ILMU ANESTESI
PRE OPERATIVE VISITE, PERSIAPAN ANESTESI, PREMEDIKASI,
RUANG PULIH SADAR
Pembimbing
dr. Subagdja Nata Atmaja, Sp. An
Penyusun :
Pembimbing
Penyusun
Penyusun:
Disahkan oleh :
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmatNya sehingga refrat yang berjudul “Pre Operative
Visite, Persiapan Anestesi, Premedikasi, Ruang Pulih Sadar” ini dapat
selesei dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini disusun sebagai salah
satu tugas referat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
kepaniteraan klinik di bagian ilmu anestesi di RSAL Surabaya.
Kami ucapkan terima kasih kepada dr.Subagdja Nata Atmaja,
Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, sehingga
referat ini bisa terselesaikan dengan baik. Kami ucapkan terima kasih juga
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat
ini.
Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami
menyadari referat ini jauh dari nilai kesempurnaan, oleh karena itu kritik
maupun saran yang membangun selalu diharapkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... i
iii
2.4.6. Masalah di ruang pulih sadar ......................................................... 30
2.4.7. Kriteria pasien untuk dipindahkan di ruang perawatan/ICU ........... 30
BAB 3 KESIMPULAN ...................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 37
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
9. Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit, pendidikan
kedokteran dan fasilitas rawat jalan yang diperlukan untuk
implementasi pertanggungjawaban.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pra Anestesia
2.1.1 Kunjungan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anesthesia. Dokter
spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien
dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien
pada waktu dibedah dalam keadaan bugar
Tujuan kunjungan pra anesthesia:
1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
pemeriksaan lain.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian
kkomplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.
4. Mengurangi angka kesakitan operasi
5. Mengurangi biaya operasi
6. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
7. Membina hubungan baik antara dokter dengan pasien
8. Mengetahui riwayat anestesi, riwayat penyakit dahulu dan sekarang,
serta riwayat pembedahan
9. Menyelenggarakan pemeriksaan fisik
10. Melakukan pemeriksaan khusus
11. Menentukan status fisik dan menilai resiko anestesi dan
pembedahan, bila perlu menunda atau membatalkan operasi
12. Mengadakan pengelolaan pre-operatif
13. Merencanakan dan menentukan obat premedikasi, obat anestesi dan
pengelolaan anestesi yang sesuai dengan kondisi pasien
3
2.1.2 Anamnesa
Anamnesa dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamanesis)
atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat
mengadakan pendakatan psikologis, serta berkenalan dengan pasien.
Bertujuan menentukan masalah pasien saat ini, sekaligus merencanakan
prosedur operasi, terapi maupun diagnosa. Anamnesa meliputi:
a. Identitas pasien, misal nama, usia, alamat, pekerjaan, dan lain-lain
b. Riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat medikasi
i. Alergi
Pada evaluasi preoperative dicatat seluruh reaksi alergi,
meliputi obat, makanan, bahan dan alat yang akan dipakai selama
anestesi dan operasi, seperti plester sabun iodine dan lateks.
Beratnya reaksi alergi mulai asimptomatik hingga reaksi anafilaktik
yang mengancam nyawa. Jika respon alergi muncul, maka
pemberian agen penyebab dihentikan tanpa tes imunologik atau
diberi terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid.
ii. Intoleransi obat
Intoleransi obat manifestasinya berupa gangguan
gastrointestinal, harus dapat dibedakan dengan alergi obat yang
manifestasinya berupa dyspnea atau skin rash.
iii. Terapi saat ini (dengan atau tanpa resep)
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin menimbulkan interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll)
dengan obat-obat anestetik. Perlu dikonsultasikan apakah
penggunaan dapat terus dilanjutkan atau dihentikan sementara.
Misalnya, kortikosteroid, obat anti hipertensi, obat-obat
antidiabetik, antibiotik golongan aminoglikosida, obat penyakit
jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer,
monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
4
iv. Non-terapi
1. Alkohol
Pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat
anestesia khususnya golongan barbiturate sehingga dosis
harus diesesuaikan. Peminum alkohol dapat menderita
sirosis hepatic, sehingga adanya penyakit hati perlu
dicurigai.
2. Tembakau (rokok)
Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat
mempersulit induksi anestesi karena merangasang batuk,
sekresi jalan nafas yang banyak, atau memicu atelektasis
dan pneumonia pasca bedah. Tujuan penghentian rokok
sebelum dilakukan operasi:
- 24 jam: menghindari adanya CO dalam darah
- 1-2 hari: mengeliminasi nikotin yang mempengaruhi
sistem kardiosirkulasi
- beberapa hari: mengaktifkan kerja silia jalan pernafasan
- 1-2 minggu: mengurangi produksi sputum
3. Obat-obat terlarang, seperti mariyuana, kokain dan heroin.
d. Tindakan anesthesia, operasi dan prosesi kelahiran (obstetric)
sebelumnya
Hal ini dapat menyingkapkan komplikasi anestesi yang timbul
sebelumnya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti
kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah. Hal ini penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal atau sesak
nafas pasca bedah; sehingga anesthesia berikutnya dapat dirancang
lebih baik. Terdapat anjuran agar obat yang kiranya menimbulkan
masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang.
e. Riwayat penyakit keluarga
Contoh penyakit terkait anesthesia yang merupakan penyakit
keturunan /herediter ialah malignant hyperthermia.
5
f. Berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi efektivitas anestesi:
o Diabetes mellitus
o Penyakit paru kronik : asma bronchiale, pneumonia, bronchitis.
o Penyakit jantung dan hipertensi: infark miokard, angina pectoris,
dekompensasi kordis
o Penyakit hati
o Penyakit ginjal
o Penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi)
o Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang)
g. Meninjau sistem organ secara umum untuk mengidentifikasi masalah
medis pasien, meliputi:
i. Respirasi vi. Neurologi
ii. Kardiovaskular vii. Endokrin
iii. Renal viii. Psikiatri
iv. Gastrointestinal ix. Orthopedi
v. Hematologi x. Dermatologi
h. Intake oral terakhir
6
ii. Abnormalitas wajah dapat mempengaruhi pemakaian
masker
iii. Micrognathia (jarak antara dagu dan tulang hyoid
dekat)
iv. Ukuran lidah yang relative besar
v. Area gerak sendi temporomandibular atau spina
cervical yang terbatas
vi. Ukuran leher yang pendek
c. Jantung
d. Paru-paru
e. Ekstrimitas
f. Pemeriksaan neurologis
7
b. Pernafasan (breathing) : penderita bernafas atau tidak
1) Bila penderita bernafas, tapi mungkin tidak memadai dapat
diberikan :
a) Terapi oksigen
b) Bronkial toilet, yaitu dicoba batuk sendiri, tapi bila tidak
mampu mengeluarkan secret lakukan dengan penghisapan
intra trakeal atau bronchial
c) Chest physicotherapy, yaitu latih cara menarik nafas dalam
dan batuk
d) Nafas buatan jangka panjang (ventilator), yaitu diberikan bila
poin 1 sampai 3 gagal memberikan O2 yang memadai.
2) Bila penderita tidak bernafas
a) Nafas buatan tanpa alat
b) Nafas buatan dengan alat : ambu bag, jackson reese,
respirator atau ventilator
Selain memperhatikan jalan nafas kita juga perlu memperhatikan
gangguan membuka mulut (jarak minimal 4 cm), kekakuan otot-otot
area mulut dan leher, masalah gigi (ompong, gigi palsu, gigi goyah,
dll), lidah yang relative besar, leher yang terlalu pendek, kesemua itu
dapat mempersulit pelakdanaan langrioskopi intubasi. Untuk
mengetahui apakah panjang leher cukup untuk melakukan intubasi,
yaitu dengan mengukur jarak mentohyoid, dimana jarak normal
antara mento dengan os hyoid (dibelakang Adam’s apple) adalah 4
cm atau 7 cm.
Pemeriksaan rongga mulut juga dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan Mallampati, yaitu mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan. Pemeriksaan Mallampati dibagi beberapa derajat, yaitu:
Derajat 1 : uvula terlihat semua
Derajat 2 : uvula terlihat sebagian
Derajat 3 : uvula tidak terlihat, hanya terlihat palatum molle
Derajat 4 : hanya terlihat palatum durum
8
II. Blood
Periksalah apakah pasien memiliki masalah dengan jantung
(anatomis dn fungsional) dan pembuluh darah, khususnya penyakit
katup jantung, hipertensi dan gagal jantung baik kiri maupun kanan.
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat adanya peningkatan tekanan
vena, edema pada ekstremitas bawah maupun pembesaran hepar.
Dengarkan suara jantung apakah ada suara tambahan atau tidak.
Tekanan darah, nadi (frekuensi, pengisian dan tekanan) darah,
perfusi perifer. Nilai syok atau perdarahan, Hb. Lakukan pemeriksaan
jantung (ECG) tentukan adanya aritmia yang berbahaya dimana segera
memerlukan tindakan menilai fungsi jantung
III. Brain
Menilai GCS, mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis (pusat
atau perifer), tanda-tanda peningkatan TIK. Pemeriksaan tingkat
kesadaran penderita dengan cara kualitatif (composmentis, somnolen,
sopor, coma) dan kuantitatif (GCS)
IV. Bladder
Pemeriksaan faal ginjal secara umum akan menggambarkan
hemodinamik penderita, status dehidrasi dan hormonal. Pemeriksaan
urine dilakukan dengan memeriksa :
Produksi urine
o Normal 0,5-1 ml/kg BB/jam
o Anuri : 20m1/24jam
o Oliguri : 25m1/jamatau400ml/24jam
o Poliuri 2500 ml/24 jm
Serum kreatinin
BUN
Sedimen urine
9
V. Bowel
Pembesaran hepar, dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol
atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat yang akan
digunakan. Bising usus dan peristaltik usus. cairan bebas dalam perut
atau massa abdominal. Makan dan minum terakhir harus diperhatikan
karena dapat menimbulkan efek muntah yang dapat mengakibatkan
aspirasi muntah kedalam paru-paru.
Perut kembung dapat menyebabkan diafragma terdorong keatas
sehingga pergerakan terganggu, kemudian paru-paru terbatas
bergerak sehingga menimbulkan hipoventilasi.
Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat
yang akan diberikan karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan
janin.
VI. Bone
Kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskular, patah tulang.
Kelainan postur dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan menjadi penyulit
saat anastesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat
mempengaruhi anatomi tubuh, misalnya trakhea menjadi tertarik ke
lateral sehingga mempersulit intubasi. Patah tulang leher terutama pada
C2 dapat menyebabkan tetraplegi dan kelumpuhan otot diafragma
sehingga penderita meninggal karena gangguan nafas.
10
- Spesifikasi : memiliki jumlah hasil false-positive
yang sedikit
Evaluasi laboratorium rutin bagi pasien yang sehat dan asimtomatik:
A. Konsentrasi hematocrit atau hemoglobin:
a. Semua wanita yang menstruasi
b. Semua pasien berusia > 60 tahun
c. Semua pasien yang mungkin akan kehilangan sejumlah
besar darah dan memerlukan transfusi
B. Nilai serum glukosa dan kreatinin (atau BUN): semua pasien
berusia > 60 tahun
C. Electrocardiogram : semua pasien berusia > 40
tahun
D. Foto radiografi dada : semua pasien berusia > 60 tahun
E. Tes kehamilan : deteksi chronic gonadotropine di dalam
serum atau urin
Pada wanita fertile untuk mendiagnosa kehamilan muda. Hal ini
dibenarkan karena adanya potensi efek teratogenik dari agen
anestesi terhadap janin.
F. Tes rutin untuk AIDS (mendeteksi antibodi HIV) masih menjadi
kontroversi.
G. Uji koagulasi dan unrialisis tidak cost-effective pada pasien
sehat asimptomatis.
Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium
secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis
Setelah pemeriksaan pre operatif dilakukan dan memperoleh
gambaran tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta rnasalah-
masalah yang ada, 1anjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesia yang akan digunakan.
11
2.1.5 Status fisik dan prognosis berdasarkan klasifikasi ASA
ASA (American Society of Anesthesiologist) membuat klasifikasi
yang membagi status fisik pasien preoperative kedalam kelompok-
kelompok, sehingga membantu dalam perencanaan penanganan
anesthesia (teknik) dan terkait pula dengan angka kematiannya.
Kelas Definisi Angka
kematian
1 Pasien sehat dan normal, tanpa gangguan organ, 0.06-0.08%
fisiologis, biokimia maupun psikiatrik, proses patologis
yang akan dilakukan operasi terbatas lokasinya dan tidak
akan menyebabkan gangguan sistemik.
Misalnya : Pada seorang dewasa muda sehat yang akan
menjalani operasi hernia inguinalis, atau seorang wanita
muda sehat dengan myoma uteri yang akan dilakukan
myomektomi.
2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tanpa 0.27-0.4%
keterbatasan fungsional, orang tua > 60 tahun , anak < 1
tahun.
Misalnya : Pasien dengan penyakit jantung organik tanpa
pembatasan aktifitas atau dengan pembatasan aktifitas,
direncanakan operasi hernia, pasien dengan anemia,
pasien dengan umur ekstrim (neonatus/geriatrik) tanpa
penyakit sistemik, obesitas, bronkitis kronis.
3 Pasien dengan penyakit sistemik sedang sampai berat 1.8-4.3%
yang menyebabkan keterbatasan fungsional, harus selalu
minum obat untuk kelangsungan hidupnya dan aktifitas
sehari hari terbatas.
Misalnya : Pada DM berat dengan komplikasi vaskuler,
inusifiensi paru sedang sampai berat, angina pectori,
infark miokard yang lama.
4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam 7.8-23%
hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi
melakukan aktivitas rutin.
Misalnya : Pasien dengan dekompensasi jantung, pasien
dengan angina pektoris yang terus menerus, insufisiensi
berat dari faal paru, hepar, ginjal atau endokrin.
5 Pasien yang diperkirakan tidak dapat hidup atau bertahan 9.4-51%
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi.
Misalnya : shock karena perdarahan, pasien trauma
kepala hebat dengan peningkatan tekanan intrakranial
6 Pasien dengan mati-otak yang organnya akan didonorkan
E Jika proseedur darurat, status fisik diikuti oleh “E”,
contoh 2E
12
2.1.6 Perencanaan anestesia
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh gambaran
tentang keadaan mental pasien beserta masalah – masalah yang ada ,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anesthesia yang
akan digunakan. misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak
menggunakan ketamine yang dapat menimbulkan hiperglikemi. atau
premedikasi untuk pasien dengan riwayat tirotoksikosis tidak memakai
atropine.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan
dengan teknik anesthesia regional daripada anesthesia umum mengingat
komplikasi paru paska bedah. dengan perencanaan yang tepat
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan paska
bedah dapat dihindari.
13
alasan yang kuat dalam mengambil keputusan setuju atau tidak. Secara
umum, tidak semua resiko perlu dijelaskan secara mendetail, tetapi
diharapkan komplikasi yang membahayakan nyawa perlu diberitahukan
kepada pasien.
Tujuan dari kunjungan preoperative tidak hanya untuk memperoleh
informasi penting dan informed consent, tetapi juga membantu
membentuk hubungan yang sehat antara dokter-pasien. Anamnesa
dengan rasa empati dan menjawab pertanyaan pasien yang penting
membuat pasien dapat memperkirakan kondisi yang akan dihadapi. Hal ini
terbukti efektif dalam meredakan ketegangan seperti pemberian obat
premedikasi.
14
harus diteruskan selama anestesi dan operasi, tetapi obat yang lainnya
harus dimodifikasi seperlunya.Catat bila ada keterangan mengenai reaksi
alergi terhadap obat, juga apakah pasien atau keluarganya pernah
mengalami reaksi penolakan terhadap obat anestesi pada masa yang lalu.
Dan akhirnya menilai kehilangan cairan dan perdarahan, muntah,
diare dan sebab lainnya dan tanyakan juga riwayat dietnya.Apakah pasien
dapat makan dan minum secara normal sampai saat sebelum operasi.Jika
tidak kita harus curiga adanya kekurangan cairan dan nutrisi sehingga
dibutuhkan beberapa tahap untuk memperbaikinya sebelum
operasi.Tanyakan kapan makan atau minum terakhir dan jelaskan
perlunya puasa sebelum anestesi.
Pemeriksaan pasien. Pertama memeriksa keadaan umum
pasien.Apakah pasien tampak pucat, kuning, sianosis, dehidrasi,
malnutrisi, edema, sesak atau kesakitan.Selanjutnya perhatikan jalan
nafas bagian atas dan pikirkan bagaimana penatalaksanaannya selama
anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat, apakah intubasi akan sulit
atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu atau
mempunyai rahang kecil yang akan mempersulit laringoskopi, apakah ada
gangguan membuka mulut atau kekakuan leher, apakah ada
pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas
bagian atas.
Periksalah apakah pasien menderita penyakit jantung atau
pernafasan khususnya untuk penyakit katup jantung, hipertensi dan
kegagalan jantung kiri atau kanan dengan peningkatan tekanan vena,
adanya edema pada sakral dan pergelangan kaki, pembesaran hepar
atau krepitasi pada basal paru. Lihatlah bentuk dada dan aktivitas otot
pernafasan untuk mencari adanya obstruksi jalan nafas akut atau kronis
atau kegagalan pernafasan. Rabalah trakea apa tertarik oleh karena
fibrosis, kolaps atau pneumotoraks.
Lakukan perkusi pada dinding dada bila terdengar redup
kemungkinan kolaps paru atau efusi.Dengarkan apakah ada wheezing
atau rhonki kasar yang menandakan adanya obstruksi bronkus umum
15
atau setempat.Perhatikan juga abdomen. Pembesaran hepar mungkin
disebabkan oleh penggunaan alkhohol atau penyakit hepar lainnya yang
akan berpengaruh terhadap obat anestesi yang akan digunakan. Jika
berada di daerah endemic malaria, periksallah limpa pasien adanya
hipersplenisme dapat menimbulkan masalah pembekuan darah.Distensi
abdomen bahkan uterus gravid dapat mengganggu pernafasan bila pasien
berbaring.
Setalah dilakukan pemeriksaan, kita dapat mengetahui beberapa
masalah. Putuskan apakah diperlukan pemeriksan lain. Radiologi rutin
untuk thorax tidak diperlukan jika tidak ada gejala atau tanda abnormal
pada dada, tapi pemeriksaan Hb dan Hct sebaiknya rutin dilakukan pada
pasien yang akan menjalani anestesi umum.
2.2.2 Premedikasi
Premedikasi adalah pemeberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi. Tujuan premedikasi pre-operatif diantaranya meredakan
kecemasan dan ketakutan, memperlancarkan induksi anestesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah
16
obat anestetik, mengurangi mual-muantah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi reflex yang
tidak diinginkan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti.Membina hubungan baik dengan pasien
dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Sebelum
anestesi juga sangat penting untuk memberikan penjelasan kepada
pasien mengenai anestesi yang akan dilakukan serta resiko yang mungkin
terjadi. Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien mengenai proses
anestesi yang akan dilakukan dapat menurunkan kecemasan pasien dan
mengurangi kemungkinan komplain dari pasien akibat kurangnya
pemahaman pasien mengenai anestesi yang akan dilakukan dan
resikonya.
Dalam menjelaskan mengenai resiko anestesi setidaknya harus
dijelaskan resiko minor anestesi yang sering terjasi seperti nausea,
muntah, nyeri tenggorokan, dan nyeri kepala.Jika ada kemungkinan terjadi
reaksi mayor, penjelasan juga harus diberikan dengan sebaik-baiknya
kepada pasien. Setelah pasien memahami proses anestesi yang aka
dilakukan serta resikonya, selanjtnya perlu dimintakan informed consent
dalam bentuk yang sesuai dengan kebijakan masing-masing rumah sakit.
17
ditempuh adalah dengan pemberian antasida (magnesium trisiklat)
atau antagonis reseptor H2 (cimetidine atau ranitidine). Puasa yang
cukup lama pada kasus akut kadang-kadang tidak menjamin
lambung kosong secara sempurna, misalnya pada stressmental
yang hebat, kehamilan, rasa nyeri, atau pada pasien DM.
Pemberian obat pencahar umumnya diberikan pada laparotomy
eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari karena puasa
adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan
pasien geriatri.
2. Pencukuran daerah operasi, dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan
pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi
tempat bertumbuhnya mikroorganisme dan juga mengganggu
proses penyembuhan dan perawatan luka.
3. Persiapan personal hygiene yang baik, karena kebersihan tubuh
pasien sangat penting untuk persiapan operasi agar tidak terjadi
infeksi pada daerah yang dioperasi.
4. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus dilepaskan dan
bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar
tidak mengganggu pemeriksaan selama anestesia missal sianosis.
5. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi.
6. Untuk membersihkan jalan nafas, pasien diminta untuk batuk
sekuat-kuatnya dan mengeluarkan lender jalan nafas.
7. Penderita dimasukkan ke dalam kamar bedah dengan memakai
pakaian khusus, diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi.
Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga sudah memberi
izin pembedahan secara tertulis (informed consent).
8. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulangi sekali lagi di kamar
operasi karena mungkin terjadi perubahan makna yang dapat
menyulitkan perjalanan anestesia, misalnya hipertensi mendadak,
dehidrasi, atau serangan asma akut.
18
9. Pemberian obat premedikasi secara intramuscular atau oral dapat
diberikan ½- 1 jam sebelum dilakukan induksi anestesi atau
beberapa menit bila diberikan secara intravena.
2.3 Premedikasi
2.3.1. Definisi premedikasi
Premedikasi (premedication) sebenarnya bukan istilah yang
tepat.Ini bukan tindakan yang dilakukan sebelum pemberian obat
tertentu.Yang dimaksud premedikasi adalah pemberian obat atau obat-
obat sebelum induksi anestesi, untuk mendapatkan kondisi yang
diharapkan oleh anestesiologis.Jadi, istilah yang tepat sebenarnya adalah
medikasi pra-anastesia.
Bergantung kepada tujuan dan sifat obatnya, premedikasi dapat
diberikan malam sebelum operasi atau beberapa jam sebelum anastesia.
Obat-obat yang diberikan oleh dokter lain dan tidak terkait dengan
prosedur anastesia bukanlah premedikasi. Contohnya pemberian
antibiotika oleh ahli penyakit dalam sejak tiga hari sebelumnya,
antihipertensi oleh kardiologis dan sebagainya.Obat premedikasi diberikan
oleh dokter anastesiologis.Cara pemberian obat premedikasi pun dapat
melalui berbagai rute, termasuk inhalasi.
Tidak semua pasien memerlukan premedikasi. Pasien yang
memerlukannya pun, tidak semuanya dapat diberi premedikasi. Dengan
kata lain, premedikasi bukanlah keharusan dan sesuatu yang rutin untuk
setiap anastesia. Premedikasi juga tidak berarti pemeberian obat jenis
tertentu saja sebelum anastesia.
19
membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam
menghadapi operasi.
b. Memberikan ketenangan :
Sedatif menyebabkan penurunan aktivitas mental, sehingga
imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap rangsang
berkurang.Banyak ahli anestesiologis mengira kantuk
membebaskan rasa takut dan ketegangan emosi.
c. Membuat amnesia :
Amnesia pra dan pasca bedah.
Menurut Fielman (1963) banyak pasien dalam keadaan sadar
pada akhir operasi, akan tetapi tidak dapat mengingat kejadian
yang baru terjadi setelah pembedahan. Ada kemungkinan pasien
dapat menerima kejadian sebelum dan sesudah pembedahan
tanpa gelisah emosional yang berat.Banyak obat premedikasi
menyebabkan amnesia atau menimbulkan potensial efek amnesia
dengan obat anestetika.Obat yang menyebabkan amnesia yang
kuat adalah hoisin dan diazepam, lebih-lebih bila diberikan
bersama-sama dengan opiate.Obat-obat ini banyak digunakan.
d. Memberikan analgesia :
Umumnya pasien menunggu operasi bebas dari rasa nyeri dan
banyak pasien mengeluh nyeri pasca bedah. Eckenhoff dan
Herlich (1985) membuktikan pasien dengan premedikasi narkotika
kurang mengeluh nyeri pada masa pulih, akan tetapi masa pulih
lebih lama.
2. Memudahkan induksi.
Pada saat ini kebutuhan pemberian obat-obatan khusus untuk
membuat induksi anastesia menjadi lebih mudah sudah berkurang.Hal ini
karena banyak dipakai induksi intravena dan pengunaan pelemas otot
yang mengurangi kesulitan khususnya pernafasan serta karena
pemakaian uap yang tidak merangsang seperti halotan banyak
menggantikan eter.Sebelum induksi inhalasi lebih-lebih pada pasien yang
20
kekar dan emosional pemberian morfin atau petidin banyak
menguntungkan.Selain itu disebutkan bahwa narkotika dapat mengurangi
takipneu yang sering terjadi selama anestesia dengan trikloroetilen dan
halotan.
21
menyebabkan beberapa orang beranggapan, bahwa atropine tidak harus
selalu dipakai, karena dapat diberikan secara intravena apabila ada
indikasi.
22
e. Penyakit : Pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan
terapinya. Pada pasien penyakit kronis seperti osteomyelitis
dengan gizi jelek morfin lebih mudah toksik, karena hati tidak dapat
mengolah morfin dosis besar. Pada pasien anemia pemakaian
opiate atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.
23
b. Pethidin:
Dosis 1mg/kgBB (dewasa) sering digunakan sebagai premedikasi
seperti morfin dan menekan tekanan darah dan pernafasan dan
juga merangsang otot polos.
c. Barbiturat:
Pentobarbital dan sekobarbital sering digunakan untuk
menimbulkan sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum
operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau intramuscular,
pada dewasa dosis 100-200mg dan pada bayi dan anak dosis
2mg/kgBB.Yang mudah didapat phenobarbital.Obat ini mempunyai
kerja depresan yang lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi serta
jarang menyebabkan mual muntah. Pasien yang mendapat
barbiturate sebagai premedikasi biasanya bangun lebih cepat
daripada bila menggunakan narkotika.
d. Antikolinergik:
obat ini menginhibisi tonus parasimpatis, dengan konsekuensi
menurunkan tonus otot polos di saluran cerna, saluran kemih dan
sebagainya. Contohnya atropine, glikopirolat, difenhidramin,
dimenhidrinat, ipratropium bromide.Atropin paling banyak
digunakan.Selain relaksasi sfingter, atropine menyebabkan dilatasi
pupil sehingga perlu perhatian khusun pada glaucoma sudut
sempit, hipertrofi prostat dan obstruksi kandung kemih.Dosis
sebagai premedikasi 0,01-0,02mg/kgBB.Efek yang diinginkan
adalah antisialagog (mengurangi sekresi jalan nafas).Efek
vagolitiknya berguna untuk mengatasi reflex vagal.Pada pasien
dengan takikardia, penggunaan atropine menjadi dilematis
sehingga glikopirolat digunakan sebagai alternatif. Efek lain
antikolinergik yang tidak diinginkan yaitu meningkatnya resiko
refluks gastroesofagus akibat penurunan tonus sfingter esophagus,
agitasi, konvulsi hingga koma, sikloplegia, demam akibat hambatan
sekresi keringat dan mulut kering yang berlebihan. Oleh karena itu
pemberian atropin sebagai premedikasi tidak boleh terlalu lama
24
sebelum anestesia dimulai karena menimbulkan sensasi tidak
menyenangkan bagi pasien.
e. 𝜷-blocker:
Dimaksudkan untuk menghambat respon hemodinamik akibat
stimulus nosiseptif (laringoskopi dan intubasi) serta menghambat
respon stress neuroendokrin. Obat yang digunakan seperti esmolol
atau metoprolol.Obat golongan ini tidak mempunyai komponen
analgesia dan bekerja pada reseptor 𝛽 di sistem kardiovaskular.
Penggunan 𝛽-blocker yang tidak selektif sebaiknya dihindari pada
pasien asma bronkiale karena hambatan dapat terjadi juga di
reseptor 𝛽 2 di bronkus dan menyebabkan bronkokonstriksi.
f. Klonidin dan deksmedetomidin:
merupakan agonis 𝛼 2 yang dapat mempotensiasi anestesia dengan
menurunkan aktivitas noradrenergic pusat serta simpatolitik.
Pemberian premedikasi klonidin digunakan sebagai anti hipertensi
dengan dosis 0,1mg dalam 30-60menit sebelum operasi, memiliki
efek sedasi serta menurunkan kebutuhan akan anestesia
perioperative. Khusus untuk dexmedetomidin dikatakan pula efek
analgetik.Obat golongan ini menghambat pelepasan norepinefrin
secara sentral. Oleh karena itu pemberiannya harus dihindari pada
pasien-pasien yang sangat memerlukan kemampuan kompensasi
kardiovaskular, misalnya pasien dengan blok AV, pasien syok
hipovolemik dan sebagainya.
g. Fenotiazin:
Merupakan golongan obat antipsikosis. Struktur fenotiazin
didapatkan pada obat neuroleptic (misalnya klorpromazin) dan
antihistamin (misalnya prometazin).Pada umumnya obat golongan
ini menimbulkan sedasi dan ansiolitik, mempunyai efek antiemetik,
juga merupakan antagonis H2, dan antikolinergik sehingga sering
dipilih untuk premedikasi.Sebenarnya golongan obat ini berpotensi
menyebabkan efek samping yang berat, misalnya gejala
ekstrapiramidal.Efek yang terkenal dan dapat fatal yaitu neuroleptic
25
malignant syndrome (NMS). Gejala klinis NMS sangat mirip dengan
hipertermia naligna dan juga diatasi dengan pemberian dantrolene.
h. Antagonis reseptor H2, inhibitor pompa proton:
omeprazole,lansoprazol, dan pantoprazole bekerja pada sel
parietal lambung, berkaitan dengan menghambat pompa proton
sehingga menghambat sekresi asam lambung. Obat ini
diindikasikan untuk pengobatan ulkus peptikum, penyakit refluks
gastrointestinal (GERD) dan zoolinger ellison syndrome.
Penggunaannya sebagai profilaksis aspirasi asam lambung pada
anestesia umum terbatas dibandingkan dengan penggunaan untuk
tujuan diatas.Inhibitor reseptor H2 menghambat pengikatan
histamine pada reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi dan
volume gaster serta menurunkan pH lambung sehingga lebih efektif
mencegah pneumonia aspirasi. Sebagai profilaksis dapat
digunakan dosis ranitidine 50mg iv. Ranitidin oral 150-300mg
diberikan malah hari dan waktu 1-2 jam pra anestesia. Pemberian
harus lebih berhati-hati pada pasien dengan kelainan ginjal dan
hepar.
i. Antagonis serotonin:
Secara dominan serotonin atau 5-hidroksitriptamin (5HT) ada
dalam traktus gastrointestinal, platelet dan susunan saraf pusat.
Pada sistem hematologi, serotonin 5HT2A bertanggungjawab pada
kontraksi otot polos dan dapat menyebabkan agregasi
platelet.Pada otot polos saluran cerna serotonin 5HT3 dapat
menyebabkan kontraksi yang meningkatkan peristaltic tanpa
mempengaruhi sekresi.Selain itu 5HT3 dapat ditemukan pada
reseptor yang memediasi pusat muntah di otak (area postrema)
dan lambung.Antagonis 5HT3 ada beberapa jenis yaitu derivate
karbazol (ondansentron), indazol (granisetron) dan indol
(tropisetron dan dolasetron).Hampir semuanya antiemetik.
Penggunaan rutin sebagai profilaksis anti mual dan muntah
dianjurkan sebelum induksi dan pasca bedah terutama pada pasien
26
dengan riwayat mual muntah, pasien menjalani pembedahan yang
beresiko tinggi menyebabkan nausea seperti laparoskopi, serta
operasi yang memerlukan pencegahan mual muntah seperti pada
bedah saraf atau operasi mata. Dosis yang direkomendasikan pada
ondansentron 4mg.
j. Metoklorpropamid:
Bekerja sebagai cholinomimetic yang memfasilitasi transmisi
asetilkolin pada reseptor muskarinik seketif. Merupakan agen
prokinetik pada saluran cerna bagian atas, meningkatkan tonus
sfingter esophagus bagian bawah, mempercepat pengosongan
lambung dan menurunkan volume gaster.Efektif pada pasien
dengan gastropati diabetikum, GERD dan pencegahan pneumonia
aspirasi.Dosis 0,25mg/kgBB efektif secara oral dengan awitan 30-
60menit dan secara intravena dengan awitan 1-3menit.Dosis lebih
besar 1-2mg/kgBB dapat digunakan sebagai pencegahan emesis
kemoterapi.Efek samping pada pemeberian intravena cepat adalah
kram abdominal.Kontraikdikasi pada parkinsonisme, obstruksi usus
serta feookromasitoma karena dapat menyebabkan pelepasan
katekolamin dari tumor.Obat ini disekresi ke urin sehingga hati-hati
pada pasien dengan gangguan ginjal.
k. Anti histamin : Yang sering digunakan dalam premedikasi adalah
promethazine (Phenergan) dengan dosis 12,5-25mg im pada orang
dewasa. Digunakan pada pasien dengan asma bronkiale
(Wirjoatmodjo, 2000).
l. Butyrophenon : Digunakan sebagai obat premedikasi dengan
kombinasi narkotik. Keuntungan yang sangat besar dari obat ini
adalah antiemetic yang kuat dan bekerja secara sentral pada pusat
muntah di medulla. Obat ini ideal untuk digunakan pada pasien-
pasien dengan resiko tinggi, misalnya operasi mata, pasien dengan
riwayat sering muntah dan obesitas. Diberikan secara iv dengan
dosis 1-2,5mg. pada pasien tertentu kadang droperidol ini
menimbulkan dysphoria (takut mati). Droperidol juga mempunyai
27
efek blokade terhadap reseptor dopaminergic sehingga dapat
menimbulkan gejala ekstrapiramidal pada pasien yang normal.
Selain itu juga mempunyai efek alfa adrenergic antagonis yang
ringan, sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini
dapat digunakan pada pasien hipertermi sebelum digunakan
kompres basah. Namun perlu diingat akan terjadinya hipovolemia
relative. Pada pasien dengan riwayat alergi/rhinitis vasomotor
sebaiknya penggunaan ini dihindari.
2.4.2. Desain
Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah berdekatan dengan
ruang operasi dan mudah di jangkau oleh dokter ahli anestesi atau ahli
bedah sehingga mudah dibawa kembalikan ke ruang operasi bila
diperlukan, serta mudah dijangkau bagian radiologi, laboratorium dan
fasilitas – fasilitas perawatan intensive lainnya. ruangan harus dilengkapi
dengan lampu cadangan bila sewaktu-waktu terjadi pemadaman aliran
listrik. Terdapat outlet listrik lebih dari satu dan paling sedikit satu outlet
28
oksigen, udara dan suction pada setiap tempat tidur. idealnya jumlah bed
adalah 1.5 kali dari jumlah ruang operasi.
29
2.4.5. Pemindahan pasien dari ruang operasi
Saat memindahkan pasien dari ruang operasi ke ruang pemulihan,
pasien harus memiliki jalan nafas yang stabil dan paten, serta memiliki
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, dan hemodinamiknya stabil.
Biasanya pasien mendapat suplementasi oksigen sebanyak 30%-50%
karena kebanyakan mengalami hipoksemia transien saat menghirup
udara ruang waktu dipindahkan. Pasien yang tidak stabil harus
dipindahkan dengan intubasi dan monitor portabel yang dapat memantau
EKG, SpO2, dan tekanan darah. Pemindahan harus menggunakan bed
yang bisa memposisikan posisi trendelenberg (head down), ini berguna
untuk pasien yang hipovolemik. Pasien dengan resiko muntah dan
perdarahan saluran nafas atas ( post tonsilectomy, dll) di pindahkan dalam
posisi lateral karena dapat membantu mencegah aspirasi dan obstruksi
jalan nafas.
30
2. Gangguan kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan,
iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau
aktivasi saraf simpatis karena hipoksi, hiperkapni, dan asidosis.
Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan
menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia,
edema paru dan perdarahan otak. Terapi hipertensi diarahkan
pada faktor penyebabnya dan kalau perlu dapat diberikan
klonidin dan nitroprusid 0,5 ± 1,0 µg/kg/menit.
Hipotensi akibat isian balik vena menurun disebabkan
perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan ke
rongga ketiga, keluaran air kemih belum diganti, kontraksi
miokardium kurang kuat atau tahanan veskular perifir menurun.
Hipotensi harus segera dilatasi, karena dapat menyebabkan
hipoksemi dan kerusakan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan
dengan faktor penyebabnya.Berikan O2 100% dan infus
kristaloid RL atau Asering 200-500 mL.
Disritmia disebabkan oleh hipokalemia, asisdosis-alkalosis,
hipoksia, hiperkapnia atau memang pasien penderita sakit
jantung.
3. Gelisah
Dapat disebabkan karena hipoksia, , asidosis, hipotensi, kesakitan,
efek samping obat (ketamin) atau buli-buli penuh. Setelah
disingkirkan penyebabnya, pasien dapat diberi penenang
midazolam 0.05-0.1 mg/kg BB
4. Nyeri
Dikategorikan sebagai nyeri ringan. sedang, berat. Untuk meredam
nyeri pasca bedah pada analgesia regional pasien dewasa, sering
ditambahkan morfin 0,05-0,1 mg saat memasukan anestetik lokal
ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural.
Tindakan ini sangat bermanfaat karena dapat meredam nyeri
selama 10-16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul bersifat sedang
31
atau ringan dan jarang diberikan tambahan opioid dan kalaupun
perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID misalnya
ketorolac 10-30 mg iv atau im.
5. Mual-muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setealh anestesi umum
terutama pada penggunaan opioid bedah intra abdomen, hipotensi
dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering
digunakan pada perianastesia adalah:
Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/KgBB (amp 5
mg/mL) im atau iv
Metokloporamid (primperan) 0,1 mg/kg, supp 20 mg
Ondansetron (zofran,narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB iv
Cyclizine 25-50 mg
6. Menggigil
Sering terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi
terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama.
Selain akibat turunnya suhu dapat juga disertai oleh naiknya suhu
dan biasanya akibat obat anestetik inhalasi. Terapi peptidin 10-20
mg i.v. pada dewasa, selimut hangat, infus, hangat,lampu
penghangat digunakan untuk menaikkan suhu tubuh.
32
Tidak ada komplikasi operasi yang jelas (misal perdarahan aktif)
Kriteria lain yang umum digunakan adalah skor Aldrete.
33
c. narkotik secara intramuskular.
d. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.
e. Observasi 60 menit setelah ekstubasi
f. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah.
34
Tabel 2.2 Score Streward
STEWARD SCORING SYSTEM
KRITERIA NILAI
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap stimuli 1
Tidak ada respon 0
Jalan
nafas Batuk atas perintah atau menangis 2
Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0
SCORE STEWARD
35
BAB 3
KESIMPULAN
36
DAFTAR PUSTAKA
37