Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN
Airway management atau manajemen jalan nafas adalah tindakan yang
dilakukan untuk membebaskan jalan nafas dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal. Tujuannya adalah membebaskan jalan nafas untuk menjamin jalan
masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase
tubuh.
Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan nafas
pasien. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan nafas
berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung
jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap
kontrol pernafasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan
menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan nafas dan kesalahan dalam
tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien
tersebut1.
Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan
ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi
mengalami mati jantung (cardiac arrest). Salah satu penyebab utama dari hasil
akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society of
Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernafasan
yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Oleh
karena itu pengkajian pernafasan pada situasi gawat darurat penting dilakukan
secara efektif dan efisien2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Airway Management ialah memastikan jalan nafas tetap terbuka. Menurut
The Commitee on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan,
yaitu dengan triple airway maneuver dan maneuver Heimlich1,3.
Pada triple airway maneuver terdapat tiga perlakuan yaitu:

Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher,


sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan
satu tangan dan kepala ditengadahkan ke belakang oleh tangan

yang lain.
Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah
obstruksi hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini
meregangkan jaringan antara laring dan rahang bawah.

Menarik atau mengangkat dasar lidah dari dinding faring


posterior.

Maneuver Heimlich
Maneuver Heimlich merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi
obstruksi saluran pernafasan atas akibat makanan atau benda asing yang
terperangkap dalam faring posterior atau glotis.
Korban menjadi pucat yang diikuti dengan sianosis, anoksia dan kematian. Pada
kondisi tersebut di atas, maneuver dapat dilaksanakan dengan posisi penolong
berdiri atau berbaring.
a. Korban dalam keadaan sadar
Penolong berdiri di belakang korban dan memeluk pinggang korban dengan kedua
belah tangan, kepalan salah satu tangan digenggam oleh tangan yang lain. Sisi ibu
jari kepalan penolong menghadap abdomen korban diantara umbilikus dan

thoraks. Kepalan tersebut ditekankan dengan sentakan ke atas yang cepat pada
abdomen korban. Penekanan tersebut tidak boleh memantul, dan pada waktu di
puncak tekanan perlu diberi waktu untuk menahan 0.5-1 detik dan setelah itu
tekanan dilepas, perbuatan ini harus diulang-ulang beberapa kali. Naiknya
diafragma secara mendadak menekan paru-paru yang dibatasi oleh dinding rongga
dada, meningkatkan tekanan intrathorakal dan memaksa udara serta benda asing
keluar dari dalam saluran pernafasan.
b. Korban dalam keadaan tidak sadar
Korban berbaring terlentang dan penolong berlutut melangkahi panggul korban.
Penolong menumpukan kedua belah tanggannya dan meletakkan pangkal salah
satu telapak tangan pada abdomen korban, kemudian melaksanakan prosedur yang
sama pada posisi berdiri3.

Gambar 1. Maneuver Heimlich


Sumber: Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen
BF, Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.

Untuk menilai jalan

nafas, terdapat 3 tahapan,

yaitu:
1. Look (lihat
daerah bibir, dan pengembangan dada),
2. Listen (dengar suara nafas),
3. Feel (rasakan hembusan nafas).

sumbatan pada jalan nafas,

Gambar 2. Look, Listen, and Feel


Sumber: Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen
BF, Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.

Sumbatan jalan nafas dapat total atau partial. Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor.
2. Retraksi otot dada kedalam di daerah supraklavikula, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi.
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot pernafasan meningkat).
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang
lebih berat.
Tanda-tanda obstruksi total:
Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor
justru menghilang.
1. Retraksi lebih jelas.
2. Gerak paradoksal lebih jelas.
3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.
4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.
5. Sianosis lebih cepat timbul.
Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah
hiperkarbia), henti nafas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam waktu 5
10 menit. Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera, karena dapat

menyebabkan kerusakan otak, serta dapat menyebabkan henti nafas dan henti
jantung sekunder1,2.
2.2 Anatomi
Pengetahuan tentang anatomi hipofaring penting untuk pengelolaan jalan
nafas. Batas superior hipofaring adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.
Bila hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring indirek
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring direk, maka struktur pertama
yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan
ligamnetum glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong
pil, sebab pada beberapa orang kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut
di valekula. Dibawah valekula terdapat epiglotis yang berfungsi untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan1.

Gambar 3. Laring dilihat dari laringoskopi


Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in
Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8

Gambar 4. Anatomi Laring (anterior)


Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in
Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8

Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan nafas adalah hipofaring,


terjadi pada pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat
mengangkat dasar lidah dari dinding belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada
posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh karena itu ekstensi kepala merupakan
langkah pertama yang terpenting dalam resusitasi, karena gerakan ini akan
meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan terangkat dari
dinding

belakang

faring.

Kadang-kadang

sebagai

tambahan

diperlukan

pendorongan mandibula kedepan untuk meregangkan leher anterior, terutama bila


sumbatan hidung memerlukan pembukaan mulut. Hal ini akan mengurangi
regangan struktur leher tadi. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula
kedepan dan pembukaan mulut merupakan gerak jalan nafas tripel. Pada kirakira 1/3 pasien yang tidak sadar rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena
palatum mole bertindak sebagai katup. Selain itu rongga hidung dapat tersumbat
oleh kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh, maka usaha inspirasi dapat
menghisap dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan nafas. Sumbatan jalan
nafas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan mandibula serta dapat
saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi dapat menolong
drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan sumbatan jaringan
lunak hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar lidah seperti diterangkan

diatas tetap diperlukan.


Penyebab lain sumbatan jalan nafas adalah benda asing, seperti muntahan
atau darah dijalan nafas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh
pasien yang tidak sadar. Laringospasme biasanya disebabkan oleh rangsangan
jalan nafas atas pada pasien stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas
bawah dapat disebabkan oleh bronkospasme, sekresi bronkus, edema mukosa,
inhalasi isi lambung atau benda asing1,3.

Tabel 1. Perbedaan Anatomis Antara Anak dan Orang Dewasa


Secara proporsional, ukuran pada anak lebih kecil

Bagian tersempit: kartilago krikoid pada anak; plika vokalis pada orang
dewasa

Daerah vertikal : C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang dewasa

Epiglotis : pada anak lebih panjang, lebar dan kaku

Pada anak, plika ariepiglotika lebih dekat ke daerah midline

Pita suara: pada anak, sudut anterior bersinggungan secara tegak lurus
dengan laring

Pada anak kartilago laring dapat dibengkokkan

Mukosa pada anak cenderung mudah rusak karena tindakan manipulatif

Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

2.3 Pengelolaan Jalan Nafas Darurat


Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras atau selipkan papan
kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat
faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama
tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini
dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
1. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain

mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap


keatas dan epiglotis terbuka.
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust maneuver)
Pada pasien dengan

trauma leher, rahang bawah diangkat didorong

kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Lidah ikut


tertarik dan jalan nafas terbuka karena lidah melekat pada rahang bawah.

Gambar 5. Jaw Thrust Maneuver


Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk
Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan maneuver triple airway (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda
asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horizontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala
dibawah (head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi.
Jangan meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai,
menyebabkan sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan untuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk
yang dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan
sekali-kali meletakkan bantal dibawah kepala pasien yang tidak sadar (dapat
menyebabkan leher fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali

pada intubasi trakea.


Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban
kesamping, jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk
membersihkan jalan nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu
garis lurus, sementara penolong lain memiringkan korban. Posisi mantap
dianjurkan utnuk pasien koma bernafas spontan1,3.
2.4 Pengelolaan Jalan Nafas dengan Alat
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior
faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai
untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan
nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung
untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior. Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau
spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih
intak. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan
refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel
lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/oropharyngeal
airway No 3), medium (90 mm/oropharyngeal airway no 4), dan besar (100
mm/oropharyngeal airway no 5)1.

10

Gambar 6.
A. oropharyngeal airway

B. nasopharyngeal airway

Sumber: Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2006, p. 791-811.

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Nasal
airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak
dengan adenoid karena adanya risiko epistaksis. Nasal airway jangan digunakan
pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui
hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakeal) harus dilubrikasi. Nasal
airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi
ringan1,3.
2.4.1 Bentuk dan Teknik Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan
rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien.
Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui
konektor. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan
muntahan. Face mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk
menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai
untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Beberapa macam mask untuk pediatrik dirancang untuk mengurangi dead space4,5.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face

11

mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit
breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas3,4.

Gambar 7. Clear Adult Mask


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in
Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Gambar 8. Teknik one-handed face mask


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in
Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

12

13

Gambar 9. Teknik two-handed face mask


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in
Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memompa breathing bag.
Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask
dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk
ekstensi atlantooccipital joint. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan
pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi
jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan
untuk jaw thrust maneuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi
pasien3,5.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face mask yang rapat karena itu diperlukan seorang
asisten untuk memompa bag. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena
tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Terkadang sulit
memasang face mask rapat ke muka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi
tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin

14

dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Tekanan normal ventilasi jangan


melebihi 20 cmH2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung4.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
diubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus
diplester untuk menghindari risiko aberasi kornea3,5.
2.4.2 Bentuk dan Teknik Laryngeal Mask Airway (LMA)
Penggunaan

LMA meningkat

untuk

menggantikan

pemakaian face

mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan


pemasangan TT pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu
ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkoskop. LMA
memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas
dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang
dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang
memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan
ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi
bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit5.

Gambar 10. Laryngeal Mask Airway


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in
Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

15

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang diakhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah

16

ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam


dibandingkan untuk memasukan oral airway. Posisi ideal dari balon adalah dasar
lidah di bagian superior, sinus piriforme di bagian lateral, dan esophageal
sphincter bagian atas di inferior. Jika esofagus terletak di rim balon, distensi
lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi
LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi
semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan
klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil.
Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan
terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan
laringoskop atau bronkoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang
sulit. Demikian juga, sebagian balon dikembungkan sebelum insersi dapat sangat
membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi
faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap
dipertahankan pada tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini
biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah.
LMA yang dapat dipakai lagi dibuat dari karet silikon, dapat di autoklaf (bebas
lateks) dan tersedia dalam berbagai ukuran.

17

Tabel 2.

Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System


in Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Tabel 3.

Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

18

Tabel 4.

Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in


Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal),
atau compliance paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang
memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cmH2O. Secara
tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkospasme akan tetapi, buktibukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea,
penggunaan LMA mengurangi kejadian bronkospasme dari pada dengan TT.
Walaupun hal ini nyata tidak sebagai pengganti untuk trakeal intubasi, LMA
terbukti sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit
(yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) karena mudah untuk memasangnya
dan angka keberhasilannya relatif besar (95 - 99%). LMA telah digunakan sebagai
pipa untuk jalur stylet (elastic gum, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB,
atau TT diameter kecil (6,0 mm).
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT
yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan
nafas harus bebas seraya pasiennya sadar5.

19

2.4.3 Bentuk dan Teknik Esophageal Tracheal Combitube (ETC)


Pipa kombinasi esofagus trakea terbuat dari gabungan 2 pipa, masingmasing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih
panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparan berukuran yang lebih
pendek punya ujung distal terbuka. ETC ini biasanya dipasangkan secara buta
melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara
gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk dikembungkan, 100 ml untuk
balon prosikmal dan 15 ml untuk balon distal, keduanya harus dikembungkan
secara penuh setelah pemasangan. Pipa bening yang lebih pendek dapat digunakan
untuk dekompresi lambung. Pilihan lain, jika ETC masuk ke dalam trakea, maka
ventilasi langsung ke trakea melalui pipa yang bening. Meskipun pipa kombinasi
masih terdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam
algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter
anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien
dengan jalan nafas yang sulit5.
2.4.4 Bentuk dan Teknik Tracheal Tube (TT)
TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea
dan mengontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT
(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT
kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Bentuk dan kekakuan dari TT dapat
diubah dengan pemasangan mandrin. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu
penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah
lubang (Murphys Eye) untuk mengurangi risiko sumbatan pada bagian distal tuba
bila menempel dengan karina atau trakea5.

20

Gambar 11. Murphy Tracheal Tube


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Tabel 5.

Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing


System in Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill;
2007.

Tahanan aliran udara tergantung terutama dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Pemilihan pipa perlu
dipertimbangkan antara memaksimalkan aliran gas dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri
dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang dikembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakea yang rapat, balon TT
memungkinkan

dilakukannya

ventilasi

tekanan

positif

dan

mengurangi

21

kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anakanak.
Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskemia mukosa trakea dan kurang nyaman untuk intubasi waktu lama. Balon
tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area
kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit (karena
adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi kerusakan mukosa
rendah, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trakea, trakea dan komplians balon, dan
tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan
balon dapat naik selama anestesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari
mukosa trakeal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja
menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim (contoh pasien bangun dan
menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus
lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double
lumen tube). Semua TT bersifat radioopak3,5.
2.4.5 Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trakea. Handle biasanya berisi batere untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade.
Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Bentuk blade
ada yang melengkung dan lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari anatomi
pasien5.

22

Gambar 12. Rigid laryngoscope


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in
Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Gambar 13. Jenis-jenis laryngoscope blades


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in
Clinical Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

2.4.6 Laringoskop Khusus


Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringoskop baru yang telah dibuat,
untuk membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan

23

nafas yang sulit.

A. Laringoskop Bullard

B. Laringoskop Wu

Gambar 14. A. Laringoskop Bullard. B. Laringoskop Wu


Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptik dan blade yang melengkung


dengan ujung yang panjang, dan dirancang untuk membantu melihat muara glotis
pada pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior.
Banyak dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang
memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang
digunakan jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada
pasien normal sebelum digunakan pada saat penting dan emergensi pada pasien
dengan jalan nafas sulit5.

24

2.4.7 Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)


Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporomandibular joint, atau dengan
kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas, laringoskopi
langsung menggunakan rigid laringoskop tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang
fleksibel memungkinkan visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa
kasus atau untuk beberapa situasi dimana direncanakan intubasi sadar (awake
intubation). FOB yang dibuat dari fibre glass ini mengalirkan cahaya dan gambar
oleh refleksi internal contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber dan
terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2 bundel
dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000 fiber. Satu bundel menyalurkan
cahaya dari sumber cahaya yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle dan
memberikan gambaran resolusi tinggi.

Gambar 15. A. Cross section of a fiberoptic bronchoscope


B. A flexible fiberoptic bronchoscope with a fixed light source
Sumber: Morgan
GE, Mikhail
Murray MJ. pipa
Breathing
System dengan
in Clinical
Manipulasi
langsung
untuk MS,
memasangkan
dilakukan
kawat
Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi
oksigen atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk
dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehatihatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan5.

25

2.5 Kesulitan dalam Pengelolaan Jalan Nafas


Beberapa pasien menunjukkan anatomi yang normal dan tidak sulit, tetapi
ada juga yang sulit untuk diintubasi. Hal ini dapat menyebabkan masalah anestesi
yang tidak terduga. Sebaiknya kita dapat mengantisipasi kesulitan daripada
menemukan sesuatu yang tidak diharapkan. Beberapa faktor anatomi yang
membuat kontrol jalan nafas dan intubasi yang sulit1:

Leher pendek

Gigi yang lengkap, gigi kelinci

Lengkung langit-langit (palate) yang tinggi

Pembukaan mulut yang buruk: jarak antara gigi atas dan gigi bawah
kurang dari tiga jari

Mandibula yang mundur

Tidak dapat menggerakkan / subluksasi rahang (penonjolan maju dari gigi


seri bawah melebihi gigi seri atas)

Beberapa tes klinis digunakan dalam menilai jalan nafas. Tidak satupun
dapat diandalkan dalam memprediksi jalan nafas atau intubasi yang sulit, dan
semuanya harus digunakan dalam kombinasi sehingga penilaian jalan nafas dapat
lebih baik.

Sistem Skoring Mallampati


Skoring Mallampati dapat memprediksi sekitar 50% dari intubasi yang sulit.
Penilaian dapat dilakukan pada pasien dengan posisi tegak lurus atau terlentang.
Dasarnya adalah terlihatnya struktur faring saat mulut dibuka selebar-lebarnya.
Pasien diklasifikasi sebagai berikut

26

Gambar 16. Kelas penilaian skoring Mallampati


Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk
Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

Kelas
I
II
III
IV

Tabel 6. Interpretasi kelas penilaian skoring Mallampati


Definisi
Faucial pillars, soft palate, dan uvula terlihat
Faucial pillars, soft palate terlihat, tapi uvula sedikit ditutupi
oleh dasar lidah
Hanya soft palate yang terlihat
Soft palate tidak terlihat

Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

27

Gambar 17. Rongga Mulut


Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk
Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

28

Pasien dengan kelas III dan IV perlu dipikirkan mengarah pada intubasi
yang sulit, dan kelas I dan II mengarah ke intubasi yang mudah. Harus
diperhatikan bahwa sistem ini tidaklah mutlak, dan pasien dengan kelas II
terkadang juga tidak dapat diintubasi5.

Pergerakan kepala dan leher


Fleksi dan ekstensi >900 pada orang normal.

Pergerakan rahang dan mandibula


Periksa apakah pembukaan mulut pada pasien normal yaitu harus memiliki jarak
interinsisivus > 5 cm (lebar sekitar tiga jari). Periksa bila pasien tidak memiliki
gigi kelinci atau rahang yang mundur. Idealnya, gigi seri bawah (insisivus
bawah) harus dapat dijulurkan melebihi gigi seri atas. Jika tes ini tidak dapat
dilakukan maka jalan nafas mungkin akan sulit untuk dikendalikan.

Jarak tiromental
Jarak tiromental (Tes Patil) adalah jarak dari kartilago tiroid ke bagian paling
menonjol dari dagu saat leher dibentangkan penuh ke atas. Dalam ketiadaan dari
faktor anatomis lainnya, jika jarak >6.5 cm, masalah seharusnya tidak ada saat
intubasi. Jarak <6 cm memberi kesan laringoskopi akan tidak mungkin, dan jarak
6-6.5 cm mengesankan laringoskopi tampak sulit tapi mungkin dilakukan.
Pengukuran ini dapat memprediksi hingga 75% untuk intubasi yang sulit.

29

Gambar 18. Jarak tiromental


Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in
Petunjuk Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.

Jarak sternomental
Jarak ini diklaim dapat memprediksi hingga 90% untuk intubasi yang sulit. Jarak
dari batas atas manubrium sterni ke ujung dagu paling atas, dengan mulut ditutup
dan kepala dibentangkan penuh keatas. Jarak <12.5 cm mengindikasikan intubasi
yang sulit.

30

BAB III
KESIMPULAN
Airway Management ialah memastikan jalan nafas tetap terbuka. Menurut
The Commitee on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan,
yaitu dengan triple airway maneuver dan maneuver Heimlich.
Pada pengelolaan jalan nafas darurat, lidah dan epiglotis menjadi penyebab
utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal
ini dapat dilakukan head tilt-chin lift maneuver dan jaw thrust maneuver. Jika
henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi terlentang,
lakukan maneuver triple airway (kepala tengadah, rahang didorong kedepan,
mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing lainnya,
bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Pada keadaan hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang
dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding
posterior faring. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan
(artificial airway) seperti oropharyngeal airway, face mask, Laryngeal Mask
Airway (LMA), Esophageal Tracheal Combitube (ETC), Tracheal Tube (TT),
Rigid Laryngoscope, laringoskop Bullard, laringoskop Wu, dan Flexible
Fiberoptic Bronchoscope (FOB) dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan adanya
aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
diubah untuk menghindari cedera.
Penggunaan

LMA meningkat

untuk

menggantikan

pemakaian face

mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan


pemasangan TT pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu
ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkoskop. LMA

31

memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas


dibandingkan combitube.
Ada 2 tipe balon tracheal tube yaitu balon dengan tekanan tinggi volume
rendah dan tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan
besarnya iskemia mukosa trakea dan kurang nyaman untuk intubasi waktu lama.
Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas
area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit
(karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi kerusakan
mukosa rendah, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporomandibular joint, atau dengan
kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas, laringoskopi
langsung menggunakan rigid laringoskop tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang
fleksibel memungkinkan visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa
kasus atau untuk beberapa situasi dimana direncanakan intubasi sadar.
Beberapa tes klinis digunakan dalam menilai jalan nafas. Tidak satupun
dapat diandalkan dalam memprediksi jalan nafas atau intubasi yang sulit, dan
semuanya harus digunakan dalam kombinasi sehingga penilaian jalan nafas dapat
lebih baik.
Skoring Mallampati dapat memprediksi sekitar 50% dari intubasi yang sulit.
Penilaian dapat dilakukan pada pasien dengan posisi tegak lurus atau terlentang.
Dasarnya adalah terlihatnya struktur faring saat mulut dibuka selebar-lebarnya.
Pasien dengan kelas III dan IV perlu dipikirkan mengarah pada intubasi yang
sulit, dan kelas I dan II mengarah ke intubasi yang mudah. Harus diperhatikan
bahwa sistem ini tidaklah mutlak, dan pasien dengan kelas II terkadang juga tidak
dapat diintubasi.

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk
Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
2. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th
ed. 2000.
3. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of Blood Flow and
Ventilation in The Lung: Gravity Is Not The Only Factor. British Journal
of Anesthesia; 2007, 98: 420-8.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

Anda mungkin juga menyukai