Anda di halaman 1dari 25

PENANGANAN

BRONKOSPASME PADA
ANESTESI
Pendahuluan
• Bronkospasme selama prosedur anestesi umum merupakan salah
satu kejadian yang tidak diharapkan.
• Etiologinya dapat disebabkan oleh proses anafilaksis, faktor mekanis,
maupun farmakologis
• Karakteristik utama dari bronkospasme adalah pemanjangan waktu
ekspirasi, mengi, dan peningkatan peak airway pressure.
• Identifikasi dan penatalaksanaan segera dari bronkospasme selama
anestesi umum harus dapat segera diketahui agar tidak menyebabkan
hipoksia berkepanjangan, hipotensi, dan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas.
Definisi
• Bronkospasme adalah bentuk paling sering dari reactive airway
disease. Pasien dengan asma dan chronic obstructive pulmonary
disease (COPD) menunjukkan adanya hipersensitivitas jalan napas
sebagai respon terhadap iritan mekanis atau farmakologis.
• Terdapat kombinasi dari konstriksi otot polos bronkus, edeme mukosa
jalan napas, dan hipersekresi mukosa yang akhirnya menyebabkan
obstruksi jalan napas.
• Pada pasien dengan asma dan COPD terkontrol, insidensinya hanya
sekitar 2% sedangkan insidensi bronkospasme selama anestesi umum
berkisar 0.2%
Manifestasi Klinik
• Manifestasi dari bronkospasme selama anestesi adalah wheezing
ekspirasi, waktu ekspirasi yang memanjang, dan atau peningkatan
Intermittent positive pressure ventilation (IPPV). Pada kasus-kasus dengan
bronkospasme berat, biasanya tidak terdengar apapun pada auskultasi
dan diagnosis hanya berdasarkan pada peingkatan tekanan inflasi.
• Bronkospasme dapat berefek ringan, berat, sampai mengancam nyawa.
Iritabilitas tertinggi berada pada level carina. Sianosis mungkin merupakan
tanda pertama pada kasus bronkospasme berat. Jika pasien masih
bernapas spontan, mungkin akan terlihat bahwa pergerakan dari reservoir
bag menurun, atau dada dan abdomen pasien terlihat pergerakan see saw
atau respirasi paradoksal seolah-olah pasien mengalami obstruksi.
Faktor Predisposisi
• Infeksi saluran napas akut ataupun kronik.
• Alergi
• Udara yang kering dan dingin.
• Hiperaktivitas bronkus
• Mekanis (misalnya bronkospasme saat intubasi)
• Farmakologis (karena pemberian obat-obatan yang bersifat histamine
release, seperti atracurium, rocuronium, mivacurium, beta blockers,
Non-steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID), dan inhibitor
kolinesterase).
Faktor Predisposisi
• Airway soiling (misalnya karena peningkatan sekresi jalan napas, regurgitasi
atau aspirasi; lebih sering pada pasien dengan Laryngeal Mask Airway (LMA)
daripada Endotracheal Tube (ETT).
• Ansietas pada pasien; ansietas diketahui memperparah reactive airway
disease seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik dan dapat menjadi
bronkospasme, bersamaan dengan gejala seperti ekspirasi yang memanjang
dan wheezing.
• Pasien dengan obesitas: airway pressure dan nilai analisis gas darah pada
pasien obesitas berbeda jika dibandingkan dengan nonobesitas dan relatif
mirip dengan pasien dengan bronkospasme, sehingga disimpulkan bahwa
pasien obesitas berhubungan dengan kurang relaksasinya otot polos bronkial.
Epidemiologi
• Dari 4.000 insiden bronkospasme di Australia, didapatkan sebanyak 103
insiden bronkospasme perioperatif (3%) menunjukkan bahwa mekanisme
alergi lebih sedikit terjadi (21%) dibandingkan dengan mekanisme
nonalergi (79%).
• Di antara bronkospasme non-alergi tersebut, sebanyak 44% terjadi selama
proses induksi anestesi, 36% pada fase maintenance, dan 20% terjadi
pada saat akan dilakukan ekstubasi.
• Selama induksi anestesi, bronkospasme diakibatkan oleh iritasi jalan
napas (64%), sedangkan sisanya diakibatkan oleh intubasi esophagus
(17%), aspirasi (11%), dan edeme paru atau penyebab yang tidak
diketahui (8%).
Epidemiologi
• Selama proses maintenance anestesi, penyebab utama (80%) dari
bronkospasme adalah alergi (34%), malposisi ETT (23%), iritasi jalan
napas (11%), dan aspirasi akibat dari pemakaian LMA (9%).
• Selama induksi atau maintenance anestesi, bronkospasme yang
disebabkan oleh iritasi jalan napas lebih sering terjadi pada pasien
yang sudah mempunyai faktor predisposisi seperti asma, perokok
berat, dan pasien dengan bronchitis. Pasien dengan riwayat asma
sebelumnya menyumbang 50%-60% kasus bronkospasme
Diagnosis Banding
• Diagnosis banding dari bronkospasme antara lain anesthesia yang kurang
dalam, mucous plugging pada jalan napas, intubasi esophagus, sirkuit
anestesi yang mengalami obstruksi, dan aspirasi paru.
• Wheezing unilateral mengindikasikan adanya intubasi endobronkial atau
tersumbatnya ETT karena benda asing. Jika gejala klinis semakin
memburuk walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, maka
penyebab lain seperti edeme paru dan pneumotoraks harus
dipertimbangkan.
• Latexinduced anaphylaxis biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat
atopi. Karena protein pada lateks diabsorbsi secara lambat, maka latex-
induced anaphylaxis biasanya terjadi 30-60 menit setelah operasi.
Diagnosis banding dijabarkan sebagai
berikut:
1. Obstruksi mekanis
• ETT yang mengalami kingking, tersumbat oleh mucous plug, herniasi cuff), atau malposisi ETT
(endobronkial atau esophageal) atau penyumbatan pada breathing circuit dapat meniru
tanda dan gejala bronkospasme berat. Kecuali jika diidentifikasi dan dikoreksi dengan cepat dan
tepat, hal ini dapat berakibat buruk. Oleh karenanya, penting untuk kita meneliti breathing
circuit sebelum dimulainya anestesi dan memastikan adanya alat bantu ventilasi seperti
ambubag.

2. Laringospasme
• Pada pasien yang tidak terintubasi, laryngospasme akut dapat menyebabkan suara tambahan
pada jalan napas bagian atas (biasanya inspirasi), penurunan suara napas, dan kesulitan
melakukan ventilasi. Dan dapat juga disertai dengan tanda obstruksi jalan napas seperti
peningkatan usaha napas, tracheal tug, dan pergerakan dinding dada dan abdomen
paradoksikal (see-saw respiration).
Diagnosis banding dijabarkan sebagai
berikut:
3. Hiperaktivitas bronkial
• Pada pasien dengan faktor risiko hiperaktivitas bronkial, maka kemungkinan
terjadinya bronkospasme cukup tinggi. Misalnya pada pasien dengan asma yang
tidak terkontrol dan COPD, pasien ISPA, perokok, dan riwayat atopi.

4. Kedalaman anestesi yang tidak adekuat


• Manipulasi jalan napas atau stimulus pembedahan di bawah anestesi
yang kurang dalam dapat meningkatkan risiko terjadinya bronkospasme.
• Beberapa tindakan pembedahan tertentu seperti mempunyai stadium yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkospasme dan laringospasme. (dilatasi anal atau
cervical, stripping dari vena saphena selama pembedahan varises vena, dan
traksi dari peritoneum).
Diagnosis banding dijabarkan sebagai
berikut:
5. Farmakologikal
• Beberapa agen anestesi volatile (isoflurane dan desflurane) jika diberikan secara cepat dapat
mencetuskan terjadinya bronkospasme.
• Agen intravena seperti beta blocker, inhibitor prostaglandin (NSAIDs), rocuronium, dan inhibitor
kolineasterase seperti neostigmine juga berpengaruh.
• Begitu juga dengan obat-obatan yang bersifat histamine release (thiopental, atracurium,
mivacurium, morphine, dan d- tubocurarine) juga dapat menyebabkan bronkospasme sehingga
obat-obatan yang telah disebutkan di atas harus diberikan secara hati- hati pada pasien dengan
faktor risiko tinggi terjadinya bronkospasme

6. Airway soiling
• Bronkospasme yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, terutama pada pasien tanpa faktor
risiko hiperaktivitas jalan napas, harus dicurigai adanya airway soiling karena sekresi, regurgitasi,
dan aspirasi.
Manajemen Pasien Bronkospasme
Persiapan Pasien Pre-Anestesia
1. Evaluasi pra-anestesiaa pada operasi berencana sebaiknya
dilakukan 1 minggu sebelum rencana operasi.
2. Perlu dibedakan derajat asma, terkontrol atau masih ada
tanda/gejala asma.
• Life threatening asthma PEF < 33% best/predicted
• Acute severe asthma PEF 33-50% best/predicted
• Moderate asthma PEF 50-75% best/predicted
• Mild asthma PEF >75% best/predicted dapat dipersiapkan untuk operasi.
Persiapan Pasien Pre-Anestesia
3. Anamnesis :
• riwayat serangan asma terakhir,derajat asma, obat yang biasa dipakai, faktor
pencetus asma, apakah asma terkontrol dan stabil.
• penyakit penyerta lain
4. Pemerisaan fisik: laju napas, dispnea, bunyi napas ekspirasi
memanjang bising mengi
5. Pemeriksaan penunjang: x-ray toraks. Jika memungkinkan
dilakukan spirometri, pemeriksaan sputum (warna dan
konsistensi), EKG. Pemeriksaan laboratorium: darah tepi rutin, AGD
untuk pasien riwayat asma sering berulang.
Persiapan Pasien Pre-Anestesia
6. Merokok dihentikan 2 minggu sebelum operasi.
7. Chest physiotherapy.
8. Pada pasien yang rutin menggunakan inhaler :
• Inhalasi salbutamol (agonis beta 2) dan mukolitik dengan MDI (Metered Dose
Inhaler)
• Kortikosteroid deksametason 10 mg iv
• Infus aminophylin drip 240 mg/ 24 jam
• Antibiotik bila ada infeksi.
Persiapan Pasien Pre-Anestesia
9. Tentukan status fisik sesuai klasifikasi ASA
10. Pilihan tindakan anestesiaa.
• Anestesiaa regional.
• Anestesiaa umum dengan LMA. Intubasi endotrakea sedapat mungkin
dihindarkan.
11. Pasien dan keluarga perlu diberikan penjelasan, sebelum
menyetujui tindakan medis (informed consent).
Persiapan Alat & Obat Pre-Anestesia
• Alat anestesia dan mesin anestesia diperiksa kelayakannya.
• Pemantauan baku : NIBP, EKG, SpO2. Jika memungkinkan dipantau
juga end-tidal CO2.
• Obat-obat anestesiaa berikut cukup aman: midazolam, propofol,
lidokain, ketamin, fentanyl, halotan, isofluran, sevofluran, pelumpuh
otot pankuronium, vekuronium. Atrakurium sedapat mungkin dihindari
karena merangsang penglepasan histamin.
• Obat antikolinesterase (misalnya neostigmin, prostigmin)
sebaiknya hindari.
• Inhaler yg biasa dipakai dibawa serta dan disiapkan di kamar operasi
Manajemen Anestesia
• Sebelum induksi dapat diberikan inhalasi salbutamol 2 puff 30 menit sebelum operasi,
deksametason dan drip aminophylin.
• Jika dipilih anestesia umum, dilakukan sesuai PNPK anestesia umum. Diutamakan dengan
sungkup laring, jika memungkinkan.
• Manajemen ventilasi sesuai kondisi. Jika memungkinkan, dianjurkan menggunakan I:E
ratio 1:2,5 hingga 1:3.
• Ekstubasi dilakukan pada waktu anestesiaa masih cukup dalam, mengacu pada PNPK ekstubasi.
• Berikan analgesia yang cukup. Jika memungkinkan, hindari NSAID yang dapat menimbulkan
bronkospasme.
• Jika dipilih anestesiaa regional, dilakukan sesuai PNPK
• Pemantauan dan pencatatan sesuai kondisi pasien.
• Bila terjadi bronkospasme selama anestesiaa: berikan O2 100%, lakukan ventilasi manual dengan
RR 6 -8 X/menit dan ekspirasi yang lebih lama. Obat inhalasi diteruskan.
Manajemen Pasca-Anestesia
• Dianjurkan perawatan ICU pada pasien dengan asma berat, dengan
perawatan ICU sebelum operasi serta operasi operasi laparatomi dan
torakotomi.
• Asma yang terkontrol baik dengan operasi sedang dan kecil,
biasanya tidak memerlukan perawatan ICU.
• Obat-obat asma seperti inhalasi salbutamol dan aminophylin drip
dilanjutkan.
• Analgetik yang cukup
Pencegahan
Pencegahan terhadap terjadinya bronkospasme perioperatif meliputi
pasien dengan faktor risiko bronkospasme harus dilakukan pemeriksaan
yang teliti sebelum dilakukan pembedahan. Eksaserbasi asma akut dan
sering terjadi merupakan indikasi untuk penundaan pembedahan
elektif. Bronkodilator, kortikosteroid inhalasi dan oral preoperatif, chest
physiotherapy, dan konsultasi ke dokter paru mungkin dapat dilakukan
sebelum pembedahan
KESIMPULAN
• Bronkospasme perioperatif mempunyai berbagai macam gejala, mulai
dari complete silent chest ketika dilakukan auskultasi sampai dengan
suara tambahan pada ekspirasi.
• Penatalaksanaan yang dilakukan bukan saja terfokus pada terapi
penyebab bronkospasme, tetapi juga gejala dan tanda yang
berkembang pada pasien.
• Sangatlah penting untuk mendokumentasikan kondisi pasien dan
pengobatan yang diberikan agar bisa menjadi pembelajaran untuk
anestesiologis lain jika kondisi yang sama terjadi, sehingga dapat
diberikan terapi yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai