BAB I
PENDAHULUAN
Airway management atau manajemen jalan nafas adalah tindakan yang
dilakukan untuk membebaskan jalan nafas dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal. Tujuannya adalah membebaskan jalan nafas untuk menjamin jalan
masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase
tubuh.
Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan nafas
pasien. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan nafas
berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung
jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap
kontrol pernafasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan
menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan nafas dan kesalahan dalam
tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien
tersebut1.
Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan
ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi
mengalami mati jantung (cardiac arrest). Salah satu penyebab utama dari hasil
akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society of
Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernafasan
yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Oleh
karena itu pengkajian pernafasan pada situasi gawat darurat penting dilakukan
secara efektif dan efisien2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Airway Management ialah memastikan jalan nafas tetap terbuka. Menurut
The Commitee on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan,
yaitu dengan triple airway maneuver dan maneuver Heimlich1,3.
Pada triple airway maneuver terdapat tiga perlakuan yaitu:
yang lain.
Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah
obstruksi hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini
meregangkan jaringan antara laring dan rahang bawah.
Maneuver Heimlich
Maneuver Heimlich merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi
obstruksi saluran pernafasan atas akibat makanan atau benda asing yang
terperangkap dalam faring posterior atau glotis.
Korban menjadi pucat yang diikuti dengan sianosis, anoksia dan kematian. Pada
kondisi tersebut di atas, maneuver dapat dilaksanakan dengan posisi penolong
berdiri atau berbaring.
a. Korban dalam keadaan sadar
Penolong berdiri di belakang korban dan memeluk pinggang korban dengan kedua
belah tangan, kepalan salah satu tangan digenggam oleh tangan yang lain. Sisi ibu
jari kepalan penolong menghadap abdomen korban diantara umbilikus dan
thoraks. Kepalan tersebut ditekankan dengan sentakan ke atas yang cepat pada
abdomen korban. Penekanan tersebut tidak boleh memantul, dan pada waktu di
puncak tekanan perlu diberi waktu untuk menahan 0.5-1 detik dan setelah itu
tekanan dilepas, perbuatan ini harus diulang-ulang beberapa kali. Naiknya
diafragma secara mendadak menekan paru-paru yang dibatasi oleh dinding rongga
dada, meningkatkan tekanan intrathorakal dan memaksa udara serta benda asing
keluar dari dalam saluran pernafasan.
b. Korban dalam keadaan tidak sadar
Korban berbaring terlentang dan penolong berlutut melangkahi panggul korban.
Penolong menumpukan kedua belah tanggannya dan meletakkan pangkal salah
satu telapak tangan pada abdomen korban, kemudian melaksanakan prosedur yang
sama pada posisi berdiri3.
yaitu:
1. Look (lihat
daerah bibir, dan pengembangan dada),
2. Listen (dengar suara nafas),
3. Feel (rasakan hembusan nafas).
Sumbatan jalan nafas dapat total atau partial. Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor.
2. Retraksi otot dada kedalam di daerah supraklavikula, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi.
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot pernafasan meningkat).
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang
lebih berat.
Tanda-tanda obstruksi total:
Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor
justru menghilang.
1. Retraksi lebih jelas.
2. Gerak paradoksal lebih jelas.
3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.
4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.
5. Sianosis lebih cepat timbul.
Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah
hiperkarbia), henti nafas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam waktu 5
10 menit. Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera, karena dapat
menyebabkan kerusakan otak, serta dapat menyebabkan henti nafas dan henti
jantung sekunder1,2.
2.2 Anatomi
Pengetahuan tentang anatomi hipofaring penting untuk pengelolaan jalan
nafas. Batas superior hipofaring adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.
Bila hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring indirek
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring direk, maka struktur pertama
yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan
ligamnetum glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong
pil, sebab pada beberapa orang kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut
di valekula. Dibawah valekula terdapat epiglotis yang berfungsi untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan1.
belakang
faring.
Kadang-kadang
sebagai
tambahan
diperlukan
Bagian tersempit: kartilago krikoid pada anak; plika vokalis pada orang
dewasa
Daerah vertikal : C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang dewasa
Pita suara: pada anak, sudut anterior bersinggungan secara tegak lurus
dengan laring
Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan maneuver triple airway (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda
asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horizontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala
dibawah (head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi.
Jangan meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai,
menyebabkan sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan untuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk
yang dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan
sekali-kali meletakkan bantal dibawah kepala pasien yang tidak sadar (dapat
menyebabkan leher fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali
10
Gambar 6.
A. oropharyngeal airway
B. nasopharyngeal airway
Sumber: Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2006, p. 791-811.
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Nasal
airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak
dengan adenoid karena adanya risiko epistaksis. Nasal airway jangan digunakan
pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui
hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakeal) harus dilubrikasi. Nasal
airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi
ringan1,3.
2.4.1 Bentuk dan Teknik Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan
rapat. Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien.
Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui
konektor. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan
muntahan. Face mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk
menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai
untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Beberapa macam mask untuk pediatrik dirancang untuk mengurangi dead space4,5.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face
11
mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit
breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas3,4.
12
13
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memompa breathing bag.
Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask
dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk
ekstensi atlantooccipital joint. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan
pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi
jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan
untuk jaw thrust maneuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi
pasien3,5.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face mask yang rapat karena itu diperlukan seorang
asisten untuk memompa bag. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena
tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Terkadang sulit
memasang face mask rapat ke muka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi
tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin
14
LMA meningkat
untuk
menggantikan
pemakaian face
15
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang diakhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah
16
17
Tabel 2.
Tabel 3.
Sumber: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.
18
Tabel 4.
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal),
atau compliance paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang
memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cmH2O. Secara
tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkospasme akan tetapi, buktibukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea,
penggunaan LMA mengurangi kejadian bronkospasme dari pada dengan TT.
Walaupun hal ini nyata tidak sebagai pengganti untuk trakeal intubasi, LMA
terbukti sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit
(yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) karena mudah untuk memasangnya
dan angka keberhasilannya relatif besar (95 - 99%). LMA telah digunakan sebagai
pipa untuk jalur stylet (elastic gum, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB,
atau TT diameter kecil (6,0 mm).
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT
yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan
nafas harus bebas seraya pasiennya sadar5.
19
20
Tabel 5.
Tahanan aliran udara tergantung terutama dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Pemilihan pipa perlu
dipertimbangkan antara memaksimalkan aliran gas dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri
dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang dikembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakea yang rapat, balon TT
memungkinkan
dilakukannya
ventilasi
tekanan
positif
dan
mengurangi
21
kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anakanak.
Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskemia mukosa trakea dan kurang nyaman untuk intubasi waktu lama. Balon
tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area
kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit (karena
adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi kerusakan mukosa
rendah, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trakea, trakea dan komplians balon, dan
tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan
balon dapat naik selama anestesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari
mukosa trakeal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja
menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim (contoh pasien bangun dan
menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus
lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double
lumen tube). Semua TT bersifat radioopak3,5.
2.4.5 Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trakea. Handle biasanya berisi batere untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade.
Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Bentuk blade
ada yang melengkung dan lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari anatomi
pasien5.
22
23
A. Laringoskop Bullard
B. Laringoskop Wu
24
yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi
oksigen atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk
dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehatihatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan5.
25
Leher pendek
Pembukaan mulut yang buruk: jarak antara gigi atas dan gigi bawah
kurang dari tiga jari
Beberapa tes klinis digunakan dalam menilai jalan nafas. Tidak satupun
dapat diandalkan dalam memprediksi jalan nafas atau intubasi yang sulit, dan
semuanya harus digunakan dalam kombinasi sehingga penilaian jalan nafas dapat
lebih baik.
26
Kelas
I
II
III
IV
Sumber: Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
27
28
Pasien dengan kelas III dan IV perlu dipikirkan mengarah pada intubasi
yang sulit, dan kelas I dan II mengarah ke intubasi yang mudah. Harus
diperhatikan bahwa sistem ini tidaklah mutlak, dan pasien dengan kelas II
terkadang juga tidak dapat diintubasi5.
Jarak tiromental
Jarak tiromental (Tes Patil) adalah jarak dari kartilago tiroid ke bagian paling
menonjol dari dagu saat leher dibentangkan penuh ke atas. Dalam ketiadaan dari
faktor anatomis lainnya, jika jarak >6.5 cm, masalah seharusnya tidak ada saat
intubasi. Jarak <6 cm memberi kesan laringoskopi akan tidak mungkin, dan jarak
6-6.5 cm mengesankan laringoskopi tampak sulit tapi mungkin dilakukan.
Pengukuran ini dapat memprediksi hingga 75% untuk intubasi yang sulit.
29
Jarak sternomental
Jarak ini diklaim dapat memprediksi hingga 90% untuk intubasi yang sulit. Jarak
dari batas atas manubrium sterni ke ujung dagu paling atas, dengan mulut ditutup
dan kepala dibentangkan penuh keatas. Jarak <12.5 cm mengindikasikan intubasi
yang sulit.
30
BAB III
KESIMPULAN
Airway Management ialah memastikan jalan nafas tetap terbuka. Menurut
The Commitee on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan,
yaitu dengan triple airway maneuver dan maneuver Heimlich.
Pada pengelolaan jalan nafas darurat, lidah dan epiglotis menjadi penyebab
utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal
ini dapat dilakukan head tilt-chin lift maneuver dan jaw thrust maneuver. Jika
henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi terlentang,
lakukan maneuver triple airway (kepala tengadah, rahang didorong kedepan,
mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing lainnya,
bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Pada keadaan hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang
dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding
posterior faring. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan
(artificial airway) seperti oropharyngeal airway, face mask, Laryngeal Mask
Airway (LMA), Esophageal Tracheal Combitube (ETC), Tracheal Tube (TT),
Rigid Laryngoscope, laringoskop Bullard, laringoskop Wu, dan Flexible
Fiberoptic Bronchoscope (FOB) dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan adanya
aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
diubah untuk menghindari cedera.
Penggunaan
LMA meningkat
untuk
menggantikan
pemakaian face
31
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesi in Petunjuk
Praktis Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
2. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th
ed. 2000.
3. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of Blood Flow and
Ventilation in The Lung: Gravity Is Not The Only Factor. British Journal
of Anesthesia; 2007, 98: 420-8.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesiology 4th ed. McGraw-Hill; 2007.