Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

POST LAPAROTOMY EKSPLORASI

Oleh:

NELA SETIA RESI

2011040061

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020/2021
A. Definisi
Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat
terjadinya perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus. (Arif mansjoer,
2010).
Laparatomi merupakan operasi yang dilakukan untuk membuka bagian
abdomen, laparatomi merupakan suatu bentuk pembedahan mayor dengan,
dengan melakukan pengayatan pada lapisan lapisan dinding abdomen untuk
mendapatkan bagian organ yang mengalami masalah (hemoragi, perforasi,
kanker dan obstruksi). Laparatomi dilakukan pada kasus seperti apendicitis
hernia inguinalis, kanker lambung, kanker kolon dan rectum, obstruksi usus,
inflamasi usus kronis, kolestisitis dan peritonitis. Laparatomi adalah
pembedahan perut, membuka perut dengan operasi. (Lakaman, 2011)
Pelayanan. post operasi laparatomi adalah pelayanan yang diberikan kepada
pasien-pasien yang telah menjalani operasi perut.
B. Etiologi
Etiologi sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan
oleh beberapa hal yaitu:
1. Trauma abdomen
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran cerna
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar
5. Masa pada abdomen
C. Tanda Gejala
1. Nyeri tekan pada area insisi pembedahan
2. Perubahan tekanan darah, nadi dan pernafasan
3. Kelemahan
4. Gangguan integumen dan jaringan subkutan
5. Konstipasi
6. Mual dan muntah, anoreksia
D. Patofisiologi
Menurut Dorland (2011) Trauma adalah luka atau cedera fisik lainya atau
cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat. Trauma adalah
penyebab kematian paling utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44
tahun. Penyalagunaan alkohol adalah obat yang telah menjadi faktor
komplikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau
tidak disengaja. Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa
trauma tumpul dan tembus serta gtrauma yang disengaja atau tidak disengaja.
Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut bisa terjadi dengan
atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan /penatalaksanaan
dapat bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi.
tusukan/tembakan, pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk
pengaman dapat mengakibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus
dilakukan laparatomi. Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan individu
kehilangan darahmemar/jejas pada dinding perut, kerusakan oragan organ
nyeri, iritasi cairan usus. Sedangkan trauma tembus abdomen dapat
mengakibatkan hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres
simpatis, perdarahan atau pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ dan respon stres dari saraf
simpatis akan menyebabkan terjadinya kerusakan integritas kulit, syok dan
perdarahan, kerusakan pertukaran gas, resiko tinggi terhadap infeksi, nyeri
akut.
E. Pathway
Ileus obstruksi/paralitik

Penatalaksanaan operatif : Operatif laparotomy


Laparotomy kolostomi

Depresi otot jantung Efek anastesi : Perlukaan insersi

ventilasi paru tidak adekuat

Penurunan oto jantung Resiko


infeksi
Kegagalan ventilasi
Penurunan TD spontan

Suplai darah ke organ menurun

Kesadaran menurun

Resiko perfusi
serebral tidak efektif
F. Penatalaksanaan
1. Pemantauan tanda vital
Tanda vital dipantau dan status umum pasien dikaji pada setidaknya setiap
15 menit. Kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan selalu dievaluasi
pertama kali, diikuti pengkajian fungsi kardiovaskuler (termasuk tanda
vital), kondisi letak yang dioperasi dan fungsi sistem saraf pusat. Sasaran
utama intervensi adalah untuk mempertahankan ventilasi pulmonal dan
dengan demikian mencegah hipoksemia (penurunan oksigen dalam darah)
dan hiperkapnea (kelebihan karbon dioksida dalam darah), hal ini dapat
terjadi jika jalan nafas tersumbat dan ventilasi berkurang. Shock dapat
dihindari dengan pemberian cairan intravena, darah dan medikasi yang
meningkatkan tekanan darah.
2. Pertimbangan respiratori
Kesulitan bernafas berkaitan dengan tipe spesifik anesthesia. Cara
mengetahui apakah pasien bernafas atau tidak adalah dengan menempatkan
telapak tangan di atas hidung dan mulut pasien untuk merasakan hembusan
nafas. Tindakan terhadap obstruksi hipofaringeus termasuk mendongakkan
kepala ke belakang dan mendorong ke depan pada sudut rahang bawah,
seperti jika mendorong gigi bawah di depan gigi atas, maneuver ini
menarik lidah kearah depan dan membuka saluran udara. Ahli anastesi
meletakkan karet keras atau jalan nafas plastik dalam mulut pasien untuk
mempertahankan patensi jalan nafas, alat tersebut jangan dilepaskan
sampai tanda seperti menelan, yang menandakan bahwa refleks telah
kembali.
3. Membersihkan sekresi dari jalan nafas
Membalikkan pasien dari satu sisi ke sisi lainnya memungkinkan cairan
yang terkumpul untuk keluar dari sisi mulut. Gigi pasien mengatup, mulut
dapat dibuka secara manual tetapi hati-hati dengan spatel lidah yang
dibungkus kasa. Jika terjadi muntah, pasien dibalikkan miring dan vomitus
dikumpulkan dalam basin emesis, wajah diusap dengan kasa atau kertas
tisu dan sifat serta jumlah muntahan dicatat. Mukus atau muntahan yang
menyumbat faring atau trakea dihisap dengan ujung penghisap faringeal
atau kateter nasal yang dimasukkan ke dalam nasofaring atau orofaring.
4. Pengaturan posisi
Tempat tidur dijaga agar tetap datar sampai pasien kembali sadar, kecuali
bila ada kontra indikasi, pasien yang tidak sadar diposisikan miring ke satu
sisi dengan bantal pada bagian punggungnya dan dengan dagu
diekstensikan untuk meminimalkan setiap bahaya aspirasi. Lutut
difleksikan dan bantal diletakkan diantara tungkai untuk mengurangi
teganagan pada sutura abdomen. Jika berbaring miring merupakan
kontraindikasi, maka hanya bagian kepala pasien saja yang dimiringkan.
5. Dukungan psikologi
Jika satu perawat menemani pasien sepanjang pengalaman pra-operatif dan
operatif, maka perawat tersebut dapat memberikan informasi yang berharga
tentang status mental pasien, seperti segala bentuk ketakutan dan
kekhawatiran.
G. Komplikasi
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,
hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulasi dini.
2. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi. Infeksi luka
sering muncul pada 36- 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling
sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme: gram
positif. Perawatan luka hendaknya aseptik dan antiseptik.
3. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah
keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi
atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan,
ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan
muntah (Jitowiyono, 2010).

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai ciri-ciri khusus. Pada
urinalisa, berat jenis bisa meningkat dan ketonuria yang menunjukkan adanya
dehidrasi dan asidosis metabolik. Leukosit normal atau sedikit meningkat, jika
sudah tinggi kemungkinan sudah terjadi peritonitis. Kimia darah sering adanya
gangguan elektrolit. Foto polos abdomen sangat bernilai dalam menegakkan
diagnosa ileus obstruksi. Sedapat mungkin dibuat pada posisi tegak dengan
sinar mendatar. Posisi datar perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan sikap
tegak untuk melihat batas udara dan air serta letak obstruksi. Secara normal
lambung dan kolon terisi sejumlah kecil gas tetapi pada usus halus biasanya
tidak tampak.
Gambaran radiologi dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air
fluid level, distensi usus bagian proksimal, absen dari udara kolon pada
obstruksi usus halus. Obstruksi kolon biasanya terlihat sebagai distensi usus
yang terbatas dengan gambaran haustra, kadang-kadang gambaran massa dapat
terlihat. Pada gambaran radiologi, kolon yang mengalami distensi
menunjukkan gambaran seperti pigura dari dinding abdomen. Kemampuan
diagnostik kolonoskopi lebih baik dibandingkan pemeriksaan barium kontras
ganda. Kolonoskopi lebih sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis neoplasma
dan bahkan bisa langsung dilakukan biopsi.
1. Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda
vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi
mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit sehingga
perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap
terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda-tanda vital dan jumlah urin
yang keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga
pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk
mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensi abdomen.
2. Farmakologis
Pemberian obat-obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual
muntah.
3. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian
disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi
selama laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau pertimbangan untuk
dilakukan operasi: Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple
obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi
obstruksi stangulasi maka reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada
umumnya dikenal 4 macam cara/tindakan bedah yang dilakukan pada
obstruksi ileus:
a. Koreksi sederhana (simple correction).
b. Tindakan operatif by-pass.
c. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
d. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis
ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus
(Sabara, 2007).
I. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
nyeri abdomen.
3. Riwayat kesehatan
4. Riwayat penyakit sekarang
Kapan nyeri pertama kali dirasakan dan apa tindakan yang telah diambil
sebelum akhirnya klien dibawah ke rumahsakit untuk mendapatkan
penanganan secara medis.
5. Riwayat kesehatan dahulu
Ada riwayat penyakit terdahulu sehingga klien dirawat di rumah sakit.
6. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus ,
atau riwayat stroke dari generasi terdahulu.
7. Riwayat psikososial dan spiritual
Peran pasien dalam keluarga, status emosional meningkat, interaksi sosial
terganggu, adanya rasa cemas yang berlebihan, hubungan dengan tetangga
tida harmonis , status dalam pekerjaan. Dan apakah klien rajin melakukan
ibadah sehari-hari.
8. Aktifitas sehari-hari
9. Pola nutrisi
10. Pola eliminasi
11. Pola personal hygiene
12. Pola istirahat dan tidur
13. Pola aktivitas dan latihan
14. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemotoma atau
riwayat operasi.
b. Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus optikus
(nervus II), gangguan dalam menganggkat bola mata (nervus III),
gangguan dalam memutar bola mata (Nervus IV) dan gangguan dalam
menggerakan bola mata kelateral (nervus VI).
c. Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karena terganggu pada nervus
olfactorius (nervus I).
d. Mulut
Adanya gangguan pengecapan atau lidah akibat kerusakan nervus vagus
, adanya kesulitan dalam menelan.
e. Dada
Inspeksi:kesimetrisan bentuk, kembang dan kempih dada.
Palpasi: ada tidaknya nyeri tekan dan masa
Perkusi:mendengar bunyi hasil perkusi, untuk mengetahui suara napas.
f. Abdomen
Inspeksi : bentuk, ada tidaknya pembesaran.
Auskultasi: mendengar bising usus
Perkusi : mendengar bunyi hasil perkusi
Palpasi : ada tidanya nyeri tekan pasca operasi.
J. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan ventilasi spontan b.d ventilasi paru tidak adekuat
2. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d penurunan kesadaran
3. Resiko infeksi b.d efek prosedur invasif
K. Intervensi Keperawatan

Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan

Resiko perfusi Setelah dilakukan tindakan Manajemen penigkatan


serebral tidak keperawatan 3x24 jam tekanan intrakranial
efektif b.d diharapkan pefusi serebral (I.09325)
meningkat dengan kriteria O:
penurunan
hasil : - Monitor tanda/gejala
kesadaran Perfusi Serebral (L. peningkatan TIK
02014) - Monitor MAP
- Monitor intake dan output
Indikator A T cairan
- Monitor TD
Nilai rata- 2 4 - Monitor tingkat kesadaran
rata - Monitor Status pernapasan
tekana - Monitor hasil
darah laboratorium

T:
Kesadara 2 4
n - Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
Keterangan :
- Berikan posisi semi fowler
1 = memburuk
2 = cukup memburuk - Cegah terjadinya kejang
3 = sedang - Pertahankan suhu tubuh
4 = cukup meningkat normal
5 = meningkat
E:
- Jelaskan tujua dan
prosedur pemantauan

K:

Kolaborasi pemberian obat


sesuai anjuran dokter
Dukungan Ventilasi
Setelah dilakukan tindakan O :
Gangguan keperawatan 3x24 jam - Monitor TTV
ventilasi spontan diharapkan gangguan
ventilasi efektif dengan - Monitor status respirasi
b.d ventilasi paru
tidak efektif kriteria hasil : dan oksigenasi
T:
- Pertahankan kepatenan
Indikator A T jalan napas
- Berikan oksigenasi sesuai
kebutuhan
Dispnea 2 4
E:

Penggunaan 2 4 -
oto bantu
napas K:
Kolaborasi pemberian obat
sesuai anjuran dokter
Keterangan :
1 = memburuk
2 = cukup memburuk
3 = sedang
4 = cukup meningkat
5 = meningkat
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer (2010), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta : Media


Aesculapius.
Dorland N. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi ke 28. Mahode AA,
editor. Jakarta: EGC; 2011. hal 457-507
Jitowiyono S. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta : Muha
Medika.

Anda mungkin juga menyukai