Anda di halaman 1dari 31

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Saluran napas dapat mengalami obstruksi akut. Obstruksi bisa terjadi pada
saluran napas bagian atas (supraglotik/diatas pita suara), tengah (intra glotik) atau
bawah (infra glotik/di bawah pita suara). Pada saluran napas bagian bawah
obstruksi bisa terjadi oleh karena penyakit asma dan PPOK, sedangkan di bagian
tengah obstruksi bisa terjadi oleh karena proses maligna dan benigna, seperti
pertumbuhan tumor di dalam lumen endobronkhial atau penekanan dari luar
lumen yang disebabkan oleh pembesaran nodus limponodi atau neoplasma. Pada
obstruksi akut adalah adanya benda asing yang menyumbat saluran napas tengah
tadi. Pada saluran napas atas yang sering meberikan gejala obstruksi akut ini
adalah infeksi, edema laring, aspirasi benda asing.

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS AKUT

Saluran napas atas dimulai dari hidung dan mulut dan berakhir pada carina.
Obstruksi mungkin terjadi pada daerah yang secara struktur anatomi mengalami
penyempitan seperti daerah hipofaring pada dasar lidah dan juga pada pita suara
asli atau palsu.

ETIOLOGI

Obstruksi saluran napas atas akut bisa disebabkan oleh karena fungsional atau
mekanis. Sebab-sebab fungsional yang biasanya menyebabkan kelainan ini adalah
kelainan pada sistem saraf pusat dan disfungsi neuromuscular.

GEJALA KLINIS

Tanda obstruksi komplet saluran napas atas yang mendadak sangat jelas.
pasien tidak dapat bernapas, berbicara atau batuk dan pasien mungkin memegang
kerongkongannya seperti mencekik (choking). Agitasi, panic dan napas yang
tersengal-sengal dan diikuti sianosis. Selanjutnya akan terjadi gagal napas diikuti
dengan hilangnya kesadaran dan apabila sumbatan tidak segera ditangani akan
menyebabkan kematian dalam waktu 2-5 hari.
Tanda adanya sumbatan saluran napas sebagian di antaranya adalah perasaan
tercekik, tersumbat, batuk, stridor inspirasi serta disponi. Kemungkinan juga
terjadi retraksi dinding inter kosta dan supra klavikula. Gagalnya kekuatan
inspirasi dapat menyebabkan ekimosis dermal dan emfisema subkutan. Kegagalan
respirasi bisa berlangsung cepat dan berkembang menjadi obstruksi/ sumbatan
komplet. Letargi, gagal napas dan hilangnya kesadaran merupakan tanda akhir
dari hipoksemia dan hiperkarbi. Bradikardi dan hipotensi merupakan pertanda
ancaman terjadinya gagal jantung.

Laringoskopi dan bronkoskopi

laringoskopi indirek. Dilakukan pada kondisi pasien yang stabil dan kooperatif
untuk adanya benda asing dan massa retrophariengal dan laryngeal. Penggunaan
bronkoskopi fiber optic atau laringoskop memungkinkan untuk melihat secara
langsung fungsi dan anatomi saluran napas atas.

Laringoskop direk. Pemakaian alat ini memungkinkan untuk mengambil


benda asing yan menyumbat dan membersihkan darah, muntahan, atau hasil
sekret lainnya. Intubasi endotrakeal juga bisa dilakukan untuk melihat secara
langsung.

PEMERIKSAAN RADIOGRAFI

Foto sinar x leher dengan anterior-posterior dan lateral dapat di lakukan untuk
mendeteksi adanya benda asing yang memberikan gambaran radio apaque, masa
retroparingeal dan epiglottis. Foto lateral di lakukan pada saat inspirasi dengan
leher yang sepenuhnya dalam posisi ekstensi. Pembengkakan jaringan lunak
epiglottis dan supra glottis dan “ballooning” hipofaring merupakan tanda klasik
adanya epiglottis, tetapi tidak selalu muncul,. CT-scan dapat melihat tiroid,
cricoids dan kartilago cricoids serta lumen saluran pernapasan pada kondisi pasien
yang stabil.

PENATALAKSANAAN
Algoritme penatalaksanaan sumbatan/obstruksi komplet dan obstruksi
sebagian dari saluran napas.

PRINSIP PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS

Pasien tidak sadar

Jika saluran pernapasan atas tersumbat oleh lidah pada pasien yang tidak
sadar, laringoskopi direk dapat dilakukan untuk melihat sesuatu yang
menyebabkan sumbatan supra glotik dan intubasi endotrakheal dapat juga
dilakukan dengan: 1.)intubasi fiber optic, 2.) intubasi retroged 3.) intubasi
nasotrakheal, 4.) intubasi laringoskopi direk dengan anstesi umum.

Selain tindakan intubasi, tindakan pembedahan bisa dilakukan pada pasien ini.
Tindakan pembedahan saluran napas ini bisa berupa : 1.) ventilasi jet transtrakeal
perkutan, 2.) krikotiroidotomi, 3.) trakeostomi

KONDISI KLINIS YANG SERING MENYEBABKAN


OBSTRKUSISALURAN NAPAS ATAS AKUT

Obstruksi yang disebabkan oleh benda asing

Obstruksi oleh karena benda asing merupakan kasus terbanyak yang dapat
menyebabkan hambatan saluran napas akut. Diagnosis harus di tentukan pada
kondisi gagal napas akutnketika pasien tidak dapat bernapas. Pengeluaran benda
asing yang menyumbat saluran napas tadi dapat diusahakan dengan maneuver
Heimlich.

Kompresi di luar saluran napas

Lesi pada ruang yang berdekatan dengan saluran napas dapat menyebabkan
sumbatan saluran napas. Kompresi yang disebabkan oleh adanya hematom
mungkin berhubungan dengan trauma, pembedahan darah leher, kateterisasi vena
sentral, anti koagulan dan koagulapati. Hematom yang menyertai tindakan bedah
harus segera dievakuasi. Sumbatan atau obstruksi sebagian saluran napas yang
disebabkan oleh abses retroparingeal dapat diatasi dengan melakukan drainage
abses terseut dengan anestesi local.

Kompresi di dalam saluran napas

Jejas inhalasi. Pasien dengan luka bakar daerah wajah dan jejas inhalasi akan
berkembang cepat menjadi edem supra glotik dalam waktu 24 jam. Sebagian
besar pasien memerlukan tindakan intubasi trakea dengan segera. Penilaian jejas
dan intubasi trakea dapat dilakukan dengan anestesi umum. Intubasi dengan
laringoskopi fiber optic atau trakheostomi dengan anestesi local merupakan
tindakan alternative yang lebih baik.

Epiglotitis. Tadinya merupakan penyakit yang jarang di jumpai, tetapi


kasusnya semakin meningkat. Hal ini melibatkan epiglotitis dan laring supra
glottis yang menyebabkan pembengkakan dengan akibat sumbatan saluran napas.
Pada orang dewasa epigltitis berhubungan dengan bakteri, virus, kombinasi
infeksi bacterial dan virus, jamur dan penyebab non infeksi (trauma thermal,
benda asing dan ingesti kausik). organisme yang sering menyebabkan infeksi
epiglottis ini adalah H. influenza, h.parainfluenzae, Streptococcus penumoniae,
S.haemolytic dan Staphylococcus aureus.

Antibiotic yang sering digunakan sebagai terapi empiric pada kasus ini adalah
sefuroksim 1,5 gram intra vena tiap 8 jam, ampisilin 1-2 gram intravena tiap 6 jam
sambil menunggu hasil kultur dari hasil usapan epiglottis dan kultur darah.
Pnatalaksanaan lainnya termasuk diantaranya adalah sedasi adekuat dan toilet
tracheobronchial. Bila didapatkan adanya abses harus dilakukan drainage.

Manifestasi alergi. Respons alergi yang melibatkan saluran napas atas


mungkin hanya bersifat local atau merupakan bagian dari reaksi anafilaksis
sistemik. Angioedem pada bibir menyebabkan obstruksi saluran napas. Reaksi
sistemik lainnya yang biasanya menyertai adalah beberapa gejala seperti urtikaria
(79%), spasme bonkus (70%), syok, kolaps kardiovaskuler dari nyeri abdomen.
Penyebab terbanyak dari reaksi alergi ini adalah sengatan Hymenoptera,
mengkonsumsi makanan jenis kerang-kerangan dan obat.
Edema laring setelah tindakan ekstubasi

Edema laring segera setelah tindakan ekstubasi lebih banyak terjadi pada
anak-anak. Kasus ini biasanya di hubungkan dengan manipulasi dan traumatic
yang mengenai saluran napas serta pemakaian intubasi trakeal jangka lama.
Peñatalaksanaan kasus ini pada orang dewasa bersifat konservatif dengan
pengawasan ketat dan pemberian oksigen steroid dan nebulizer boleh diberikan
pada kasus ini.

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN TENGAH AKUT

Obstruksi saluran napas tengah dapat terjadi oleh karena proses malignansi
atau benigna seperti pertumbuhan tumor endobrochial yang terdapat di dalam
saluran napas itu sendiri atau kompresi dari saluran napas oleh karena pembesaran
limponodi atau neoplasma. Gejala bisa berkembang secara perlahan-lahan seperti
pada kasus obstruksi saluran napas oleh karena proses keganasan atau
memberikan gejala akut seperti pada kasus oleh karena aspirasi benda asing.

Gejala klinis dan diagnosis

Belum ada penelitian secara prospektif yang melaporkan tentang manfaat


diagnosis secara klinis maupun kelainan gambaran radiologis pada seseorang
yang dicurigai terdapat adanya aspirasi benda asing. Penelitian biasanya dilakukan
secara retrospektif. Sesak napas di laporkan hanya terjadi pada 25% pasien pada
satu penelitian. Gejala batuk didapatkan pada 80% gejala lainnya bisa berupa
demam, batuk darah, nyeri dada, dan wheezing.

Diagnosis seringkali susah ditemukan kecuali pasien menceritakan adanya


prasaan seperti tercekik yang sangat khas atau di temukannya gambaran benda
asing yang terlihat radio opaq pada foto rontgen. Bronkoskopi fiber optic
merupakan pilihan prosedur diagnosis untuk kasus aspirasi benda asing pada
pasien dewasa. Tindakan bronkoskopi ini juga harus dapat pula sekaligus
melakukan dengan segera prosedur tindakan pengambilan benda asing yang
menyumbat saluran pernapasan tadi.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan obstruksi saluran pernapasan tengah akut ini ada dua tahap
stabilisasi sedangkan tahap kedua adalah tahap intervensi.

Tahap stabilisasi

Pada pasien dalam kondisi stabil, tes fungsi paru bisa di lakukan. Pasien
dengan obstruksi berat diharapkan mendapat jaminan ventilasi dan oksigenasi.

Tahapintervensi

Setelah diagnosis aspirassi benda asing ditegakkan perlu dipikirkan waktu dan
tindakan yang tepat untuk mengatasi masalah tadi. Obstruksi bronkial oleh karena
benda asing dapat memberikan komplikasi yang serius termasuk diantaranya
asfiksia, batuk darah, infeksi post obstruksi dan bronkiektasis. Benda asing yang
teraspirasi, terutama yang mengandung kadar minyak tinggi seperti kacang, dapat
menyebabkan inflamasi mukosa yang berat dan akumulasi jaringan granulasi
dalam waktu beberapa jam setelah diagnosis di tegakkan. Pengambilan benda
asing dapat dilakukan dengan menggunakan ”rigid bronchoscopy”. Pada kasus
benda asing terbungkus dalam jaringan granulasi besar, tindakan pengambilan ini
sangat sukar dilakukan. Pada kasus ini ekst raksisebaiknyaditunda dan
dapatdiberikaninjeksi intra vena kortikosteroid (1-2 mg/kg prednisolone), sambal
menunggukondisiklinispasienmenjadistabil.

Rigid bronchoscope. Akan memberikan jalan masuk yang baik ke saluran


pernapasan sub glotic, memberikan jalan masuk pertukaran gas, dan
dapatdigunakansebagaijalanlintasanuntukbermacam-macam instrument termasuk
grasping forceps dan suction catheter. Anestesiumumdenganaksikerjapendek,
termasuk propofol, amandipakaiuntuktindakanini, yang
jarangmembutuhkanwaktusampailebihdari 10 menit.optical forceps
dapatmemberikangambaransecaralangsungterhadapbendaasing. Sebagai
alternative, rigid telescope dan forceps dapatdipakaiuntukbronkoskopy.

Selamaprosedurtindakanpengambilanbendaasing, hal yang


sangatpentingadalahjangansampaimendorongbendaasing kea rah distal
ppadasaatmelakukanbroncoschopy, forceps atausuction catheter. Ephineprin (0,25
mg) mungkin bias di suntikkanuntuk hemostasis dan agar
mengurangipembengkakanmukosa yang membungkusbendaasingtadi. Optical
forceps lalumasukkedalamsumbubronkusbeberapamilimeterproksimalbendaasing.

pada kasuspengambilanbendaasing yang besar dan keras,


pemecahanbendaasingmenjadi 2 atau 3
bagianmungkinakanmemudahkanekstraksi. Benda asing yang
beratsepertihalnyalogam, mungkinakanmakinbergerak kea rah distal oleh
karenagravitasi. Pada kasusiniposisitredelenburghmungkinakanmembantu.

OBSTRUKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH AKUT

Ada duakeadaan yang seringmenyebabkanobstruksi pada


salurannapasbawahiniyaituasmaakut dan penyakitparuobstruktifkronik (PPOK)
eksaserbasiakut.

Asma akut

Pendahuluan

Asma merupakanpenyakitgangguaninflamasikronissaluranpernapasan yang


dihubungkandenganhiperresponsif, keterbatasanaliranudara yang reversible dan
gejalapernapasan. Di Amerika kunjunganpasienasma pada
pasienberjeniskelaminperempuan di bagiangawatdarurat dan
akhirnyamemerlukanperawatan di rumahsakitdua kali lebihbanyakdari pada
pasienpria. Data penelitianmenunjukkanbahwa 40% daripasien yang
dirawattaditerjadiselamafasepremenstruasi. Di Australia, Kanada,
Spanyoldilaporkanbahwakunjunganpasiendenganasmaakut di
bagiangawatdaruratberkisarantara 1-12%. Rata-rata biayatahunan yang
dikeluarkanpasien yang mengalamiseranganadalah $600, sedangkan yang
tidakmengalamiseranganbiayaberkisar $170.

Asma
adalahgangguaninflamasikronissaluranpernapasandimanabanyakselinflamasi yang
berperantermasuksel mast, limfosit, neutrophil dan eosinoil.
Inflamasisaluranpernapasaninimeluastetapiobsturksisaluranperanpasandapat
reversible baiksecaraspontanmaupundenganterapi. Asma juga
ditandaidenganpeningkatanreponsaluranpernapasandengan stimulus fisiologis dan
lingkungansepertiaktivitasfisik, udaradingin, dan debu.

Asma menyebabkan episode berulangdari wheezing, sesaknapas, dada


terasasesak dan batukterutama pada malamatauawalpagihari. Asma
merupakangangguaninflamasikronissaluranpernapasan.
Inflamasikronissaluranpernapasanhiperresponskemudianmenjadiobsturksi dan
keterbatasanaliranudara oleh bronkokonstriksi, mucus plugs,
peningkataninflamasiketikasaluranpernapasanterpaparberbagaimacam factor
resiko.

Asma merupakan salah satupenyakitkronis yang seringterjadi pada sekitar 300


jutajiwa. Prevalensiasmameningkat di negara yang makmursejak 30 tahun yang
lalutetapinampaknyasekarangstabilsekitar 10-12% dewasa dan 15% anak-anak.

Etiologi dan FaktorRisiko

Factor resikoterseringgejalaasmatemasukpaparan allergen seperti


(kutudeburumah, serbuk sari, kecoa, kotoranhewan), iritasipekerjaan, asap
tembakau, infeksirespirasi (virus), aktivitasfisik, ekspresiemosi, iritasikimia dan
obat (aspirin dan penyakit beta).
Factor resiko yang terlibatdalamasmadibagimenjadi factor endogen dan
lingkungan. Factor endogen sepertipredisposisi genetic, atopi,
hiperesponsaluranpernapasan, jeniskelamin dan etnis. Factor
lingkungansepertielergendalamruangan, allergen diluarruangan, merokokpasif,
infeksipernapasan, sensitizer pekerjaan dan kegemukan.

Patofisiologi

Triger (pemicu) yang berbeda-bedadapatmenyebabkaneksaserbasiasma oleh


karenainflamasisalurannapasataubronkospasmeakutataukeduanya. Sesuatu yang
dapatmemicuseranganasmainisangatbervariasiantarasatuindividudenganindividu
yang lain dan darisatuwaktukewaktu yang lain. Beberapahaldiantaranyaadalah
allergen, polusiudara, infeksisalurannapas, kecapaian, perubahancuaca, makanan,
obatatauekspresiemosi yang berlebihan. Factor lain yang
kemungkinandapatmenyebabkaneksaserbasiiniadalah rhinitis, sinusitis bacterial,
polyposis, mensturasi,,refluks gastro esophageal dan kehamilan.
Mekanismeketerbatasanaliranudara yang
bersifatakutinibervariasisesuaidenganrangsangan. Allergen
akanmemicuterjadinyabronkontriksiakibatdaripelepasanIg-Edependent dari mast
selsaluranpernapasandari mediator, termasukdiantaranyahistamin, prostaglandin,
leukrotinsehinggaakanterjadikontraksiotot polos. Keterbatasanaliranudara yang
bersifatakuninikemungkinan juga terjadi oleh karenasaluranpernapasanpada
pasienasmasangathiper responsive terhadapbermacam-macamjenisrangsangan.
Pada kasusasmaakutmekanisme yang
menyebabkanbronkokontriksiterdiridarikombinasiantarapelepasan mediator
selinflamasi dan rangsangan yang bersifat local atau reflex sarafpusat.
Akibatnyaketerbatasanaliranudaratimbul oleh
karenaadanyapembengkakandindingsalurannapasdenganatautanpakontraksiotot
polos. Peningkatanpermeabilitas dan
kebocoranmikrovaskularberperanterhadappenebalan dan pembengkakan pada
sisiluarotot polos saluranpernapasan.
Penyempitansaluranpernapasan yang bersifatprogresif yang disebabkan oleh
inflamasisaluranpernapasan dan ataupeningkatan tonus otot polos
bronkiolermerupakangejalaseranganasmaakut dan
berperanterhadappeningkatanretensialiran, hiperinflasipulmoner dan
ketidakseimbanganventilasi dan perfusi.
Apabilatidakdilakukankoreksiterhadapobstruksisaluranpernapasanini,
akanterjadigagalnapas yang
merupakankonsekuensidaripeningkatankerjapernapsan, inefisiensipertukaran gas
dan kelelahanotot-ototpernapasan. Interaksikardiopulmonerdna system
kerjaparusehubungandenganobstruksisalurannapas.

Obstruksialiranudaramerupakangangguanfisiologisterpenting pada asmaakut.


Gangguaniniakanmenghambataliranudaraselamainspirasi dan ekspirasi dan
dapatdinilaidengantesfungsiparu yang sederhanasepertipeak expiratory flow rate
(PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume).
Ketikaterjadiobstruksialiranudarasaatekspirasi yang relative
cukupberatakanmenyebabkanpertukaranaliranudara yang
keciluntukmencegahkembalinyatekanan alveolar
terhadaptekananatmosfermakaakanterjadihiperinflasidinamik.
Besarnyahiperinflasidapatdinilaidenganderajatpenurunankapasitascadanganfungsi
onal dan volume cadangan. Fenomenainidapat pula terlihat pada fototoraks, yang
memperlihatkangambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang
mendatar.

Hiperinflasidinamikterutamaberhubungandenganpeningkatanaktivitasototpernapas
an, mungkinsangatberpengaruhterhadaptampilankardiovaskular.
Hiperinflasiparuakanmeningkatkanafter load pada ventrikelkanan oleh
karenapeningkatanefekkompresilangsungterhadappembuluhdarahparu.

Pertukaran Gas
Hipoksemiatingkatringan-sedang, hipokapneadalamjangka lama dan alkalosis
respiratorimerupakanhal yang umumdijumpai pada pemeriksaananalisa gas darah
(AGD) pada pasiendenganseranganasmaakutberat.
Jikaobstruksialiranudarasangatberat dan takberkurang,
mungkinakanberkembangcepatmenjadihiperkapnea dan asidosis metabolic.
Awalnyatimbulkelelahanotot dan ketidakmampuanuntukmempertahankanventilasi
alveolar secaraadekuat. Akhirnyaakanterjadiproduksilaktat.

Ketika pasien asimptomatis, FEV1 cendrung mejadi sekurang kurangnya 40-


50% dari prediksi. Ketika tanda-tanda fisik menghilang FEV1 berkisar antara 60-
70% dari prediksi atau lebih tinggi lagi. Karna fungsi paru dan AGD menilai dua
perbedaan mekanisme patofisiologis, sehingga tidak aneh bahwa hubungan antara
FEV1 dan PaCO2 atau PaO2 sangat lemah.

Kombinasi antara hiperkapnea akut dan tingginya tekanan intrathorakal pada


pasien dengan asma akut berat akan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial yang bermakna. Beberapa penulis melaporkan terjadinya gejala
neurologis seperti midriasis unilateral atau bilateral dan kuadri paresis selama
episode akut serta perdarahan sub arakhnoid dan sub konjungtiva.

Studi terbaru dengan MIGET (multiple inerf gas elimination technique) asma
ringan stabil menunjukkan distribusi bimodal dari aliran darah paru 25% aliran
darah dengan rasio VA/Q rendah (<0,1). Tidak terdapat bukti daerah yang
berhubungan atau daerah yang VA/Q tinggi atau peningkatan ruang rugi.
Meskipun studi teakhir kurang meunjukkan distribusi bimodal ini dan hanya
beberapa pasien menunjukkan pola bimodal ini. Abnormalitas pertukaran gas
pada pasien dengan penyakit ringan berhubungan degan pengaruh abnormalitas
dan di perifer dan konsisten degan fungsi par yang abnormal seperti dalam
volume residual. Selama eksaserbasi asma atau status asma tikus adanya pola
bimodal muncul tetapi pada situasi ini sedikit hubungan murni yang teramati.
Terapi serangan asma mengembalikan pola ini mejadi normal ketika masuk di
ruang gawat darurat.
EVOLUSI SERANGAN ASMA

Terdapat dua mekanisme yang berbeda dalam hal perkembangan laju serangan
asma. Ketika yang dominan adalah prses inflamasi saluran pernapasannya, pasien
memperlihatkan perburukan gejala klinis dan fungsional tipe 1 atau serangan
asma akut tipe lambat. Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80-90% pasien
asma yang berkunjung kebagian gawat darurat pasien degan serangan asma tipe 1
ini. Infeksi saluran pernapasan atas sering juga mejadi pemicu serangan dan
pasien memperlihatkan respon terapeutik yang lambat. Kemungkinan pasien ini
juga mempunyai reaksi inflamasi akibat raksi alergi dengan di temukannya
eosinofil pada saluran pernapasannya.

Pada serangan tipe 2, yang dominan adalah terjadinya bronkhopasme dan


pasien memperlihatkan serangan asma yang muncul tiba-tiba atau mendadak
(aspiksia atau asma hiperakut) yang ditandai dengan obstrksi saluran napas yang
berkembang sangat cepat (sesak muncul < 3-6 jam setelah serangan). Allergen
yang terhirup, latihan fisik dan stress psikis yang sering mejadi pemicu serangan
ini. Dalam saluran pernapasannya yang dominan adalah sel netrofil.

Kematian Akibat Asma

Kematian kebanyakan tejadi di rumah, saat kerja atau selama perjalanan ke


RS. Petanda yang di hubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya kematian
akibat asma adalah riwayat seringnya pasien memerlukan perawatan di RS,
terutama jika memelukan ventilator.

Ada dua kemungkinan yang dapat menyebabkan kematian pada psien asma
ini. Aritmia berperan terhadap beberapa kasus kematian yang telah diamati
terutama pada pasien dewasa. Aritmia bias terjadi oleh karna peningkatan
hipokalemia dan terjadinya pemanjangan segmen QT akibat penggunaan β2-
agonis dosis tinggi. Kematian juga bias terjadi oleh karna aspiksia yang
disebabkan oleh keterbatasan aliran udara dan hipoksemia.
Kematian asma jarang terjadi dan meunjukkan penurnan di Negara maju dari
decade sebelumnya. Peningkatan mortalitas asma tampak di beberapa Negara
selama tahun 1960an berhubungan dengan peningkatan penggunaan agonis β2
adrenergik kerja pendek (sebagai terapi penyelamatan), tetapi sekarang adanya
bukti penggunaan secara luas kortikosteoid inhalasi pada pasien dengan asma
persiste berpengaruh terhadap penurunan mortalitas beberapa tahun belakangan
ini. Factor resikoutama kematian asma control penyakit yang buruk dengan
seringnya penggunaan inhalasi bronkodilator, kurangnya terapi kortikosteroid dan
masuk rumah sakit degan asma yang mendekati fatal.

Diagnosis

Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera didiagnosis


dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Eksaserbasi asma (serangan asma) merupakan
episode peningkatan prosegsifitas dari napas yang pendek, batuk, wheezing, atau
dada sesak atau kombinasi dari gejala tersebut.

Riwayat Penyakit

Tujuannya untuk menentukan waktu saat timbulnya serangan dan beratnya


gejala, terutama untuk membandingkan dengan eksa serbasi sebelumnya, semua
obat yang digunakan selama ini, riwayat RS sebelumnya, kunjungan
kegawatdarurat, riwayat episode gagal, napas sebelumnya (intubasi, penggunaan
ventilator) dan gangguan psikiatrik atau psikologis. Tidak adanya riwayat asma
sebelumnya tertama pada pasien dewasa, harus dipikirkan diagnosis banding
lainnya seperti gagal jantung kongestif, PPOK dan lainnya.

Manajemen kegawatan asma akut membutuhkan penyedia layanan


kesehatan degan performa riwayat singkat dan pemeriksaan fisik. Kunci dari
riwayat termasuk rincian dan eksaserbasi yang berjalan (misalnya waktu onset dan
penyebab potensial), keparahan gejala, khususnya dibandingkan dengan
eksaserbasi sebelumnya) dan respon dari semua terapi yang telah diberikan
sebelum ini, semua pengobatan sekarang dan waktu pengobatan terakhir
(khususnya obat asma), riwayat asma sebelumnya (jumlah kontrol yang tidak
terjadwa, kunjungan IGD, perawatan RS karena asma terutama dalam tahun
terakhir, riwayat intubasi karena asma, dan kondisi komorbid lainnya (misalnya
penyakit paru atau jantung atau penyakit yang dapat diperburuk dengan terapi
kortikostiroid sistematik). Jangan meremehkan keparahan serangan asma,
serangan asma mungkin mengancam jiwa, terapinya membutuhkan supervise
yang ketat. Pasien dnegan resiko tinggi kematian berhubungan dengan asma
membutuhkan perhatian yang ketat dan harus didorong untuk mencari perawatan
dini, pada saat eksaserbasi. Pasien tersebut termasuk pasien dengan riwayat asma
hampir fatal yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis, pasien yang
pernah mondok atau kunjungan gawat darurat untuk asma dalam tahun terakhir,
pasien yang sekarang menggunakan atau baru menghentikan penggunaan oral
glukokotikostiroid, pasien yang berlebihan tergantung agonis b2 aksi cepat
khususnya yang menggunakan lebih dari 1 canister salbutamol (atau yang
ekuivalen) bulanannya, dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial
termasuk penggunaan sedati dan pasien dengan riwayat ketidakpatuhan terhadap
rencana pengobatan asma.

Pasien yang harus segera mencari fasilitas kesehatan jika:

1. Serangan asma derajat berat : pasien sesak napas saat istirahat,


membungkuk kedepan, berbicara dalam kata daripada kalima, agitasi,
mengantuk atau bingung, bradikardi, frekuensi respirasi lebih dari 30
x/menit. Suara wheezing keras atau tidak ada, nadi lebih dari 120
x/menit, PEF kurang dari 60% prediksi atau bahkan setelah terapi inisial,
pasien kelelahan.
2. Respon terapi inisial bronkodilator tidak sesuai dan berkelanjutan
minimal 3 jam.
3. Tidak ada perbaikan dalam 2-6 jam setelah terapi glukokortikosteroid oral
dimulai.
4. Adanya pemburukan.
Serangan dengan didefinisikan oleh penurunan dari aliran puncak kurang dari
20%, bangun malam hari, peningkatan penggunaan agonis B2 aksi cepat biasanya
dapat diterapi di rumah jika pasien siap dan memiliki rencana manajemen
personal asma termasuk langkah-langkah aksi. Serangan moderat mungkin
membutuhkan perawatan klinik atau RS dan serangan berat biasanya
membutuhkan perawatan klinik atau RS.

Pemeriksaan Fisis
Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien, pasien dengan
kondisi sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot tambahan untuk
membantu bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai indikator adanya
obstruksi yang berat. Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan supra
sternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi paru. Frekuensi pernapasan
Respiratory Rate (RR) > 30x/ menit, takikardi > 120x / menit atau pulsus
paradoxus > 12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan asma akut berat.
Lebih dari 50% pasien dengan asma akut berat, frekuensi jantungnya berkisar
antara 90-120 x/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap obstruksi
saluran pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekuensi denyut jantung,
meskipun beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek
bronkotropik dari bronkodilator.
Kunci dasar dari pemeriksaan fisis yang cepat adalah penilaian semua status
pasien(misalnya kewaspadaan, status cairan, distress pernapasan)tanda vital
(termasuk oximetri nadi dan temuan di dada (misalnya wheezing, penggunaan
otot tambahan). Pemeriksaan juga harus fokus terhadap identifikasi komplikasi
yang mungkin (misalnya pneumonia, pneumothorak, atau pneumomediastinum),
meskipun jarang komplikasi ini mempunyai pengaruh potensial dalam manajemen
pasien. Pulse oximetry, pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry
(sp02) perlu dilakukan pada seluruh pasien dengan asma akut untuk
mengekskulasi hipoksemia. Pengukuran Sp02 diidentifikasikan saat kemungkinan
pasien jatuh ke dalam gagal napas dan kemudian memerlukan penatalaksanaan
yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukan agar Sp02 > 92% tetap terjaga.
Analisa gas darah (AGD) keputusan untuk dilakukan pemeriksaan AGD
jarang diperlukan pada awal penatalaksanaan, karena ketepatan dan kegunaan
pulse oximetry, hanya pasien dengan terapi oksigenasi yang Sp02 tak membaik
sampai > 90%, perlu dilakukan pemeriksaan AGD, meskipun sudah diberikan
terapi oksigen tetapi oksigenasi tetap tidak adekuat perlu dipikirkan kondisi lain
yang memperberat seperti adanya pneumonia. Jika pemeriksaan laboratorium
dilakukan, hal tersebut tidak harus menunda terapi inisiasi asma, tujuan terpenting
dari pemeriksaan laboratorium seperti AGD adalah untuk mendeteksi gagal napas
impending atau aktual.
Foto toraks, foto toraks dilakukan hanya pada pasien dengan tanda dan
gejala adanya pneumothoraks (nyeri dada pleuritik, emfisema sub kutis,
instabilitas kardiovaskular atau suara napas yang asimetris), pada pasien yang
secara klinis dicurigai adanya pneumoni.

Pasien asma yang setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara intensif tetapi
tidak respons terhadap terapi.

Monitor irama jantung. Elektro kardiografi tidak diperlukan secara rutin, tetapi
monitor secara rutin, tetapi monitor secara terus menerus sangat tepat dilakukan
pada pasien lansia dan pada pasien yang selain menderita asma juga menderita
penyakit jantung. Irama jantung yang biasanya ditemukan adalah sinus takkardi
dan supra ventikular takkardi. Jika gangguan irama jantung ini hanya sisebabkan
oleh penyakit asmanya saja, diharapkan gangguan ke irama normal dalam
hitungan jam setelah respons terapi terhadap penyakt asmanya.

Respons terhadap terapi. Pengukuran terhadap perubahan PEFR atau FEV1


yang dilakukan setiap saat mungkin merupakan salah satu cara terbaik untuk
menillai pasien asma akut dan untuk memperkirakan apakah pasien perlu dirawat
atau tidak. Respons terhadap terapi awal di IGD merupakan predator terbaik
tentang perlu tidaknya pasien dirawat, bila dibandingkan dengan tampilan
beratnya eksaserbasi. Respon awal terhadap pengobatan (PEFR atau FEV1 pada
30 pertama), merupakan predator terpenting terhadap hasil terapi. Variasi nilai
PEFR di atas 50L/menit dan PEF> 40% normal yang di ukur 30 ,menit setelah i
mulainya pengobatan, merupakan predator yang baik bagi hasil akhir pengobatan
yang baik pula.

Evaluasi gejala dan bila mungkin aliran puncak. Di RS juga menilai


saturassi oksigen, pertimbangan pengukuran analisa gas darah pada pasien dengan
curiga hipoventilasi, kelelahan, distress berat atau aliran puncak 30-50% prediksi,

Follow up

Setelah eksaserbasi tertangani, faktor yang mencetuskan eksaserbasi harus


diidentifikasi dan strategi untuk implementasi menghindari hal tersebut kedepan
serta peninjauan rencana terapi.

Penatalaksanaan

Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga


saturasi oksigen arteri tetap kuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi
saluran pernapasan dengan memberikan bronkhodilator inhalasi kerja cepat dan
mengurangi inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhab dengan
pemberian kortikosteroid sistemik yang lebih awal.

Oksigenasi

Karena kondisi hipoksemia dihasilkan oleh ketidakseimbangan V/Q hal ini


biasanya dapat terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3L/menit dengan kanul
nasal atau masker. Meskipun demikian, penggunaan oksigen dengan aliran aliran
cepat tidak membahayakan dan direkomendasikan pada semua pasien dengan
asma akut.

Oksegenasi di berikan dipusat kesehatan atau rumah sakit jika pasien


hipoksemia dengan target saturasi 95%

Β 2- agonis

Inhalasi Β 2- agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma
akut. Onset aksi obat tadi cepat dan efek sampingnya bisa di toleransi. Salbutamol
merupakan obat yang banyak di pakai di ruang instalasi gawat darurat (IGD).
Onset aksi obat ini sekitar 5 menit dengan lama aksi sekitar 6 jam. Obat lain juga
sering digunakan adalah metaproterenol, terbulanin dan fenoterol. Oba dengan
aksi kerja panjang tidak di rekomendasikan untuk pengobatan kegawatdaruratan
levalbuterol mempunyai efikasi yang lebih baik dan efek toksik yang menimal
bila dibandingkan dengan albuterol racemik. Pemberian ephrineprin sub kutan
jarang dilakukan oleh karena memicu timbulnya efek samping pada jantung. Obat
ini hanya berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak mendapatkan keuntungan
dengan pemakaian obat secara inhalasi.

Epinephrine atau adrenalin mungkin diindikasikan untuk terapi akut


anafilakssis dan angioedema tetapi tidak diindikasikan untuk serangan asma.

Pemakaian secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dengan efek
samping yang lebih sedikit serta lebih efektif bila dibandingkat pemakaian secara
sistematik. Penggunaan β 2 agonosis secara intravena pada pasien dengan asma
akut diberikan hanya jika respons terhadap obat per-inhalsi sangan kurang atau
jika pasien batuk berlebih atau hampir meninggal.

Adekuat inhalasi β 2 agonosis aksi cepat merupakan hal penting, di mulai


dengan dosis 2-4 puff setiap 20 menit setiap 3-4 jam dan eksaserbasi moderate 6-
10 puff setiap 1-2 jam

Pemberian obat perinhalasi secara terus-menerus di perkirakan lebih


menguntungkan bila di menguntungkan bila dibandingkan dengan pemberian
secara berkala. Meskipun penelitian metaanalisis yang dilakukan secara acak pada
pasien asma akut, tidak memberikan perbedaan nebulizer secara berksinambungan
memberikan efek samping yang lebih sedikit. Efek samping yang lebih sedikit.
Efek samping yang sangat sedikit. Efek samping yang ketergantungan dosis dapat
terjadi pada semua cara pemberian, tetapi umumnya ditemukan pada pemakaian
secara oral atau intravena

Efek samping pemakaian β 2 agonosis diperantai melalui reseptor pada


otot polos vaskular (takikardi dan takiaritmia), otot rangka (tremor, hipokelemi)
oleh karena masuknya kalium ke dalam sel otot) dan keterlambatan sel dalam
metabolisme lipid dan karbohidrat (peningkatan kadar asam lemak besar dalam
darah, insulin, glukosa, dan piruvat). Stimulsi β 2- adrenoreseptor juga berperan
terhadap patogenesis asidosis laktat selama serangan asma akut berat, terutama
pada pasien yang mendpatkan β 2 agonosis secara intravena.

Antikolinergik

Penggunaan antikolonergik berdasarkan asumsi terdapatnya peningkatan tonus


vagal saluran pernapasan pada pasien asma akut, tetapi efeknya tidak sebaik β 2
-agonosis. Penggunaan ipratropium bromida (IB) secara inhalasi di gunakan
sebagai bronkhodilator awal pada pasien asma akut. Kombinasi pemberian IB dan
β 2- agonosis diindikasi sebagai terapi pertama pada pasien dengan eksersebasi
asma berat. Dosis 4 X semprot (80 mg) setiap 10 menit dengan MDI atau 500mg
setiap 20 menit dengan nebulizer akan lebih efektif

Terapi kombinasi β 2- agonosis/ antikoligenik berhubungan dengan


hospitalisasi yang rendah peningkatan perbaikan dalam PEV dan FEV1

Kortikosteroid

Pemberian kortikosteoid secara sistematik harus diberikan pada penatalaksanaan


kecuali kalau derajat ekserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilator
tetapi secara ekstrem sangat efektif dalam menurunkan inflamasi paada saluran
napas. Pemberian hidrokortison 800 mg atau 160 mg metilprednisolon dalam 4
dosis terbagi setiap harinya, umumnya sudah memberikan efek yang adekuat pada
kebanyakan pasien. Perbandingan pemberian kortikosteroid secara sistematik dan
per inhalasi.

Data penelitian menunjjukan bahwa pemberian kortikosteroid akan


menurunkan lama perawatan di rumah sakit pada pasien asma akut, bila
dibandingkan dengan plasebo. Penelitian lain menemukan bahwa pemberian
koerikosteroid orang yang setara dengan dosis 40-60 mg prednison atau
prednisolon perhari selama 7-14 hari, lebih efektif murah dan aman.
Bagaimanapun juga beberapa penelitian, pemberian kortikostiroid tunggal dosis
tinggi per inhalasi’ lebih efektif daripada kartikostiroid oral untuk mengatasi
serangan asma ringan paa pasien yang berkunjung ke IGD.

Glukokortikostiroid oral 0,5- 1 mg prednisolom/kg atau ekuivalen selama


periode 24 jam yang di berikan dini pada serangan moderate atau severe
membantu perbaikan inflamasi dan kecepatan recovery

Teofilin

Pemberian teofilin sebagai obat monoterapi, efektivitasnya tidak sebaik obat


golongan β 2-agonosis pemberian aminophilin dikombinasi dengan β 2-agonosis
per inhalasi, tidak memberikan manfaat yang bermakna. Pemberian obat ini malah
akan meningkatkan efek samping seperti tumor, mual, cemas, dan taki aritmia.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian akhirnya dibuat kesepakatan dan keputusan
untuk tidak merekomendasikan pemberian teofilin secara rutin untuk pengobatan
asma akut. Obat ini boleh di gunakan hanya jika pasien tidak respon dengan terapi
standar. Pada kasus ini pemberian loading doses 6 mg/kg dan diberikan dalam
waktu > 30 menit dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0,5 mg/kg BB/jam.
Kadar teofilin dalam darah dengan rekomendasikan berkisaran antara 8-12 mg/ml.

Metilxanitin tidak direkomendasikan jika digunakan tambahan pada dosis


tinggi inhalasi β 2-agonosis. Bagaimanapun teofilin dapat diigunakan jika inhalasi
β 2-agonosis tidak tersedia. Jika pasien sehari-hari mendapatkan teofilin maka
konsentrasi serum harus di ukur sebelum penambahan teofilin aksi pendek.

Magnesium sulfat
Penggunaan obat ini untuk asma akut pertama kali dilaporkan oleh dokter di
negara urugay pada tahun 1936. Mekanisme obat ini kemungkinan melalui
hambatan kontraksi otot polos akibat kanal kalsium terblokir oleh magnesium.
Obat ini murah dan aman. Dosis yang biasa diberikan obat ini pada pasien asma
akut tiak dianjurkan untuk diberikan secara rutin. Pemberian obat ini pada pasien
akut tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin. Pemberian obat ini secara per
inhalasi tidak memberikan efek yang bermakna. Penelitian akhir melaporkan
bahwa pmberian magnesium sulfat secara intravena hanya akan memperbaiki
fungsi paru jika diberikan sebagai obat tambahan pada obat yang telah ditentukan
sebagai standar terapi (nebulizer β 2-agonosis dan kortikosteroid intravena) pada
pasien dengan FEV1< 20% prediksi).

Pasien asma dengan eksaserbasi severe yang tidak respons bronkodilator


dan glucocorticosteroid sistemik, 2 gram magnesium sulfat iv telah menunjukkan
penurunan kebutuhan hospitalisasi.

Heliox

Serangan asma akut dapat menyebabkan turbulensi aliran udara. Turbulensi aliran
udara ini dapat dikurangi pemberian gas yang mempunyai densitas lebih rendah
serta mempunyai viskositas yang lebih tinggi dari udara. Helox (helium dan
oksigen) merupakan campuran gas yang dapat diberikan pada pasien asma akut
tidak lebih fektif dalam hal pemberian gas heliox sebagai terapi tambahan pada
terapi standar untuk kasus asma akut tidak lebih efektif dalam hal perbaikan
fungsi paru bila dibandingkan dengan oksigen atau udara.

Mempertimbangkan heliox pada pasien dengan eksaserbasi mengancam


jiwa dimana aksarsebasi menetap pada kategori berat setelah 1 jam terapi
konvensional yang intensif

Antagonis leukotrit

Ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk meguji efektivitas penggunaan


obat ini. Pada suatu penelitian pemberian dua macam obat zafirlukast secara oral
(20 mg dan 160 mg) pada pasien asma akut yang datang ke IGD, memperlihatkan
dengan adanya perabikan fungsi paru dan skor sesak napasnya menjaadi kurang.
Pada pasien asma akut refrakter yang sudah mendapat terapi β 2-agonosis
pemberian montelukast intra vena akan meningkatkan FEV1 secara cepat,
meskipun perubahannya hanya sedikit bila dibandingkan dengan placebo.

Antileukotin kebanyakan efektif untuk pasien dengan asma persisten


ringan

Terapi lain

Banyak penelitian yang menemukan bahwa infeksi saluran pernapasan yang


disebabkan oleh virus dapat memicu terjadinya seragan asma. Virus common cold
seperti halnya rhinoviruses yang dapat memicu terjadinya mengi pada remaja atau
dewasa. Virus ini dapat memicu serangan asma melalui beberapa mekanisme.
Infeksi virus kemungkiinan dapat menyebabkan kerusakan epithelia dan inflamasi
saluran pernapasan. Kerusakan epithelia dan saluran inflamasi ini kemungkinan
juga bertanggung jawab terhadap pembentukan dan pelepasan mediator alergi dari
sel-sel paru. Data penelitian juga memperlihatkan bahwa eksaserbasi asma
dihubungkan dengan adanya infeksi bakteri, terutama bakteri Chlamydia
pneumonia. Pada kebanyakan kasus penggunaan antibiotik tidak diperlukan.
Antibiotik sering diberikan bila terdapat peningkatan volume dn purulensi
mungkin banyak mengandung eosinofil dan bukan wosinofil ini merupakan asma
akut tipe inflamasi saluran pernapasan dan biasanya tidak didapatkan adanya
infeksi. Antibiotic siberikan untuk pasien dengan gejala infeksi. Antibiotic
diberikan untuk pasien dengan gejala panas dan pada sputumnya didapatkan
adanya lekosit polimorfonuklear. Antibiotik juga dapat diberikan jika dari gejala
klinis mengarah ke diagnosis pnemoni atau sinusitis akut.

Obat lain yang kemungkinan juga memberikan manfaat untuk terapi asma
akut, tetapi belum banyak penelitian yang dilakukan adalah obat anestesu umum
per inhalasi, lidokain dan furosemide per inhalasi. Obat mukolitik perinhalasi
tidak diberikan manfaat dalam pengobatan asma akut. Obat ini malah dapat
memperburuk obstruksi saluran pernapasan dan meningkatkan gejala batuk obat
yang meberika efek sedasi, harus diberikan secara hati-hati pada pasien asma akut,
karna memberkan efek depresi pernapasan. Hasil penelitian menemukan bahwa
ada hubungan antarapemakaian obat sedasi ini dengan kematian pada pasien asma

Terapi-terapi yang tidak direomendasikan untuk serangan asma sedasi


harus di singkirkan.

Obat mukolotik mungkin memperburuk batuk. Terapi fisioterapi atau fisik dada
mungkin meningkatkan ketidak nyamanan pasien hidrasi dengan cairan dalam
jumlah besar pada pasien dewasa dan anak yang lebih tua.

Keputusan untuk memulankan atau merawat pasien

Sepirometri dan gejala klinis dipakai untuk mengambil keputuan ini. Pasien
harrus dirawat jika meskipun sudah diberikan penatalaksanaan intensif selama 2-3
jam di IGD. Tetapi masih didapatkan adanya mengi yang nyata, penggunaan otot-
otot bantu pernapasan masih memerlukan pemberian okigen untuk menjaga SpO2
≥ 92% dan fungsi paru yang belum membaik (FEV1 atau PEF ≥ prediksi).
Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan untuk merawat pasien adalah bila pada
pasien tersebut didapatkan adanya faktor risiko yang tinggi dan untuk terjadinya
kematian oleh karena asma (tidak tersedianya akses untuk mendapatkan
pengobatan/ kerumah sakit, kondisi rumah yang meyulitkan, sulitnya transportasi
kerumah sakit bila sewaktu- waktu terjadi pemburukan gejala).

Jika pasien bebas dari gejala dan fungsi oarunya ≥ 60% prediksi, pasien
dapat dipulangkan. Pasien dengan fungsi paru 40-60% prediksi setelah
mendapatkan pengobatkan dapat melanjutkan pengobatan lagi. Pasien ini
kemungkinan dapat dipulangkan dengan anggapan bahwa tersedianya tempat
pengawasan yang adekuat

umumnya 3-4 jam di IGD sudah cukup waktu untuk menentukan jika
pasien asma akut dapat membaik gejalanya dan aman untuk dipulangkan.
Berdasarkan penelitian terakhir relav dalam jangka waktu dekat jarang terjadi
pada pasien asma akut;

keputusan untuk memasukkan pasien ke ICU (intensive care unit)

Pasien dengan obstruksi aliran udara derajat berat yang memburuk atau hanya
mengalami perbaikan minimal meskipun sudah diberikan terapi harus masuk ICU.
Pertanda klinis untuk memasukkan ke ICU adalah distress pernapsan, tingginya
pulsusparadoksus atau hilangnya enyut nadi pada pasien dengan fatigue atau
pasien yang secara subjektif merasakan adanya ancaman gagal napas. Indikasi lain
untuk memasukkan pasien ke ICU adalah bila didapatkan adnya gagal napas,
status mentalnya berubah, SpO2 ≥ 90% meskipun sudah mendapatkan oksigenasi
dan kenaikan PaCO2 disertai dengan keadaan klinis yang tak mengalami
perbaikan

PPOK EKSASERBASI AKUT

Akhir-akhir ini charonic obstuctiv pulmonary disease (COPD) atau penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena
prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat. Di amerika kasus
kunjungan pasien PPOK diinstalansi gawat darurat mencapai angkat 1,5 juta
726,000 memerlukan perawatan dirumah sakit dan 119.000 meninggal selama
tahun 2000 sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke 4 setelah
penyakit jantung. Kanker dan penyakit serebrovskular. Biaya yang dikeluarkan
untuk penyakit ini mencapai $ 24 miliar per tahunnya. World heart organization
(WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 pervalensi PPOK akan
meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya akan
meningkat dari 12 menjadi ke 5 dan sebagai penyebab kematian akan meningkat
dari ke 6 jadi ke 3. Berdasaran survey kesehatan rumah tangga DepKes.RI tahun
1992, PPOk bersama asma bronkial menduduki peringkat ke 6. Merokok
merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK di samping faktor risiko
lainnya seperti polusi udara, faktor genetic dan lain-lainnya

Diagnosis PPOK eksaserbasi akut


Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut.
Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan
dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan
pengonatan yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi akut ini biasanya
disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau obat
golongan sedative. Sekita 1/3 penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui.
Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas
seperti sesak napas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan
volume atau purolensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas
seperti malaise fatigue dan gangguan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis
PPOK sistemik. Gejala respirasi yaitu berupa sesak nafas yang semakin
bertambah berat, peningkatan volume dan purolensi sputum, batuk yang semakin
sering dan napas yang dangkal dan cepat gejala sistemik ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental
pasien

Pemeriksaan yang diperlukan untuk menilai tingkat keparahan pasien PPOK


yang mengalami eksaserbasi akut adalah:

 Tes fungsi paru (mungkin sukar dilakukan untuk pasien yang kondisinya
parah)
- PEF < 100 L/menit atau FEV1 < 1 L mengindikasikan adanya
eksaserbasi yang parah.
 Pemeriksaan analisa gas darah.
- PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa
PaCO2 > 6,7 kPa (50 mmHg), saat bernapas dalam udara ruangan,
mengindikasikan adanya gagal napas.
- PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan Ph <
7,30, member kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu dilaukan
monitor ketat serta penanganan intensif.
 Foto toraks. Dilakukan untuk melihat adanya komplikasi seperti
pneumonia.
 Elektrokardiografi (EKG). Pemeriksaan EKG dapat memebantu
penegakan diagnosis hipertropi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.
 Kultur dan sensitivitas kuman.

Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman


terhadap antibiotic yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak
ada respons terhadap antibiotic yang dipakai sebagai pengobatan pada
permulaan penyakit. Kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering
ditemukan adalah Streptococcus pneumonia, Moraxella catarrhalis dan
H.influenzae.

MANAJEMEN PPOK EKSASERBASI AKUT

Manajemen di Rumah

Bronkodilator. Bronkodilator utama sering digunakan adalah : β2-agonis,


antikolinergik dan metilxantin. Obat tadi dapat diberikan secara monoterapi
atau kombinasi. Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih menguntungkan dari
pada cara oral atau parenteral karena efeknya cepat pada organ paru dan efek
sampingya minimal. Pemberian secara MDI lebih disarankan dari pada
pemberian cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6 kali, 2-4 hirup
sehari. Bronkodilator kerja cepat (fenoteral, salbutamol, terbutalin) lebih
menguntungkan dari pada yang kerja lambat (salmaterol, formeterol), karena
efek bronkodilatornya dimulai dalam beberapa menit dan efek puncaknya
terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. Bila tidak segera
memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian anti kolinergik
samapi dengan perbaikan gejala.

Glukokortikosteroid. Jika FEV1 <50% prediksi, dapat diberikan 40 mg


prednisolon (oral) per hari selama 10-14 hari bersamaan dengan pemberian
bronkodilator. Budesonid nebulizer bisa dipakai sebagai alternative terapi
selain oral. Glukokosteroid dipakai untuk pengobatan yang non asidosis.

Antibiotic. Diberikan pada pasien dengan kondisi (GOLD,2010):

 Disertai tiga tanda cardinal : peningkatan sesak napas, peningkatan


jumlah sputum, dan peningkatan kekentalan/purulensi sputum.
 Dengan peningkatan purulensi sputum dan disertai satu tanda cardinal
lainnya.
 Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik
Antibiotic hendaknya diberikan dengan spectrum luas yang bisa
menghadapi H.influenza, S.pneumoniae dan M. catarrhalis sambil menunggu
kultur sensitivitas kuman. Berdasarkan penelitian, ketiga kuman dia atas
merupakan kuman penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan.

Manajemen di Rumah Sakit

Terapi farmakologi pada PPOK akut eksaserbasi di rumah sakit adalah:

 Bronkodilator kerja cepat : β-agonis dan anti kolinergik dosis ditinggikan


dan frekuensi pemberian dinaikkan.
 Steroid : oral atau intravena
 Antibiotik : oral atau intravena
 Pertimbangan teofilin oral atau intravena (masih controversial)
 Pertimbangan ventilator mekanik invasive
Pada keadaan berat seperti ancaman gagal napas akut, kelainan asam basa
berat atau perburukan status mental, maka pemasangan ventilator mekanik
invasive dapat dipertimbangkan.
Obat-obat tambahan lainnya.
 α 1 antitripsin : diberikan pada pasien emphysema muda, bila terdapat
definisi zat ini. Obat ini agak mahal dan belum banyak tersedia di
beberapa Negara.
 Mukolitik : secara keseluruhan pemberian mukolitik pada pasien dengan
sputum kental hanya member sedikit keuntungan, terutama pada keadaan
akut eksaserbasi, sehingga jarang dipakai secara rutin.
 Antioksidan : hanya bermanfaat pada keadaan akut eksaserbasi dan tidak
dipakai pada penggunaan secara rutin.
 Imunoregulator : terdapat penelitian yang menyatakan bahwa obat-obat
ini dapat menurunkan beratnya akut eksaserbasi. Penggunaan secara rutin
belum dianjurkan
 Antitusif dan narkotik : penggunaan secara rutin merupakan kontra
indikasi.

Stop Merokok

Menghentikan kebiasan merokok pada pasien PPOK sebenarnya merupakan


usaha yang mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas
penyakit. Bila pasien dapat berhenti merokok maka progresivitas penurunan
FEV1-nya dapat diperkecil. Pasien PPOk yang merokok akan mengalami
penurunan FEV1>50 ml per tahun (pada orang normal yang tidak merokok,
penurunan FEV1 hanya 18 ml per tahun). Bila pasien dapat menghentikan
merokok, makan penurunan FEV1 yang drastic ini dapat dicegah seperti
penurunan normal orang yang tidak merokok.

Strategi yang dianjurkan oleh Public Health Service Repor USA adalah :

 Ask : lakukan indikasi perokok pada setiap kunjungan


 Advice : terangkan tentang keburukan/dampak merokok sehingga pasien
didesak mau berhenti merokok
 Asses : yakinkan pasien untuk berhenti merokok
 Assist : bantu pasien dalam program berhenti merokok.
 Arrange : jadwalkan kontak usaha berkutnya yang lebih intensif, bila
usaha pertama masih belum memuaskan
Beberapa usaha untuk berhenti merokok seperti: pemakaian nikotin gum,
patch, spray/inhaler, obat-obat klonidin, bupropion tidak ada salahnya untuk
dicoba.

INTUBASI ENDOTRAKEA DAN TRAKEOSTOMI

Intubasi Endotrakea

Caranya :

 Pilih laringoskop yang ukurannya sesuai dengan besar pasien. Pada anak
besar dan dewasa lebih mudah menggunakan laringoskop berdaun
lengkung.
 Mulut dibuka dengan jari-jari tangan kanan, tangan kiri memegang
laringoskop kemudian ujung daun laringoskop dimasukkan di atas lidah
pada sudut mulut sebelah kanan.
 Daun laringoskop didorong ke dalam mulut ke arah orofaring sambil
menggeser lidah ke sebelah kiri ruang mulut.
 Rahang bawah didorong ke bawah dengan menarik laringoskop sesuai
dengan sumbu pegangnya, sehingga terlihat epiglottis.
 Apabila digunakan laringoskop berdaun lengkung, ujung daun diletakkan
di sebelah atas epiglottis dan epiglots diangkat secara tak langsung
dengan menarik frenulum glosoepiglotika. Tampaklah pita suara dan
lubang tenggorok.
 Dengan tangan kanan memasukkan pipa endotrakheal (ukuran sesuai
dengan pasien) ke dalam laring. Untuk orang dewasa dan anak usia di
atas 6 tahun, gunakan pipa endotrakheal dengan balon (cuff) yang besar
dan luna serta bertakanan renada. Pengisian balon jangan berlebihan,
karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea.

Trakeostomi

Cara :
1) Posisi pasien tidur terlentang dengan kantong pasir di bawah bahu untuk
membantu mengekstensikan leher. Dagu harus difiksasi tepat pada garis
tengah; 2) Desinfeksi daerah operasi; 3) lakukan anestesi local infiltrasi,
dapat juga tanpa anestesi terutama pada kasus yang sangat darurat; 4)
Lakukan insisi di daerah segitiga yang bebas dari pembuluh darah,
dengan batas-batas, cranial: kartilago krikoidea, lateral: m.
sternokleidonastoideus, kaudal: fosa supra sterna; 5) insisi dapat
dilakukan secara tranversal memberikan hasil kosmetik yang lebih baik,
tetapi insisi vertical memberikan pemaparn yang lebih baik dan
perdarahan yang lebih sedikit; 6) Insisi vertical di garis media mulai tepi
bawah kartilago krikoud sampai fosa supra sterna. Insisi diperdalam
sampai ke permukaan trakea. Jangan terlalu banyak memotong pembuluh
darah. Oleh karena itu bekerjalah secara tumpul unutuk memisah-
misahkan jaringan; 8) Kulit, jaringan sub kutan, dan strap muscles
(sternohioidea, dan sternotiroidea) diretraksi ke lateral untuk memaparkan
ismus toroid. Vena jugularis anterior dapat ditemukan, jika ada harus
dipotong dan diikat. Ismus tiroid harus diretraksi ke atas atau ke bawah
atau dipotong di antara dua ikatan, tergantung mana yang paling mudah
dan memberikan pandangan terbaik. Sebelum mengiris trakea sebaiknay
dipungsi dulu dan jika yang keluar udara berarti trakea; 10) cincin trakea
yang sering dipotong adalah trakea III/IV, selain itu dapat juga pada
cincin V/VI (trakeostomi suprasternal); 11) kanul trakea hendaknya
dipilih dengan diameter dan bentuk yang sesuai, biasanya sebesar jari
kelingking pasien, sebab kanul trakea yang tidak sesuai dapat merusak
jaringan atau dinding trakea; 12) sebelum kanul trakea dipasang, terlebih
dahulu ditetesi dengan 1-2 tetes pantokain untuk mengurangi rangsangan
pada mukosa trakea oleh gesekan kanul trakea; 13) kanul trakea
dimasukkan dari samping kiri pasien dan setelah ujungnya masuk
kemudia diputar searah jarum jam. Setelah kanul trakea dipasang,
obturator segera diangkat. Antara kanul dan luka iris diberi kasa yang
telah diolesi salep steril. 14) Luka insisi yang masih tersisa di atas dan di
bawah kanul trakea ditutup dengan jahitan benang catgut, tetapi tidak
perlu terlalu rapat untuk menghindari terjadinya emfisema sub akut; 15).
Kanul trakea luar difiksasi dengan tali pita melingkar leher. Lubang kanul
trakea ditutup dengan kasa tipis yang basah, untuk menghindari
masuknya partikel-partikel kecil ke dalam trakea dan melembabkan udara
pernapasan.

Anda mungkin juga menyukai