Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN


PADA TN. P DENGAN DIAGNOSA MEDIS PERFORASI GASTER
DI RS Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
BANGSAL MELATI 3
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Keperawatan II Prodi D-IV
Keperawatan Semester 4
Dosen Pembimbing: Ns. Ida Mardalena, S.Kep., M.Si

Disusun oleh Mahasiswa Praktik:


Diego Jasman R

NIM. P07120213012

Nuraini Maghfuroh

NIM. P07120213038

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2014-2015

A. PEDAHULUAN
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebabnya antara lain yaitu ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid,
trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas.
Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung
buatan (perforatio tecta).
Perforasi terjadi apabila isi dari kantung masuk ke dalam kavum abdomen,
sehingga menyebabkan terjadinya peritonitis. Contohnya seperti pada kasus perforasi
gaster atau perforasi duodenum. Selain itu, 10 15 % pasien yang didiagnosa
divertikulitis akut akan berkembang menjadi perforasi. Pasien biasanya akan datang
ke tempat perawatan dengan gejala peritonitis umum. Kadar mortalitas secara
relatifnya tinggi yaitu hampir 20 40 %. Kebanyakkan disebabkan oleh komplikasi
seperti syok septik kegagalan multi organ. Kecederaan berkaitan usus yang
disebabkan endoskopi (endoscopy-associated bowel injuries) jarang menyebabkan
terjadinya perforasi.
B. ANATOMI LAMBUNG
Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara
esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum
dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan
mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau penetrasi ke dalam organ
di dekatnya, bergantung pada letak tukak.
Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat
proksimal yang terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung
makanan yang ditelan serta tempat produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan
dinding korpus, tebal dan kuat lapisan ototnya. Di belakang dan tepi madial
duodenum terdapat arteri besar (arteri gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa
terjadi karena erosi dinding arteri itu pada tukak peptik lambung atau duodenum.
Fungsi utama lambung adalah penerima makanan dan minuman, dikerjakan
oleh fundus dan korpus , dan penghancur dikerjakan oleh antrum, selain turut bekerja
dalam pencernaan awal berkat kerja kimiawi asam lambung dan pepsin. Fungsi
motilitas yang berkaitan dengan gerakan adalah penyimpanan (mencapai 1500ml) dan
pencampuran makanan serta pengosongan lambung diatur oleh n.vagus.

Cairan lambung yang jumlahnya bervariasi antara 500-1500 ml/hari


mengandung lendir, pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit, terutama larutan HCl.
Sekresi basal cairan ini selalu ada dalam jumlah sedikit. Produksi asam merupakan
hal yang kompleks, namun secara sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan yaitu:
Pertama fase sefalik merupakan rangsang yang timbul akibat melihat, menghirup,
merasakan, bahkan berpikir tentang makanan akan meningkatkan produksi asam
melalui aktivitas n.vagus, Kedua fase gastrik adalah distensi lambung akibat adanya
makanan atau zat kimia yang merangsang sel parietal untuk memproduksi asam
lambung, dan Ketiga fase intestinal yaitu hormon enterooksintin merangsang
produksi asam lambung setelah makanan sampai di usus halus.

C. ETIOLOGI
1. Perforasi non-trauma
Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia, bayi baru lahir yang
terimplikasi syok dan stress ulcer, anti inflamasi non steroid dan steroid :
terutama pada pasien usia lanjut, serta faktor predisposisi termasuk ulkus
peptik
2. Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esofagus,
gaster, atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.
3. Perforasi trauma (tajam atau tumpul)
Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat endoskopi, luka
penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan pisau)

D. PATOFISIOLOGI
Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi
gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi
gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko
terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam

lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika
kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal,
peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas
gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis
bakterial kemudian.
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi
akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi,
membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia
yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan
menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada
peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan
membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses,
dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general,
kegagalan multi organ, dan syok dapat terjadi.

E. TANDA DAN GEJALA


Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri
ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang
peritoneum oleh asam lambung, empedu dan/atau enzim pankreas. Cairan
lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut
kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut.
Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase
peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum di permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa
pengenceran zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk
sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler.
Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis
usus menurun sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah
terjadi peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik. Rangsangan

peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan


pergeseran peritoneum dengan peritoneum.
Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan,
bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
ketika digerakkan seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes
psoas, dan tes obturator.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi
Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih
prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi.
Deteksi pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen
karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam
status kegawatdaruratan abdomen, dengan menggunakan teknik radiologi
maka dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam melakukannya,
perlu teknik foto abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral
decubitus kiri.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas
di pelvik kecil menggunakan teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan,
ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.
3. CT Scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti
gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena
itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster. Ketika
melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat
membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai
area hipodens dengan densitas negatif.

G. PENATALAKSANAAN
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan
umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan
pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan
tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin
digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gramnegatif dan
anaerob. Tujuan dari terapi bedah adalah:
1. Koreksi masalah anatomi yang mendasari
2. Koreksi penyebab peritonitis
3. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat
menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti
darah, makanan, sekresi lambung).
Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah
hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomi explorasi dan penutupan
perforasi dan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasimedis). Terapi
konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang nontoxic dan secara klinis
keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik,
aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya.
Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan
saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya,
tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia
lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan, tambahan
tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan.
Terapi utama perforasi gastrointestinal adalah tindakan bedah. Terapi
gawat darurat dalam kasus perforasi gastrointestinal adalah:
1. Pasang akses intravena (infuse). Berikan terapi cairan kristaloid pada pasien
dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia.
2. Jangan berikan apapun secara oral.
3. Berikan antibiotik secara intravena pada pasien dengan gejala septicemia.
Berikan antibiotik spectrum luas. Tujuan pemberian antibiotik adalah untuk
eradikasi infeksi dan mengurangkan komplikasi post operasi.

Pemberian antibiotik terbukti efektif dalam menurunkan kadar infeksi post


operasi dan dapat memperbaiki hasil akhir dari pasien dengan infeksi intra
peritoneum dan septikemia. Contoh antibiotik yang diberikan adalah seperti
Metronidazol, Gentamisin, dan Cefoprazone

H. KOMPLIKASI
1. Kegagalan luka operasi
Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka
operasi) dapat terjadi segera atau lambat. Faktor-faktor berikut ini
dihubungkan dengan kegagalan luka operasi yaitu malnutrisi, sepsis, uremia,
diabetes mellitus, terapi kortikosteroid, obesitas, batuk yang berat, hematoma
(dengan atau tanpa infeksi), abses abdominal terlokalisasi, kegagalan
multiorgan dan syok septik
2. Syok septik
Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia
gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada
septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.

I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Identitas Pasien dan Wali
2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien gangguan sistem pencernaan secara umum
antara lain:
1) Nyeri
Keluhan nyeri dari pasien sering menjadi keluhan utama dari pasien
untuk meminta pertolongan kesehatan yang bersumber dari masalah
saluran gastrointestinal dan organ aksesori. Dalam mengkaji nyeri,
perawat dapat melakukan pendekatan PQRST
2)

Mual muntah
Keluhan mual muntah merupakan kondisi yang sering dikeluhkan dan
biasanya selalu berhubungan dengan kerja involunter dari
gastrointestinal.

3) Kembung dan Sendawa (Flatulens).


Akumulasi gas di dalam saluran gastrointestinal dapat mengakibatkan
sendawa yaitu pengeluaran gas dari lambung melalui mulut (flatulens)
yaitu pengeluaran gas dari rektum.
4) Ketidaknyamanan Abdomen
Ketidaknyamanan atau distress abdomen bagian atas yang
berhubungan dengan makanan yang merupakan keluhan utama dari
pasien dengan disfungsi gastrointestinal. Dasar distress gerakan
abdomen ini merupakan gerakan peristaltic lambung pasien sendiri.
5) Diare
Diare adalah peningkatan keenceran dan frekuensi feses. Diare dapat
terjadi akibat adanya zat terlarut yang tidak dapat diserap di dalam
feses, yang disebut diare osmotic, atau karena iritasi saluran cerna.
Peningkatan motilitas menyebabkan banyak air dan elektrolit terbuang
karena waktu yang tersedia untuk penyerapan zat-zat tersebut di kolon
berkuran.
6) Konstipasi

Konstipasi didefinisikan sebagai defekasi yang sulit atau jarang. Hal


ini terjadi apabila individu mengalami dehidrasi atau apabila tindakan
BAB ditunda sehingga memungkinkan lebih banyak air yang terserap
keluar sewaktu feses berada di usus besar. Orang yang sehari-harinya
jarang bergerak berisiko tinggi mengalami konstipasi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan apakah pada setiap keluhan yang terjadi bemberikan dampak
terhadap intaik nutrisi, berapa lama dan apakah terdapat perubahan berat
badan. Tanyakan pada pasien apakah baru-baru ini mendapat tablet atau
obat-obatan yang sering kali dijelaskan warna atau ukurannya dari pada
nama dan dosisnya.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Perawat mengkaji riwayat MRS (masuk rumah sakit) dan penyakit berat
yang pernah diderita, penggunaan obat2 dan adanya alergi.
d. Riwayat penyakit dan riwayat MRS
Perawat menanyakan pernahkah MRS sebelumnya? Apabila ada, maka
perlu ditanyakan rumah sakit mana saat mendapatkan perawatan, berapa
lama dirawat dan apakah berhubungan dengan penyakit pada saluran
gastrointestinal.
e. Riwayat penggunaan obat-obatan
Anamnesis tentang penggunaan obat atau zat yang baru baik dari segi
kuantitas maupun kualitas akan memberi dampak yang merugikan
f. Riwayat alergi

3. Pemerikasaan fisik
a. Pemeriksaan fisik keperawatan pada sistem GI dimulai dari survei umum
terhadap setiap kelainan yang terlihat atau mengklarifikasi dari hasil
pengkajian anamnesis.

b. Ikterus: konsentrasi bilirubin dalam darah mengalami peningkatan


abnormal sehingga semua jaringan tubuh yang mencakup sklera dan kulit
akan berubah warna menjadi kuning atau kuning kehijauan.
c. Kaheksia dan atrofi: kegagalan saluran GI untuk menyerap makanan
secara fisiologis dapat menyebabkan kehilangan berat badan dan kaheksia
(kondisi tubuh terlihat kurus dan lemah).
d. Pigmentasi kulit: pigmen kulit secara umum dapat disebabkan oleh
gangguan fumgsi hati, hemokromatosis (akiabat stimulus hemosiderin
pada melanosit sehingga memproduksi melamin), dan sirosis primer.
Malabsorpsi dapat manimbulkan pigmentasi tipe Addison (pigmentasi
solaris)pada puting susu, lipatan palmaris, daerah-daerah yang tertekan,
dan mulu
e. Status mental dan tingkat kesadaran
f. Bibir: bibir dikajia terhadap kondisi warna, tekstur, hidrasi, kontur, serta
adanya lesi.
g. Rongga mulut: pemeriksaan fisik rongga mulut dilakukan untuk menilai
kelainan atau lesi yang mempengaruhi pada fungsi ingesti dan digesti.
h. Abdomen: urutan teknik pemeriksaan pada abdomen ialah inspeksi,
auskultasi, palpasi, dan perkusi.
4. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi, USG, CT-Scan
5. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang lazim muncul adalah :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
Ditandai dengan: hipotensi, takikardia, pengisian kapiler lambat, urine
pekat/menurun, berkeringat, hemokonsentrasi.
b. Resiko tinggi terhadap kerusakan perfusi jaringan berhubungan dengan
hipovolemia.

Ditandai dengan: tidak dapat diterapkan adanya tanda dan gejala.


c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Ditandai dengan: peningkatan tegangan, gelisah, mudah terangsang, takut,
gemetar, takikardi, kurang kontak mata, menolak, panik atau perilaku
menyerang.
d. Nyeri berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga
oral.
Ditandai dengan: mengkomunikasikan gambaran nyeri, berhati-hati
dengan abdomen, postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda
vital.
e. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan
interpretasi/informasi.
Ditandai dengan: permintaan informasi, pernyataan salah konsep,
terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Kepeawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3), Jakarta, EGC.
Mitchell, Richard N., 2008, Buku Saku Dasar Patologis Penyakit, Jakarta , EGC.
Smeltzer, Suzanne C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta,
EGC.

Anda mungkin juga menyukai