Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

ILMU ANESTESI
PRE OPERATIVE VISITE, PERSIAPAN ANESTESI, PREMEDIKASI,
RUANG PULIH SADAR

Pembimbing
dr. Subagdja Nata Atmaja, Sp. An

Penyusun :

Pembimbing

dr. Soebagdja Nata Atmaja, Sp. An

Penyusun

Nanik Wulandari 2008.04.0.0114


Muhammad Wildan 2008.04.0.0127

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RSAL dr. RAMELAN SURABAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disahkan referat ilmu anestesi berjudul “Pre Operative Visite,


Persiapan Anestesi, Premedikasi, Ruang Pulih Sadar” yang digunakan
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti tugas kepaniteraan di
Departemen Ilmu Anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya.

Penyusun:

Nanik Wulandari 2008.04.0.0114


Muhammad Wildan 2008.04.0.0127

Disahkan oleh :
Pembimbing

dr. Soebagdja Nata Atmaja, Sp. An

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmatNya sehingga refrat yang berjudul “Pre Operative
Visite, Persiapan Anestesi, Premedikasi, Ruang Pulih Sadar” ini dapat
selesei dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini disusun sebagai salah
satu tugas referat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
kepaniteraan klinik di bagian ilmu anestesi di RSAL Surabaya.
Kami ucapkan terima kasih kepada dr.Subagdja Nata Atmaja,
Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, sehingga
referat ini bisa terselesaikan dengan baik. Kami ucapkan terima kasih juga
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat
ini.
Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami
menyadari referat ini jauh dari nilai kesempurnaan, oleh karena itu kritik
maupun saran yang membangun selalu diharapkan.

Surabaya, 13 September 2015

Penulis

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1. Pra Anestesia ..................................................................................... 3
2.1.1. Kunjungan pra anestesia ................................................................. 3
2.1.2. Anamnesa ........................................................................................ 4
2.1.3. Pemeriksaan fisik ............................................................................. 6
2.1.4. Evaluasi laboratorium..................................................................... 10
2.1.5. Klasifikasi ASA ............................................................................... 12
2.1.6. Perencanaan anestesia ................................................................. 13
2.1.7. Informed consent ........................................................................... 13
2.2. Persiapan Anestesia .......................................................................... 14
2.2.1. Puasa preoperatif .......................................................................... 16
2.2.2. Premedikasi ................................................................................... 16
2.2.3. Persiapan pada hari operasi .......................................................... 17
2.3. Premedikasi ................................................................................... 19
2.3.1. Definisi premedikasi....................................................................... 19
2.3.2. Maksud dan tujuan premedikasi .................................................... 19
2.3.3. Faktor yang mempengaruhi dosis obat .......................................... 22
2.3.4. Waktu dan cara pemberian obat .................................................... 23
2.3.5. Obat yang sering digunakan .......................................................... 23
2.4. Ruang Pulih Sadar......................................................................... 28
2.4.1. Definisi ........................................................................................... 28
2.4.2. Desain ........................................................................................... 28
2.4.3. Alat yang digunakan ...................................................................... 29
2.4.4. Sumber daya manusia ................................................................... 29
2.4.5. Pemindahan pasien dari ruang operasi ......................................... 30

iii
2.4.6. Masalah di ruang pulih sadar ......................................................... 30
2.4.7. Kriteria pasien untuk dipindahkan di ruang perawatan/ICU ........... 30
BAB 3 KESIMPULAN ...................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 37

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Kata Anestesi diperkenalkan Oliver Wendell Holmes yang


menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Analgesia ialah pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah
pembedahan. Definisi Anestesiologi berkembang terus sesuai dengan
perkembangan ilmu kedokteran. Definisi yang ditegakkan oleh The
American Board Of Anesthesiology pada tahun 1989 yaitu mencakup
semua kegiatan profesi atau praktek sebagai berikut :
1. Menilai, merancang dan menyiapkan pasien untuk anesthesia
2. Membantu pasien menghilangkan nyeri saat pembedahan,
persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostik –
terapeutik.
3. Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperatif dan
pasien yang dalam keadaan kritis.
4. Mendiagnosa dan mengobati sindroma nyeri
5. Mengelola dan mengajarkan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
6. Membuat evaluasi fungsi pernafasan dan mengobati gangguan
pernafasan.
7. Mengajarkan, memberi supervisi dan mengadakan evaluasi tentang
penampilan personel paramedik dalam bidang anestesia,
perawatan pemapasan dan perawatan pasien kritis.
8. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk
menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang
fungsi fisiologis dan respon terhadap obat.

1
9. Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit, pendidikan
kedokteran dan fasilitas rawat jalan yang diperlukan untuk
implementasi pertanggungjawaban.

Sebelum dilakukan anestesi harus melewati beberapa tahapan, yaitu


mulai pre operative visite, persiapan anestesi, premedikasi, dan ruang
pulih sadar. Secara garis besar persiapan pra anestesi dibagi menjadi
dua, yaitu pre-operative visite dan premedikasi.
Pemberian anestesi pada pembedahan dapat menyebabkan keadaan
yang mengancam jiwa oleh karena gangguan jalan nafas, sirkulasi, dan
fungsi otak yang dapat disebabkan oleh obat dan teknik anestesi maupun
oleh karena pembedahannya. Pasien yang akan menjalani anestesi dan
pembedahan harus dipersiapkan dengan baik, karena apabila kurang
memadai dapat meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan anestesi.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pra Anestesia
2.1.1 Kunjungan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anesthesia. Dokter
spesialis anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien
dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien
pada waktu dibedah dalam keadaan bugar
Tujuan kunjungan pra anesthesia:
1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
pemeriksaan lain.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian
kkomplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
3. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.
4. Mengurangi angka kesakitan operasi
5. Mengurangi biaya operasi
6. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
7. Membina hubungan baik antara dokter dengan pasien
8. Mengetahui riwayat anestesi, riwayat penyakit dahulu dan sekarang,
serta riwayat pembedahan
9. Menyelenggarakan pemeriksaan fisik
10. Melakukan pemeriksaan khusus
11. Menentukan status fisik dan menilai resiko anestesi dan
pembedahan, bila perlu menunda atau membatalkan operasi
12. Mengadakan pengelolaan pre-operatif
13. Merencanakan dan menentukan obat premedikasi, obat anestesi dan
pengelolaan anestesi yang sesuai dengan kondisi pasien

3
2.1.2 Anamnesa
Anamnesa dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamanesis)
atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat
mengadakan pendakatan psikologis, serta berkenalan dengan pasien.
Bertujuan menentukan masalah pasien saat ini, sekaligus merencanakan
prosedur operasi, terapi maupun diagnosa. Anamnesa meliputi:
a. Identitas pasien, misal nama, usia, alamat, pekerjaan, dan lain-lain
b. Riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat medikasi
i. Alergi
Pada evaluasi preoperative dicatat seluruh reaksi alergi,
meliputi obat, makanan, bahan dan alat yang akan dipakai selama
anestesi dan operasi, seperti plester sabun iodine dan lateks.
Beratnya reaksi alergi mulai asimptomatik hingga reaksi anafilaktik
yang mengancam nyawa. Jika respon alergi muncul, maka
pemberian agen penyebab dihentikan tanpa tes imunologik atau
diberi terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid.
ii. Intoleransi obat
Intoleransi obat manifestasinya berupa gangguan
gastrointestinal, harus dapat dibedakan dengan alergi obat yang
manifestasinya berupa dyspnea atau skin rash.
iii. Terapi saat ini (dengan atau tanpa resep)
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin menimbulkan interaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll)
dengan obat-obat anestetik. Perlu dikonsultasikan apakah
penggunaan dapat terus dilanjutkan atau dihentikan sementara.
Misalnya, kortikosteroid, obat anti hipertensi, obat-obat
antidiabetik, antibiotik golongan aminoglikosida, obat penyakit
jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer,
monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.

4
iv. Non-terapi
1. Alkohol
Pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat
anestesia khususnya golongan barbiturate sehingga dosis
harus diesesuaikan. Peminum alkohol dapat menderita
sirosis hepatic, sehingga adanya penyakit hati perlu
dicurigai.
2. Tembakau (rokok)
Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat
mempersulit induksi anestesi karena merangasang batuk,
sekresi jalan nafas yang banyak, atau memicu atelektasis
dan pneumonia pasca bedah. Tujuan penghentian rokok
sebelum dilakukan operasi:
- 24 jam: menghindari adanya CO dalam darah
- 1-2 hari: mengeliminasi nikotin yang mempengaruhi
sistem kardiosirkulasi
- beberapa hari: mengaktifkan kerja silia jalan pernafasan
- 1-2 minggu: mengurangi produksi sputum
3. Obat-obat terlarang, seperti mariyuana, kokain dan heroin.
d. Tindakan anesthesia, operasi dan prosesi kelahiran (obstetric)
sebelumnya
Hal ini dapat menyingkapkan komplikasi anestesi yang timbul
sebelumnya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti
kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah. Hal ini penting
untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal atau sesak
nafas pasca bedah; sehingga anesthesia berikutnya dapat dirancang
lebih baik. Terdapat anjuran agar obat yang kiranya menimbulkan
masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang.
e. Riwayat penyakit keluarga
Contoh penyakit terkait anesthesia yang merupakan penyakit
keturunan /herediter ialah malignant hyperthermia.

5
f. Berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi efektivitas anestesi:
o Diabetes mellitus
o Penyakit paru kronik : asma bronchiale, pneumonia, bronchitis.
o Penyakit jantung dan hipertensi: infark miokard, angina pectoris,
dekompensasi kordis
o Penyakit hati
o Penyakit ginjal
o Penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi)
o Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang)
g. Meninjau sistem organ secara umum untuk mengidentifikasi masalah
medis pasien, meliputi:
i. Respirasi vi. Neurologi
ii. Kardiovaskular vii. Endokrin
iii. Renal viii. Psikiatri
iv. Gastrointestinal ix. Orthopedi
v. Hematologi x. Dermatologi
h. Intake oral terakhir

2.1.3 Pemeriksaan fisik


Anamnesa dan pemeriksaan merupakan suatu kesatuan yand tidak
dapat dipisahkan. Pemeriksaan fisik membantu mendeteksi abnromalitas
yang tak bisa diketahui melalui anamnesa, sementara anamnesa riwayat
membantu tenaga medis untuk melakukan pemeriksaan terhadap sistem
organ tertentu secara terarah. Standar teknik yang digunakan ialah
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
a. Tanda-tanda vital:
tekanan darah, nadi, pola dan frekuensi pernafasan, dan suhu.
b. Saluran pernafasan,
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi jalur nafas dan prosedur
anestesi (pemakaian masker dan intubasi endotracheal):
i. Inspeksi susunan gigi pasien

6
ii. Abnormalitas wajah dapat mempengaruhi pemakaian
masker
iii. Micrognathia (jarak antara dagu dan tulang hyoid
dekat)
iv. Ukuran lidah yang relative besar
v. Area gerak sendi temporomandibular atau spina
cervical yang terbatas
vi. Ukuran leher yang pendek
c. Jantung
d. Paru-paru
e. Ekstrimitas
f. Pemeriksaan neurologis

Secara keseluruhan, dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:


I. Breath
Meliputi : pemeriksaan sistem pernafasan, perhatikan frekuensi nafas,
dengarkan suara nafas, gerakan dada, pasien sesak atau nyeri.
Permasalahan pernafasan itu ada dua, yaitu:
a. Jalan nafas (airway) : bebas atau tidak
1) Disebut bebas : apabila penderita dapat bernafas dengan baik
atau diberi nafas dengan mudah, suara nafas bersih dan tidak
ada suara nafas tambahan
2) Disebut tidak bebas : apabila penderita memerlukan bantuan
untuk bernafas
a) Bantuan manual (tanpa alat) dengan triple airway manuver
(Head tilt, Chin lift, Jaw thrust)
b) Bantuan jalan nafas buatan (dengan alat)
 Jalan nafas oro/ nasofaring (jangan dipaksa jika reflek
muntah masih ada, untuk dewasa 7 mm atau sebesar jari
kelingking kanan)
 Laringeal Mask Airway
 Cricothyrotomy / trakeostomi

7
b. Pernafasan (breathing) : penderita bernafas atau tidak
1) Bila penderita bernafas, tapi mungkin tidak memadai dapat
diberikan :
a) Terapi oksigen
b) Bronkial toilet, yaitu dicoba batuk sendiri, tapi bila tidak
mampu mengeluarkan secret lakukan dengan penghisapan
intra trakeal atau bronchial
c) Chest physicotherapy, yaitu latih cara menarik nafas dalam
dan batuk
d) Nafas buatan jangka panjang (ventilator), yaitu diberikan bila
poin 1 sampai 3 gagal memberikan O2 yang memadai.
2) Bila penderita tidak bernafas
a) Nafas buatan tanpa alat
b) Nafas buatan dengan alat : ambu bag, jackson reese,
respirator atau ventilator
Selain memperhatikan jalan nafas kita juga perlu memperhatikan
gangguan membuka mulut (jarak minimal 4 cm), kekakuan otot-otot
area mulut dan leher, masalah gigi (ompong, gigi palsu, gigi goyah,
dll), lidah yang relative besar, leher yang terlalu pendek, kesemua itu
dapat mempersulit pelakdanaan langrioskopi intubasi. Untuk
mengetahui apakah panjang leher cukup untuk melakukan intubasi,
yaitu dengan mengukur jarak mentohyoid, dimana jarak normal
antara mento dengan os hyoid (dibelakang Adam’s apple) adalah 4
cm atau 7 cm.
Pemeriksaan rongga mulut juga dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan Mallampati, yaitu mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan. Pemeriksaan Mallampati dibagi beberapa derajat, yaitu:
 Derajat 1 : uvula terlihat semua
 Derajat 2 : uvula terlihat sebagian
 Derajat 3 : uvula tidak terlihat, hanya terlihat palatum molle
 Derajat 4 : hanya terlihat palatum durum

8
II. Blood
Periksalah apakah pasien memiliki masalah dengan jantung
(anatomis dn fungsional) dan pembuluh darah, khususnya penyakit
katup jantung, hipertensi dan gagal jantung baik kiri maupun kanan.
Pemeriksaan dilakukan dengan melihat adanya peningkatan tekanan
vena, edema pada ekstremitas bawah maupun pembesaran hepar.
Dengarkan suara jantung apakah ada suara tambahan atau tidak.
Tekanan darah, nadi (frekuensi, pengisian dan tekanan) darah,
perfusi perifer. Nilai syok atau perdarahan, Hb. Lakukan pemeriksaan
jantung (ECG) tentukan adanya aritmia yang berbahaya dimana segera
memerlukan tindakan menilai fungsi jantung

III. Brain
Menilai GCS, mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis (pusat
atau perifer), tanda-tanda peningkatan TIK. Pemeriksaan tingkat
kesadaran penderita dengan cara kualitatif (composmentis, somnolen,
sopor, coma) dan kuantitatif (GCS)

IV. Bladder
Pemeriksaan faal ginjal secara umum akan menggambarkan
hemodinamik penderita, status dehidrasi dan hormonal. Pemeriksaan
urine dilakukan dengan memeriksa :
 Produksi urine
o Normal 0,5-1 ml/kg BB/jam
o Anuri : 20m1/24jam
o Oliguri : 25m1/jamatau400ml/24jam
o Poliuri 2500 ml/24 jm
 Serum kreatinin
 BUN
 Sedimen urine

9
V. Bowel
Pembesaran hepar, dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol
atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat yang akan
digunakan. Bising usus dan peristaltik usus. cairan bebas dalam perut
atau massa abdominal. Makan dan minum terakhir harus diperhatikan
karena dapat menimbulkan efek muntah yang dapat mengakibatkan
aspirasi muntah kedalam paru-paru.
Perut kembung dapat menyebabkan diafragma terdorong keatas
sehingga pergerakan terganggu, kemudian paru-paru terbatas
bergerak sehingga menimbulkan hipoventilasi.
Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat
yang akan diberikan karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan
janin.

VI. Bone
Kelainan postur tubuh, kelainan neuromuskular, patah tulang.
Kelainan postur dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan menjadi penyulit
saat anastesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat
mempengaruhi anatomi tubuh, misalnya trakhea menjadi tertarik ke
lateral sehingga mempersulit intubasi. Patah tulang leher terutama pada
C2 dapat menyebabkan tetraplegi dan kelumpuhan otot diafragma
sehingga penderita meninggal karena gangguan nafas.

2.1.4 Evaluasi laboratorium


Untuk memperoleh kepastian dalam menunjang evaluasi
preoperative, maka dilakukan pemeriksaan penunjang dan uji
laboratorium atas indikasi yang terkait dengan penyakit yang dicurigai.
Agar dapat bermanfaat, tes preoperative dapat memcerminkan
peningkatan resiko perioperative saat nilainya abnormal dan menurunkan
resiko saat abnormalitas tersebut dihilangkan.
Manfaat tes bergantung pada:
- Sensitivitas: jumlah hasil false-negative menurun

10
- Spesifikasi : memiliki jumlah hasil false-positive
yang sedikit
Evaluasi laboratorium rutin bagi pasien yang sehat dan asimtomatik:
A. Konsentrasi hematocrit atau hemoglobin:
a. Semua wanita yang menstruasi
b. Semua pasien berusia > 60 tahun
c. Semua pasien yang mungkin akan kehilangan sejumlah
besar darah dan memerlukan transfusi
B. Nilai serum glukosa dan kreatinin (atau BUN): semua pasien
berusia > 60 tahun
C. Electrocardiogram : semua pasien berusia > 40
tahun
D. Foto radiografi dada : semua pasien berusia > 60 tahun
E. Tes kehamilan : deteksi chronic gonadotropine di dalam
serum atau urin
Pada wanita fertile untuk mendiagnosa kehamilan muda. Hal ini
dibenarkan karena adanya potensi efek teratogenik dari agen
anestesi terhadap janin.
F. Tes rutin untuk AIDS (mendeteksi antibodi HIV) masih menjadi
kontroversi.
G. Uji koagulasi dan unrialisis tidak cost-effective pada pasien
sehat asimptomatis.
Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium
secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis
Setelah pemeriksaan pre operatif dilakukan dan memperoleh
gambaran tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta rnasalah-
masalah yang ada, 1anjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesia yang akan digunakan.

11
2.1.5 Status fisik dan prognosis berdasarkan klasifikasi ASA
ASA (American Society of Anesthesiologist) membuat klasifikasi
yang membagi status fisik pasien preoperative kedalam kelompok-
kelompok, sehingga membantu dalam perencanaan penanganan
anesthesia (teknik) dan terkait pula dengan angka kematiannya.
Kelas Definisi Angka
kematian
1 Pasien sehat dan normal, tanpa gangguan organ, 0.06-0.08%
fisiologis, biokimia maupun psikiatrik, proses patologis
yang akan dilakukan operasi terbatas lokasinya dan tidak
akan menyebabkan gangguan sistemik.
Misalnya : Pada seorang dewasa muda sehat yang akan
menjalani operasi hernia inguinalis, atau seorang wanita
muda sehat dengan myoma uteri yang akan dilakukan
myomektomi.
2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tanpa 0.27-0.4%
keterbatasan fungsional, orang tua > 60 tahun , anak < 1
tahun.
Misalnya : Pasien dengan penyakit jantung organik tanpa
pembatasan aktifitas atau dengan pembatasan aktifitas,
direncanakan operasi hernia, pasien dengan anemia,
pasien dengan umur ekstrim (neonatus/geriatrik) tanpa
penyakit sistemik, obesitas, bronkitis kronis.
3 Pasien dengan penyakit sistemik sedang sampai berat 1.8-4.3%
yang menyebabkan keterbatasan fungsional, harus selalu
minum obat untuk kelangsungan hidupnya dan aktifitas
sehari hari terbatas.
Misalnya : Pada DM berat dengan komplikasi vaskuler,
inusifiensi paru sedang sampai berat, angina pectori,
infark miokard yang lama.
4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam 7.8-23%
hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi
melakukan aktivitas rutin.
Misalnya : Pasien dengan dekompensasi jantung, pasien
dengan angina pektoris yang terus menerus, insufisiensi
berat dari faal paru, hepar, ginjal atau endokrin.
5 Pasien yang diperkirakan tidak dapat hidup atau bertahan 9.4-51%
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi.
Misalnya : shock karena perdarahan, pasien trauma
kepala hebat dengan peningkatan tekanan intrakranial
6 Pasien dengan mati-otak yang organnya akan didonorkan
E Jika proseedur darurat, status fisik diikuti oleh “E”,
contoh 2E

12
2.1.6 Perencanaan anestesia
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh gambaran
tentang keadaan mental pasien beserta masalah – masalah yang ada ,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anesthesia yang
akan digunakan. misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak
menggunakan ketamine yang dapat menimbulkan hiperglikemi. atau
premedikasi untuk pasien dengan riwayat tirotoksikosis tidak memakai
atropine.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan
dengan teknik anesthesia regional daripada anesthesia umum mengingat
komplikasi paru paska bedah. dengan perencanaan yang tepat
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan paska
bedah dapat dihindari.

2.1.7 Informed consent


Penilaian preoperative bertujuan dalam memberikan pasien
penjelasan yang berdasar terhadap pilihan penanganan tindakan
anesthesia yang tersedia: anesthesia umum, regional, lokal, atau topical
ataupun sedasi intravena. Apapun pilihan teknik yang dipilih, inform
consent anesthesia umum harus selalu diperoleh, seandainya teknik lain
dirasa inadekuat.
Jika suatu prosedur dilakukan tanpa consent dari pasien, maka
seorang tenaga medis dapat diminta bertanggung jawab atas assault and
battery. Pada kasus dimana pasien masih dibawah umur atau tidak
kompeten memberikan consent/ persetujuan, maka persetujuan harus
diperoleh dari seseorang yang berhak secara legal untuk memberikan
persetujuan tersebut, seperti orang tua, wali, atau kerabat dekat. Meski
terkadang persetujuan lisan sudah mencukupi, tetapi persetujuan tertulis
lebih disarankan untuk tujuan medikolegal.
Terlebih lagi, consent harus disertai dengan informasi terlebih
dahulu untuk memastikan pasien (atau wali) mendapat informasi yang
cukup mengenai prosedur dan resiko yang akan dihadapi untuk memberi

13
alasan yang kuat dalam mengambil keputusan setuju atau tidak. Secara
umum, tidak semua resiko perlu dijelaskan secara mendetail, tetapi
diharapkan komplikasi yang membahayakan nyawa perlu diberitahukan
kepada pasien.
Tujuan dari kunjungan preoperative tidak hanya untuk memperoleh
informasi penting dan informed consent, tetapi juga membantu
membentuk hubungan yang sehat antara dokter-pasien. Anamnesa
dengan rasa empati dan menjawab pertanyaan pasien yang penting
membuat pasien dapat memperkirakan kondisi yang akan dihadapi. Hal ini
terbukti efektif dalam meredakan ketegangan seperti pemberian obat
premedikasi.

2.2. Persiapan Anestesi


Kegagalan untuk mempersiapkan keadaan pasien sering terjadi
dan biasanya dapat dihindari dengan mudah untuk mencegah kecelakaan
yang berhubungan dengan anestesi. Semua pasien harus dipersiapkan
sebelum dianestesi oleh orang yang akan melakukan anestesi. Persiapan
ini menyangkut setiap aspek terhadap kondisi pasien dan tidak hanya
permasalahan patologis yang membutuhkan operasi.
Penilaian pertama adalah riwayat kesehatan pasien, kadang-
kadang terdapat hal yang menarik perhatian ahli anestesi.Masalah
patologis yang memerlukan operasi dan jenis tindakan operasinya juga
penting dan kita harus tahu kira-kira berapa lama waktu yang
dibutuhkan.Tanyakan kepada pasien riwayat operasi dan anestesi
terdahulu, penyakit serius yang pernah dialami, juga ditanyakan mengenai
malaria, penyakit kuning, hemoglobinopati, penyakit kardiovaskular atau
penyakit sistem pernafasan.Sehubungan dengan keadaan pasien
sekarang, perlu juga ditanyakan toleransi terhadap olahraga, batuk, sesak
nafas, wheezing, sakit dada, sakit kepala dan pingsan.Apakah pasien
memakan obat tertentu secara teratur.Obat-obatan yang berhubungan
secara nyata dengan anestesi adalah obat antidiabetik, antikoagulan,
antibiotika, kortikosteroid, dan anti hipertensi, dimana dua obat terakhir

14
harus diteruskan selama anestesi dan operasi, tetapi obat yang lainnya
harus dimodifikasi seperlunya.Catat bila ada keterangan mengenai reaksi
alergi terhadap obat, juga apakah pasien atau keluarganya pernah
mengalami reaksi penolakan terhadap obat anestesi pada masa yang lalu.
Dan akhirnya menilai kehilangan cairan dan perdarahan, muntah,
diare dan sebab lainnya dan tanyakan juga riwayat dietnya.Apakah pasien
dapat makan dan minum secara normal sampai saat sebelum operasi.Jika
tidak kita harus curiga adanya kekurangan cairan dan nutrisi sehingga
dibutuhkan beberapa tahap untuk memperbaikinya sebelum
operasi.Tanyakan kapan makan atau minum terakhir dan jelaskan
perlunya puasa sebelum anestesi.
Pemeriksaan pasien. Pertama memeriksa keadaan umum
pasien.Apakah pasien tampak pucat, kuning, sianosis, dehidrasi,
malnutrisi, edema, sesak atau kesakitan.Selanjutnya perhatikan jalan
nafas bagian atas dan pikirkan bagaimana penatalaksanaannya selama
anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat, apakah intubasi akan sulit
atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu atau
mempunyai rahang kecil yang akan mempersulit laringoskopi, apakah ada
gangguan membuka mulut atau kekakuan leher, apakah ada
pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas
bagian atas.
Periksalah apakah pasien menderita penyakit jantung atau
pernafasan khususnya untuk penyakit katup jantung, hipertensi dan
kegagalan jantung kiri atau kanan dengan peningkatan tekanan vena,
adanya edema pada sakral dan pergelangan kaki, pembesaran hepar
atau krepitasi pada basal paru. Lihatlah bentuk dada dan aktivitas otot
pernafasan untuk mencari adanya obstruksi jalan nafas akut atau kronis
atau kegagalan pernafasan. Rabalah trakea apa tertarik oleh karena
fibrosis, kolaps atau pneumotoraks.
Lakukan perkusi pada dinding dada bila terdengar redup
kemungkinan kolaps paru atau efusi.Dengarkan apakah ada wheezing
atau rhonki kasar yang menandakan adanya obstruksi bronkus umum

15
atau setempat.Perhatikan juga abdomen. Pembesaran hepar mungkin
disebabkan oleh penggunaan alkhohol atau penyakit hepar lainnya yang
akan berpengaruh terhadap obat anestesi yang akan digunakan. Jika
berada di daerah endemic malaria, periksallah limpa pasien adanya
hipersplenisme dapat menimbulkan masalah pembekuan darah.Distensi
abdomen bahkan uterus gravid dapat mengganggu pernafasan bila pasien
berbaring.
Setalah dilakukan pemeriksaan, kita dapat mengetahui beberapa
masalah. Putuskan apakah diperlukan pemeriksan lain. Radiologi rutin
untuk thorax tidak diperlukan jika tidak ada gejala atau tanda abnormal
pada dada, tapi pemeriksaan Hb dan Hct sebaiknya rutin dilakukan pada
pasien yang akan menjalani anestesi umum.

2.2.1 Puasa pre-operatif


Selama anestesia, terjadi penurunan reflex laring. Hal ini
menyebabkan pasien beresiko mengalami regurgitasi isi lambung dan
kotoran ke dalam jalan nafas.Untuk meminimalisir resiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3
jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

2.2.2 Premedikasi
Premedikasi adalah pemeberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi. Tujuan premedikasi pre-operatif diantaranya meredakan
kecemasan dan ketakutan, memperlancarkan induksi anestesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah

16
obat anestetik, mengurangi mual-muantah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi reflex yang
tidak diinginkan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan
pada situasi yang tidak pasti.Membina hubungan baik dengan pasien
dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Sebelum
anestesi juga sangat penting untuk memberikan penjelasan kepada
pasien mengenai anestesi yang akan dilakukan serta resiko yang mungkin
terjadi. Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien mengenai proses
anestesi yang akan dilakukan dapat menurunkan kecemasan pasien dan
mengurangi kemungkinan komplain dari pasien akibat kurangnya
pemahaman pasien mengenai anestesi yang akan dilakukan dan
resikonya.
Dalam menjelaskan mengenai resiko anestesi setidaknya harus
dijelaskan resiko minor anestesi yang sering terjasi seperti nausea,
muntah, nyeri tenggorokan, dan nyeri kepala.Jika ada kemungkinan terjadi
reaksi mayor, penjelasan juga harus diberikan dengan sebaik-baiknya
kepada pasien. Setelah pasien memahami proses anestesi yang aka
dilakukan serta resikonya, selanjtnya perlu dimintakan informed consent
dalam bentuk yang sesuai dengan kebijakan masing-masing rumah sakit.

2.2.3 Persiapan pada hari operasi


1. Pembersihan dan pengosongan saluran cerna
Pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah
aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Pada
pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan
puasa: pasien dewasa 6-8 jam, bayi/anak 3-5 jam. Pada
pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan lebih
aktif dengan merangsang muntah, memasang pipa nasogastrik
atau memberi obat yang menyebabkan muntah seperti
apomorphin, dan lain-lain.Cara-cara ini tidak menyenangkan untuk
pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain yang dapat

17
ditempuh adalah dengan pemberian antasida (magnesium trisiklat)
atau antagonis reseptor H2 (cimetidine atau ranitidine). Puasa yang
cukup lama pada kasus akut kadang-kadang tidak menjamin
lambung kosong secara sempurna, misalnya pada stressmental
yang hebat, kehamilan, rasa nyeri, atau pada pasien DM.
Pemberian obat pencahar umumnya diberikan pada laparotomy
eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari karena puasa
adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan
pasien geriatri.
2. Pencukuran daerah operasi, dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan
pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi
tempat bertumbuhnya mikroorganisme dan juga mengganggu
proses penyembuhan dan perawatan luka.
3. Persiapan personal hygiene yang baik, karena kebersihan tubuh
pasien sangat penting untuk persiapan operasi agar tidak terjadi
infeksi pada daerah yang dioperasi.
4. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus dilepaskan dan
bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar
tidak mengganggu pemeriksaan selama anestesia missal sianosis.
5. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi.
6. Untuk membersihkan jalan nafas, pasien diminta untuk batuk
sekuat-kuatnya dan mengeluarkan lender jalan nafas.
7. Penderita dimasukkan ke dalam kamar bedah dengan memakai
pakaian khusus, diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi.
Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga sudah memberi
izin pembedahan secara tertulis (informed consent).
8. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulangi sekali lagi di kamar
operasi karena mungkin terjadi perubahan makna yang dapat
menyulitkan perjalanan anestesia, misalnya hipertensi mendadak,
dehidrasi, atau serangan asma akut.

18
9. Pemberian obat premedikasi secara intramuscular atau oral dapat
diberikan ½- 1 jam sebelum dilakukan induksi anestesi atau
beberapa menit bila diberikan secara intravena.

2.3 Premedikasi
2.3.1. Definisi premedikasi
Premedikasi (premedication) sebenarnya bukan istilah yang
tepat.Ini bukan tindakan yang dilakukan sebelum pemberian obat
tertentu.Yang dimaksud premedikasi adalah pemberian obat atau obat-
obat sebelum induksi anestesi, untuk mendapatkan kondisi yang
diharapkan oleh anestesiologis.Jadi, istilah yang tepat sebenarnya adalah
medikasi pra-anastesia.
Bergantung kepada tujuan dan sifat obatnya, premedikasi dapat
diberikan malam sebelum operasi atau beberapa jam sebelum anastesia.
Obat-obat yang diberikan oleh dokter lain dan tidak terkait dengan
prosedur anastesia bukanlah premedikasi. Contohnya pemberian
antibiotika oleh ahli penyakit dalam sejak tiga hari sebelumnya,
antihipertensi oleh kardiologis dan sebagainya.Obat premedikasi diberikan
oleh dokter anastesiologis.Cara pemberian obat premedikasi pun dapat
melalui berbagai rute, termasuk inhalasi.
Tidak semua pasien memerlukan premedikasi. Pasien yang
memerlukannya pun, tidak semuanya dapat diberi premedikasi. Dengan
kata lain, premedikasi bukanlah keharusan dan sesuatu yang rutin untuk
setiap anastesia. Premedikasi juga tidak berarti pemeberian obat jenis
tertentu saja sebelum anastesia.

2.3.2. Maksud dan tujuan premedikasi


1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir :
Kunjungan pra anastesia dan pemberian simpati serta sedikit
pengertian dalam masalah yang dihadapi pasien seringkali

19
membantu pasien dalam mengatasi rasa sakit dan khawatir dalam
menghadapi operasi.
b. Memberikan ketenangan :
Sedatif menyebabkan penurunan aktivitas mental, sehingga
imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap rangsang
berkurang.Banyak ahli anestesiologis mengira kantuk
membebaskan rasa takut dan ketegangan emosi.
c. Membuat amnesia :
Amnesia pra dan pasca bedah.
Menurut Fielman (1963) banyak pasien dalam keadaan sadar
pada akhir operasi, akan tetapi tidak dapat mengingat kejadian
yang baru terjadi setelah pembedahan. Ada kemungkinan pasien
dapat menerima kejadian sebelum dan sesudah pembedahan
tanpa gelisah emosional yang berat.Banyak obat premedikasi
menyebabkan amnesia atau menimbulkan potensial efek amnesia
dengan obat anestetika.Obat yang menyebabkan amnesia yang
kuat adalah hoisin dan diazepam, lebih-lebih bila diberikan
bersama-sama dengan opiate.Obat-obat ini banyak digunakan.
d. Memberikan analgesia :
Umumnya pasien menunggu operasi bebas dari rasa nyeri dan
banyak pasien mengeluh nyeri pasca bedah. Eckenhoff dan
Herlich (1985) membuktikan pasien dengan premedikasi narkotika
kurang mengeluh nyeri pada masa pulih, akan tetapi masa pulih
lebih lama.

2. Memudahkan induksi.
Pada saat ini kebutuhan pemberian obat-obatan khusus untuk
membuat induksi anastesia menjadi lebih mudah sudah berkurang.Hal ini
karena banyak dipakai induksi intravena dan pengunaan pelemas otot
yang mengurangi kesulitan khususnya pernafasan serta karena
pemakaian uap yang tidak merangsang seperti halotan banyak
menggantikan eter.Sebelum induksi inhalasi lebih-lebih pada pasien yang

20
kekar dan emosional pemberian morfin atau petidin banyak
menguntungkan.Selain itu disebutkan bahwa narkotika dapat mengurangi
takipneu yang sering terjadi selama anestesia dengan trikloroetilen dan
halotan.

3. Mengurangi dosis obat-obat anastetik.


Dahulu dianggap tujuan premedikasi antara lain untuk mengurangi
metabolisme basal (Goedel 1937), sehingga induksi dan pemeliharaan
anastesia menjadi lebih mudah dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit
sehingga pasien akan sadar lebih cepat. Beecher (1955) meragukan
kemungkinan penurunan BMR dengan dosis obat yang biasa.Menurut
Ngai dan Pepper (1962) penerangan pra anastesia tidak mengurangi
pemakaian oksigen.Peningkatan pemakaian oksigen tampak bila pasien
ketakutan, walaupun telah diberikan narkotika atau hipnotika.Pemakaian
premedikasi berat memperlambat pasien sadar, keinginan untuk cepat
sadar dan bergerak dini setelah pembedahan.Hal ini sering
terjadi.Umumnya premedikasi ringan sebelum pembedahan lebih
disukai.Sadar lebih ini mengurangi beban kerja staf perawat dalam ruang
recovery.

4. Mencegah reflex-refleks yang tidak diinginkan.


Trauma bedah dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila
anestesia tidak memadai. Obat-obat analgetika dapat diberikan sebelum
pembedahan, sehingga anestetika lemah seperti N2O memerlukan sedikit
penambahan obat-obat lain selama anestesi. Misalnya dilatasi sfingter
anus dan penarikan testikulus merupakan penyebab crowing selama
anestesia yang dangkal.Trauma pada kulit dapat menyebabkan
perubahan denyut jantung dan tekan darah.Atropin dan hiosin dalam dosis
biasa tidak mencegah tanggapan tekanan darah terhadap intubasi kalau
pada anestesia ringan. Dosis biasa atropin atau hiosin pra bedah
diragukan dapat melindungi pasien dari reflex vagus dan tidak mempunyai
dasar yang kuat serta kekuatan maksimum obat ini sangat singkat. Hal ini

21
menyebabkan beberapa orang beranggapan, bahwa atropine tidak harus
selalu dipakai, karena dapat diberikan secara intravena apabila ada
indikasi.

5. Mengurangi sekresi saluran pernafasan.


Atropin dan hiosin mengurangi sekresi saluran nafas.Hal ini tampak
menguntungkan pada pemakaian eter.Sekresi berlangsung selama
anestesia dan dapat dirangsang oleh tindakan seperti pengisapan atau
pemasangan pipa jalan nafas trakea.Antikolinergik ini digunakan untuk
mengurangan sekresi bronkus sebelum anestesia.

6. Mengurangi kejadian mual-muantah pascaoperasi.

7. Membantu pengosongan lambung, mengurangi produksi asam


lambung atau meningkatkan pH asam lambung.

2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat


a. Usia : Merupakan variabel yang penting dalam kerja obat.
Sesudah usia 40 tahun efek narkotika dan sedative meninggi,
karena rasa nyeri berkurang dengan peningktan usia. Fenomena ini
disebabkan karena penurunan kepekaan terhadap rangsang
sensorik dengan penambahan usia tidak hanya penurunan persepsi
nyeri, tetapi juga penurunan aktifitas reflex jalan nafas.
b. Suhu : Setiap kenaikan suhu 1oF laju metabolisme basal naik
sebesar 7%.
c. Emosi : Mungkin merupakan penyebab terbanyak kenaikan laju
metabolisme basal pra anestesia. Takut dan ketegangan
merupakan faktor utama dan keduanya meninggikan kepekaan
terhadap rasa nyeri.
d. Nyeri : Laju metabolisme basal meningkat, oleh karena rasa nyeri
yang sebanding dengan intensitas rasa nyeri.

22
e. Penyakit : Pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan
terapinya. Pada pasien penyakit kronis seperti osteomyelitis
dengan gizi jelek morfin lebih mudah toksik, karena hati tidak dapat
mengolah morfin dosis besar. Pada pasien anemia pemakaian
opiate atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.

2.3.4. Waktu dan cara pemberian obat


Tergantung kepada cara pemberian obat. Pemberian obat secara
subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara intramuscular minimum
harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu
tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara
intravena. Obat akan segera efektif sebelum induksi. Bila pembedahan
belum akan dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuscular, cara subkutan tidak dianjurkan. Harus diingat semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin.Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

2.3.5. Obat-obat yang sering digunakan


a. Narkotika :
Morfin, dosis dewasa biasa 8-10mg i.m. obat ini digunakan untuk
mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang
pembedahan. Mofin adalah depresan susunan syaraf pusat. Bila
rasa nyeri telah ada sejak sebelum tindakan bedah merupakan
obat pilihan. Memberikan pemeliharaan anestesia yang mulus, bila
memakai premedikasi morfin pada penggunaan anestetika lemah.
Kerugian penggunaan morfin, pulih pasca bedah lebih lama.
Penyempitan bronkus dapat timbul pada pasien asthma. Mual
muntah pasca bedah ada.

23
b. Pethidin:
Dosis 1mg/kgBB (dewasa) sering digunakan sebagai premedikasi
seperti morfin dan menekan tekanan darah dan pernafasan dan
juga merangsang otot polos.
c. Barbiturat:
Pentobarbital dan sekobarbital sering digunakan untuk
menimbulkan sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum
operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau intramuscular,
pada dewasa dosis 100-200mg dan pada bayi dan anak dosis
2mg/kgBB.Yang mudah didapat phenobarbital.Obat ini mempunyai
kerja depresan yang lemah terhadap pernafasan dan sirkulasi serta
jarang menyebabkan mual muntah. Pasien yang mendapat
barbiturate sebagai premedikasi biasanya bangun lebih cepat
daripada bila menggunakan narkotika.
d. Antikolinergik:
obat ini menginhibisi tonus parasimpatis, dengan konsekuensi
menurunkan tonus otot polos di saluran cerna, saluran kemih dan
sebagainya. Contohnya atropine, glikopirolat, difenhidramin,
dimenhidrinat, ipratropium bromide.Atropin paling banyak
digunakan.Selain relaksasi sfingter, atropine menyebabkan dilatasi
pupil sehingga perlu perhatian khusun pada glaucoma sudut
sempit, hipertrofi prostat dan obstruksi kandung kemih.Dosis
sebagai premedikasi 0,01-0,02mg/kgBB.Efek yang diinginkan
adalah antisialagog (mengurangi sekresi jalan nafas).Efek
vagolitiknya berguna untuk mengatasi reflex vagal.Pada pasien
dengan takikardia, penggunaan atropine menjadi dilematis
sehingga glikopirolat digunakan sebagai alternatif. Efek lain
antikolinergik yang tidak diinginkan yaitu meningkatnya resiko
refluks gastroesofagus akibat penurunan tonus sfingter esophagus,
agitasi, konvulsi hingga koma, sikloplegia, demam akibat hambatan
sekresi keringat dan mulut kering yang berlebihan. Oleh karena itu
pemberian atropin sebagai premedikasi tidak boleh terlalu lama

24
sebelum anestesia dimulai karena menimbulkan sensasi tidak
menyenangkan bagi pasien.
e. 𝜷-blocker:
Dimaksudkan untuk menghambat respon hemodinamik akibat
stimulus nosiseptif (laringoskopi dan intubasi) serta menghambat
respon stress neuroendokrin. Obat yang digunakan seperti esmolol
atau metoprolol.Obat golongan ini tidak mempunyai komponen
analgesia dan bekerja pada reseptor 𝛽 di sistem kardiovaskular.
Penggunan 𝛽-blocker yang tidak selektif sebaiknya dihindari pada
pasien asma bronkiale karena hambatan dapat terjadi juga di
reseptor 𝛽 2 di bronkus dan menyebabkan bronkokonstriksi.
f. Klonidin dan deksmedetomidin:
merupakan agonis 𝛼 2 yang dapat mempotensiasi anestesia dengan
menurunkan aktivitas noradrenergic pusat serta simpatolitik.
Pemberian premedikasi klonidin digunakan sebagai anti hipertensi
dengan dosis 0,1mg dalam 30-60menit sebelum operasi, memiliki
efek sedasi serta menurunkan kebutuhan akan anestesia
perioperative. Khusus untuk dexmedetomidin dikatakan pula efek
analgetik.Obat golongan ini menghambat pelepasan norepinefrin
secara sentral. Oleh karena itu pemberiannya harus dihindari pada
pasien-pasien yang sangat memerlukan kemampuan kompensasi
kardiovaskular, misalnya pasien dengan blok AV, pasien syok
hipovolemik dan sebagainya.
g. Fenotiazin:
Merupakan golongan obat antipsikosis. Struktur fenotiazin
didapatkan pada obat neuroleptic (misalnya klorpromazin) dan
antihistamin (misalnya prometazin).Pada umumnya obat golongan
ini menimbulkan sedasi dan ansiolitik, mempunyai efek antiemetik,
juga merupakan antagonis H2, dan antikolinergik sehingga sering
dipilih untuk premedikasi.Sebenarnya golongan obat ini berpotensi
menyebabkan efek samping yang berat, misalnya gejala
ekstrapiramidal.Efek yang terkenal dan dapat fatal yaitu neuroleptic

25
malignant syndrome (NMS). Gejala klinis NMS sangat mirip dengan
hipertermia naligna dan juga diatasi dengan pemberian dantrolene.
h. Antagonis reseptor H2, inhibitor pompa proton:
omeprazole,lansoprazol, dan pantoprazole bekerja pada sel
parietal lambung, berkaitan dengan menghambat pompa proton
sehingga menghambat sekresi asam lambung. Obat ini
diindikasikan untuk pengobatan ulkus peptikum, penyakit refluks
gastrointestinal (GERD) dan zoolinger ellison syndrome.
Penggunaannya sebagai profilaksis aspirasi asam lambung pada
anestesia umum terbatas dibandingkan dengan penggunaan untuk
tujuan diatas.Inhibitor reseptor H2 menghambat pengikatan
histamine pada reseptor H2 sehingga mengurangi sekresi dan
volume gaster serta menurunkan pH lambung sehingga lebih efektif
mencegah pneumonia aspirasi. Sebagai profilaksis dapat
digunakan dosis ranitidine 50mg iv. Ranitidin oral 150-300mg
diberikan malah hari dan waktu 1-2 jam pra anestesia. Pemberian
harus lebih berhati-hati pada pasien dengan kelainan ginjal dan
hepar.
i. Antagonis serotonin:
Secara dominan serotonin atau 5-hidroksitriptamin (5HT) ada
dalam traktus gastrointestinal, platelet dan susunan saraf pusat.
Pada sistem hematologi, serotonin 5HT2A bertanggungjawab pada
kontraksi otot polos dan dapat menyebabkan agregasi
platelet.Pada otot polos saluran cerna serotonin 5HT3 dapat
menyebabkan kontraksi yang meningkatkan peristaltic tanpa
mempengaruhi sekresi.Selain itu 5HT3 dapat ditemukan pada
reseptor yang memediasi pusat muntah di otak (area postrema)
dan lambung.Antagonis 5HT3 ada beberapa jenis yaitu derivate
karbazol (ondansentron), indazol (granisetron) dan indol
(tropisetron dan dolasetron).Hampir semuanya antiemetik.
Penggunaan rutin sebagai profilaksis anti mual dan muntah
dianjurkan sebelum induksi dan pasca bedah terutama pada pasien

26
dengan riwayat mual muntah, pasien menjalani pembedahan yang
beresiko tinggi menyebabkan nausea seperti laparoskopi, serta
operasi yang memerlukan pencegahan mual muntah seperti pada
bedah saraf atau operasi mata. Dosis yang direkomendasikan pada
ondansentron 4mg.
j. Metoklorpropamid:
Bekerja sebagai cholinomimetic yang memfasilitasi transmisi
asetilkolin pada reseptor muskarinik seketif. Merupakan agen
prokinetik pada saluran cerna bagian atas, meningkatkan tonus
sfingter esophagus bagian bawah, mempercepat pengosongan
lambung dan menurunkan volume gaster.Efektif pada pasien
dengan gastropati diabetikum, GERD dan pencegahan pneumonia
aspirasi.Dosis 0,25mg/kgBB efektif secara oral dengan awitan 30-
60menit dan secara intravena dengan awitan 1-3menit.Dosis lebih
besar 1-2mg/kgBB dapat digunakan sebagai pencegahan emesis
kemoterapi.Efek samping pada pemeberian intravena cepat adalah
kram abdominal.Kontraikdikasi pada parkinsonisme, obstruksi usus
serta feookromasitoma karena dapat menyebabkan pelepasan
katekolamin dari tumor.Obat ini disekresi ke urin sehingga hati-hati
pada pasien dengan gangguan ginjal.
k. Anti histamin : Yang sering digunakan dalam premedikasi adalah
promethazine (Phenergan) dengan dosis 12,5-25mg im pada orang
dewasa. Digunakan pada pasien dengan asma bronkiale
(Wirjoatmodjo, 2000).
l. Butyrophenon : Digunakan sebagai obat premedikasi dengan
kombinasi narkotik. Keuntungan yang sangat besar dari obat ini
adalah antiemetic yang kuat dan bekerja secara sentral pada pusat
muntah di medulla. Obat ini ideal untuk digunakan pada pasien-
pasien dengan resiko tinggi, misalnya operasi mata, pasien dengan
riwayat sering muntah dan obesitas. Diberikan secara iv dengan
dosis 1-2,5mg. pada pasien tertentu kadang droperidol ini
menimbulkan dysphoria (takut mati). Droperidol juga mempunyai

27
efek blokade terhadap reseptor dopaminergic sehingga dapat
menimbulkan gejala ekstrapiramidal pada pasien yang normal.
Selain itu juga mempunyai efek alfa adrenergic antagonis yang
ringan, sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini
dapat digunakan pada pasien hipertermi sebelum digunakan
kompres basah. Namun perlu diingat akan terjadinya hipovolemia
relative. Pada pasien dengan riwayat alergi/rhinitis vasomotor
sebaiknya penggunaan ini dihindari.

2.4 Ruang Pulih Sadar


2.4.1. Definisi
Ruang pemulihan (Recovery Room) atau disebut juga Post
Anesthesia Care Unit (PACU) adalah ruangan tempat pengawasan dan
pengelolaan secara ketat pada pasien yang baru saja menjalani operasi
sampai efek dari anestesi dinilai telah hilang dan keadaan umum pasien
stabil.
Pasien yang telah menjalani segala jenis anstesi dianjurkan untuk
dirawat di recovery room kecuali ada perintah khusus dari dokter spesialis
anestesi yang sedang bertugas. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Pasien yang ada di ruang pemulihan secara
terus menerus dipantau untuk menghindari komplikasi – komplikasi sistem
pernapasan atau sistem sirkulasi yang berpotensi mengancam jiwa.

2.4.2. Desain
Letak ruangan pemulihan yang ideal adalah berdekatan dengan
ruang operasi dan mudah di jangkau oleh dokter ahli anestesi atau ahli
bedah sehingga mudah dibawa kembalikan ke ruang operasi bila
diperlukan, serta mudah dijangkau bagian radiologi, laboratorium dan
fasilitas – fasilitas perawatan intensive lainnya. ruangan harus dilengkapi
dengan lampu cadangan bila sewaktu-waktu terjadi pemadaman aliran
listrik. Terdapat outlet listrik lebih dari satu dan paling sedikit satu outlet

28
oksigen, udara dan suction pada setiap tempat tidur. idealnya jumlah bed
adalah 1.5 kali dari jumlah ruang operasi.

2.4.3. Alat-alat yang disediakan


Alat-alat yang disediakan di ruang pulih sadar antara lain:
a. Alat bantu nafas (endotrahceal tube, self-inflating bags for
ventilation, LMA, oropharygeal tube, dll)
b. laryngoscope
c. Oksigen dan masker oksigen, pulse oxymeter
d. Peralatan infus
e. sphygmomanometer dan stetoskop
f. EKG
g. Termometer
h. Peralatan resusitasi jantung-paru (defibrilator, obat – obatan
untuk advanced life support, bronkodilator)
i. 1 set monitor untuk setiap bed
j. Alat penghangat dan selimut pendingin

2.4.4. Sumber daya manusia


Ruang pulih sadar adalah tempat khusus untuk mengelola pasca
bedah sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualifikasi
dalam airway management dan advanced cardiac life support, serta
masalah – masalah yang biasanya ditemukan pada pasien paska operasi
seperti : perawatan luka, drainase kateter dan menangani perdarahan
paska operasi. Manajemen dari ruang pemulihan biasanya dipimpin oleh
dokter anestesi dan berkolaborasi dengan dokter bedah yang
mengoperasi. Dengan asumsi bahwa durasi rata –rata seorang pasien
berada di ruang pemulihan adalah 1 jam dan rata – rata durasi sebuah
tindakan operasi adalah 2 jam, maka didapatkan minimum rasio 1 perawat
untuk setiap 2 pasien. Namun terkadang dibutuhkan 1 perawat untuk tiap
1 pasien apabila prosedur pembedahan berlangsung singkat.

29
2.4.5. Pemindahan pasien dari ruang operasi
Saat memindahkan pasien dari ruang operasi ke ruang pemulihan,
pasien harus memiliki jalan nafas yang stabil dan paten, serta memiliki
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, dan hemodinamiknya stabil.
Biasanya pasien mendapat suplementasi oksigen sebanyak 30%-50%
karena kebanyakan mengalami hipoksemia transien saat menghirup
udara ruang waktu dipindahkan. Pasien yang tidak stabil harus
dipindahkan dengan intubasi dan monitor portabel yang dapat memantau
EKG, SpO2, dan tekanan darah. Pemindahan harus menggunakan bed
yang bisa memposisikan posisi trendelenberg (head down), ini berguna
untuk pasien yang hipovolemik. Pasien dengan resiko muntah dan
perdarahan saluran nafas atas ( post tonsilectomy, dll) di pindahkan dalam
posisi lateral karena dapat membantu mencegah aspirasi dan obstruksi
jalan nafas.

2.4.6. Masalah di Ruang Pulih Sadar


1. Gangguan pernapasan
Gangguan pernapasan adalah komplikasi tersering di ruang pulih
sadar. Paling umum berhubungan dengan obstruksi saluran nafas,
hipoventilasi, atau hipoksemia.
 Obstruksi saluran napas
Parsial atau total, tak ada ekspirasi paling sering dialami karena
lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Penyebab
lain adalah kejang laring pada pasien menjelang sadar karena
laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah sekret, atau
sebelumnya kesulitan intubasi trakea.
 Hipoventilasi
Didefinisikan sebagai PaCO2 lebih dari 45 mm Hg. Tanda dapat
bervariasi termasuk kondisi somnolen yang lama, obstruksi
saluran napas, rendahnya nilai respirasi, takipnea dengan nafas
dalam. atau sesak napas.

30
2. Gangguan kardiovaskular
 Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan,
iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau
aktivasi saraf simpatis karena hipoksi, hiperkapni, dan asidosis.
Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan
menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia,
edema paru dan perdarahan otak. Terapi hipertensi diarahkan
pada faktor penyebabnya dan kalau perlu dapat diberikan
klonidin dan nitroprusid 0,5 ± 1,0 µg/kg/menit.
 Hipotensi akibat isian balik vena menurun disebabkan
perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan ke
rongga ketiga, keluaran air kemih belum diganti, kontraksi
miokardium kurang kuat atau tahanan veskular perifir menurun.
Hipotensi harus segera dilatasi, karena dapat menyebabkan
hipoksemi dan kerusakan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan
dengan faktor penyebabnya.Berikan O2 100% dan infus
kristaloid RL atau Asering 200-500 mL.
 Disritmia disebabkan oleh hipokalemia, asisdosis-alkalosis,
hipoksia, hiperkapnia atau memang pasien penderita sakit
jantung.
3. Gelisah
Dapat disebabkan karena hipoksia, , asidosis, hipotensi, kesakitan,
efek samping obat (ketamin) atau buli-buli penuh. Setelah
disingkirkan penyebabnya, pasien dapat diberi penenang
midazolam 0.05-0.1 mg/kg BB
4. Nyeri
Dikategorikan sebagai nyeri ringan. sedang, berat. Untuk meredam
nyeri pasca bedah pada analgesia regional pasien dewasa, sering
ditambahkan morfin 0,05-0,1 mg saat memasukan anestetik lokal
ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural.
Tindakan ini sangat bermanfaat karena dapat meredam nyeri
selama 10-16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul bersifat sedang

31
atau ringan dan jarang diberikan tambahan opioid dan kalaupun
perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID misalnya
ketorolac 10-30 mg iv atau im.
5. Mual-muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setealh anestesi umum
terutama pada penggunaan opioid bedah intra abdomen, hipotensi
dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering
digunakan pada perianastesia adalah:
 Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/KgBB (amp 5
mg/mL) im atau iv
 Metokloporamid (primperan) 0,1 mg/kg, supp 20 mg
 Ondansetron (zofran,narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB iv
 Cyclizine 25-50 mg
6. Menggigil
Sering terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi
terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama.
Selain akibat turunnya suhu dapat juga disertai oleh naiknya suhu
dan biasanya akibat obat anestetik inhalasi. Terapi peptidin 10-20
mg i.v. pada dewasa, selimut hangat, infus, hangat,lampu
penghangat digunakan untuk menaikkan suhu tubuh.

2.4.7. Kriteria pasien untuk dipindahkan ke ruang perawatan atau ke


ICU (Intensive Care Unit)
Sebelum dikeluarkan pasien harus sudah diobservasi depresi
respirasi setidaknya selama 30 menit setelah dosis terakhir narkotik
parenteral. Kriteria lain pasien pulih dari anestesi umum :
 Mudah dirangsang
 Orientasi penuh
 Mampu untuk menjaga dan proteksi saluran napas
 Tanda vital stabil setidaknya 1 jam
 Mampu memanggil bantuan jika dibutuhkan

32
 Tidak ada komplikasi operasi yang jelas (misal perdarahan aktif)
Kriteria lain yang umum digunakan adalah skor Aldrete.

Tabel 2.1 Score Aldrete

Penilaian dilakukan pada saat masuk ruang pulih sadar dan


selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap 5 menit
sampai tercapai nilai total 10. Nilai untuk pengiriman pasien adalah 10.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim ke ruangan:
a. Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau obat
penawarnya (nalokson) secara intervena.
b. Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik,
antiemetik atau

33
c. narkotik secara intramuskular.
d. Observasi minimal setelah oksigen dihentikan.
e. Observasi 60 menit setelah ekstubasi
f. Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Dokter Spesialis Bedah.

Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang pemulihan


jika nilai pengkajian post anestesi adalah >7-8. Lama tinggal di ruang pulih
tergantung dari teknik anestesi yang digunakan. Pasien dikirim ke ICU
(Intensive Care Unit) apabila hemodinamik tidak stabil atau membutuhkan
ventilator (mechanical respiratory support).
Bila pasien anak-anak, kriteria pemulihan yang digunakan adalah
Skor Steward. Bila total skor di atas 5 pasien boleh keluar dari ruang
pemulihan. Untuk menilai masa pulih sadar dari steward membagi dalam
3 tahap:
a. Immediate recovery: kembalinya kesadaran kembalinya reflek-
reflek protektif jalan nafas dan aktivitas motor yang singkat.
b. Intermediate recovery: kembalinya fungsi koordinasi, hilangnya
perasaan pusing subyektif. Tahap ini kira-kira 1 jam setelah
anestesi yang tidak terlalu dalam.
Longterm recovery: tahap ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan
berhari-hari tergantung dari lama anestesi.

34
Tabel 2.2 Score Streward
STEWARD SCORING SYSTEM
KRITERIA NILAI
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap stimuli 1
Tidak ada respon 0
Jalan
nafas Batuk atas perintah atau menangis 2
Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0
SCORE STEWARD

Untuk pasien dengan spinal anastesi digunakan kriteria skor


Bromage, yang dinilai adalah pergerakan kaki, lutut, dan tungkai. Apabila
total skor 2, pasien boleh dipindahkan ke ruang perawat.

Tabel 2.3 Parameter Bromage Scale


PARAMETER BROMAGE SCALE (SAB)
KRITERIA NILAI
Kaki tidak dapat digerakan 3
Dapat menggerakkan sendi pergelangan kaki 2
Dapat menggerakkan kaki dan flexi lutut 1
Sendi pergelangan kaki dapat flexi dan ekstensi lutut 0
SCALE BROMAGE

35
BAB 3
KESIMPULAN

Pre-operative visite dilakukan sebelum melakukan anestesi di


kamar operasi karena bermanfaat bagi pasien, operator, dan ahli anestesi.
Pre-operative visite bertujuan menilai kelayakan pasien sebelum dilakukan
anestesi, menentukan jenis anestesi, dan obat anestesi yang akan
digunakan. Hal ini sangat penting untuk keselamatan pasien.
Premedikasi bertujuan untuk menenangkan pasien, membuat
pasien merasa nyaman, dan memudahkan induksi serta mengurangi
jumlah obat anestesi yang digunakan.
Ruang pulih sadar merupakan tempat observasi pasien setelah
dilakukan anestesi dan pembedahan. Hal ini bertujuan untuk menghindari
bahaya dari efek anestesi yang tidak diinginkan dan agar pasien dapat
pulih dengan baik serta meminimalkan keluhan pasien saar sadar.
Tindakan anestesi yang baik, bila mulai persiapan, durante operasi
dan pasca operasi berjalan dengan aman.

36
DAFTAR PUSTAKA

Anderson B.J, Lerman J, Conte C.J A Practice of Anesthesia for Infants


and Children Ed. 5. Elsevier. USA

Arief, Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan,


2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

G, Edward Morgan, Jr., Mageds, Mikhail, 2002, Clinical Anesthesiology,


New York, Mc Graw-Hill Companies.

Latief, Said, Kartini, R, Dahian, 2009, Petunjuk Praktis Anestesiologi,


Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S., Dahian, R., 1989, Anestesiologi,


Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Wirjoatmodjo, karjadi. Anestesiologi dan Reanimasi. Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta, 2000.

37

Anda mungkin juga menyukai