek Anestesi Spinal dengan Anestesi Umum Terhadap Kejadian

Hipotensi dan Nilai Apgar Bayi Pada Seksio Caesaria. Jurnal Anesetesi

Perioperatif 2(2): 16- 105.

Hall JE, Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed 11. Jakarta. EGC.

Ibnu, M., Yadi, D. Fitri, Oktaliansah, E. 2017. Penggunaan Teknik Obat dan

Permasalahan Blokade Epidural di Wilayah Jawa Barat pada Tahun 2015.

Jurnal Anestesi Perioperatif 5 (3):9- 171.

Lokaria, A. Mulyanto, Ridwan, M. Febry, M. Oenzil, F. 2015. Pengujian

Efektivitas Capsicum Sebagai Sumber Capsaicin Ko-Anestesi Pada

Anestesi Lokal. MKA 38 (2): 73- 79.

Longdong, J. F., Redjeki, I. Sri., Wargahadibata, A. H. 2013. Perbandingan

Efektivitas Anestesi Spinal Menggunakan Bupivacain Isobarik dengan

21
Bupiacain Hiperbarik pada Pasien yang Menjalani Operasi Abdomen

Bagian Bawah. Jurnal Anestesi Perioperatif 1(2): 69- 77.

Samodro, R., Sutiyono, D., Satoto, H., Hedrianto. 2011. Mekanisme Kerja Obat

Anestesi Lokal. Jurnal Anestesilogi Indonesia 3 (1):48- 59.

Sari, N Kartika. 2012. Perbedaan Tekanan Darah Pasca Anestesi Spinal dengan

Pemberian Preload dan Tanpa Pemberian Preload 20 cc/kgBB Ringer

Laktat. Program Studi Pendidikan Dokter. Universitas Diponegoro.

Suhanda, R. Maret, Y.P. Bhirowo, Widyastuti, Y. 2015. Perbandingan Antara

Durasi Blok Sensorik dan Motorik

pada Seksio Sesarea dengan Spinal Anestesi Kombinasi Bupivakain

0,5% Hiperbarik 5 mg dan Fentanil 25 mg dengan Bupivakain 0,5%

Hiperbarik 7,5 mg dan Fentanil 15 mg. Jurnal Komplikasi Anestesi

2(3):19- 26.

22

Anda mungkin juga menyukai