PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan
pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita
diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut
di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan
diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor
penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut
terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati.
Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit
pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian
jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi
granulosit yang inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif
dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.1,4,5,6
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis dabetik, koma non ketotik
hipenosmolor dan hipoglikomia. Penurunan aklifitas insulin meningkatkan katabolisme asam lemak bebas
menghasilkan benda keton (asetoasetat dan β hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang disebut kotoasidosis
diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahui dengan asidosis laktat. Dimana asidosis laktat pada plasma
terjadi peningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat aseton dalam urine dan plasma. Ketoasidosis
alkoholik dapat dibedakan dengan ketoasidosis diabetik dari adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkohol
dalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah
atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnue (uji kompensasi untuk asidosis metabolik), nyeri perut yang
menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik
tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh,
dan dehidrasi diinfus dengan insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap dan penanganan
perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi preoperatif. Kontrol gula darah
yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas
dan mortalitas perioperatif. Pencegahan hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan
pengetahuan saat ini. Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang penanganan pasien yang akan
mengalami tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan
bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat hari pembedahan
menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan untuk menilai sfetem kardiovaskuler
penderita asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data
yang memberikan Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari
penelitian terbaru akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami pembedahan.7
Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus serta penatalaksanaan
persiapan operasi.
DEFINISI
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa dalam plasma.8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria diagnostik terbaru. Kedua
badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi
lebih berdasarkan etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu pada
individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl)
pada individu asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika
nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110
dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis
diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu > 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena > 10,0
mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar glukosa plasma puasa > 7,0
mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas
diabetes.7
KLASIFIKAS 1 5 7 8 9
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya retensi insulin)
direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak
dan dewasa muda. Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya
destruka sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu
memerlukan insulin sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika
insulin dihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi insilin relatif,
muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk.
Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes
oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.
PATOFISIOLOGI
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas tetapi
berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda,
yang terkecil adalah 50. sedangkan yang terbesar 300 . Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225
. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau
Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel memproduksi glukagon yang menjadi faktor
hiperglikemik, sel-sel yang mensekresi insulin , dan sel-sel yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan kemudian dibungkus
kedalam butir-butir diantara sel-sel . Sejumlah besar insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam
pankreas. Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur
utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-
hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin.
Epinefrin dan. norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor adrenergik dan
merangsang pelepasan insulin pada reseptor adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak
dan pelepasan asam amino dari dalam otot. Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup
untuk menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam
amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam
timbulnya gejala ketoasidosis. Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk
mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan dengan infeksi virus
yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus
dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes
mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus
encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus
hepatftis.4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya dengan faktor keturunan.
Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya
disebabkan karena kegemukan.
Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol dianggap menambah risiko
terjadinya pankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan iskemik renal karena
meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial dan penyakit parenkim ginjal.
Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang dilakukan -pembedahan dan terutama penderita
tipe I men punyai risiko komplikasi pasca operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien non diabetes sebagai
hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi insulin relatif. Defisiensi ini
berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan resistensi insulin. Sebagian dari resistensi
insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan
perubahan dari ikatan post-reseptor dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa
transmembran.6,7,9
DIAGNOSIS
Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat hiperglikemia seperti
pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan kesadaran, ketosis dan gangguan degeneratif
(neuropati, retinopati, nefropati).9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan dengan mudah oleh
dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14
TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS
Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu
didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan. Kadar glnkosa plasma
puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam
terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa oral >= 200
mg/dl.
Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik akut (seperti
diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus
dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi
glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon insulin terhadap
rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi
karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis,
hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan
primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat
sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan
neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava
maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi
tegak berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya
peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50%
pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari
lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 %
untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 %
pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan
bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan
kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak.
Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun
belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria
dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang
ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali
akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul
tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang
aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik
dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada
nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan
morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu.
Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit
akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint
syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan
V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar
lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan
intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang
dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak
seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara
keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang
dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan
kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan
dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu
ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome"
dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.1,5,6,7,8
PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak
kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium
dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler
(penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan
meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi
neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%.
Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya membutuhkan
sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin perlu diberikan pada perioperatif?
Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat
kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk
mengontrol kadar gula darah dan glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi seperti di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3 hari sebelum
pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat
di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan
pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin
normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga
dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin
normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar
glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan
sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan
metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering :t digunakan
adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin
kerja sedang:
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DM
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan pergeseran
kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang
dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena. Kalium dapat
ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang
sama sebagai berikut:
1. Campur 50 RI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 /jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini :
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang harus diingat
dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian
pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti.
Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis
intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam.
Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi
0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula
darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
Bonus .......................
DAFTAR SEDIAN INSULIN DI INDONESIA
Kandungan Nama Patent Onset Peak Durasi
Short & Rapid Acting
Insulin aspart 15-20 mnt 1-3 jam 3-5 jam
Insulin lispro ≤ 15 mnt 0,5-1,5 jam 3-5 jam
Regular (Soluble, Atrapid HM, 0,5-0,7 jam 1,5-4 jam 5-8 jam
neutral) Humulin R
Intermediate Acting
Lante (Insulin Zn Monotard HM 1,2-5 jam 6-12 jam 18-24 jam
susp)
NPH (Isophane Humulin N, 1-1,5 jam 6-12 jam 18-24 jam
Insulin) Isulatard HM
Long Acting
Insulin gargine Lantus 2-5 jam - 24 jam
Lainnya
Pencampuran 30 % Mixtard 30 HM Sampai 24 jam
regular insulin & Humulin 30/70 30 mnt
70 % NPH
FAKTOR RESIKO DM
1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit pulih
2. Neuropatik otonom
- Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri)
- Hipotensi berat setelah pemberian anestesi
- Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol
- Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak
- Hipotermia intra operatif
- Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic)
- Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin
- Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid untuk mempercepat
pengosongan lambung.
- Keringat berkurang
- Inpotensi
3. Gangguan ginjal
- Mikroalbuminuria – proteinuria
- Gangguan GFR – Kreatinin menigkat
- Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan
- Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba
- Gagal Ginjal
4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi
5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan kesulitan melakukan
tindakan intibasi.
Anestesi pada Geriatri
SISTEM PERNAPASAN
Penurunan elastisitas jaringan paru, menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang berakibat mengurangi
permukaan alveolar, sehingga menurunkan efisiensi pertukaran gas.
Ventilasi masker lebih sulit.
FUNGSI GINJAL
Aliran darah ginjal dan massa ginjal menurun. (massa korteks diganti oleh lemak dan jaringan fibrotik).
Laju filtrasi glomerulus dan bersihan kreatinin (creatinin clearance) menurun
Gangguan penanganan natrium, kemampuan konsentrasi, dan kapasitas pengenceran memberi
kecenderungan pasien usia lanjut untuk mengalami dehidrasi atau overload cairan.
Fungsi ginjal menurun, mempengaruhi kemampuan ginjal untuk mengekskresikan obat.
Penurunan kemampuan ginjal untuk menangani air dan elektrolit membuat penatalaksanaan cairan yang
tepat menjadi lebih sulit; pasien usia tua lebih cenderung untuk mengalami hipokalemia dan
hiperkalmeia. Hal ini diperparah oleh penggunaan diuretik yang sering pada populasi usia lanjut.
FUNGSI GASTROINTESTINAL
Berkurangnya massa hati berhubungan dengan penurunan aliran darah hepatik, menyebabkan Fungsi
hepatik juga menurun sebanding dengan penu-runan massa hati.
Biotransformasi dan produksi albumin menurun.
SISTEM SARAF
Aliran darah serebral dan massa otak menurun sebanding dengan kehilangan jaringan saraf.
Autoregulasi aliran darah serebral tetap terjaga.
Aktifitas fisik tampaknya mempunyai pengaruh yang positif terhadap terjaganya fungsi kognitif.
Degenerasi sel saraf perifer menyebabkan kecepatan konduksi memanjang dan atrofi otot skelet.
Penuaan dihubungkan dengan peningkatan ambang rangsang hampir semua rangsang sensoris misalnya,
raba, sensasi suhu, proprioseptif, pende-ngaran dan penglihatan.
Volume anestetik epidural yang diberikan cenderung mengakibatkan penyebaran yang lebih luas ke arah
kranial, tetapi dengan durasi analgesia dan blok motoris yang singkat. Sebaliknya, lama kerja yang lebih
panjang dapat diharapkan dari anestetik spinal.
Pasien usia lanjut sering kali memerlukan waktu yang lebih lama untuk pulih secara sempurna dari efek
SSP anestetik umum, terutama jika mereka mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif.
MUSKULOSKELETAL
Massa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopik, neuromuskuler junction menebal.
Kulit mengalami atrofi akibat penuaan dan mudah mengalami trauma akibat pita berperekat, bantalan
elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi.
Vena seringkali lemah dan mudah ruptur pada infus intravena.
Sendi yang mengalami arthritis dapat mengganggu pemberian posisi (misalnya, litotomi) atau anestesi
regional (misalnya, blok subarakhnoid).
PERUBAHAN FARMAKOLOGI TERKAIT UMUR
Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh terganggunya ikatan protein plasma. Albumin yang
cenderung berikatan dengan obat yang bersifat asam (misalnya barbiturat, benzodiazepin, agonis
opioid), menurun. α1-asam glikoprotein, yang berikatan dengan obat yang bersifat basa (misalnya,
anestetik lokal), meningkat.
Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestetik, ditunjukkan oleh MAC yang
rendah. Titrasi hati-hati bahan anestetik mem- bantu menghindari efek samping dan durasi yang
panjang; bahan kerja singkat seperti propofol, desflurane, remifentanil, dan suksinilkolin sangat berguna
pada pasien usia lanjut.
Obat yang secara bermakna tidak tergantung pada fungsi hepatik dan ginjal atau aliran darah, seperti
mivacurium, atracurium, dan cistracurim dapat berguna.
ANESTETIK INHALASI
MAC untuk agen inhalasi berkurang sekitar 4% per dekade umur setelah usia 40 tahun. Sebagai contoh,
MAC halotan pada usia 80 tahun diharapkan menjadi 0,65 (0,77-[0,77 x 4% x 4]).
Onset kerja menjadi lebih cepat jika curah jantung berkurang, tetapi akan lebih lambat jika terdapat
gangguan ventilasi/perfusi yang signifikan.
Efek depresan miokardial dari anestetik gas bertambah pada pasien usia lanjut, sementara
kecenderungan takikardi dari isofluran dan desfluran mele- mah. Berlawanan dengan efeknya pada
pasien yang lebih muda, isofluran mengurangi curah jantung dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.
Pemulihan dari anestesi yang menggunakan anestetik gas kemungkinan memanjang sebab peningkatan
volume distribusi (peningkatan lemak tubuh), penurunan fungsi hepatik (penurunan metabolisme
halotan) dan penurunan pertukaran gas paru.
PELUMPUH OTOT
Penurunan curah jantung dan aliran darah otot yang lambat dapat menyebabkan pemanjangan onset
blokade neuromuskuler sampai 2 kali lipat pada pasien usia lanjut.
Pemulihan dari pelumpuh otot nondepolarisasi yang tergantung pada ekskresi ginjal (misalnya,
metokurin, pankuronium, doksakurium, tubokurarin) mungkin tertunda akibat menurunnya bersihan
obat.
Demikian juga, penurunan ekskresi hepatik akibat kehilangan massa hati memperpanjang waktu paruh
eliminasi dan lama kerja rokuronium dan vekuronium.
Pria usia lanjut dapat menunjukkan sedikit pemanjangan efek suksinilkolin akibat kadar kolinesterase
plasma mereka yang rendah.
Anestesi untuk Pasien dengan Penyakit Ginjal
EVALUASI FUNGSI GINJAL
Taksiran akurat pada fungsi ginjal tergantung pada determinasi laboratorium. Gangguan renal (renal
impairment) bisa mengarah pada disfungsi glomerulus, fungsi tubulus atau obstruksi traktus urinarius.
Karena abnormalitas fungsi glomerulus disebabkan adanya gangguan yang hebat dan dapat dideteksi, tes
laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan GFR (glomerular filtration rate).
BUN adalah berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik dengan GF. Hasilnya,
BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR kecuali katabolisme protein normal dan
konstan. Lebih lagi, 40%-50% dari filtrat secara normal di reabsorpsi secara pasif oleh tubulus renal;
hipovolemi meningkatkan fraksi ini (bawah)
Konsentrasui BUN normal adalah 10 – 20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah bisa didapati pada starvasi dengan
penyakit hati. Peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme
protein. Selanjutnya mungkin berlanjut pada status katabolisme tinggi (trauma atau sepsis), degradasi darah
baik pada traktus digestif atau hepatoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari
50 mg/dl biasanya berhubungan dengan renal impairment.
SERUM KREATININ
Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang tanpa enzim dikonversi ke kreatinin. Produksi
kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan dengan massa otot.
Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan
GF. Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan
indeks GFR. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidin, peningkatan asetoasetat (seperti pada
ketoasidosis) meningkatkan pengukuran pada kreatinin serum tanpa perubahan di GFR.
GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade setelah umur 20
tahun), tapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif normal; produksi kreatinin
bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa
menunjukkan perubahan besar pada GFR. Menggunakan usia dan berat badan (dalam kg), GFR bisa
diperkirakan dengan formula / rumus untuk pria.
Untuk wanita, persamaan tadi dikali dengan 0,85 untuk mengkompensasi perbedaan kecil pada massa
otot.
CREATININ CLEARANCE
Pengukuran CrCl adalah metode yang paling akurat untuk perkiraan klinis fungsi ginjal secara keseluruhan CrCl
< 25 mL/min indikasi dari gagal ginjal.
URINALISIS
Selanjutnya urinalisis adalah tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi renal. Urinalisis
bisa membantu untuk identifikasi beberapa gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa
gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH, berat jenis (BJ), deteksi dan kuantitas glukosa, protein,
bilirubin dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin.
pH urin membantu bila pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 pada sistemik asidosis memberi
kesan asidosis tubulus renal.
BJ (berat jenis) berhubungan dengan osmolalitas urin 1,010 biasanya berhubungan dengan 290
mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam merupakan indikasi adekuatnya kemampuan ginjal
dalam mengkonsentrasi. BJ yang lebih rendah memperlihatkan hiperosmolality dari plasma yang
konsisten dengan diabetes insipidus.
Glikosuria adalah hasil dari ambang batas bawah glukosa pada tubulus rendah ( normal 180 mg/dl) atau
hiperglikemia.
Proteinuri dideteksi dengan urinalisis rutin yang seharusnya dievaluasi pada pengumpulan urin 24 jam.
Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan.
Peningkatan level bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliari.
Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau sel darah putih,
bakteri, cast, dan kristal.Sel darah merah mungkin mengindikasikan perdarahan akibat tumor, batu,
infeksi, koagulopati atau trauma.
Sel putih dan bakteria biasanya berhubungan dengan infeksi. Proses penyakit pada level nefron
membentuk tubular cast.
Kristal mungkin mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urat atau metabolisme kistin.
AGEN INTRAVENA
Propofol & Etomidate
Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal.
Barbiturat
Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya dengan
peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang berkurang.
Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada
obat.
Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di hati
tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi
sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.
Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin. Karena banyak
yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien
hipoalbuminemia.
Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit
aktifnya.
Opioid
Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa
metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi
ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah.
Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit meperidine
pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal.
Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang.
Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal
ginjal.
Agen-Agen Antikolinergik
Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari 50% dari obat-obat
ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang.
Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh
azotemia.
AGEN-AGEN INHALASI
Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak tergantungnya
pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek
langsung minimal pada aliran darah ginjal.
Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi
ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau kurangnya MAC.
Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasien-pasien dengan
penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.
Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan tujuan untuk
meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.
PELUMPUH OTOT
Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang dari 5 mEq/L pada
saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan
Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis curare secara
normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk
rumatan agar pelumpuh otot optimal
Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine. Waktu pa ruh
dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan gagal ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot
sebelumnya diatas.
Penyebab oliguria
Pre renal Renal Post Renal
Hypovolemia Hypoxia Bladder neck
Hypotension From pre renal causes obstruction
Poor cardiac output Renal vein thrombosis Blocked drainage
Renal Nephrotoxins system system
Pre existing renal Amphotericin Pelvis surgery
damage Chemotherapeutic Prostatic enlargement
Renal vascular agents Raised intra-
disease NSAIDS abdominalpressure
Renal Contrast media Renal or ureteric
vasoconstriction (beware Renal or in Calculi
Sepsis diabetes and multiple Clots
myeloma) Necrotic papillae
Tissue injury Haemoglobinuria
Haemoglobinuria
Myoglobinuria
Uric Acid (tumour
lysis)
Inflammatory
nephritides
Glomerulonephritis
Interstitial nephritis
Polyarteritis
Myeloma
Azotemia renal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan terus menerus
akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal akan terjadi oliguria.
Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output >400mL/hari) terus menerus membentuk urin
yang secara kualitatif miskin, pada pasien ini cenderung memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari
GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk
lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri.
Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan sampai 2 minggu
dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan yang progresif pada urin output.
Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyaknya urin output dan biasanya tidak ditemui pada
gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari semakin baik dalam beberapa minggu namun bisa tetap
bertahan tidak kembali normal sampai 1 tahun.
Manisfestasi of Uremia
Neurological Cardiovascular
Peripheral neuropathy Fluid overload
Autonomic neuropathy Congestive heart failure
Muscle twitching Hypertension
Encephalopathy Pericarditis
Asterixis Arrhythmia
Myoclonus Conduction blocks
Lethargy Vascular calcification
Confusion Accelerated atherosclerosis
Seizures Metabolic
Coma Metabolic acidosis
Pulmonary Hyperkalemia
Hyperventilation Hyponatremia
Interstitial edema Hypermagnesemia
Alveolar edema Hyperphosphatemia
Pleural effusion Hypocalcemia
Gastrointestinal Hyperuricemia
Anorexia Hypoalbuminemia
Nausea and vomiting Hematological
Delayed gastric emptying Anemia
Hyperacidity Platelet dysfunction
Mucosal ulcerations Leukocyte dysfunction
Hemorrhage Skin
Adynamic ileus Hyperpigmentation
Endocrine Ecchymosis
Glucose intolerance Pruritus
Secondary hyperparathyroidism Skeletal
Hypertriglyceridemia Osteodystrophy
Periarticular calcification
Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien yang menjalani
dialisis setiap hari dengan normal dan mungkin tidak terjadi discoloration yang terkait dengan end stage
renal disease dan dialisis.
Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia
sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan langsung dengan proses dialisis
tersebut.
Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa
jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama dialisis termasuk efek
vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang cepat dari cairan.
Interaksi antara sel darah putih dengan membran derivat dialisis cellophane akan mengakibatkan
neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan hipoksemia. Sindroma
disequilibrium dikarakteristikkan oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan penurunan
dengan cepat osmolaritas ekstraselular dari osmolaritas intraselular.
B. Hematologik
Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya
6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan
pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan
sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat
sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi
anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan kapasitas pembawa
oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga
mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi.
Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini
dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi. Pada pasien
dengan penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien
yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin.
C. Kardiovaskuler
Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada penurunan
kapasitas pembawa oksigen.
Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik
arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang
berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh
karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan
permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi.
Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi.
Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik.
Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis , yang ditandai
dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung.
Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan pembuluh darah perifer dan
penyakit arteri koroner.
Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika replacement
cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan yang terlalu banyak
dikeluarkan ketika dialisis.
D. Pulmonary
Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi permenit untuk
mengkompensasikan asidosis metabolik.
Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan
perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan
permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru walaupun dengan
tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai ”butterfly wings”.
E. Endokrin
Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi perifer pada
insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya.
Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan
penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur.
Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan
dalam atherosklerosis.
Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering
terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon para- tiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing
hormone, dan prolaktin.
F. Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia.
Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan saluran
pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.
Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya
aspirasi perioperatif.
Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B dan C), sering
diikuti oleh disfungsi hepatik.
G. Neurologis
Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik encephalopathy.
Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia.
Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati
perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian bawah.
Evaluasi Preoperatif
Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut
juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis
preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan melalui internal jugular
yang temporer, dialisis dengan kateter subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat
disesuaikan dengan kebutuhan individual.
at yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan ganggaun ginjal
Muscle relaxants : Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium,
Alcuronium
Anticholinergics : Atropine, Glycopyrrolate
Metoclopramide
H2 reseptor antagonists : Cimetidine, Ranitidine
Digitalis
Diuretics
Calcium Channel antagonis : Nifedipine, Diltiazem
β – Adrenergic blockers : Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol
Anti Hipertensi : Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside
(Thiocyanate)
Antiarrhytmics : Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically
determined)
Bronchodilators : Terbutalline
Psychiatric : Lithium
Antibiotics : Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin
Anticonvulsants : Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone
Premedikasi
Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid atau
benzodiazepin.
Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan
saluran cerna.
Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam mempercepat
pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi.
Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.
Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring
Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh. Karena bahaya
dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari cuff pada lengan dengan fistula
arteriovena.
Intra-arterial, vena sentral, dan arteri paru membutuhkan perhatian, terutama pada pasien dibawah
prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari
tanda klinis.
Monitoring tekanan darah intra-arteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang hipertensinya
tidak terkontrol.
Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal
berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas
10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden
yang tinggi pada komplikasi kardiovaskular pada grup pertama.
Induksi
Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat dengan
tekanan krikoid.
Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau
propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil.
Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada
intubasi.
Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang
dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau
mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium
pada dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan
sebagai alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.
Pemeliharaan
Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal pada cardiac
output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme
anemia.
Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen
pemeliharaan yang memuaskan.
Isoflurane dan desflurane merupakan zat yang mudah menguap pilihan karena mereka memiliki efek
yang sedikit pada cardiac output.
Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan
jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk
pemberian 100% oksigen.
Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh
digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan.
Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan dibawah
pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin
mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan
peningkatan konsentrasi kalium di darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena
mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan
menurunkan aliran darah otak.
Terapi Cairan
Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian cairan dengan
5 % dekstrosa dalam air. Prosedur ini berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak atau
pergeseran yang membutuhkan kristalloid yang isotonik, koloid, atau keduanya.
Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak cairan, karena
kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena
intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia.
Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.
Pertimbangan Intraoperatif
Monitoring
Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang minimal. Untuk
operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin output dan volume intravaskular
sangat penting.
Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan
pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam.
Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah yang cepat,
misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam pengobatan yang
berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun afterload jantung.
Induksi
Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang cukup terlebih
dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi biasanya menghasilkan hipotensi jika
terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau
rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk sebagai
hasil pertama adalah hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh
vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan ginjal
postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.
Pemeliharaan
Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane. Walau enflurane bisa
digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari pada pasien dengan
insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal
selama periode ini dapat menghasilkan efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan)
atau anestesi (depresi jantung atau hipotensi).
Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi tekanan positif.
Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup untuk mempertahankan
volume intravaskuler yang normal atau meluas.
Pemberian utama dari vasopresor α – adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga dapat
mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna untuk mempertahankan
aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean
tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5
mikrogram/kg/menit) dapat diberikan dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah
ginjal dan fungsi ginjal.”Dosis dopamin untuk ginjal”telah juga dapat menunjukkan setidaknya sebagian
membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor α–adrenergik
(norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama.
Terapi Cairan
Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan
pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan
yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah
ditangani daripada gagal ginjal akut.
Anestesi dan Masalah Paru
ASMA
William R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible. Diantara
episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas
pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat bervariasi tetapi
umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan exercional dyspnea.
Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan
ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini.
Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma
tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronchitis kronik).
Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.
Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan dibawah
standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah
dengan farmakoterapi yang agresif.
Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan evaluasi serta
terapi.
Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika pasien tidak dapat
menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis
berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi
digunakan untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang kadang-
kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien (misalnya
Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika
terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.
Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium
merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan
dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.
Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin intramuskular atau
intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan
histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile
mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi
umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau
digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di daerah paru-
paru. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis
muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme.
Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat
memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh
tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5
mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain spray topikal sebelum
intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada
pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat
menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan.
Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask atau dengan
laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian
sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk mengobati
nyeri.
CIGARETTE SMOKING
James Gilbert, M.D.
Kathryn R. Hamilton, M.D.
Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan postoperative. Efek merokok adalah
rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas
bronchiolar sehingga terjadi bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan dinamik.
Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan disosiasi kurva
oxyhemoglobin pada leftward shift. Carboxyhemoglobin (CoHb) dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok
berat, yang berarti mengurangi kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis adrenergik yang
meningkatkan heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.
Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan peningkatan resiko
terhadap komplikasi pulmonal. Adanya beberapa faktor resiko atau kemungkinan adanya batuk pada
intraoperatif atau postoperative dapat mengganggu jalannya operasi (misalnya operasi mata dan
herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum pembedahan.
Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan peningkatan closing
volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat
selama persiapan preoperative pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila
beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3 ½ jam atau jika lokasi
operasi pada daerah upper abdominal atau thorax, pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk
persiapan akan adanya efek pada paru yang luas.
Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum operasi untuk mengurangi angka kesakitan
pada postoperative pulmonal dan memperbaiki fungsi imun serta penyakit saluran nafas yang reversible.
Merokok 48 jam sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif, meskipun demikian,
berhenti merokok lebih cepat sebelum operasi masih kontroversi. Namun, walaupun hanya beberapa hari
tidak merokok, terjadi aktivitas perbaikan cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan
menurunkan volume sputum dan reaktivitas saluran nafas. Waktu paruh yang singkat dari CoHb
menurun setelah 12 jam tidak merokok.
Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi regional diperlukan, tetapi untuk anestesi
umum tidak digunakan, hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban yang adekuat,
mempertahankan FRC dan cukup bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk mengurangi reaktivitas
jalan nafas. Preoperativ dengan menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat. Pulmonary toilet yang
aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan setelah extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada
jalan nafas selama tindakan operasi. Pengurangan FRC terjadi pada semua pasien yang dianestesi tetapi
lebih banyak pada perokok. Walaupun penurunan SaO2 pada perokok memperlihatkan gejala yang
asimptomatik, selama periode postoperative suplemen O2 harus ditransportasikan dan dipertahankan.
Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural jika memungkinkan. Jika
hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang
berulangkali akan memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif kerja
lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang mengandung antitusive (misalnya obat
nonsteroid antiinflamasi). Terapi preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative.
Pertahankan hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax (jika terjadi
atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator dan mobilisasi dini untuk mengurangi
komplikasi postoperative pulmonal.
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai.Diperkirakan satu dari empat populasi dewasa di Amerika atau
sekitar 60 juta individu dan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas dari
populasi ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler. 1-4 Data yang
diperoleh dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tetap akan meningkat
meskipun sudah dilakukan deteksi dini dengan dilakukan pengukuran tekanan darah (TD) secara teratur. Pada
populasi berkulit putih ditemukan hampir 1/5 mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar dari 160/95
mmHg dan hampir separuhnya mempunyai TDS lebih besar dari 140/90 mmHg. Prevalensi hipertensi tertinggi
ditemukan pada populasi bukan kulit putih.2,5
Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat terjadinya arterosklerosis dan
hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan
vaskuler.3 Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark miokardium,
gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi aorta, sehingga morbiditas
dapat dikurangi.3,6 Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin mempunyai potensi
terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Banyak jenis obat-obatan yang
harus tetap dilanjutkan selama periode perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2 jam
sebelum prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat pemulihan dari pengaruh
anestesia.7 Tingginya angka penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat
hipertensi ini menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode
perioperatif. Periode perioperatif dimulai dari hari dimana dilakukannya evaluasi prabedah, dilanjutkan periode
selama pembedahan sampai pemulihan pasca bedah.1,7
Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention, detection, evaluation, and treatment of
high blood pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 (lihat
tabel 1).
Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor,
termasuk posisi dan waktu pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran
TD. Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya riwayat
peningkatan TD darah sebelumnya.3 Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai progresivitas yang
meningkat untuk menjadi hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali
berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari nilai itu. 2
Disamping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu
sebagai berikut:5,8
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
BP = CO x SVR
Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi, dipertahankan pada CO atau SVR
tertentu. Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena post kapiler
(venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat lewat pengaturan volume cairan
intravaskuler (gambar 1). Hal lain yang ikut berpengaruh adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf
otonom, yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan
menyeimbangkan fungsi dari keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang
berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO)
berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.9
Doxazosin
(Cardura)
Prazosin
(Minipress)
Terazosin (Hytrin)
α1 + α 2
Phenoxybenzamine
(Dibenzyline)
α and β Labetalol (Trandate)
Carvedilol (Coreg)
Central 2- Clonidine (Catapres)
agonists Guanabenz
(Wytensin)
Guanfacine (Tenex)
Methyldopa
(Aldomet)
Postganglionic Guanadrel Reserpine
blockers
Vasodilators Calcium Benzothiazepine Diltiazem1 (Tiazac)
channel
blockers Phenylalkylamines Verapamil1 (Calan
SR)
Nicardipine1
(Cardene)
Nifedipine1
(Procardia XL)
Nisoldipine (Sular)
ACE inhibitors2 Benazepril (Lotensin)
Captopril (Capoten)
Enalapril (Vasotec)
Fosinopril
(Monopril)
Lisinopril (Zestril)
Moexipril (Univasc)
Perindopril (Aceon)
Quinapril (Accupril)
Ramipril (Altace)
Trandopril (Mavik)
Angiotensin- Candesartan
receptor (Atacand)
antagonists Eprosartan (Tevetan)
Irbesartan (Avapro)
Losartan (Cozaar)
Olmesartan (Benicar)
Telmisartan
(Micardis)
Valsartan (Diovan)
Direct Hydralazine
vasodilators (Apresoline)
Minoxidil
1
Extended realease.
2
ACE, angiotensin-converting enzyme.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya,
pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.2,11 Penilaian status volume cairan
tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relatif
hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika
yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya aritmia.5,11,12 Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH
dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk
memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka
adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler,
riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. 5 Tujuan pengobatan hipertensi
adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke,
CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakologis akan menurunkan mortalitas
akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri
koronariasebesar 16%.11
Efek samping Terapi Antihipertensi Lama.
Class Adverse Effects
Diuretics
Thiazide Hypokalemia, hyponatremia, hyperglycemia, hyperuricemia, hypomagnesemia,
hyperlipidemia, hypercalcemia
Loop Hypokalemia, hyperglycemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, metabolic alkalosis
Potassium sparing Hyperkalemia
Sympatholytics
β-Adrenergic Bradycardia, conduction blockade, myocardial depression, enhanced bronchial tone,
blockers sedation, fatigue, depression
α-Adrenergic Postural hypertension, tachycardia, fluid retention
blockers
Central α2-agonists Postural hypotension, sedation, dry mouth, depression, decreased anesthetic
requirements, bradycardia, rebound hypertension, positive Coombs test and hemolytic
anemia (methyldopa), hepatitis (methyldopa)
Ganglionic blockers Postural hypotension, diarrhea, fluid retention, depression (reserpine)
Vasodilators
Calcium channels Cardiac depression, bradycardia, conduction blockade (verapamil, diltiazem), peripheral
blockers edema (nifedipine), tachycardia (nifedipine), enhanced neuromuscular nondepolarizing
blockade
ACE inhibitors1 Cough, angioedema, reflex tachycardia, fluid retention, renal dysfunction, renal failure
in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia, bone marrow depression (captopril)
Angiotensin-receptor Hypotension, renal failure in bilateral renal artery stenosis, hyperkalemia
antagonists
Direct vasodilators Reflex tachycardia, fluid retention, headache, systemic lupus erythematosus-like
syndrome (hydralazine), pleural or pericardial effusion (minoxidil)
1
ACE, angiotensin-converting enzyme.
3. Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya:5
EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi
untuk mengalami iskemia miokard.
Tekanan Darah: monitoring secara continuous Tekanan Darah adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya
digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang.
Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer.
Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2.
Suhu atau temperature.
4. Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan
sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam.
Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air
non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi
intraoperatif.
5. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi.
Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan
vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat
depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh
penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.3,8,10 Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan
laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.
Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5
mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau
labetatol 5-20 mg).
Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi.
Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada
penderita hipertensi.3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan
atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.8,10
7. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupunsaat pasca
bedah.13 Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi
seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.3
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline
ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari
pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (lihat tabel 3). 3,19 Berikut ini ada
beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:3
Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan fungsi ventrikuler yang
masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan dengan iskemia miokard
dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau pencegahan iskemia
miokard.
Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi ginjal.
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan tekanan darah, namun obat ini juga punya onset yang lambat
sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
8. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan dapat dikategorikan dalam
hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau
kerusakan target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang
lebih tinggi dibandingkan individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang
sifatnya urgensi dibandingkan emergensi.10 Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi adalah
antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit
kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan
eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.8
Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien
dengan bukti adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra
serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme aorta, IMA,
eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi
yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis
sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami
tanda-tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan
TDD > 109 mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan
secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar 20% dalam 1 jam pertama,
selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan tekanan darah
ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi
urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target
organ. Gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak
merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap
dalam beberapa hari.10,20
9. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial.
Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia
miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka
operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka
operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.3,10 Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada
banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik,
penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih.
Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus
dikoreksi dulu.3 Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca
operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan
morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD
kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat
antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.14 Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat
antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi
hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika
furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien
dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan
beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium
nitroprusside.13 Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral
segera dimulai.3,10,14
Anestesi pada Obesitas
Overweight didefinisikan sebagai BMI ≥24 kg/m2, obesitas BMI ≥ 30, dan morbit obesitas (obesitas ekstrim) ≥
BMI 40.
Manifestasi Klinis
Obesitas dikaitkan dengan banyak penyakit, termasuk diabetes mellitus tipe II, hipertensi, penyakit arteri
koroner, dan cholelithiasis. (The triad obesitas, hipertensi, dan diabetes tipe II adalah sindrom
metabolik).
Oksigen demand, produksi CO2, dan ventilasi alveolar yang tinggi karena tingkat metabolisme yang
sebanding dengan berat badan.
Jaringan lemak yang berlebihan pada dada menyebabkan berkurang complience dinding dada meskipun
compience paru-paru tetap normal.
Peningkatan massa abdoment akan menekan diafragma ke arah cephalad, yang dapat membatasi
volume paru-paru seperti penyakit paru-paru restrictif.
Penurunan volume paru-paru akibat penekanan saat posisi supine dan posisi Trendelenburg. Khusus,
fungsional residual kapasiti dapat turun di bawah closing cavasitas . Jika ini terjadi, beberapa alveoli
akan menutup selama ventilasi normal tidal volume, dan akan menyebabkan sebuahmismatch ventilasi /
perfusi.
Pasien obesitas sering ditemukan hipoksia, hanya sedikit yang hypercapni, sehingga kita harus waspada
terhadap komplikasi akan datang.
Sindrome Obesitas-hypoventilation (sindrom pickwickian) merupakan komplikasi dari obesitas ekstrim
ditandai dengan hiperkapnia, cyanosis-induced polisitemia, gagal jantung kanan, dan somnolen.
Pasien juga mengalami blunted respiratory drive dan sering mendengkur keras serta obstruksi jalan
napas atas saat tidur (Obstruktiv sleep apnea syndrome [OSAS]. OSAS juga berhubungan dengan
peningkatan komplikasi perioperatif termasuk hipertensi, hipoksia, aritmia, infark miokard, edema paru,
dan stroke.
Kesulitan manajemen jalan napas selama induksi dan obstruksi jalan napas atas selama pemulihan harus
diantisipasi.
Pasien sangat rentan selama periode pasca operasi jika opioid atau obat penenang lainnya telah
diberikan, dan jika pasien ditempatkan telentang, membuat saluran napas bagian atas lebih rentan
terhadap gangguan.
Untuk pasien yang diketahui atau dicurigai OSAS, Postoperatip harus dipertimbangkan pemberian
continuous positive airway pressure (CPAP) sampai dekter anestesi yakin bahwa pasien dapat
melindungi jalan napas-nya dan menjaga ventilasi spontan tanpa adanya tanda obstruksi.
Jantung juga memiliki beban kerja meningkat, cardiac output dan volume darah meningkat untuk
tambahan perfusi penyimpanan lemak. Peningkatan cardiac output (0,1 L / menit / kg jaringan adiposa)
dicapai melalui peningkatan stroke volume-sebagai kompensasi dari denyut jantung sehingga sering
menyebabkanarterial hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Peningkatan aliran darah arteri paru dan vasokonstriksi paru dari hipoksia persisten dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal dan cor pulmonale.
Obesitas juga berkaitan dengan patofisiologi gastrointestinal, termasuk hernia hiatus, reflux
gastroesofagus, lambatnnya pengosongan lambung, dan hyperacidic cairan lambung, serta peningkatan
risiko kanker lambung.
Infiltrasi lemak di hati juga terjadi dan dapat dikaitkan dengan tes hati abnormal.
Pertimbangan anestesi
Preoperative
Pasien obesitas pada peningkatan risiko untuk pneumonia aspirasi. Rutin pretreatment dengan antagonis
H2 dan metoklopramid harus dipertimbangkan.
Premedikasi dengan obat depresan pernafasan harus dihindari pada pasien dengan bukti hipoksia pra
operasi, hiperkapnia, atau slep apnea obstruktif.
Suntikan intramuskular sering tidak dapat diandalkan karena ketebalan dari jaringan adiposa.
Evaluasi pra operasi pasien sangat gemuk menjalani operasi besar harus dinilai cadangan
cardiopulmonary dengan radiograf dada, ECG, analisa gas darah arteri, dan tes fungsi paru.
Fisik klasik tanda-tanda gagal jantung (misalnya, edema sakral) mungkin sulit untuk diidentifikasi.
tekanan darah harus diambil dengan menset sesuai ukuran.
Tempat akses Intravena dan intraarterial harus diperiksa untuk mengantisipasi kesulitan teknis. Perhatian
khusus harus diberikan pada saluran napas pada pasien obesitas karena mereka sering sulit untuk
intubasi sebagai akibat dari mobilitas terbatas sendi temporomandobula dan atlantooccipital, jalan napas
bagian atas yang menyempit, dan jarak yang pendek diantara bantalan lemak rahang bawah dan
sternum.
Intraoperative
Karena risiko aspirasi, pasien obesitas biasanya di intubasi boleh dengan semua agen anestesi umum
tetapi dengan durasi yang lebih pendek.
Selain itu, ventilasi dikontrol dengan volume pasang besar sering memberikan oksigenasi lebih baik
daripada dangkal, napas spontan.
Jika intubasi tampaknya akan sulit, awake intubating dengan bronkoskop serat optik sangat dianjurkan.
Nafas suara mungkin sulit untuk di dilai; konfirmasi intubasi trakea membutuhkan deteksi end tidal
CO2. Bahkan ventilasi kontrol mungkin memerlukan konsentrasi oksigen yang relatif tinggi terinspirasi
untuk mencegah hipoksia, terutama posisi lithotomi, Trendelenburg, atau posisi prone.
Subdiaphragmatic laparotomi abdominal dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari fungsi paru dan
penurunan tekanan darah arteri dengan rusaknnya venous return.
Penambahan tekanan akhir ekspirasi positif memperburuk hipertensi paru pada beberapa pasien dengan
obesitas ekstrim.
Anestetik volatil dapat dimetabolisme lebih luas pada pasien obesitas. Ini adalah perhatian khusus
sehubungan dengan defluorination dari halothane. peingkatkan metabolisme dan kecenderungan untuk
hipoksia dapat menjelaskan peningkatan kejadian hepatitis halothane pada pasien obesitas.
Anestesi volatil menyebar perlahan-lahan ke lemak yang disimpan yang meningkatkan reservoir lemak
memiliki sedikit efek klinis pada waktu bangun, bahkan selama prosedur pembedahan yang lama.
Secara teoritis, cadangan lemak yang besar akan miningkatkan volume distribusi obat larut lemak
(misalnya, benzodiazepine, opioid). Dengan demikian, loading dosis yang lebih besar akan diperlukan
untuk menghasilkan konsentrasi plasma yang sama. Ini adalah alasan rasional untuk mendasarkan
beberapa dosis obat pada berat badan pada pasien obesitas. Dengan alasan yang sama, dosis
pemeliharaan harus diberikan lebih jarang karena clearance diharapkan akan lebih lambat dengan
volume yang lebih besar distribusi.
Sebaliknya, obat yang larut dalam air (misalnya, NMBAs) memiliki volume distribusi yang jauh lebih
terbatas, yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh cadangan lemak. Dosis obat ini sehingga harus
didasarkan pada berat badan ideal untuk menghindari overdosis.
Kesulitan teknis terkait dengan anestesi regional telah disebutkan. Meskipun dosis persyaratan untuk
anestesi epidural dan spinal sulit diprediksi, pasien obesitas biasanya membutuhkan anestesi lokal
kurang 20-25% karena lemak epiduraldan distended vena epidural. Tingkat blokade yang tinggi dengan
mudah dapat membahayakan pernafasan. Anestesi continous epidural memiliki keuntungan meredakan
nyeri dan menurunkan komplikasi pernafasan pada periode pasca operasi.
Pascaoperasi
Kegagalan pernafasan adalah masalah utama pasca operasi pasien sangat gemuk. Peningkatan Risiko
hipoksia pasca operasi bisa karena hipoksia pra operasi dan operasi yang melibatkan thoraks atau
abdomen bagian atas (terutama insisi vertikal).
Extubation harus ditunda sampai dampak NMBAs reverse secara komplek dan pasien benar-benar sadar.
Seorang pasien gemuk harus tetap terintubasi sampai tidak ada keraguan bahwa udara yang memadai
dan volume tidal dapat dipertahankan. Ini tidak berarti bahwa semua pasien obesitas perlu tetap
terventilator semalaman di unit perawatan intensif.
Jika pasien extubasi di ruang operasi, oksigen tambahan harus disediakan selama transportasi ke ruang
pemulihan.
Modipikasi posisi duduk 45° akan menurunkan diafragma dan meningkatkan ventilasi dan oksigenasi.
Risiko hipoksia meluas selama beberapa hari ke periode pasca operasi, dan oksigen tambahan harus
tersedia rutin.
Lainnya komplikasi pascaoperasi umum pada pasien obesitas meliputi luka infeksi, trombosis vena
dalam dan emboli paru.
Anestesi pada Neonatus
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari, dimana terjadi perubahan
yang sangat besar dari kehidupadidalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ
hampir pada semua system.Masa perubahan yang paling besar terjadi selama jam ke 24-72 pertama. Transisi ini
hampir meliputi semua sistem organ tapi yang terpenting bagi anestesi adalah system pernafasan sirkulasi,
ginjal dan hepar.
SISTEM PERNAFASAN
Jalan Nafas :
Otot leher bayi masih lembek, leher lebih pendek, sulit menyangga atau memposisikan kepala dengan
tulang occipital yang menonjol.
Lidah besar, epiglottis berbentuk “U” dengan proyeksi lebih ke posterior dengan sudut ± 450, relative
lebih panjang dan keras, letaknya tinggi, bahkan menempel pada palatum molle sehingga cenderung
bernafas melalui hidung. Akibat perbedaan anatomis epiglottis tersebut, saat intubasi diperlukan
pengangkatan epiglottis untuk visualisasi.
Lubang hidung, glottis, pipa tracheobronkial relative sempit, meningkatkan resistensi jalan nafas, mudah
sekali tersumbat oleh lender dan edema.
Trachea pendek, berbentuk seperti corong dengan diameter tersempit pada bagian cricoid. (Cote
CJ,2000)
Pernafasan :
Sangkar dada lemah dan kecil dengan iga horizontal. Diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang
besar. Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan negative intrathorak dan volume paru
rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara
diafragmatis.
Kadang-kadang tekanan negative dapat timbul dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga
udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan bernafas
dan perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong diafragma ke atas serta adanya
keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya elemen elastis paru, maka akan menurunkan FRC
(Functional Residual Capacity) sementara volume tidalnya relative tetap. Untuk meningkatkan ventilasi
alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas, karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas.
Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang relative
tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi
alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat
menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada premature,
adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.
FUNGSI HATI
Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula yang dapat
menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolic.
Hipotermia dapat pula menyebabkan hipoglikemia.
Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 50-60%.
Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg%) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila
ada serangan apnoe atau terjadi kejang.
Sintesis vitamin K belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi dextrose
lebih tinggi (10%). Secara rutin untuk bedah bayi baru lahir dianjurkan pemberian vitamin K 1 mg i.m.
Hati-hati penggunaan opiate dan barbiturate, karena kedua obat tersebut dioksidasi dalam hati.
SISTEM SYARAF
Waktu perkembangan system syaraf, sambungan syaraf, struktur otak dan myelinisasi akan berkembang
pada trimester tiga (myelinisasi pada neonatus belum sempurna, baru matang dan lengkap pada usia 3-4
tahun), sedangkan berat otak sampai 80% akan dicapai pada umur 2 tahun. Waktu-waktu ini otak sangat
sensitive terhadap keadaan-keadaan hipoksia.
Persepsi tentang rasa nyeri telah mulai ada, namun neonates belum dapat melokalisasinya dengan baik
seperti pada bayi yang sudah besar. Sebenarnya anak mempunyai batas ambang rasa nyeri yang lebih
rendah disbanding orang dewasa.
Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan
sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.
Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga parasimpatis lebih dominant yang
mengakibatkan kecenderungan terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110
kali/menit) terutama kalau bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.
Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam.
Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan
akumulasiobat-obatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan
depresi pada periode pasca anestesi.
Sisa dari blok obat relaksasi otot dikombinasikan dengan zat anestesi IV dapat menyebabkan kelelahan
otot-otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca anestesi.
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia dan harus cepat diberikan
oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropine.
PENGATURAN TEMPERATUR
Pusat pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif.
Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas
permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air),
sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat
poikilotermik).
Produksi panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan
lemak coklat yang terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah
produksi panas dari lemak coklat (Morgan HAH,1993)
Hipotermia dapat dicegah dengan suhu sekitar yang panas, selimut atau kain penutup yang tebal dan
pemberian obat penahan keringat (misal: atropin, skopolamin).
Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka,
pemberian cairan infuse/ tranfusi darah dingin, iriga- si oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum
(yang menekan pusat regulasi suhu) maupun obat vasodilator.
Temperature lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 27 0C. Paparan dibawah suhu
ini akan mengandung resiko diantaranya: cadangan energi protein akan berkurang, adanya pengeluaran
katekolamin yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan tahanan vaskuler paru dan perifer, lebih jauh
lagi dapat menyebabkan lethargi, shunting kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolic.
Untuk mencegah hipotermia bias ditempuh dengan : memantau suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar
optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, begitu
pula gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang digunakan yang hangat.
FARMAKOLOGI
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada neonatus berbeda dibanding dengan
dewasa karena pada neonatus :
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan : ventilasi alveolar tinggi, Minute
volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi
obat, mempercepat induksi dan mempersingkat pulih sadarnya. Tekanan darah cenderung lebih peka
terhadap zat anestesi inhalsi mungkin karena mekanisme kompensasi yang belum sempurna dan depresi
miokard hebat.
Beberapa obat golongan barbiturat dan agonis opiate agaknya sangat toksisk pada neonatus dibanding
dewasa. Hal ini mungkin karena obat-obat tersebut sangat mudah menembus sawar darah otak,
kemampuan metabolisme masih rendah atau kepekaan pusat nafas sangat tinggi.
Sebaliknya neonatus tampaknya lebih tahan terhadap efek ketamin.
Bayi umumnya membutuhkan dosis suksisnil cholin relative lebih tinggi disbanding dewasa karena
ruang extraselulernya relative lebih besar.
Respon terhadap pelumpuh otot non deplarisasi cukup bervariasi.
PERSIAPAN ANESTESI
Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit, asam basa harus berada
dalam batas-batas normal atau mendekati normal.
Sebagian pembedahan bayi baru lahir merupakan kasus gawat darurat.
Proses transisi sirkulasi neonatus, penurunan PVR (Pulmonary Vascular Resistance) berpengaruh pada
status asam-basanya.
Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan incubator
yang telah dihangatkan. Sebelum bayi masuk kamar bedah hangatkan kamar dengan mematikan AC
misalnya.
Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi,
ringan dan mudah dipindahkan.
Untuk anestesi yang lama, kalau mungkin gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab
listrik.
Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari
Jackson-Rees.
Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam
dan berilah air gula 2 jam sebelum anestesi. (Abdul Latief,1991)
Infus
Dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti cairan yang hilang akibat trauma
bedah, akibat perdarahan, dll.
Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5%-10% dalam cairan elektrolit.
Neonatus terutama bayi premature mudah sekali mengalami dehidrasi akibat puasa lama atu sulit
minum, kehilangan cairan lewat gastrointestinal, evaporasi (Insensible water loss), tranduksi atau
sekuestrasi cairan ke dalam lumen usus atau kompartemen tubuh lainnya. Dehidrasi/hipovolemia sangat
mudah terjadi karena luas permukaan tubuh dan kompartemen atau volume cairan ekstra seluler relative
lebih besar serta fingsi ginjal belum matang.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III
maing-masing 25%.
Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui produksi urin (>0,5ml/kgBB/jam), berat jenis urin (<1,010),
ataupun dengan pemasangan CVP (Central Venous Pressure).
Premedikasi
Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau
eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena
dengan pengenceran.
Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan umumnya jelek.
Penenang
Tidak dianjurkan, karena susunan syaraf pusat belum berkembang, mudah terjadi depresi, kecuali pasca anestesi
dirawat diruang perawatan intensif. (Abdul Latief,1993)
MASA ANESTESI
Induksi
Pada waktu induksi sebaiknya ada yang membantu. Usahakan agar berjalan dengan trauma sekecil mungkin.
Umumnya induksi inhalasi dengan Halotan-O2 atau Halotan-O2/N2O.
Intubasi
Intubasi Neonatus lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”.
Laringoskopi pada neonatus tidak membutuhkan bantal kepala karena occiputnya menonjol. Sebaiknya
menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya.
Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid.
Waktu intubasi perlu pembantu guna memegang kepala. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan
sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan.
Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada
bayi premature. Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma,
yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot.
Pelumpuh otot yang digunakan adalah suksinil cholin 2 mg/kg secara iv atau im.
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk
premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. Idealnya
menggunakan pipa trachea yang paling besar yang dapat masuk tetapi masih sedikit longgar sehingga
dengan tekanan inspirasi 20-25 cmH2O masih sedikit bocor. (Adipradja K, 1998)
Pemeliharaan Anestesi
Dianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali.
Pada umunya menggunakan gas anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, enfluran, isofluran
ataupun sevofluran.
Pelumpuh otot golongan non depol sangat sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya secara
sedikit demi sedikit.
Pemantauan
1. Pernafasan : Stetoskop prekordial, Pada nafas spontan ( gerak dada dan bag reservoir),Warna
ekstremitas
2. Sirkulasi : Stetoskop perikordial, Perabaan nadi, EKG dan CVP
3. Suhu : Rektal
4. Perdarahan : Isi dalam botol suction, Beda berat kassa sebelum dan sesudah kena darah, Periksa Hb dan
Ht secara serial
5. Air Kemih : Isi dalam kantong air kemih
PENGAKHIRAN ANESTESIA
Pembersihan lender dalam rongga hidung dan mulut dilakukan secara hati-hati. Pemberian O2 100%
selama 5-15 menit setelah agent dihentikan.
Bila masih ada pengaruh obat pelumpuh obat non-depol, dapat dilakukan penetralan dengan neostigmin
(0,04 mg/kg) bersama atropin (0,02 mg/kg).
Kemudian dilakukan ekstubasi.
KESIMPULAN
Anestesi pada neonatus merupakan hal yang lain dari biasanya.
Karena mereka bukanlah merupakan miniatur orang dewasa sehingga dalam melakukan tindakan
anestesi diperlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dan teliti dalam manajemennya.
Perhatian khusus sangat diperlukan mengingat perbedaan anatomi, fisiologi dan farmakologi pada
neonatus.
Jadi sebelum dilakukan tindakan anestesi haruslah dipertimbangkan faktor sistem pernafasan, sirkulasi,
ginjal, dan heparnya.
Pediatrik Neuroanestesia
Menangani pasien bedah saraf tidak hanya memerlukan pengetahuan tentang anestesi umum bedah saraf tetapi
juga memahami anestesi anak dan ketidak normalan saraf
MANAJEMEN ANESTESI
Evaluasi pre operasi
Periksa neurologic history
Traumaàpengosongan lambung tertunda
Berat badan yang tepat untuk estimasi cairan pengganti dan dosis obat
Laboratorium dan rontgen
Premedikasi harus hati-hati terutama pada airway sulit. Pasien AVM dan aneurisma harus di premedikasi
berat.
Monitoring
Monitor yang ketat terutama pada posisi ekstrim
Monitoring blok neuromuskular
CVP jangan lewat vena juguler karena dapat mengganggu drainage vena dari otak.
CVP dikalibrasi pada level kepala untuk memperkirakan CPP (lateral canthus mata ~ foramen of
Monroe)
Positioning
Elevasi 15-30 derajad dapat menurunkan ICP tetapi bila lebih tinggi maka Cardiac output dan CPP juga
akan turun.
Hal-hal yang diperhatikan pada posisi extrim:
o Pada posisi duduk, jangan gunakan N2O, lutut agak ditekuk dan kaki diberi elastic bandage
o Saat posisi prone, dada dan pelvis harus diganjal, jaga ETT agar jangan sampai lepas
Kontrol temperatur
General anestesi menyebabkan pasien jadi poikilotermik
Hipotermi menurunkan cerebral metabolik rate tetapi juga menurunkan tekanan darah dan shivering
Cegah hipotermi dengan menaikkan suhu kamar operasi, menghangatkan dan melembabkan gas
anestesi, membungkus pasien, matras penghangat dan menghangatkan cairan yang masuk.
Bila perdarahan >2x EBV maka perlu tranfusi FFP dan platelet
Pada tranfusi masif (1.5 – 2 cc/kg/menit) atau infus cepat FFP (>1 cc/kg/menit) perlu diperhatikan
hipoCa dan butuh terapi Ca (10-20 mg/kg).
Induksi
Induksi harus mulus
Barbirturat merupakan agen yang ideal untuk menurunkan ICP, CBF dfan metabolic rate
Pada anak yang tidak kooperatif perlu dipertimbangkan induksi per rectal
Pada pasien dengan anomali craniofascial lebih baik diinduksi inhalasi atau awake intubasi.
Halotan meningkatkan CBF tapi dapat diminimalisasi dengan hiperventilasi
Isofluran menurunkan konsumsi O2 cerebral tapi bila dihiperventilasi bisa terjadi penurunan CBF
Scholin tidak disukai karena dapat menaikan ICP
Atracurium menyebabkan histamin release
Vecuronium lebih disukai
Pada bayi dan anak dimana Cardiac Output merupakan rate dependen, pancuronium lebih dipilih karena
membuat kardiovaskular stabil
Intubasi
ETT not kinking dipakai pada posisi yang ekstrim
Untuk anak < 6 tahun digunakan ETT non cuff untuk mencegah trauma subglotis
Gastric tube digunakan untuk mencegah distensi lambung
Lidokain 1-1.5 mg/kg digunakan untuk mencegah reflek simpatis dan mencegah peningkatan ICP
Anestesi inhalasi dapat dieliminasi dengan cepat tanpa efek sisa sehingga cocok untuk anestesi anak
yang ICP nya tidak naik
Post operasi anak sering timbul hipoksemia sehingga perlu suplemen O2
HYDROCHEPALUS
Penyakit bedah saraf anak terbanyak
Pertimbangan klinis
Hidrocephalus merupakan ketidak seimbangan antara produksi CSF dan absorbsi, dimana hampir semua
kasus merupakan obstruksi pada sirkulasi CSF kecuali pada Choroid plexus papilloma dimana terjadi
over sekresi dari CSF
Obtruksi tersering adalah pada keluaran ventikel 4, biasanya stenosis aquaductal.
Manajemen Operasi
Tehniknya relatif mudah yaitu menempatkan kateter dalam sistem ventrikel baik lewat frontal maupun
occipital.
Kateter tersebut dilewatkan subcutan ke rongga peritoneum, atrium kanan, atau di kavitas paru.
Atrium kanan mempunyai resiko mikroemboli, cor pulmonale dan gagal jantung kanan sehingga hanya
dipakai bila tidak bisa ditaruh di rongga abdomen.
Shunt ke pleura sering dipakai untuk anak dengan usia lebih tua (>7 tahun) tetapi dengan resiko efusi
pleura yang mengarah ke gagal napas.
Manajemen anestesi
Ketika shunt mengalami gangguan maka akan terjadi kegawatan karena antara peningkatan ICP dengan
herniasi intracerebral waktunya pendek.
Peningkatan ICP dapat dikurangi dengan cara intubasi, hiperventilasi sehingga PaCO2 22-25 mmHg,
manitol (0.5-1 mg/kg) dan furosemide (1mg/kg) untuk membuang cairan extra sel.
Saat terjadi kegawat daruratan maka jarum spinal dapat dimasukkan lewat fontanela yang terbuka atau
dimasukkan lewat tempat kateter shunt sebelumnya.
Lebih baik tidak disedasi saat premedikasi dan diinduksi dengan barbiturat atau dengan menggunakan
halotan-N2O.
Jika tidak kooperatif bisa diberikan methohexital 25mg/kg dalam larutan 10%
Pasien diposisikan supine, agak ekstensi dengan kepala menghadap ke arah anestesi
Perhatikan peletakan elektroda ECG agar tidak mengganggu ruang kerja bedah
Jumlah perdarahan biasanya minimal dan waktu operasi singkat
Hati-hati saat meletakkan kateter di rongga abdomen agar tidak terjadi perforasi buli
Komplikasi
Ventrikel atrial shunt bisa menyebabkan disritmia kardiac dan emboli udara
Kateter atrial dimasukkan lewat vena jugularis masuk ke atrium kanan (posisi midatrial)
Shunt di pleura harus disertai dengan napas tekanan positif agar paru tidak kolap
Umumnya pasien mudah dibangunkan dan diekstubasi sadar baik kecuali pasien dengan kecenderungan
parese vokal cord.
Pembuangan CSF secara tiba-tiba dalam jumlah yang banyak bisa menarik batang otak keatas dan
disertai gejala serupa dengan herniasi batang otak (bradikardi, disritmia, gasping)
Bridging cortical vein dapat ruptur dan menyebabkan SDH
Pada pasien Arnold-Chiary malformation atau Dandy-Walker syndrome, paralisa satu atau dua pita suara
dapat memperparah napas penderita
Myelomeningocele
Merupakan kasus yang paling parah dan paling sering ditemui
Elemen saraf sebagian tertutupi kulit dan meningen dan biasanya ruptur saat persalinan
Encephalocele
Bisa berupa polip kecil sampai massive encephalocele
Anak dengan encephalocele dapat tumbuh dengan intelektual normal
Encephalocele frontal butuh fiksasi ETT yang baik karena biasanya pasien hyperteleoric dan butuh
rekonstruksi sinus
Pasien dengan encephalocele occipital perlu diintubasi posisi miring kemudian diposisikan prone
Selama memposisikan hari-hati supaya jangan menekan encephalocele
Perdarahan bisa sangat banyak karena sagital venous sinus terlibat baik untuk encephalocele frontal
maupun occipital
Saat encephalocele dieksisi sering muncul gejala bradikardia
Tindakan operasinya adalah memotong proporsi extracranial dan memperbaiki defek cranial dengan
dural graft dan skin graft
CRANIOSYNOSTOSIS
Merupakan penutupan sutura secara prematur dan menimbulkan gangguan kosmetik an letak wajah
Jika hanya satu sutura yang menyatu maka akan terjadi malrotasi
Bila ada beberapa sutura yang menyatu maka otak tidak bisa berkembang, ICP meningkat, gangguan
pertumbuhan
Biasanya craniosynostosis terkait dengan Crouzon’s syndrome dan Apert’s syndrome
Tehnik operasi klasik adalah synostectomy
Coronal synostosis terdiri dari bifrontal skin flap, bifrontal craniostomy dan orbital rim advancement
Sagital suture synostosis terdiri dari bilateral parasagital synostectomy
Operasinya biasanya menggunakan dural plication untuk mengatur abnormal contur dari otak
Tehnik operasi terbaru menggunakan Phi (Φ) squeeze procedure dimana tehnik ini membutuhkan terapi
dehidrasi untuk membuat otak relaks dan mengecil
Holoprosencephaly
Merupakan serangkaian malformasi teratology yang ditandai dengan deformitas wajah dan otak
Tanda-tandanya adalah satu ruang ventrikel, thalamus yang menyatu, tidak adanya inferiofrontal dan
temporal, isocortek yang rudimenter
Induksi dengan menggunakan halotan dan dipre medikasi dengan atropin
TRAUMA KEPALA
Trauma kepala merupakan penyebab kematian terbanyak dan 70% nya karena kecelakaan sepeda motor
Angka morbiditas dan mortalitas meningkat sejalan dengan lamanya jarak antara trauma dan
penanganannya sehingga trauma ini memerlukan perhatian dan evaluasi yang cepat supaya tidak terjadi
kecacatan
Pada anak, respon pertama dari trauma adalah hiperemia dan peningkatan ICP
Oksigen harus diberikan secepat mungkin dan airway harus segera dilindungi dengan intubasi
Untuk mencegah peningkatan ICP, digunakan RSI dengan barbiturat dan lidokain
Hiperventilasi bisa menurunkan ICP dengan menurunkan PaCO2
Selama operasi jaga PaCO2 20-25 mmHg
ICP juga dapat diturunkan dengan agent hiperosmolar seperti manitol (0.5-1 g/kg) dan posisi slight head
up
Manitol menaikkan volume darah sehingga ICP meningkat pada anak sedangkan pada neonatus dapat
terjadi congestive heart failure
Jaga agar osmolaritas serum berada pada 295-305, bila diatas 320 mOsm/l akan terjadi renal tubular
nekrosis
Cedera tulang leher jarang terjadi pada anak, apabila ada maka perlu dilakukan traksi leher
Untuk mengontrol ICP dalam jangka panjang digunakan steroid (terutama pada tumor)
Barbiturat masih digunakan untuk mengontrol ICP durante operasi dan untuk Reye’s syndrome
Pelumpuh otot digunakan untuk mencegah naik turunnya ICP karena batuk dan mengejan
Perdarahan pada subdural hematom dapat menyebabkan hipotensi pada bayi karena ukuran kepala lebih
besar dari badan
Depresi tulang tengkorak dapat terjadi pada anak tanpa laserasi kulit kepala dan tidak memerlukan
operasi emergensi
TUMOR OTAK
Tumor kepala merupakan tumor terbanyak kedua pada anak dimana kebanyakan berada di infratentorial
Tumor terbanyak adalah cerebellar astrocytoma, medulloblastoma dan brainstem glioma. Di jepang dan
Afrika tumor terbanyak adalah craniopharyngiomas dan pinealomas sedangkan ependymoma terbanyak
di India
Tumor pada anak cenderung gawat karena kebanyakan berada di fossa posterior dan dapat menyebabkan
obtruksi CSF
Tumor anak dibedakan menjadi tumor supratentorial dan infratentorial
Gejala tumor supratentorial : kejang, perdarahan dan lesi neurologis, sayangnya gejala ini muncul tiba-
tiba sehingga perlu penanganan segera
Pembedahan digunakan untuk diagnosa, dekompresi atau pengangkatan total
Gejala tumor infratentorial berupa peningkatan ICP dengan atau tanpa hidrocephalus
Manajemen anestesi
Tujuan utamanya adalah mencegah peningkatan ICP dan menjaga suhu badan karena operasinya lama
Pasien biasanya mendapat dexamethasone dan furosemide atau manitol untuk mengurangi edema
cerebri
Pada anak yang lebih tua dilakukan drainase spinal untuk mengurangi volume otak
Anestesi dengan induksi intravena, hiper ventilasi dan narkotik serta isofluran dosis rendah
Diusahakan agar pasien segera bangun agar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
Pertanyaan yang perlu dijawab sebelum operasi:
1. - apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan
2. - penggunaan steroid dan dosisnya
3. - apakah hiperventilasi dan dehidrasi diperlukan
4. - penggunaan steroid dan dosisnya
5. - pada pasien tumor supratentorial, seberapa sering diberikan anti kejang
6. - terapi cairan 60-80% normal
7. - apakah tumornya highly vaskular, apakah perdarahannya mungkin banyak
GANGGUAN VASKULER
Gangguan yang jarang pada anak dimana AVM merupakan gangguan yang tersering
90% AVM dijumpai di supratentorial pada cabang utama arteri carotis interna
Aneurisma
Berbeda dengan dewasa, anak laki lebih sering mengalami aneurisma dan sering berada di distal dari
circle of willis
Aneurisma pada anak sering terkait dengan coarctation dari aorta, penyakit ginjal polikistik, hipertensi
esential, pheochromocytoma atau cyanotic congenital heart disease
Tehnik operasinya adalah obliterasi dan relatif lebih gampang dari dewasa karena tidak ada
atherosclerotic
Anak dengan perdarahan subarachnoid akibat aneurisma akan mengalami peningkatan ICP dan
dikurangi dengan agen dehidrasi, hiperventilasi dan drainage spinal
Durante operasi biasanya diperlukan hipotensi sehingga diperlukan obat untuk menurunkan tekanan
darah dengan cepat dimana pada anak lebih baik digunakan anestesi inhalasi yang dalam, pada anak
lebih tua dapat digunakan trimethaphan atau sodium nitroprusside
Trimethaphan dapat menyebabkan takikardi yang bisa diturunkan dengan beta adrenergic bloker.
Sodium nitroprussid lebih umum digunakan
Setelah cliping aneurisma selesai maka tekanan darah dikembalikan normal atau sedikit diatas normal
untuk memaksimalkan perfusi otak dan menurunkan vasospasm
Arteriovenous malformation
Penyakit ini sebelumya jarang ada namun karena perkembangan tehnik radiologi maka kasus ini jadi
sering muncul
Penyakit ini muncul disertai dengan perdarahan subarachnoid atau kejang
Pembedahannya lama dan berdarah banyak
Pencegahan kejang diberikan pra operasi
Premedikasi dengan sedasi berat
Perlu induksi yang mulus dan dilindungi dengan lidokain
Durante operasi memerlukan hipotensi dan pengaturan ICP
1. Bayi baru lahir dengan gagal jantung kongesti yang parah. Kadang disertai kejang dan
hidrocephalus dan suara bruit yang keras di cranial. Diperlukan cerebral angiography untuk
melihat pembuluh darah yang memberi makan aneurisma. Pengontrolan gagal jantung kongestif
segera dilakukan agar operasi koreksi bisa segera dilakukan
2. Bayi dan anak yang lebih tua mempunyai gejala hidrocephalus dan craniomegaly, sebagai
akibat dari penekanan ventrikel ketiga dan aquaductus Sylvii. Cardiomegaly sering muncul dan
bruit di cranial sering terdengar
3. Anak yang lebih tua dan dewasa memiliki gejala migrain dengan atau tanpa hidrocephalus.
Terdapat garis calcium mengelilingi aneurisma yang terlihat di foto. Karena shunt nya lebih
kecil, maka gagal jantung kongestif dan cardiomegali jarang ada
Manajemen anestesinya merupakan hal yang sulit dimana anak mengalami gagal jantung kongestif,
kardiomyopathy dan operasinya berdarah banyak
Setelah ligasi akan muncul hipervolume tiba-tiba karena 80% kardiak output mengalir dalam shunt dan
volume darah central akan meningkat bermakna setelah aneurisma dikeluarkan
Angka kematiannya 50-70%
Banyak tehnik termasuk extracorporeal circulation dengan hipotermia telah direkomendasikan
Yang penting saat operasi adalah menjaga perfusi tetap adekuat agar mencegah iskemi miokard,
memberikan cairan pengganti, tehnik anestesi yang menyediakan pengurangan maksimal pada otak yang
bengkak dengan steroid dan furosemid
Penggunaan narkotik, oksigen dan pankuronium juga dianjurkan
Pada anak yang lebih tua, hipotensi terkontrol diperlukan agar bedah dapat mencapai tempat lesinya
Pada neonatus yang sakit atau bayi kecil, hipotensi dan hipovolemi harus dihindari karena dapat
menurunkan perfusi dari myocard
Prosedur Diagnosis
Kemajuan CT scan dan MRI memungkinkan pneumoencephalography
Baik CT scan dan MRI membutuhkan sedasi ringan
Cerebral arteriography dan myelography pada bayi dan anak membutuhkan anestesi umum
Jika ICP normal maka anestesi inhalasi dengan napas spontan lebih nyaman
Intubasi dimungkinkan karena pasien akan dipindah dari mesin anestesi untuk angiography dan prone
untuk myelography
Anestesi Pediatri
USIA
HR RR SBP DBP
(tahun)
<1 120-160 30-60 60-95 35-69
1-3 90-140 24-40 95-105 50-65
3-5 75-110 18-30 95-110 50-65
8-12 75-100 18-30 90-110 57-71
12-16 60-90 12-16 112-130 60-80
HR = denyut jantung, RR = frekuensi napas, SBP = tekanan darah sistol,
DBP = tekanan darah diastol. Kaidah yang disetujui : tekanan darah = 80 mmHg + 2 x usia
7. Mengapa keberadaan shunt kiri - ke - kanan (left - to - right) dapat mempengaruhi induksi inhalasi?
Shunt kiri-ke-kanan intrakardiak menyebabkan overload volume pada sisi kanan jantung dan pada sirkulasi
paru. Pasien dapat menderita gagal jantung kongestif (CHF) dan penurunan kemampuan pengembangan paru.
Ambilan dan distribusi zat-zat inhalasi hanya terpengaruh sedikit (minimal); waktu onset zat-zat intravena
sedikit memanjang.
9. Hal - hal khusus lain yang harus diperhatikan pada anak - anak yang menderita penyakit jantung
Anatomi lesi dan arah aliran darah sebaiknya ditentukan. Resistensi vaskuler pulmonal (PVR) perlu
dijaga. Jika PVR meningkat, shunting kanan-ke-kiri dapat meningkat dan memperburuk oksigenasi,
sementara itu, pasien yang menderita shunt kiri-ke-kanan mengalami arah aliran darah yang sebaliknya
(sindrom Eisenmenger). Jika pasien menderita shunt kiri-ke-kanan, penurunan PVR akan meningkatkan
aliran daraj ke paru-paru dan mengarah ke edema pulmonal. Menurunkan PVR pada pasien dengan
shunt kanan-ke-kiri dapat memperbaiki hemodinamik.
Gelembung udara harus dihindari dengan sangat cermat. Jika terdapat komunikasi antara sisi jantung
kanan dan kiri (defek septum ventrikel, defek septum atrium), injeksi udara secara iv dapat berjalan
melintasi komunikasi tersebut dan masuk ke sistem arteri. Hal ini akan mengarah ke gejala-gejala SSP
(susunan saraf pusat) jika udara tersebut menyumbat suplai darah ke otak dan medulla spinalis (emboli
udara paradoksikal).
Antibiotik Profilaksis sebaiknya diberikan untuk mencegah endokarditis bakteri. Medikasi dan dosis
yang direkomendasikan dapat ditemukan pada pedoman Asosiasi Jantung Amerika.
Hindari Bradikardi
Mengenali dan mampu menangani “tet spell”. Anak-anak dengan tetralogy of fallot mengalami
obstruksi aliran sebelah kiri (RVOT/right outflow tract ), overriding aorta, dan stenosis atau atresia
pulmonal. Beberapa diantaranya akan mengalami ucapan hipersianotik (“tet spell”) akibat suatu
stimulasi saat usianya bertambah. Episode seperti itu ditandai oleh memburuknya obstruksi RVOT,
mungkin sebagai akibat hipovolemia, peningkatan kontraktilitas, atau takikardi saat stimulasi atau stress.
Pasien sering ditangani dengan beta blocker, yang sebaiknya dilanjutkan saat perioperatif. Hipovolemia,
asidosis, menangis atau gelisah yang berlebihan, dan peningkatan tekanan jalan napas sebaiknya
dihindari. Resistensi vaskuler sistemik (SVR) sebaiknya tetap terpelihara. Jika ucapan hipersianotik
terjadi saat periode perioperatif, penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain : memelihara jalan
napas, infus volume, meningkatkan kedalaman anestesia atau mengurangi stimulus pembedahan.
Fenilefrin sangat bermanfaat dalam meningkatkan SVR. Dosis tambahan dari beta blocker juga dapat
dicoba. Asidosis metabolik sebaiknya dikoreksi.
ETT sebaiknya dipasang pada kedalaman sekitar 3 kali dari diameter internanya.
14. Mengapa farmakologi obat-obat anestetik yang sering digunakan pada anak-anak berbeda?
Konsentrasi alveolar minimal (MAC) zat-zat volatile lebih tinggi pada anak-anak dibanding dewasa.
MAC tertinggi adalah pada infan 1-6 bulan. Bayi prematur dan neonatus mempunyai MAC yang rendah
Anak-anak mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap efek disritmik epinefrin pada anestesi umum
dengan zat-zat volatile
Anak-anak pada umumnya mempunyai keperluan obat (mg/kg) yang lebih tinggi karena mempunyai
distribusi volume yang lebih besar (lebih banyak lemak, lebih banyak cairan tubuh)
Opioid sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada anak-anak yang berusia < 1 tahun, yang lebih sensitif
terhadap efek depresan pernapasan
Estimasi defisit cairan (EFD) sebaiknya dihitung dan diganti dengan cara :
o EFD = pemeliharaan x jam sejak asupan oral terakhir
Seluruh EFD sebaiknya diganti pada kasus-kasus besar. Untuk kasus kecil, 10-20 ml/kg solusi garam
yang ditakar dengan atau tanpa glukosa biasanya sudah adekuat.
Estimasi volume darah (EBV) dan kehilangan darah (ABL) sebaiknya dihitung pada setiap kasus.
16. Cairan pengganti apa yang paling sering digunakan pada anak-anak ? Mengapa?
Garam natrium yang ditakar (BSS) seperti RL dengan glukosa (D5RL) atau tanpa glukosa (RL)
direkomendasikan dalam hal ini. Pada bayi yang lahir baik, terlihat bahwa hipoglikemia dapat terjadi pada anak
sehat yang menjalani prosedur invasif jika tidak digunakan cairan yang mengandung glukosa. Namun
ditemukan adanya hiperglikemia yang terjadi pada mayoritas anak-anak yang telah diberikan solusi yang
mengandung glukosa 5%. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan cairan yang mengandung glukosa 1%
atau 2,5%. Yang lain masih menggunakan solusi glukosa 5% untuk pemeliharaan, namun direkomendasikan
bukan BSS yang mengandung non-glukosa untuk third space atau kehilangan darah. Pada operasi mayor, sangat
penting untuk memeriksa kadar glukosa secara berseri dan untuk menghindari hiper- atau hipoglikemia.
Dimana ABL = kehilangan darah, EBV = estimasi volume darah, px = pasien, dan hct =hematokrit. Nilai
hematokrit terendah bervariasi antara tiap individu. Transfusi darah biasanya dipertimbangkan saat hematorkit
kurang dari 21-25%. Jika terdapat masalah pada tanda-tanda vital, transfusi darah perlu diberikan lebih dini.
Sebagai contoh, seorang infan berusia 4 bulan dijadwalkan untuk rekonstruksi kraniofasial. Dia sehat, dengan
asupan oral terakhir diperoleh 6 jam sebelum tiba di ruang operasi. BB = 6 kg, hct preoperatif = 33%, nilai hct
terendah = 25%.
Pemeliharaan = BB x 4 ml/jam = 24 ml/jam
EFD = pemeliharaan x 6 kg = 144 ml
EBV = BB x 80 ml/kg = 480 ml
EBL
23. Dosisnya
Dosis Anestesi Lokal yang Sering Diterapkan pada Blok Kaudal
DOSIS
TINGKAT BLOK JENIS OPERASI
(cc/kg)
0,5 Sakral/lumbal Penis, ekstremitas bawah
1 Lumbal/thoraks Abdominal bawah
1,2 Thoraks atas Abdominal atas
Dosis toksik bupivakain pada anak-anak = 2,5 mg/kg; pada neonatus = 1,5
mg/kg
24. Apa yang dimaksud dengan blok fasia iliaka dan diindikasikan untuk apa ?
Blok fasia iliaka adalah teknik untuk menganestesi nervus femoral, obturator, dan kutaneus lateralis. Blok ini
menghasilkan analgesia pada paha atas dan baik untuk pasien yang mengalami fraktur femur atau pasien yang
menjalani prosedur-prosedur seperti osteotomi, biopsi otot, atau grafting kulit.
25. Gambarkan komplikasi pasca operasi yang tersering !
Mual dan muntah merupakan penyebab tersering dari tertundanya waktu keluar pasien. Terapi terbaik
untuk mual dan muntah post-operatif adalah dengan pencegahan. Menghindari opiod akan mungurangi
insidensi mual dan muntah post-operatif sepanjang ada penghilang nyeri yang adekuat (seperti
berfungsinya blok kaudal pada pasien). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian cairan
intravena dan penghentian asupan oral. Jika muntah menetap, metoklopramid, droperidol, atau
ondansetron dapat dicoba. Jika muntah tidak teratasi, pasien sebaiknya diobservasi.
Masalah pernapasan, utamanya laringospasme dan stridor lebih sering ditemukan pada anak-anak
dibanding pada orang dewasa. Penatalaksanaan laringo-spasme antara lain : oksigen bertekanan positif,
maneuver Fink (jaw thrust yang nyeri), suksinilkolin, dan intubasi ulang jika perlu. Stridor biasanya
ditangani dengan oksigen yang dihumidifikasi (dilembabkan), steroid, dan epinefrin rasemik.
KONTROVERSI
28. Gambarkan penatalaksanaan pasien yang mengalami infeksi saluran napas atas ?
1. Risiko memburuknya pernapasan setelah dua minggu menderita infeksi saluran napas atas (ISPA), 9-11 kali
lebih besar. Penyebab gangguan pulmonal antara lain :
Penurunan kapasitas difusi oksigen
Penurunan kemampuan pengembangan dan peningkatan resistensi
Penurunan volume akhir
Meningkatnya shunting (ketidaksesuaian ventilasi-perfusi), ambilan oksigen paru lebih cepat
Peningaktan insidensi hipoksemia
Peningkatan reaktivitas jalan napas
29. Apa keuntungan dan kerugian sistem sirkuit dan sirkuit bain pada anak-anak?
Keuntungan dan Kerugian Sistem Sirkuit dan Sirkuit Otak Bain
Sirkuit Keuntungan Kerugian
· Konsentrasi gas inspirasi · Desainnya rumit, katub satu
yang relatif konstan arah
· Kelembaban dan panas
Sistem Sirkuit
lebih alami · Bayi kecil (< 10 kg) harus
· Polusi pada ruang operatif bernapas lebih kuat untuk
minimal mengatasi resistensi katub
· Ringan
· Baik untuk ventilasi spontan
· Kebanyakan mesin anestesi
atau terkontrol memerlukan pemasangan
· Resistensi minimal khusus pada alat ini
Sirkuit Bain · Gas yang diekshalasi dari
luar pipa membuat gas yang
akan diinspirasikan lebih · Pipa dalam dapat bengkok
hangat dan lebih lembab atau tidak terhubung
(dalam teori)
30. Apakah orang tua dibolehkan untuk menemani anaknya saat induksi anestesi ?
Anak-anak yang lebih muda dapat sangat gelisah dan ketakutan saat mereka dipisahkan dari orang tuanya
sebelum pembedahan. Mengizinkan orang tua untuk menemani anak di ruang operasi dapat memfasilitasi
induksi anestesi pada beberapa kasus. Orang tua dan anak-anak sebaiknya diberitahu dan disiapkan menganai
apa yang akan dilakukan. Orang tua sebaiknya siap meninggalkan ruang operasi saat anestesiologis yakin hal
tersebut memang lebih tepat. Keberadan orang tua sering merasa gelisah, enggan, dan histeris di ruang operasi
dapat sangat mengganggu. Seorang anestesiologis yang tidak nyaman dengan mengizinkan orang tua pasien
untuk ikut serta saat induksi mungkin sebaiknya tidak mengizinkan mereka untuk ikut serta. Pada anak-anak
yang tidak kooperatif atau ketakutan, keberadaan orang tua dapat bermanfaat, namun juga dapat sebaliknya.
Spinal Anestesia
PENDAHULUAN
Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik local kedalam cairan serebrospinal, hal ini dicapai
hanya dengan punksi subaraknoid lumbal. Tergantung dosis, local anestetik dapat menghasilkan efek anesthesia
ringan sampai dengan komplit pada daerah dermatom atau seluruh tubuh.
Tehnik ini telah dilakukan awal abad dua puluh dan dokter dan penderita memutuskan bukan berarti
menghindari komplikasikomplikasi anestesi umum. Setelah 1950 , penggunaan anesthesia berkurang di AS,
anesthesia umum menjadi aman dan lebih menyenangkan bagi pasien. Pada 1975 telah dipertimbangkan bahwa
faedah anestesi spinal dan epidural, memberikan keuntungan terhadap pemakai dan tidak merupakan pilihan
yang simple terhadap anestesi umum, membuat tehnik ini penting pada penanganan penderita.
ANATOMI
Tulang Belakang.
Tulang belakang terdiri dari 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal dan 5 tulang sacrum yang bersatu. Vertebra terdiri
dari columna dan arkus vertebra. Arkus vertebra terdiri dari dua pedikel dianterior dan dua lamina diposterior.
Pada pertemuan lamina dan pedikel terdapat procesus transversus, dan dari pertemuan kedua lamina pada garis
tengah tubuh diposterior terdapat procesus spinosus . Lekukan pada permukaan pedikel akan membentuk
tempat keluar nervus spinalis.
Medula Spinalis.
Kanalis spinalis terletak didalam columna vertebralis antara foramen magnum dan hiatus sakralis. Dianterior
dibentuk oleh columna vertebra, dilateral oleh pedikel dan diposterior oleh lamina. Medula spinalis terbentang
dari batang otak sampai permukaan L12 pada orang dewasa. Akhir lumbal bawah dan akarakar saraf sacral
berlanjut didalam kanalis spinalis sebagai kauda equina.
membentuk tiga ruang. Ruang antara piamater yang menutup medula spinalis dan arakhnoidmater. Ruang
subarakhnoid berlanjut dari dasar kranium sampai S2 dan terdiri dari akar saraf dan ciran serebrospinal (CSS).
Ruang subarakhnoid terletak antara duramater dan arakhnoidmater, ini merupakan ruang potensial khususnya
obatobatan yang diinjeksikan keruang epidural atau subarakhnoid. Akibat subdural blok adalah kelemahan dan
penyebaran utama secara langsung kerah kepala.
LigamentumLigamentum.
Ligamentum longitudinalis anterior dan posterior berjalan diantara aspek anterior dan posterior columna
vertebralis. Ligamentum supraspinosus membentang dari vertebra cervical 7 sampai sakrum dan mencapai
ketebalan maksimum didaerah lumbal. Ligamentum interspinosus menghubungkan dua procesus spinosus.
Ligamentum flavum dikenal sebagai serat elestik warna kuning berjalan di aspek anterior dan inferior tiap
lamina vertebra kepermukaan posterior dan superior bawah lamina dan menebal didaerah lumbal.
Blood Suply
Medulla spinalis mendapat suplai darah dari a. vertebral, a. servikal, a. interkostal dan a. lumbalis. Cabang
spinal ini terbagi ke dalam a. radikularis posterior dan anterior yang berjalan sepanjang saraf menjangkau
medulla dan membentuk pleksus arteri di dalam piameter.
Cerebrospinal Fluid
Serabut saraf maupun medulla spinalis terendam dalam LCS yang merupakan hasil ulktrafiltrasi dari darah dan
diekskresi oleh pleksusu choroideus pada ventrikel lateral, ventrikel III dan ventrikel IV. Produksinya konstan
ratarata 500 ml/hari tetapi sebanding dengan absorpsinya. Volume total LCS sekitar 130150 ml, terdiri dari
6075 ml di ventrikel, 3540 ml sebagai cadangan otak dan 2530 ml di ruang subarakhnoid.
Nervus Spinalis.
Nervus spinalis meninggalkan kanalis spinalis menembus kedua foramen intervertebtralis, dan mempersarafi
kulit yang dikenal sebagai dermatom. Perjalanan nervus visceral lebih kompleks, tergantung dan sesuai dengan
perekembangan akhir embrionik organ dari pada posisi akhir dalam tubuh. Sering terjadi , tingkat anestesia
untuk operasi yang dikehendaki lebih tinggi dari perkiraan dasar yang menutupi dermatom sensoris, Contoh :
anestesia visceral abdomen bagian atas dibutuhkan paling kurang tingkat spinal T4 walaupun insisi kulit pada
T6 atau lebih. Afferen simpatik kembali dari end organ melalui pleksus prevertebra dan ganglion para vertebra
sehingga mencapai medula spinalis pada setiap tingkat.
Tabel . Tingkat Minimum Dermatom Untuk anestesi spinal.
Letak Operasi Yang diperlukan
Ekstremitas bawah. T12
Panggul. T10
Prostat atau Bulibuli. T10.
Testis. T6.
Herniorapi. T4.
Intraabdomen. T4.
Saraf spinalis ada 31 pasang yaitu 8 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeal. Pada spinal
anestesi, paralysis motorik mempengaruhi gerakan bermacam sendi dan otot. Persarafan segmental ini
digambarkan sebagai berikut :
Bahu C68
Siku C58
Pergelangan tangan C67
Tangan dan jari C78, T1
Interkostal T111
Diafragma C35
Abdominal T712
Pinggul, pangkal paha fleksi L13
Pinggul, pangkal paha ekstensi L5, S1
Lutut fleksi L5, S1
Lutut ekstensi L34
Pergelangan kaki fleksi L45
Pergelangan kaki ekstensi S12
Sistem saraf otonom
1. System saraf simpatis
Mesrabut saraf pregamglion meninggalkan medulla spinalis melalui radiks saraf ventralis T1L2. Pada bagian
servikal kumpulan ganglia ini menyusun ganglia servikalis superior, media dan stellat ganglia. Pada thorak,
rangkaian simpatis ini membentuk saraf splanknikus yang menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam
pleksus koeliak dan pleksus oartikorenal. Didalam abdomen rangkaian simpatis ini berhubunagn dengan
pleksus koeliak, pleksus aorta dan pleksus hypogastrik. Rangkaian ini berakhir dipelvis pada permukaan
anterior sacrum.
Serabutserabut saraf post ganglionik yang tidak bermielin terdistribusi luas pada seluruh organ yang menerima
suplai saraf simpatis. Daerah viscera menerima serabut postganglionic sebagian besar langsubg melalui cabang
yang meninggalkan pleksuspleksus besar.
Distribusi segmental saraf simpatis visceral :
Kepala, leher dan anggota badan atas, T15
Jantung, T15
Paruparu, T24
Oesofagus, T56
Lambung, T610
Usus halus, T910
Usus besar, T1112
Kandung empedu dan hati, T79
Pankreas dan lien, T610
Ginjal dan uereter, T1012
Kelenjar adrenal, T8L1
Testis dan ovarium, T10L1
Kandung kemih, T11L2
Prostate, T11L1
Uterus, T10L1
2. System saraf parasimpatis
Saraf eferen dan aferen dari system saraf simpatis berjalan melalui nervus intracranial dan nervus sakralis ke
2,3,4. Nervus vagus merupakan saraf cranial paling penting yang membawa saraf eferen parasimpatis. Mereka
dirangsanga dengan sensasi seperti lapar, mual, distensi vesika, kontraksi uterus. Berbagai macam nyeri
disalurkan melalui saraf ini seperti kolik atau nyeri melahirkan. Nervus vagus menginervasi jantung, paru,
esophagus dan traktus gastrointestinal bagian bawah sampai ke kolon tranversum. Saraf simpatis sacral bersama
saraf simpatis didistribusikan pada usus bagian bawah kolon transversum, vesika urinaria, spincter dan organ
reproduksi.
Blokade somatic
Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka. Blok sensoris mengkambat
stimulus nyeri somatic atau visceral sementara blok motorik menyebabkan relaksasi otot. Efek enstetik local
pada serabut asaraf bervariasi tergantung dari ukuran serabut saraf tersebut dan apakah serabut tersebut
bermielin atau tidak serta konsentrasi obat dan lamanya kontak
Blokade Otonom
Hambatan pada serabut eferen transmisi ototnom pada akar saraf spinal menimbulkan blockade simpatis dan
beberapa blok parasimpatis. Simpatis outflow berasal dari segmen thorakolumbal sedangkan parasimpatis dari
craniosacral. Serabut saraf simpatis preganglion terdapat dari T1 sampai L2 sedangkan serabut parasimpatis
preganglion keluar dari medulla spinalis melalui serabut cranial dan sacral. Perlu diperhatikan bahwa blok
subarachnoid tidak memblok serabut saraf vagal. Selian itu blok simpatis mengakibatkan ketidakseimbangan
otonom dimana parasimpatis menjadi lebih dominant. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bias terjadi
aritmia sampai cardiac arrest selama anestesi spinal. Hal ini terjadi karena vagotonia yaitu peningkatan tonus
parasimpatis nervus vagus.
EVALUASI PREOPERATIF
Pada umumnya setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum anestesi spinal atau
epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien dan beberapa kontraindikasi
terhadap tehnik regional.
Pertimbangan Bedah.
Banyak operasi pada ekstremitas bawah , pelvis, abdomen bagian bawah dan perineum dapat dilakukan dengan
anestesi spinal. Operasi daerah diatas abdomen, dada, bahu dan ekstremitas atas dapat ditangani dengan anestesi
spinal dengan kesulitan yang besar. Walaupun tempat operasi sudah teranestesi dalam banyak kasus pasien
tetap merasa tidak nyaman. Selanjutnya , efek operasi atau spinal anesthesia yang tinggi mungkin akan
mempengaruhi pernapasan, sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Pemeriksaan Fisik.
Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal serta kulit disekitar tempat penusukan
jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin kesalahan lebih banyak jika terdapat kelainan anatomic seperti
scoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi pada tempat punksi menghalangi spinal anestesi.
Defisit neurology yang ada sebelumnya yang ditemukan lewat anamnesa atau dengan pemeriksaan harus dicatat
untuk mencegah kesalahan diagnosis kelainan neurology post anestesi.
Kontra Indikasi.
Diantara sedikit kontra indikasi absolut anesthesia spinal adalah pasien menolak dan infeksi pada tempat insersi
jarum anestesi spinal. Juga untuk penderita yang menderita koagulopati yang berat dan ditakutkan terjadinya
hematoma epidural. Tehnik ini juga tidak diindikasikan pada pasienpasien dengan gangguan pembekuan., hal
ini dapat dilindungi dengan pemberian heparin sesudahnya.
Jika hipovolemia tidak dikoreksi sebelum anestesi spinal, penekanan saraf sympatis menghasilkan katastropik
hipotensi, juga perdarahan dan dehidrasi harus ditangani sebelum anesthesia dilakukan. Baktemremia tidak
merupakan kontra indikasi absolut terhadap anestesi spinal, penderita dapat diberikan antibiotik, tapi tehnik ini
dihindari jika pasien ditakutkan adanya bakteremia blood borne yang dilihat pada hematoma epidural yang kecil
dan membentuk abses. Herniasi discus vertebra atau pembedahan tulang sebelumnya tidak temasuk kontra
indikasi spinal anesthesia, walaupun jaringan parut dapat menghalangi penusukan jarum yang berisi anestesi
local atau pengaruhnya terhadap peningkatan akan terjadinya trauma akar saraf. Dalam kasus ini kekhawatiran
umum. Walaupun sedikit bukti bahwa anestesi spinal menyebabkan keadaan penyakit neurology bertambah
jelek. Banyak yang menghindari tehnik ini bila terjadi eksaserbasi kelainan yang ada sebelumnya pada post
operasi.
Tabel . Kontra indikasi Penggunaan Anestesi.
Absolut Relative
Pasien menolak. Hypovolemia.
Coagulopathy. Sepsis.
Infeksi setempat. Kelainan neurology sebelumnya.
ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi,
suplemen oksigen melalui nasal kanula atau masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau
anestetik. Pemberian sedatif dan narkotik membuat penderita tenang selama penusukan jarum, bahkan pasien
cukup sadar untuk melaporkan parestesia selama prosedur. Nyeri yang persisten atau parestesia dengan
penusukan jarum atau injeksi anestetik dapat menggambarkan trauma akar saraf.
Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone. Walaupun posisi duduk
lebih mudah untuk mendapatkan fleksi vertebra, pasien menjadi lelah bahkan membutuhkan bantuan. Setiap
melakukan tindakan tersebut operator dan asisten harus memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk
mendapatkan keadaan yang stabil. Setelah posisi ditentukan , identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk
menghindari infeksi termasuk tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan larutan bakterisidal, penutup steril,
sarung tangan dan secara hatihati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal. Untuk
mncegah kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi diperhatikan dengan hatihati.
TEHNIK ANESTESI
Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah operasi dan densitas larutan
anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan untuk melebarkan ruang procesus spinosus dan memperluas
rongga interlamina. Pada posisi prone, menempatkan bantal dibawah panggul untuk membantu fleksi vertebra
lumbal.
Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun medulla spinalis berakhir pada
L1L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk menghindari resiko kerusakan medulla spinalis. Garis
penghubung yang menghubungkan Krista iliaca memotong daerah interspace L45 atau procesus spinosus L4.
Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non dominan menetukan titik
interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace diinfiltrasi dengan anestesi local menggunakan jarum
halus. Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah secara sagital, mengarah ke cranial (10 o) menghadap ruang
interlamina. Penusukan keruang sub arachnoid melewati kulit, jaringan sub cutan, ligamentum supraspinosus,
ligamentum interspinosus dan ligamentum flavum. Ketika ujung jarum mendekati ligamentum flavum terdapat
peningkatan tahanan disertai perasaan poping, saat itu jarum menembus duramater dengan kedalaman 47 cm.
Jika ujung jarum menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya untuk membebaskan dari ligametum,
sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal.
Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas. Jika CSS bercampur darah hendaknya
dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai vena epidural. Setelah yakin aliran CSS ahli anestesi
memegang jarum dengan tangan yang bebas , dengan menahan belakang pasien, ibu jari dan telunjuk
memegang pangkal jarum, dan menghubungkan dengan spoit yang telah berisi larutan anestetik. Aspirasi CSS
untuk meyakinkan ujung jarung tetap dalam CSS. Injeksi dengan cepat menggunakan jarum kecil memudahkan
bercampurnya anestesi dengan CSS, ini memudahkan penyebaran larutan dengan CSS dan menurunkan
perbedaan densitas antara larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam semenit atau
lebih) mengurangi efeknya . setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih menyakinkan posisi jarum.
Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti orang tua dengan kalsifikasi ligamentum atau pasien
kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum ditusukkan kirakira 11,5 cm dilateral garis tengah
pada bagian bawah procesus spinosus dari interspace yang diperlukan. Jarum ditusukkan kearah median dan ke
cephal menembus otototot paraspinosus. Jika jarum mengenai tulang berarti mengenai lamina ipsilateral dan
jarum diposisikan kembali ke arah superior atau inferior masuk ruang sub arachnoid.
Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral (taylor), yang digunakan
interspace columna vertebralis pada L5S1. identifikasi spina iliaca posterior superior dan kulit, dimulai 1 cm
kanalis spinalis pada midline L5S1.
JARUM SPINAL
Pemilihan jarum spinal tergantung usia pasien, kebiasaan ahli anestesiologi dan biaya. Ujung jarum quincle
umumnya mempunayi bevel yang panjang yang menyatu dengan lubang. Dapat dibagi dalam ukuran: 20G29G;
ukuran 22G dan 25G yang sering digunakan. Ujung jarum quincle yang runcing menebus dengan mudah . untuk
menjamin posisi yang tepat mengalirnya CSS dilihat pada 4 kwadran dengan memutar jarum.
Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung berbentuk tapering dengan
lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang lebih. Contoh jarum bentuk pensil adalah Sprotte,
Whitacre dan Gertie Marx. Perbedaan antara kedua jarum tersebut adalah ukuran dan letak lubang dilateral.
Meskipun lebih mahal dari pada bevel tajam, jarum ini kurang menyebabkan kerusakan pada duramater dan
lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala post anesthesia spinal.
Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang lebih mahal jarum pensil point,
lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko yang besar terhadap sakit kepala post anesthesia spinal.
memperluas anestesi yang diperlukan untuk memblok dermatom sangat penting untuk mengurangi beratnya
efek menjadi minimum. Obat yang digunakan untuk anestesi spinal termasuk anestesi local, opioid dan
vasokonstriktor, dektrosa kadangkadang ditambahkan untuk meningkatkan berat jenis larutan.
Anestetik local.
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinal. Criteria yang digunakan untuk memilih obat adalah
lidokain untuk operasioperasi yang kurang dari 1 jam, walaupun durasi anestesi spinal tergantung pula pada
penggunaan vasokonstriktor, dosis serta distribusi obat.
Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable individual pasien tidak
merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih banyak anestetik local akan menghasilkan anestesi
yang lebih luas.
Tabel . Obatobat anestesi local untuk anesthesia spinal
Vasokonstriktor.
Lamanya blok dapat ditingkatkan 12 jam dengan penambahan larutan vasokonstriktor kelautan yang
diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,10,2 mg) maupun phenyleprine (1,04,0 mg) memperpanjang
durasi anestesi spinal. Obatobatan tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplay dura
dan medulla spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan eliminasi anestetik local. Penambahan untuk
mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan secara langsung efek antinoceftif terhadap medulla spinalis.
Opioid.
Dalam decade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid untuk memperbaiki kwalitas
dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative. Kerja narkotik subarachnoid adalah pada reseptor
opiod didalam medulla spinalis. Morpin (0,10,2 mg) menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode
narkotik subarachnoid termasuk pruritus, nausea, dan depresi pernapasan.
Tabel . Opioid Dalam ruang subarachnoid.
Dextrose, Barisitas, Distribusi.
Densitas larutan anestesi local adalah fungsi konsenrasi dan cairan dimana obat tersebut dilarutkan. Densitas
dari CSS 37 oC adalah 1,001 – 1,005 g/ml. Barisitas larutan anestesi local adalah perbandingan pada suhu dari
densitas laritan anestetik terhadap densitas CSS pada tempratur yang sama. Larutan anestesi local dengan
digolongkan isobaric, dan densitas kurang dari 0,997 g/ml termasuk hipobarik. Preparat anestetik local 5%
sampai 8% dalam dextrose adalah hiperbarik; dalam CSS atau garam saline, isobaric; dan dilarutkan dalam air ,
hipobarik.
Dosis obat, densitas larutan anestetik local dan posisi pasien selama dan setelah injeksi lebih banyak
menentukan distribusi anestesi local dan tingkat anesthesia. Factor lain seperti ; umur, berat badan dan panjang
columna vertebralis adalah kurang penting. Pada posisi supine, lordosis lumbal menunjukkan titik terendah
spinal pada L34, dan kiposis torak menunjukkan titik terendah pada T56. jadi jika pasien diberikan larutan
anestesi local hiperbarik pada L4 pada posisi supine , larutan tersebut bergerak oleh karena grafitasi dari titik
tertinggi sampai dua regio yang lebih rendah yaitu sacrum dan T56, menghasilkan blok yang baikpada
dermatom toraks tetapi itu termasuk suplai yang relatif jarang dari anestesi local pada akar saraf pertengahan
lumbal. Sadel blokuntuk anesthesia perineum , ini dihasilkan jika lautan hiperbarik di injeksikan pada pasien
dengan posisi duduk dan mempertahankan posisi tersebut untuk beberapa menit setelah injeksi.
Larutan isobaric cenderung untuk tinggal pada tempat injeksi dan menghasilkan blok yang lebih terlokalisir dan
menyebar hanya kebawah dan dermatom toraks. Larutan ini cocok untuk prosedur pada ektremitas bawah dan
prosedur urology.
Larutan hypobarik dapat digunakan ketika pasien pada posisi supine, pada posisi jackknife untuk operasi
rectum, perineum, dan anus, atau pada posisi lateral dekubitus. Kenutungan larutan hypobarik bahwa
kemiringan meja operasi dengan kepala dibawah mengurangi pengumpulan darah ditungkai, juga membantu
mencegah pemyebaran anestesi local kearah kepala.
samping dan penilaian distribusi dari anestesi local. Pemberian oksigen dan pemasangan pulse oksimetri untuk
mencegah hipoksemia. Memperhatikan terusmenerus denyut jantung untuk mendeteksi bradikardia, dan
mengulangi pengukuran tekanan darah untuk menilai adanya hipotensi.
Distribusi dari blok dapat diukur dengan beberapa tes. Kehilangan rasa persepsi dingin (kapas alcohol atau es
pada kulit) berhubungan dengan tingkat blok simpatis, yang dilayani oleh dua modalitas saraf yang hampir
mirip diameter dan kecepatan konduksinya. Level sensoris diketahui dengan adanya respon terhadap goresan
peniti atau garukan jari. Fungsi motorik dilakukan dengan menyuruh pasien melakukan fleksi plantar jari kaki
(S12), dorsofleksi kaki (L45 ) , mengangkat lutut (L23) atau tegangan muskulus rektus abdominalis dengan
mengangkat kepala (T612).
Selama anestesi spinal tingkat blok simpatis meluas lebih tinggi dari blok sensoris dimana dalam perluasannya
lebih tinggi dari blok motoris. Besarnya derajat blok tidak berhubungan dengan perbedaan dari snesitivitas dari
diantara berbagai akar saraf dan terhadap derajat konsentrasi di dalam masingmasing akar saraf. Serbut saraf
sensoris dan simpatis yang lebih perifer lebih mudah diblok karena lebih banyak terekspose oleh keonsetrasi
anestesi local dari pada serabut saraf motorik yang lebih dalam.
Komplikasi dini / intraoperatif :
1. Hipotensi
2. Anestesi spinal tinggi / total.
3. Henti jantung
4. Mual dan muntah
5. Penurunan panas tubuh
6. Parestesia.
Komplikasi lanjut
1. Post dural Puncture Headache (PDPH)
2. Nyeri punggung (Backache)
3. Cauda equine sindrom
4. Meningitis
5. Retensi urine
6. Spinal hematom.
7. Kehilangan penglihatan pasca operasi
Hipotensi.
Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama akibat blok preganglion vasomotor efferent sistim saraf
simpatis dan kehilangan kompensasi vasokonstriksi eketremitas bawah. Berkurangnya preload (venodilatasi)
menunjukkan menurunnya curah jantung; berkurangnya tonus arteriole sedikit kontribusinya terhadap
terjadinya hipotensi, kecuali tahanan pembuluh darah perifer meningkat sebelum anestesi spinal. Blok serat
kardioakselator pada T1T4 menyebabkan bradikardi dan kehilangan kontraktilitas.
Terapi hipotensi dimulai dengan tindakan yang cepat seperti koreksi posisi kepala, pemberian cairan intravena
dan pemberian vasopressor sesuai kebutuhan. Jika cairan yang diberikan tidak dapat mengoreksi bradikardi atau
kontraktilitas melemah, terapi yang disukai untuk spinal hipotensi adalah kombinasi cairan untuk mengoreksi
hipovolemi dengan alfa dan beta adrenergik agonis (seperti efedrin) dan atropin (untuk bradikardi) tergantung
pada situasi.
Anestesi spinal tinggi dan Blokade total spinal
Pasien dengan tingkat anesthesia yang tinggi dapat mengalami kesulitan dalam pernapasaan . Harus dibedakan
secara hatihati apa penyebabnya untuk memberikan terapi yang tepat. Hampir semua dispnea tidak disertai
paralysis otot pernapasan tetapi adalah kehilangan sensasi proprioseptif tersebut mengakibatkan dyspnea
walaupun fungsi otot pernapasan dan pertukaran gas adekuat.
Total spinal adalah blockade dari medulla spinalis sampai ke servikal oleh suatu obat local anestesi.
Factor pencetus : Pasien mengejan, dosis obat local anestesi yang digunakan, posisi pasien terutama bila
menggunakan obat hiperbarik.
Sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi. Sering disertai mual, muntah,
precordial discomfort dan gelisah. Apabila blok semakin tinggi penderita menjadi apnea, kesadaran menurun
disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung
Penanganan :
Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face mask
Jika depresi pernapasan makin berat (blok motor C35 dengan paralysis nervus phrenikus) perlu segera
dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung
Pemberian cairan kristaloid 1020 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi
Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka pemberian
vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropin
Henti jantung yang tibatiba.
Henti jantung yang tibatiba telah dilaporkan pada pasien yang mendapatkan spinal anestesi. Pasien yang
mendapat sedatif dan hipotensi sampai tejadinya henti jantung yang tibatiba terbukti sulit untuk diterapi.
Respon kardiovaskuler terhadap hiperkarbia dan hipoksia kerana sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien
tidak mempunyai respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan hiperkarbia.
Henti jantung dapat dihindari dengan beberapa langkah sebagai berikut: pertama opioid harus digunakan
dengan perhatian yang tinggi selama anestesi spinal. Kedua, semua pasien yang menjalani anestesi spinal
dibutuhkan suplemen oksiegen dan pemantauan dengan pulse oxymetri. Ketiga, hipotensi dan bradikardi
dibutuhkan terapi segera untuk memelihara curah jantung. Keempat, seharusnya pasien yang mengalami
episode hipotensi dan henti jantung yang tibatiba merupakan indikasi segera dan tepat mendapatkan terapi
oksigen, hiperventilasi, epinefrin dosis tinggi (0,11 mg) dan sodium bikarbonat jika ada indikasi.
Mual dan Muntah
Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau tidak terhalanginya stimulus
vagus usus. Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak terhalangnya
Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena :
Hiotensi
Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus biliaris
Factor psikologis
Hipoksia
Penanganan :
Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 1020 ml/kgBB kristaloid
Pemberian bolus efedrin 510 mg IV
Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
Dapat juga diberikan anti emetik.
Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan curah jantung telah diperbaiki.
Paresthesia.
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan obat anestetik. Pasien
mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal ini disebabkan jarum spinal mungkin mengenai
akar saraf. Jika pasien merasakan adanya parestesia persiten atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik
local, jarum harus digerakkan kembali dan ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah kerusakan
yang permanen. Ada atau tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia.
Sakit kepala post punksi dura.
Sakit kepala yang terjadi setelah punksi dura disebut spinal headache atau postdural puncture headache
(PDPH), telah dilukiskan oleh Bier thn. 1898. CSS keluar dari ruang subarachnoid melalui punksi dura,
menyebabkan tarikan pada struktur vaskuler yang sensitive terhadap sakit. Sakit kepala diperburuk oleh sikap
berdiri atau duduk dan terasa berkurang dengan terlentang . Rasa sakit tersebut dirasakan di frontal, occipital
setelah punksi dura, tapi bisanya setelah 2472 jam.
Kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien muda dan wanita. Kecepatan hilangnya CSS cenderung
bergantung pada bentuk ukuran lubang pada dura dan dengan demikian kemungkinan terjadinya sakit kepala
lebih berat. Menggunakan jarum ukuran kecil (24G atau lebih kecil) penting untuk pasien dibawah umur 50
tahun. Jarum spinal dengan bagian ujung bulat atau tumpul, membentuk robekan yang lebih kecil dan
penyembuhan lebih cepat.
Terapi sakit kepala bisanya dimulai dengan tindakan konservatif. Hidrasi intravena atau oral meningkatkan
produksi CSS dan mengganti CSS yang hilang. Walaupun pasien dengan PDPH akan lebih senang jika
terlentang, istirahat ditempat tidur tidak dapat mencegah sakit kepala. Cafein intravena atau oral mungkin dapat
membantu. Pengikatan perut dapat meningkatkan tekanan ruang epidural, karena itu megurangi bocornya CSS.
Terapi definitive untuk PDPH adalah menyumbat epidural dengan darah. Tahun 1960 Gormley mencatat bahwa
pasien dengan perdarahan selama lumbal punksi memiliki insiden yang kurang terjadinya PDPH. Dengan
postulat ini bekuan darah dapat menutup lubang dura dan mencegah bocornya CSS, ia memperlihatkan dengan
sukses , untuk membebaskan sakit kepala , darah tersebut ditempatkan didalam ruang epidural. Untuk
mendapatkan suatu penyumbatan epidural oleh darah, 1020 ml darah sendiri yang steril di injeksikan perlahan
keruang epidural. Dengan komplikasi pada umumnya adalah “ transient back pain”. Penyumbatan dengan darah
efektif lebih dari 95 % pasien.
Pencegahan dan Penanganan :
1. Hidrasi dengan cairan yang kuat.
2. Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum non cutting pencil point
3. Hindari penusukan jarum yang berulangulang.
4. Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter.
5. Mobilisasi seawal mungkin.
6. Gunakan pendekatan paramedian
7. Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya diperlukan terapi konservatif
yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat.
8. Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoate 500
mg IV atau IM, asetaminofen atau NSAID
9. Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan LCS
10. Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch
Baringkan pasien seperti prosedur epidural.
Ambil darah vena antecubiti 1015 ml.
Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelanpelan.
Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan gerakan dan mobilisasi.
Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan.
Kerusakan saraf.
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi akibat trauma mekanik dan kimiawi.
Kerusakan langsung pada akar saraf mungkin disebabkan oleh jarum, mengakibatkan radikulopati dengan
defisit motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar saraf. Kerusakan ini bisanya membaik dalam 212
minggu.
Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma dan toksisitas. Ketika terjadi injeksi
yang traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahanbahan ini
bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau bahan pengawet yang berlebihan.
Penanganan
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine merupakan salah satu pencegahan
terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum
spinal
Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika penanganan klinis dilakukan dengan
baik. Meningitis aseptic mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi
jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang memadai.
Pencegahan
1. Dapat dilakukan dengan menggunakan alatalat dan obatobatan yang betulbetul steril
2. Menggunakan jarum spinal sekali pakai
3. Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik
Retensi urine.
Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan otototot kandung kencing. Setelah
anestesi spinal fungsi motor dan sensoris ekstremitas bawah pulih lebih cepat dari fungsi kandung kencing,
khususnya dengan obat anestesi spinal kerja cepat seperti tetracain atau bupivacain. Lambatnya fungsi saraf
pulih dapat mengakibatkan retensi urine dan distensi kandung kencing. Untuk prosedur yang lebih lama dan
pemberian cairan intravena yang banyak, pemasangan kateter kandung kencing mencegah komplikasi ini.
Sakit tulang belakang / Nyeri punggung.
Sakit tulang belakang lebih sering mengikuit anesthesia spinal dari pada yang terjadi pada anestesi umum. Ini
mungkin disebabkan akibat tarikan ligamentum dengan relaksasi otot paraspinosus dan posisi operasi yang
menyertai anestesi regional dan general.
Nyeri punggung dapat juga terjadi akibat Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan ligamentum. Nyeri ini
tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post
operatif biasanya bias menutup nyeri ini.
Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama
spinal anestesi. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tibatiba dan sembuh dengan
sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi
penyebab
Penanganan : Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada daerah nyeri dan
analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan sangat berguna.
Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinis karena sering tidak
mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada
pembuluh darah di medulla spinalis. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik.
Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang
menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
1. Mati rasa
2. Kelemahan otot
3. Kelainan BAB
4. Kelainan sfingter kandung kemih
5. Sakit pinggang yang berat
Factor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya,
Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli
bedah saraf. Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematom yang segera mendapatkan dekompresi
pembedahan (laminektomi) dalam waktu 812 jam.