Anda di halaman 1dari 16

BRONKOSPASME PADA

ANESTESI UMUM
DEFINISI

Bronkospasme adalah bentuk paling sering dari reactive airway disease. Pasien dengan asma dan
chronic obstructive pulmonary disease (COPD) menunjukkan adanya hipersensitivitas jalan napas
sebagai respon terhadap iritan mekanis atau farmakologis. Terdapat kombinasi dari konstriksi otot
polos bronkus, edeme mukosa jalan napas, dan hipersekresi mukosa yang akhirnya menyebabkan
obstruksi jalan napas. Bronkospasme perioperatif pada pasien dengan reactive airway disease
sebenarnya cukup jarang terjadi. Pada pasien dengan asma dan COPD terkontrol, insidensinya hanya
sekitar 2% sedangkan insidensi bronkospasme selama anestesi umum berkisar 0.2 %

• (Looseley A. Management of bronchospasm during general anaesthesia. Updat Anaesth. 2011;27(1):17-21 )


MANIFESTASI KLINIK

• Manifestasi dari bronkospasme selama anestesi adalah wheezing ekspirasi, waktu ekspirasi yang
memanjang, dan atau peningkatan Intermittent positive pressure ventilation (IPPV).
• Bronkospasme dapat berefek ringan, berat, sampai mengancam nyawa. Iritabilitas tertinggi berada pada
level carina. Sianosis mungkin merupakan tanda pertama pada kasus bronkospasme berat.
FAKTOR PREDISPOSISI
• Airway soiling (misalnya karena peningkatan sekresi jalan napas, regurgitasi atau aspirasi; lebih sering pada
pasien dengan Laryngeal Mask Airway (LMA) daripada Endotracheal Tube (ETT).
• Ansietas pada pasien
• Pasien dengan obesitas
• Infeksi saluran napas akut ataupun kronik. Penyebab dari kasus akut meliputi infeksi saluran napas bagian
atas dan bawah yang diakibatkan oleh infeksi bakterial, yang sering terjadi pada anak, tetapi juga dapat
terjadi pada kasus dewasa
• Alergi
FAKTOR PREDISPOSISI
• Udara yang kering dan dingin.
• Hiperaktivitas bronkus
• Mekanis (misalnya bronkospasme saat intubasi)
• Farmakologis (karena pemberian obat-obatan yang bersifat histamine release, seperti atracurium,
rocuronium, mivacurium, beta blockers, Non-steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID), dan
inhibitor kolinesterase).
EPIDEMIOLOGI
• Dari 4.000 insiden bronkospasme di Australia, didapatkan sebanyak 103 insiden bronkospasme
perioperatif (3%) menunjukkan bahwa mekanisme alergi lebih sedikit terjadi (21%)
dibandingkan dengan mekanisme nonalergi (79%). Di antara bronkospasme non-alergi tersebut,
sebanyak 44% terjadi selama proses induksi anestesi, 36% pada fase maintenance, dan 20%
terjadi pada saat akan dilakukan ekstubasi. Selama induksi anestesi, bronkospasme diakibatkan
oleh iritasi jalan napas (64%), sedangkan sisanya diakibatkan oleh intubasi esophagus (17%),
aspirasi (11%), dan edeme paru atau penyebab yang tidak diketahui (8%). Selama proses
maintenance anestesi, penyebab utama (80%) dari bronkospasme adalah alergi (34%), malposisi
ETT (23%), iritasi jalan napas (11%), dan aspirasi akibat dari pemakaian LMA (9%).
EPIDEMIOLOGI
• Selama induksi atau maintenance anestesi, bronkospasme yang disebabkan oleh iritasi jalan
napas lebih sering terjadi pada pasien yang sudah mempunyai faktor predisposisi seperti asma,
perokok berat, dan pasien dengan bronchitis. Pasien dengan riwayat asma sebelumnya
menyumbang 50%-60% kasus bronkospasme. Oleh karenanya, asma dan COPD ikut berperan
dalam mekanisme patofisiologi Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):9-17 11
bronkospasme, baik itu alergi maupun nonalergi, tanpa memandang stadium anestesi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari bronkospasme antara lain
• anesthesia yang kurang dalam,
• mucous plugging pada jalan napas,
• intubasi esophagus,
• sirkuit anestesi yang mengalami obstruksi, dan aspirasi paru.
Wheezing unilateral mengindikasikan adanya intubasi endobronkial atau tersumbatnya ETT
karena benda asing. Jika gejala klinis semakin memburuk walaupun telah diberikan terapi yang
adekuat, maka penyebab lain seperti edeme paru dan pneumotoraks harus dipertimbangkan.
Latexinduced anaphylaxis biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat atopi. Karena protein pada
lateks diabsorbsi secara lambat, maka latex-induced anaphylaxis biasanya terjadi 30-60 menit setelah
operasi.
MASING-MASING DIAGNOSIS BANDING
DAPAT DIJABARKAN SEBAGAI BERIKUT

1. Obstruksi mekanis ETT yang mengalami kingking,


(tersumbat oleh mucous plug, herniasi cuff), atau malposisi ETT (endobronkial atau
esophageal) atau penyumbatan pada breathing circuit dapat meniru tanda dan gejala bronkospasme
berat. Kecuali jika diidentifikasi dan dikoreksi dengan cepat dan tepat, hal ini dapat berakibat
buruk.1 Oleh karenanya, penting untuk kita meneliti breathing circuit sebelum dimulainya anestesi
dan memastikan adanya alat bantu ventilasi seperti ambubag
2. Laringospasme
Pada pasien yang tidak terintubasi, laryngospasme akut dapat menuebabkan suara tambahan
pada jalan napas bagian atas (biasanya inspirasi), penurunan suara napas, dan kesulitan melakukan
ventilasi. Dan dapat juga disertai dengan tanda obstruksi jalan napas seperti peningkatan usaha
napas, tracheal tug, dan pergerakan dinding dada dan abdomen paradoksikal (see-saw respiration).
3. Hiperaktivitas bronkial
Pada pasien dengan faktor risiko hiperaktivitas bronkial, maka kemungkinan terjadinya bronkospasme cukup
tinggi. Misalnya pada pasien dengan asma yang tidak terkontrol dan COPD, juga pada pasien ISPA, perokok, dan
riwayat atopi.

4. Kedalaman anestesi yang tidak adekuat


Manipulasi jalan napas atau stimulus pembedahan di bawah anestesi yang kurang dalam dapat meningkatkan
risiko terjadinya bronkospasme. Beberapa tindakan pembedahan tertentu seperti mempunyai stadium yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkospasme dan laringospasme. Contohnya : dilatasi anal atau cervical, stripping dari
vena saphena selama pembedahan varises vena, dan traksi dari peritoneum. Tindakan-tindakan tersebut dapat
diprediksi dan dicegah dengan pemberian opioid bolus dan agen anestesi seperti propofol.

5. Farmakologikal
Beberapa agen anestesi volatile (isoflurane dan desflurane) jika diberikan secara cepat dapat mencetuskan
terjadinya bronkospasme. Agen intravena seperti beta blocker, inhibitor prostaglandin (NSAIDs), rocuronium, dan
inhibitor kolineasterase seperti neostigmine juga berpengaruh. Begitu juga dengan obat-obatan yang bersifat histamine
release (thiopental, atracurium, mivacurium, morphine, dan dtubocurarine) juga dapat menyebabkan bronkospasme
sehingga obat-obatan yang telah disebutkan di atas harus diberikan secara hatihati pada pasien dengan faktor risiko
tinggi terjadinya bronkospasme
• 6. Airway soiling
Bronkospasme yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, terutama pada pasien tanpa faktor risiko
hiperaktivitas jalan napas, harus dicurigai adanya airway soiling karena sekresi, regurgitasi, dan aspirasi. Hal ini
sering terjadi pada pasien yang menggunakan LMA,
Tapi juga sering terjadi pada pasien dengan penggunaan ETT tanpa cuff atau ETT dengan cuff yang tidak
dikembangkan dengan adekuat. Pasien dengan riwayat refluks gastroesofageal dan batuk ketika bernapas spontan
dengan LMA meningkatkan kecurigaan adanya airway soiling ini. Insidensi bronkospasme perioperatif dilaporkan
pada sekitar 9% pasien asma yang menjalani tindakan anestesi umum, sebagian besar terjadi setelah insersi ETT.
Dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok, perokok mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya
bronkospasme perioperatif, terutama pada pasien wanita dan usia muda, juga lebih tinggi pada pasien dengan
bronchitis kronik
Manajemen Penanganan Bronkospasme
Manajemen Pasien yang Mengalami Bronkospasme selama Anestesi Umum

Dicurigai sebagai bronkospasme

 Oksigen dinaikkan menjadi 100%


 Ventilasi manual dengan tangan.
 Hentikan stimulus/pembedahan.
 Pikirkan kemungkinan alergi/anafilaksis, hentikan pemberian obat, koloid, atau produk darah
yang dicurigai menimbulkan reaksi alergi.

Sulit ventilasi atau Spo2 turun Panggil Bantuan


Manajemen segera; cegah hipoksia dan bronkokonstriksi.
 Dalamkan anestesi.
 Jika ventilasi melalui ETT sulit/tidak memungkinkan, cek posisi ETT dan singkirkan
kemungkinan blockade/misplaced ETT.
 Jika perlu, eliminasi kemungkinan oklusi dari breathing circuit dengan menggunakan
ambubag.
 Jika pasien tidak terintubasi, singkirkan kemungkinan laringospasme dan pikirkan
kemungkinan aspirasi.
 Terapi obat-obatan, lihat kotak D.

Pikirkan kemungkinan untuk di transfer ke ICU


Manajemen sekunder:
 Optimalkan ventilasi mekanik.
 Pikirkan lagi kemungkinan alergi/anafilaksis-buka baju pasien dan periksa pasien, lihat
medikasi yang sudah diberikan.
 Jika tidak ada perbaikan, pikirkan kemungkinan edeme paru/pneumothoraks/emboli paru/benda
asing.
 tunda operasi jika memungkinkan.
 Cek rontgen toraks. Transfer ke ruang ICU untuk pemeriksaan dan terapi lebih lanju
TERAPI LINI PERTAMA TERAPI LINI KEDUA
Salbutamol Ipratropium bromide: nebulisasi 0.5mg per 6 jam.
 Metered dose inhaler: 6-8 puffs, diulang jika
diperlukan (dengan adaptor/spuit 60ml atau diberikan Magnesium sulphate: 50mg/kgbb selama 20menit
melalui ETT). (maksimal 2gr)
 Nebulisasi: 5mg (1ml 0.5%), diulang jika perlu.
 Intravena: 250mcg IV pelan, lalu 5mcg/menit sampai Hydrocortisone: 200mg IV per 6 jam.
dengan 20mcg/menit.
Ketamine: Bolus 10-20mg. infus 1-3mg/kg/jam

Pada kasus berat: epinephrine


Nebulisasi: 5ml 1:1000
Intravena: 10mcg (0.1ml 1:10000) sampai 100mcg (1ml
1:10000), titrasi sampai memberikan respon.
Pencegahan
Mengkonsultasi kepada dokter paru apabila pasiean memiliki riwayat Eksersebasi Asma Akut
sebelum melakukan tindakan pembedahan.

Kesimpulan
Bronkospasme perioperatif mempunyai berbagai macam gejala, mulai dari complete silent chest
ketika dilakukan auskultasi sampai dengan suara tambahan pada ekspirasi. Penatalaksanaan
yang dilakukan bukan saja terfokus pada terapi penyebab bronkospasme, tetapi juga gejala
dan tanda yang berkembang pada pasien. Sangatlah penting untuk mendokumentasikan
kondisi pasien dan pengobatan yang diberikan agar bisa menjadi pembelajaran untuk
anestesiologis lain jika kondisi yang sama terjadi, sehingga dapat diberikan terapi yang
optimal.

Anda mungkin juga menyukai